Anda di halaman 1dari 12

UJI PERSISTENSI MINYAK SERAI WANGI TERHADAP HAMA Heliothis

armigera PADA TANAMAN CABAI DI RUMAH KACA


Oleh : Pasetriyani E.T.

ABSTRAK
Hama penggerek buah, Heliothis armigera merupakan salah satu hama yang terpenting
pada tanaman cabai merah. Kehilangan hasil akibat serangan H. armigera dapat
mencapai 60%. Hama ini merusak buah cabai dengan cara melubangi dinding buah
cabai. Pengendalian yang umumnya dilakukan adalah dengan menggunakan insektisida
secara intensif tetapi dapat menimbulkan dampak negative. Oleh karena itu
pemanfaatan pestisida biorasional mulai dikembangkan karena tidak mencemari
lingkungan, lebih spesifik dan residu relative pendek. Salah satunya adalah
menggunakan minyak atsiri dari tanaman seraiwangi yang diduga mempunyai sifat
repellent terhadap serangga.Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh
minyak seraiwangi terhadap perkembangan hama Heliothis pada tanaman cabai dan
berapa lama persistensi minyak seraiwangi masih dapat menekan populasi hama dan
tingkat kerusakan tanaman cabai. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Balai
Penelitian Tanaman Sayuran Lembang dari bulan Mei 2009 sampai dengan Januari
2010. Penelitian menggunakan RAK terdiri atas 8 perlakuan yaitu 0 7 hari setelah
pemaparan dan diulang 4 kali. Hasil penelitian menunjukkan residu minyak seraiwangi
yang terdapat dalam tanaman cabai hanya berkisar antara 1 (satu) sampai dengan 4
(empat) hari setelah pemaparan. Jadi minyak seraiwangi sebagai insektisida nabati
mempunyai tingkat persistensi yang relative rendah dan ramah lingkungan.

I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cabai merah merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki daya adaptasi
tinggi sehingga lokasi produksinya tersebar cukup luas didataran rendah Indonesia.
Sementara nilai komersial cabai merah yang cenderung meningkat mengakibatkan
petani cenderung membudidayakannya di dataran tinggi.

Dalam budidaya cabai banyak dijumpai kendala, dan salah satu diantaranya
adalah serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT).

Adiyoga dkk ( 1997)

melaporkan bahwa berdasarkan pemantauan di daerah Cirebon, Majalengka dan Garut,


OPT utama tanaman cabai adalah ulat buah ( Heliothis armigera), ulat daun atau ulat
grayak (Spodoptera litura) , Thrips dan penyakit busuk buah atau antraknosa.
Hama penggerek buah, H. armigera Hubn. (Lepidoptera : Noctuidae) merupakan salah
satu hama yang terpenting pada tanaman cabai merah. Kehilangan hasil karena
serangan hama tersebut dapat mencapai 60% ( Luther et al, 2007).
Adiyoga (1977) melaporkan pula bahwa 63 93% petani responden melakukan
penyemprotan pestisida secara rutin 3 7 hari sekali untuk mencegah serangan OPT
dan kegagalan panen. Hampir semua petani melakukan pencampuran 2 6 macam
pestisida dan melakukan penyemprotan sebanyak 21 kali per musim tanam (Adiyoga,
1987). Kebiasaan ini akan memacu timbulnya dampak negatif penggunaan pestisida
seperti resistensi hama, residu di dalam tanah, udara, air, matinya musuh alami dan
lain-lain. Dari pengalaman di lapangan diketahui bahwa pengunaan insektisida tersebut
kurang efektif untuk pengendalian

