Anda di halaman 1dari 14

Penelitian Teori Grounded

Sebagai Alternatif Model Analisis Dalam Studi-studi Kualitatif


Sanafiah Faisal
Bermula dari Glaser dan Strauss
Penelitian teori grounded diintrodusir oleh Glaser dan Strauss melalui karya
monumental mereka The Discovery of Grounded Theory (1967). Sesuai dengan judul karya
tersebut, Glaser dan Strauss berupaya mengenalkan suatu corak penelitian untuk menemukan
teori berdasarkan data.
Menemukan teori berdasarkan data yang diperkenalkan Glaser dan Strauss tersebut
merupakan barang baru, dan boleh dikatakan berlawanan sama sekali dengan pendekatan
klasik (clasical appoarch) yang telah berlangsung sedemikian mapan dalam dunia ilmu
pengetahuan. Penelitian teori Grounded yang ditawarkan Glaser dan Strauss memang
dimaksudkan sebagai pendekatan alternatif terhadap pendekatan klasik.
Pada pendekatan klasik, suatu penelitian menggunakan logika deduktiko-hipotetikovertifikatif. Dalam penerapan logika tersebut, penelitian dirancang untuk memferifikasi benar
salahnya hipotesis yang diderivasi dari suatu teori. Penelitian berpola demikian lazim disebut
dengan istilah penelitian verifikatif atau studi verifikatif.
Suatu studi verifikatif, tahap pertama lazimnya bergerak dilevel teoritikal atau level
konseptual. Ditahap ini, peneliti merumuskan definisi konseptual dari konsep-konsep yang
secara teoritis diperkirakan saling berhubungan satu sama lain. Kemudian merumuskan
proposisi (hipotesis level konseptual) yang menyatakan bagaimana kecenderungan hubungan
antara konsep dimaksud. Tahap kedua merupakan upaya menjembatani kesenjangan (gap)
antara level konseptual-teoritikal dan level empirikal (level data). Ditahap ini lazimnya
berupa usaha penyusunan definisi operasional, menentukan cara beserta ukuran untuk
mengukur konsep-konsep secara empiris, dan merumuskan hipotesis yang dapat diuji
berdasarkan ukuran-ukuran empiris. Tahap ketiga atau rerakhir adalah mengumpulkan data
dan menganalisisnya untuk menguji benar salahnya suatu hipotesis. Pola demikian itu, bila di
diagramkan akan tampak seperti berikut :
DIAGRAM 1 : PENGUJIAN HIPOTESIS
Level Konseptual
Level Empiral

X1

Y1

Pendekatan klasik yang bergerak dari level konseptual-teoritikal ke level empirikal


(data) semacam itu, oleh Glaser dan Strauss digugat dengan menumpahkan berbagai rupa
titik lemahnya. Sebagai gantinya, mereka menawarkan suatu pendekatan baru yang bukan
bergerak dari level atas ke level bawah, melainkan bergerak sebaliknya, yaitu dari level
empirikal menuju ke level konseptual-teoritikal. Itulah yang mereka sebut penelitian teori
Grounded, atau penelitian untuk menemukan teori data (Discovery of Grounded Theory).
Pada pendekatan ini, dari datalah suatu konsep dibangun. Dari datalah suatu hipotesis
dibangun dan dari data itulah suatu teori dibangun.
Pada penelitian teori Grounded, penelitian langsung terjun ke lapangan tanpa
membawa rancangan konseptual, teori, dan hipotesis tertentu. Secara propokatif malah sering
dikatakan supaya peneliti masuk kelapangan dengan kepala kosong, tanpa membawa
apapun yang sifatnya a priori, apakah itu konsep, teori ataukah hipotesis. Sebab, dengan
membawa konsep, teori, hipotesis bersifat a priori dikuatirkan akan menjebak pada
penyakit studi verifikatif yang memaksa level empirikal menyesuaikan diri dengan apa
maunya level konseptual-teoritikal.
Dengan keadaan kepala kosong, peneliti diharapkan bisa sepenuhnya terpancang
kepada kenyataan berdasarkan data lapangan itu sendiri, baik dalam mendeskripsikan apa
yang terjadi maupun dalam menjelaskan kemengapaannya. Dengan demikian, apa yang
ditemukan (berupa konsep, hipotesis, teori) benar-benar berdasarkan data hasil observasi
yang dikembangkan secara induktif. Itulah yang dilakukan Glaser dan Strauss ketika mereka
meneliti pasien-pasien rumah sakit yang sedang sekarat.
Contoh Penelitian Glaser dan Strauss
Penemuan teori berdasarkan data (The Discovery of Grounded Theory) dicontohkan
oleh Glaser dan Strauss berdasarkan pengalaman penelitian mereka terhadap para pasien
yang tengah sekarat. Kedua peneliti tersebut menyaksikan (berdasarkan hasil observasi)
suatu fenomena tersebut menyaksikan staf rumah sakit terhadap para pasien yang tengah
sekarat (dying patients).
Fenomena tersebut mengundang rasa ingin tahu Glaser dan Straus, dan mereka
tertarik untuk menemukan suatu jawaban mengapa staf rumah sakit memberikan pelayanan
berbeda kepada pasien yang kondisinya sama-sama keadaan sekarat. Dari situlah mereka
mengambil ancang-ancang untuk mengumpulkan data mengenai hal tersebut. Mereka
melacak apa yang dilakukan staf rumah sakit (dalam kerangka pelayanan) terhadap para
pasien yang tengah sekarat, dan dari situlah muncul konsep dan kategori tentang kualitas

