5 Tempat Bersejarah
5 Tempat Bersejarah
5 TEMPAT BERSEJARAH
DI SOLO
Disusun oleh:
SMP N 4 SURAKARTA
Benteng vastenburg
Setelah lama tidak terpakai sejak 1980-an, benteng ini penuh semak
belukar dan tak terawat.Sejak kepemimpinan Ir.H.Joko Widodo, perubahan dan
restorasi mulai terlihat. Pada tahun 2014, restorasi terhadap Benteng Vastenburg
sangat terlihat dari cat yang mengelupas dicat ulang dengan warna putih.
tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan
Solo. Untuk pembangunan kraton ini, Pakubuwono II membeli tanah seharga
selaksa keping emas[1] yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang
dikenal sebagai Ki Gede Sala. Di tengah pembangunan Kraton, Ki Gede Sala
meninggal dan dimakamkan di area kraton.
Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat
pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?]
menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri
dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai
ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670
Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana
III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan
rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun
pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu
dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan
diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran
Sambernyawa (Mangkunagara I).
Masjid Agung Kraton Surakarta (nama resmi bahasa Jawa: Masjid Ageng
Karaton Surakarta Hadiningrat) pada masa pra-kemerdekaan adalah masjid
Kelengkapan masjid
Masjid Agung menempati lahan seluas 19.180 meter persegi yang
dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25
meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta merupakan bangunan bergaya tajug
yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka (mahkota). Gaya bangunan
tradisional Jawa ini adalah khusus untuk bangunan masjid.
Di dalam kompleks Masjid Agung dapat dijumpai berbagai bangunan
dengan fungsi kultural khas Jawa-Islam. Juga terdapat maksura, yang merupakan
kelengkapan umum bagi masjid kerajaan.
Kawasan pagar
Pagar keliling, dibangun pada masa Sunan Pakubuwana VIII tahun 1858.
Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Shalat Jumat dan Gerebeg,
diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung
Surakarta.
Istiwak, yaitu gnomon (pancang) yang menjadi bagian jam matahari untuk
menentukan waktu shalat.
Kawasan masjid
Ruang Utama, mempunyai empat saka guru dan dua belas saka rawa.
Kelengkapan yang ada antara lain adalah mihrab, maksura, dan mimbar
sebagai tempat khatib.