hama H. armigera , karena insektisida yang

digunakan biasanya berdaya racun kontak kepada larva sedangkan larva H. armigera
sendiri terlindung di dalam buah cabai.
Dari hasil penelitian Ahmad et al. (2001), hama ini telah resisten terhadap
insektisida dari golongan piretroid sintetik, organofosfat dan carbamat. Oleh sebab itu
perlu dicari insektisida alternatif untuk mensubsitusi insektisida kimia
Salah satu komponen pengelolaan hama yang saat ini sedang dikembangkan
adalah penggunaan senyawa kimia yang berasal dari produk alami yang dihasilkan
tumbuhan, mikroorganisme, hewan ( Sosromarsono, 1990). Pestisida ini disebut
pestisida biorasional..Beberapa jenis minyak atsiri yang diperoleh dari penyulingan
bahan tanaman atsiri ada yang bersifat penolak hama, antifeedant, bersifat racun.
Menurut Rizal (2009), ekstrak tanaman seraiwangi dapat bersifat penolak (Reppelent)
hama. Sampai saat ini penggunaan ekstrak serehwangi sebagai insektisida selalu
dikombinasikan dengan ekstrak tanaman lainnya. Ekstrak cengkeh, seraiwangi,dan
2

kunyit bahkan efektif membunuh keong mas dengan mortalitas mencapai 100%
(Wiratno, 2008).
Pestisida biorasinal ini lebih aman terhadap lingkungan dibandingkan dengan yang
kimia karena lebih spesifik dalam menanggulangi serangga dan lebih cepat terurai.
Oleh sebab itu perlu diketahui persistensi minyak seraiwangi terhadap hama Heliothis
sp jadi dalam percobaan ini akan dicari sampai berapa lama residu minyak seraiwangi
masih dapat menekan serangan hama Heliothis sp.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dikemukakan masalah sebagai berikut:
1. Apakah minyak seraiwangi dapat menekan perkembangan hama Heliothis pada
tanaman cabai ?
2. Berapa lama tertinggalnya minyak seraiwangi pada tanaman (persistensi) yang
masih efektif menekan populasi dan tingkat kerusakan hama Heliothis pada
tanaman cabai?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui efikasi dan persistensi minyak serai
wangi sebagai bahan penolak dan larvisida hama Heliothis armigera.
4.Kegunaan Hasil Penelitian
Dengan didapatkannya persistensi minyak seraiwangi yang efektif dapat menekan
populasi dan tingkat kerusakan hama Heliothis maka untuk selanjutnya dapat
dipakai sebagai interval aplikasi minyak seraiwangi terhadap hama sasaran.

5. Tinjauan Pustaka
Ulat buah Heliothis armigera merupakan merupakan hama penting pada tanaman
cabai. Umumnya hama ini menyerang tanaman cabai merah pada saat mulai berbuah.
Hama ini sangat poliphag, inang lain selain cabai adalah tomat dan kentang . Buah cabai
3

merah yang terserang ulat buah menunjukkan

gejala berlubang. Jika buah dibelah,

didalamnya terdapat ulat. Ulat ini menyerang dengan cara melubangi dinding buah cabai.
Pada musim hujan, serangan ulat buah akan terkontaminasi oleh cendawan sehingga buah
yang terserang akan membusuk ( Duriat, 1996).
Pengendalian hama Heliothis

umumnya masih menggunakan insektisida kimia.

Sehubungan dengan banyaknya dampak negatif akibat penggunaan insektisida, maka


pemanfaatan pestisida biorasional akhir-akhir ini kembali memperoleh perhatian untuk
dikembangkan sebab pestisida biorasional tidak mencemari lingkungan , lebih bersifat
spesifik dan residunya relative pendek ( Oka, 1993).
Salah satu alternatif yang mempunyai prospek untuk dikembangkan ialah dengan
memanfaatkan berbagai senyawa kimia alami yang berasal dari tumbuhan. Tumbuhan
yang berasal dari alam yang potensial sebagai sumber insektisida, umumnya mempunyai
karakteristik rasa pahit ( mengandung alkaloid dan terpen), berbau busuk dan berasa agak
pedas. Tumbuhan tersebut jarang atau tidak pernah diserang oleh hama sehingga banyak
digunakan petani sebagai ekstrak pestisida hayati dalam pertanian organik ( Hasyim, A
dkk, 2010 ).
Grainge dan Ahmed (1988) telah mendata ada 2400 spesies tanaman yang memiliki
khasiat untuk digunakan sebagai pengendali OPT. Di Indonesia berbagai tanaman atsiri
yang tumbuh telah diketahui memiliki potensi untuk dijadikan bahan pestisida nabati
untuk mengendalikan hama tanaman, pathogen dan gulma. Jenis-jenis tanaman tersebut
antara lain : cengkeh (Syzygium aromaticum). Seraiwangi (Andropogon nardus),
Lengkuas (Alpinia galanga), Nimba (Azadirachta indica), dan lain-lainnya (Rizal, 2009).
Data dari Deperin (2007), menyatakan bahwa sekitar 200 jenis tanaman atsiri yang telah
dikenal masyarakat dunia , baru ada 40 jenis diantaranya yang sudah dikenal dan
dihasilkan di Indonesia, 15 jenis diantaranya telah diperdagangkan, dan hanya 4 jenis
yang telah dibudidayakan masyarakat yaitu nilam, seraiwangi, akarwangi dan cengkeh.
Rizal (2009) menyatakan salah satu minyak atsiri dengan nama dagang Java
Citronella Oil yang dapat digunakan sebagai insektisida, fungisida, bakterisida,
moluskasida dan bersifat penolak (Reppelent) hama adalah berasal dari tanaman
4

