Anda di halaman 1dari 8

TUGAS LAPORAN

5 TEMPAT BERSEJARAH
DI SOLO

Disusun oleh:

Muchammad Suryo Maulana Akbar


8C/29

SMP N 4 SURAKARTA

Pasar gedhe hardjonagoro

Pada zaman kolonial Belanda, Pasar Gede mulanya merupakan sebuah


pasar kecil yang didirikan di area seluas 10.421 hektare, berlokasi di
persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang berubah fungsi menjadi
Balaikota Surakarta. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda
bernama Ir. Thomas Karsten. Bangunan pasar selesai pembangunannya pada
tahun 1930 dan diberi nama Pasar Gedh Hardjanagara. Pasar ini diberi nama
pasar gedh atau pasar besar karena terdiri dari atap yang besar. Seiring
dengan perkembangan masa, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di
Surakarta. Pasar gede terdiri dari dua bangunan yang terpisahkan jalan yang
sekarang disebut sebagai Jalan Sudirman. Masing-masing dari kedua bangunan
ini terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap
singgasana yang kemudian diberi nama Pasar Gedh dalam bahasa Jawa.
Arsitektur Pasar Gede merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan
gaya Jawa. Pada tahun 1947, Pasar Gede mengalami kerusakan karena serangan
Belanda. Lalu Pemerintah Republik Indonesia yang kemudian mengambil alih
wilayah Surakarta dan Daerah Istimewa Surakarta kemudian merenovasi kembali
pada tahun 1949. Namun perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah
indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua
dari Pasar Gede, digunakan untuk kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai
pasar buah.
Pasar Gede terletak di seberang Balaikota Surakarta pada jalan Jendral
Sudirman dan Jalan Pasar Gede di perkampungan warga keturunan Tionghoa
atau Pecinan yang bernama Balong dan terletak di Kelurahan Sudiroprajan. Para
pedagang yang berjualan di Pasar Gede banyak yang keturunan Tionghoa pula.
Budayawan Jawa ternama dari Surakarta Go Tik Swan yang seorang keturunan
Tionghoa, ketika diangkat menjadi bangsawan oleh mendiang Raja Kasunanan
Surakarta, Ingkang Sinuhun Pakubuwana XII mendapat gelar K.R.T. (Kangjeng
Raden Tumenggung) Hardjonagoro karena kakeknya adalah kepala Pasar Gedh
Hardjonagoro.
Dekatnya Pasar Gede dengan komunitas Tionghoa dan area Pecinan bisa
dilihat dengan keberadaan sebuah kelenteng, persis di sebelah selatan pasar ini.
Kelenteng ini bernama Vihara Avalokitevara Tien Kok Sie dan terletak pada Jalan
Ketandan.
Selain pernah terkena serangan Belanda pada tahun 1947, Pasar Gede
tidak luput pula terkena serangan amuk massa yang tidak bertanggung jawab.
Meski luput serangan pada Peristiwa Mei 1998, pada bulan Oktober 1999 dengan
tidak dipilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Indonesia meski
mendapat suara terbanyak, Pasar Gede dibakar oleh amuk massa. Namun usaha
renovasi dengan mempertahankan arsitektur asli bisa berjalan dengan cepat dan
dua tahun kemudian pada penghujung tahun 2001, pasar yang diperbaiki bisa
digunakan kembali. Bahkan pasar yang baru tergolong canggih karena ikut pula
memperhatikan keperluan para penyandang cacat dengan dibangunnya
prasarana khusus bagi pengguna kursi roda.

Benteng vastenburg

Benteng Vastenburg adalah benteng peninggalan Belanda yang terletak di


kawasan Gladak, Surakarta. Benteng ini dibangun tahun 1745 atas perintah
Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Sebagai bagian dari pengawasan Belanda
terhadap penguasa Surakarta, khususnya terhadap keraton Surakarta, benteng
ini dibangun, sekaligus sebagai pusat garnisun. Di seberangnya terletak
kediaman gubernur Belanda (sekarang kantor Balaikota Surakarta) di kawasan
Gladak.
Bentuk tembok benteng berupa bujur sangkar yang ujung-ujungnya
terdapat penonjolan ruang yang disebut seleka (bastion). Di sekeliling tembok
benteng terdapat parit yang berfungsi sebagai perlindungan dengan jembatan di
pintu depan dan belakang. Bangunan terdiri dari beberapa barak yang terpisah
dengan fungsi masing-masing dalam militer. Di tengahnya terdapat lahan
terbuka untuk persiapan pasukan atau apel bendera.
Setelah kemerdekaan, benteng ini digunakan sebagai markas TNI untuk
mempertahankan kemerdekaan. Pada masa 1970-1980-an bangunan ini
digunakan sebagai tempat pelatihan keprajuritan dan pusat Brigade Infanteri
6/Trisakti Baladaya Kostrad untuk wilayah Karesidenan Surakarta dan sekitarnya.

Setelah lama tidak terpakai sejak 1980-an, benteng ini penuh semak
belukar dan tak terawat.Sejak kepemimpinan Ir.H.Joko Widodo, perubahan dan
restorasi mulai terlihat. Pada tahun 2014, restorasi terhadap Benteng Vastenburg
sangat terlihat dari cat yang mengelupas dicat ulang dengan warna putih.