seraiwangi. Hal ini sependapat dengan Hubagyo dan Losowinarto (1995) bahwa ekstrak
seraiwangi mengandung minyak atsiri senyawa aldehid yang diduga mempunyai sifat
repellent terhadap serangga. Kandungan serai wangi menurut Setiawati dkk ( 2010),
terdapat sitronella (35,97%), Nerol (17,28%), sitronelol (10,03%), geranyle acetat
(4,44%), elemol (4,38%), limonene (3,98%) dan citronnellyle acetate (3,51%). Senyawa
sitronella mempunyai sifat racun dehidrasi. Racun tersebut merupakan racun kontak
yang dapat mengakibatkan kematian karena serangga akan mengalami kekurangan
cairan. Tanaman ini dapat digunakan sebagai pengganti pestisida kimia. Potensi rata-rata
per hektar 3 kali panen seraiwangi 1 : 46 ton daun segar setara dengan 469 liter minyak.
Dalam aplikasinya, pestisida biorasional terdiri atas pencampuran beberapa ekstrak
tanaman karena setiap ekstrak tanaman mempunyai daya kerja yang berbeda-beda.
Seperti menurut penelitian Slamet Suprianto (1996), campuran ekstrak segar daun nimba,
daun seraiwangi dan rimpang lengkuas efektif dalam menekan hama tanaman sayuran.
Ekstrak seraiwangi dan minyak nimba untuk mengusir nyamuk ( Molide Rizal, 2009).
Dalam percobaan ini akan digunakan ekstrak serai wangi hasil penyulingan secara
tunggal untuk mengendalikan hama Heliothis dan tingkat kerusakan buah cabai.
Mengingat sifat dari insektisida biorasional yang cepat terurai maka perlu diketahui
berapa lamakah minyak serai wangi tersebut dapat bertahan pada tanaman dan masih
efektif terhadap hama.
6. Bahan dan Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Rumah Kasa Balai Penelitian Tanaman
Sayuran Lembang pada suhu 27 2 derajat celcius dan kelembaban 75 80% mulai bulan
Mei 2009 sampai dengan bulan januari 2010
A. Pemeliharaan H. armigera.
Larva H. armigera diambil dari pertanaman cabai merah disekitar Lembang dan
diperbanyak di laboratorium dan rumah kaca hama Balai PenelitianTanaman Sayuran .
Larva dipelihara dalam botol koleksi dan diberi pakan alami (jagung muda). Setelah larva
memasuki instar akhir atau sudah berbentuk pupa, serangga dipindahkan ke dalam keler5

keler plastik yang telah diberi larutan madu 10% sebagai makanan imago. Untuk rearing
massal dimasukkan 10 pasang imago umur 1 3 hari ke dalam keler-keler plastic (50 x
50 x 50 cm) dilapisi dengan kertas saring dan ditutup dengan screen sebagai tempat
peletakkan telur dan diberi larutan madu 10% sebagai makanan imago. Larva instar I, II,
dan III dari hasil perbanyakan (rearing) digunakan sebagai bahan penelitian.
B . Pengujian Persistensi Minyak Serai Wangi dalam Tanaman Cabai dan
Pengaruhnya terhadap Mortalitas Larva H. armigera
Tanaman cabai umur kurang lebih enam puluh hari ditanam dalam pot dan
diletakkan dalam rumah kaca. Tanaman tersebut disemprot dengan larutan minyak serai
wangi konsentrasi 2000 ppm. Pada 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 hari setelah aplikasi, masing
masing 10 ekor larva H. armigera diinokulasikan ke dalam tanaman cabai. Setiap
peelakuan diulang empat kali. Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas larva H.
armigera
C . Pengujian Persistensi Minyak Serai Wangi dalam Tanaman Cabai dan
Pengaruhnya terhadap Tingkat Kerusakan Tanaman Cabai oleh Larva H. armigera
Cara menghitung tingkat kerusakan tanaman cabai menggunakan rumus :
(nxv)
P = ---------------- x 100%
ZN
P
N
V
Z
N

=
=
=
=
=

Intensitas serangan
Banyaknya bagian tanaman (buah) yang diamati dari setiap katagori serangan
Nilai skala dari setiap kategori serangan ( 0 4 )
Nilai skala dari setiap kategori serangan yang tertinggi
Banyaknya tanaman atau buah yang diamati

D. Rancangan Percobaan
Rancangan penelitian yang digunakan pada percobaan ini adalah Rancangan Acak
Kelompok terdiri atas 8 perlakuan termasuk kontrol dengan 4 ulangan. Data peubah

pengamatan dinalisis dengan sidik ragam, jika terdapat perbedaan pengaruh perlakuan
yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A . Persistensi Minyak Serai Wangi pada Tanaman Cabai dan Pengaruhnya


terhadap Mortalitas Larva
Hasil pengamatan terhadap mortalitas larva H. armigera akibat perlakuan residu
minyak serai wangi ( 2000 ppm) yang disemprotkan ke tanaman cabai dapat dilihat pada
gambar 1.

70
60
50
40
30
20
10
0
0
1
2
3
4
5
6
7
HSP HSP HSP HSP HSP HSP HSP HSP
Hari Setelah Pemaparan
Gambar 1. : Persistensi Minyak Seraiwangi Terhadap larva H. armigera.

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa mortalitas larva H. armigera terus
meningkat sejalan dengan lamanya pemaparan (aplikasi ) dan mencapai puncaknya pada
4 (empat) HSP. Pada 5, 6,dan 7 hari setelah pemaparan mortalitas larva menurun
kembali, secara statistik mortalitas larva H. armigera tidak berbeda nyata. Hasil
pengamatan tersebut menunjukkan bahwa residu minyak serai wangi atau lamanya
minyak serai wangi yang terdapat dalam tanaman cabai hanya berkisar antara 1 4 hari
setelah pemaparan. Minyak serai wangi sebagai insektisida nabati mempunyai tingkat
persistensi yang relatif rendah. Isman (2000) menyatakan bahwa minyak serai wangi
tersusun dari berbagai campuran aroma (odorous) dan berbagai senyawa yang mudah
menguap akibatnya cepat sekali terurai di lingkungan. Oleh sebab itu, interval aplikasi
minyak serai wangi di lapangan dianjurkan 6 7 hari sekali . Jadi petani dapat
mengaplikasikannya beberapa hari sebelum panen karena aman terhadap lingkungan. Hal
ini sependapat dengan Dekeyser (2005) yang menyatakan bahwa insektisida generasi
baru harus bersifat selektif terhadap organisme bukan sasaran dan non persisten terhadap
lingkungan

B . Persistensi Minyak Serai Wangi pada Tanaman Cabai dan Pengaruhnya


terhadap Tingkat Kerusakan tanaman Cabai oleh Hama H. armigera
Hasil pengamatan terhadap tingkat kerusakan tanaman cabai akibat perlakuan residu
minyak serai wangi (2000 ppm) dapat dilihat pada Gambar 2.

80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 HSP 1 HSP 2 HSP 3 HSP 4 HSP 5 HSP 6 HSP 7 HSP

HARI SETELAH PEMAPARAN


Gambar 2. : Persistensi Minyak Seraiwangi Terhadap Kerusakan Tanaman oleh Larva H.
armigera.