Keraton kasunanan Surakarta

Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah


yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755.
Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan
Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati
bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta
dan Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti
Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya
masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar
Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu
menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun
1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan
Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat
serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan
dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat di
Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali
berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan
sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang
menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru
di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar".
Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso
(bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar
Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta
komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu
kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah

tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan
Solo. Untuk pembangunan kraton ini, Pakubuwono II membeli tanah seharga
selaksa keping emas[1] yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang
dikenal sebagai Ki Gede Sala. Di tengah pembangunan Kraton, Ki Gede Sala
meninggal dan dimakamkan di area kraton.
Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat
pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?]
menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri
dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai
ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670
Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana
III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan
rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun
pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu
dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan
diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran
Sambernyawa (Mangkunagara I).

Masjid agung Surakarta

Masjid Agung Kraton Surakarta (nama resmi bahasa Jawa: Masjid Ageng
Karaton Surakarta Hadiningrat) pada masa pra-kemerdekaan adalah masjid

agung milik kerajaan (Surakarta Hadiningrat) dan berfungsi selain sebagai


tempat ibadah juga sebagai pusat syiar Islam bagi warga kerajaan.
Masjid Agung dibangun oleh Sunan Pakubuwono III tahun 1763 dan selesai
pada tahun 1768. Masjid ini merupakan masjid dengan katagori masjid jami',
yaitu masjid yang digunakan untuk salat berjamaah dengan ukuran makmum
besar (misalnya salat Jumat dan salat Ied). Dengan status sebagai masjid
kerajaan, masjid ini juga berfungsi mendukung segala keperluan kerajaan yang
terkait dengan keagamaan, seperti Grebeg dan festival Sekaten. Raja (Sunan)
Surakarta berfungsi sebagai panatagama (pengatur urusan agama) dan masjid
ini menjadi pelaksana dari fungsi ini. Semua pegawai mesjid diangkat menjadi
abdi dalem kraton, dengan gelar seperti Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu
Tafsiranom (untuk penghulu) dan Lurah Muadzin untuk juru adzan.

Kelengkapan masjid
Masjid Agung menempati lahan seluas 19.180 meter persegi yang
dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25
meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta merupakan bangunan bergaya tajug
yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka (mahkota). Gaya bangunan
tradisional Jawa ini adalah khusus untuk bangunan masjid.
Di dalam kompleks Masjid Agung dapat dijumpai berbagai bangunan
dengan fungsi kultural khas Jawa-Islam. Juga terdapat maksura, yang merupakan
kelengkapan umum bagi masjid kerajaan.

Kawasan pagar

Pagar keliling, dibangun pada masa Sunan Pakubuwana VIII tahun 1858.

Gapura, ada tiga pintu masuk, dengan gapura utama berbentuk


paduraksa berada di sisi timur menghadap alun-alun dan dua gapura kecil
di sisi utara dan selatan.

Kawasan halaman masjid

Pagongan, terdapat di sisi utara dan selatan setelah memasuki gapura


utama masjid. Bentuk berupa pendapa dengan ukuran bangunan sama.

Fungsinya adalah sebagai tempat gamelan kraton diletakkan dan


dimainkan sewaktu perayaan Sekaten (festival memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW).

Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Shalat Jumat dan Gerebeg,
diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung
Surakarta.

Gedung PGA Negeri, didirikan oleh Sunan Pakubuwana X (1914) dan


menjadi milik kraton.

Menara adzan, mempunyai corak arsitektur terinsirasi dari Qutub Minar di


Delhi, India. Didirikan pada tahun 1928 (masa Sunan Pakubuwana XI).

Istiwak, yaitu gnomon (pancang) yang menjadi bagian jam matahari untuk
menentukan waktu shalat.

Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para


abdi dalem yang mengurusi masjid.

Kawasan masjid

Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag


rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung.

Ruang Utama, mempunyai empat saka guru dan dua belas saka rawa.
Kelengkapan yang ada antara lain adalah mihrab, maksura, dan mimbar
sebagai tempat khatib.

Pawestren sebagai tempat salat untuk wanita dan balai rapat.


Tempat berwudhu.

Keratron mangkoenegaran Surakarta

Pura (Puro) Mangkunegaran adalah istana tempat kediaman Sri Paduka


Mangkunagara di Surakarta dan dibangun setelah tahun 1757 dengan mengikuti
model keraton yang lebih kecil.
Secara arsitektur bangunan ini memiliki ciri yang sama dengan keraton,
yaitu pada pamedan, pendopo, pringgitan, dalem, dan kaputran, yang
seluruhnya dikelilingi oleh tembok yang kokoh.
Pura ini dibangun setelah Perjanjian Salatiga yang mengawali pendirian
Praja Mangkunegaran dan dua tahun setelah dilaksanakannya Perjanjian Giyanti
yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta oleh VOC (Kompeni) pada tahun 1755. Kerajaan Surakarta
terpisah setelah Pangeran Raden Mas Said terus memberontak pada VOC
(Kompeni) dan atas dukungan sunan mendirikan kerajaan sendiri tahun 1757.
Raden Mas Said memakai gelar Mangkunegoro I dan membangun wilayah
kekuasaannya di sebelah barat tepian Sungai Pepe (Kali Pepe) di pusat kota yang
sekarang bernama Solo.

Seperti bangunan utama di keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta,


Puro Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan selama puncak masa
pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah. Perubahan ini tampak pada ciri
dekorasi Eropa yang popular saat itu.

Anda mungkin juga menyukai