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa tingkat kerusakan tanaman akibat
serangan larva H. armigera terus meningkat sejalan dengan lamanya pemaparan
(aplikasi) dan mencapai puncaknya pada 4- 5 hari setelah pemaparan (HSP). Pada 1 -3
hari setelah pemaparan, kematian (mortalitas) larva H. armigera akibat minyak
seraiwangi semakin meningkat akibatnya larva sedikit yang merusak atau memakan buah
cabai. Pada 5 7 hari setelah pemaparan, kematian larva semakin berkurang karena
residu minyak seraiwangi sudah mulai terurai akibatnya tingkat kerusakan tanaman cabai
mulai meningkat. Jadi besarnya tingkat kerusakan tanaman cabai terjadi sesuai dengan
populasi larva H. armigera yang diinokulasikan pada tanaman tersebut. Secara statistik
tingkat kerusakan tanaman oleh larva H. armigera tidak berbeda nyata.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :


1 . Minyak sereh wangi mempunyai peluang atau potensi untuk dijadikan insektisida
terhadap hama Heliothis armigera.
2 . Residu minyak sereh wangi atau lamanya minyak sereh wangi masih efektif di dalam
pakan H. armigera hanya berkisar antara 1 4 hari setelah pemaparan. Dengan kata lain
minyak sereh wangi merupakan insektisida nabati yang mempunyai tingkat persistensi
relative rendah

SARAN
Apabila akan diaplikasikan ke lapangan , penggunaan minyak sereh wangi dianjurkan
intervalnya 7 hari sekali

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W., R. Sinung Basuki, Y.Hilman dan B.K.Udiarto. 1997. Studi Base Line
Identifikasi dan pengembangan teknologi PHT pada tanaman cabai di Jawa
Barat. Kumpulan Makalah Seminar Hasil Penelitian Pendukung OHT.
Program Nasional Deptan. Jakarta.
Ahmad, M., M.I.Arif and Z. Ahmad. 2001. Resistance to Carbamate Insecticides in H.
armigera ( Lepidoptera : Noctuidae) in Pakistan. Bull. Entomology. Res. 87 :
343-347.
Deperin. 2007. Studi Nasional Komuditi Minyak Atsiri, Direktorat Industri Kimia dan
Bahan Bangunan, Ditjen IKM, Dep.Perindustrian Jakarta.
10

Duriat, A.S. 1996. Teknologi Produksi Cabai Merah. Balitsa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Hasyim, A., W. Setiawati dan R. Murtiningsih. 2010. Efficacy and Persistence of
Citronella Oil as a Biopesticide Against H. armigera. In Press
Hubagyo dan Losowinarto. 1995. Pengaruh Insektisida Sintetis dan Cairan Tanaman
Rempah terhadap Serangan Kutu Daun Myzus persicae pada Tanaman
Kentang. Bull.Penel. Hort. Vol.XXVII no. 4
Isman, M.B. 2000. Plant Essensial Oils for Pest and Diseases Management. Crop Prot.
Luther, G., M. Palada., T.C.Wang., A. Dibyantoro., J. Marjono., M. Ameriana, Sutoyo
and D. Bimantoro. 2007. Chilli Integrated Diseases Management Rapid Rural
Appraisal in Caentral Java Indonesia. March 2007. AVRDC The World
Vegetable Centre.
Oka, I.M. 1993. Penggunaan , Permasalahan serta Prospek Pestisida Nabati
dalamPengendalian Hama Terpadu. Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka
Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor
Rizal., Molide. 2009. Pemanfaatan Tanaman Atsiri Sebagai Pestisida Nabati. Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor
Sosromarsono, S. 1990. Peranan Sumber hayati dalam Pengelolaan Serangga dan
Tungau. Makalah Utama dan Abstrak Seminar Pengelolaan Serangga Hama
dan Tungau. PAU Hayati ITB Bandung
Suprianto, S. 1996. Efikasi Insektisida Biorasional terhadap Hama Thrips palmi pada
Tanaman Kentang di Lapangan. Skripsi. Faperta Unbar

11

% Mortalitas Larva

% Tingkat Kerusakan Tanaman

12

Anda mungkin juga menyukai