pelayanan staf rumah sakit tampaknya memang berbeda terhadap para pasien sekarat. Ada
yang kualitas pelayanannya tergolong baik, dan ada pula yang kualitas pelayanannya
tergolong kurang baik.
Mengapa kualitas pelayanan yang diberikan pada pasien yang sekarat itu berbedabeda? Data apakah yang bisa memberikan jawaban terhadap fenomena tersebut?
Untuk itu, Glaser dan Strauss mencoba merekam secara cermat peristiwa interaksi staf
rumah sakit (selaku pemberi layanan) dengan keluarga pasien yang setia mendampingi sang
pasien. Simbol-simbol yang muncul dalam peristiwa interaksi, misalnya ucapan dokter yang
menyatakan waduh kasihan, anaknya masih kecil-kecil, simbol yang muncul saat interaksi
ternyata mengarah sebagai indikasi tentang persepsi staf rumah sakit tentang seberapa
penting nilai guna sang pasien sekarat itu bagi keluarga beserta tempat kerja mereka
masing-masing. Sesuai dengan data yang mereka kumpulkan itu, Glaser dan Strauss lalu
memunculkan konsep dan kategori tentang kerugian sosial (social loss). Ada pasien-pasien
sekarat yang oleh staf rumah sakit dipersepsi besar nilai kerugian sosialnya manakala sang
pasien sampai meninggal dunia. Dan, ada pula pasien-pasien yang dipersepsi kecil nilai
kerugian sosialnya manakala sang pasien sampai meninggal dunia. Persepsi tentang besar
kecil nilai kerugian sosial tersebut, oleh Glaser dan Strauss ditempatkan sebagai suatu
kategori (lazim disebut variabel dalam penelitian kuantitatif) yang diperkirakan bisa
menjelaskan mengapa terjadi perbedaan kualitas pelayanan terhadap para pasien. Sebab,
indikasi ke arah itu memang kuat, dan itulah yang dikembangkan menjadi hipotesis.
Data tentang kualitas pelayanan yang diberikan staf rumah sakit kepada pasien, dan
data tentang persepsi staf rumah sakit mengenai besar kecil nilai kerugian sosial sang pasien,
ternyata secara meyakinkan saling berhubungan satu sama lain. Pasien-pasien yang
dipersepsi besar nilai kerugian sosialnya cenderung tergolong baik kualitas pelayanan yang
diperoleh, sedangkan para pasien yang dipersepsi kecil nilai kerugian sosialnya cenderung
tergolong kurang baik kualitas pelayanan yang diperoleh. Berarti, persepsi staf rumah sakit
tentang besar kecil nilai kerugian sosial pasien menentukan bagaimana kualitas pelayanan
yang mereka berikan kepada masing-masing pasien. Itulah inti teori yang ditemukan Glaser
dan Strauss. Suatu teori yang dibangun berdasrkan data, atau sepenuhnya dikembangkan
secara induktif berdasarkan hasil observasi. Dengan pengalaman tersebut, Glaser dan Stauss
lalu menawarkan suatu corak penelitian jenis baru, yang hingga sekarang populer dengan
sebutan penelitian grounded, atau lebih tepatnya penelitian untuk menemukan teori
grounded. Untuk lebih ringkas, barangkali tak terlampau salah bila dinamakan Penelitian
Teori Grounded.

Contoh dari Pengalaman Sendiri


Penelitian disertasi saya tentang budaya kerja petani di Sumbawa juga menggunakan
pendekatan alternatif sebagaimana ditawarkan Glaser dan Strauss di dalam upaya
mengembangkan teori. Teori yang saya temukan sepenuhnya berdasarkan data. Malah,
dikembangkan berdasarkan perspektif emik atau berdasarkan perspektif para petani pelaku
budaya itu sendiri. Tidak seperti dalam contoh Glaser dan Strauss, yang amat kentara
menggunakan perspektif etik; karena, menonjol menggunakan ukuran atau takaran peneliti
itu sendiri, baik di dalam memaknakan kualitas pelayanan maupun di dalam memaknakan
simbol-simbol berkenaan dengan persepsi staf rumah sakit. Penggunaan persepsi etik
semacam itu tak sesuai dengan prinsip dasar hermeneutika ganda dalam teori strukturasi
Giddens.
Karenanya, dalam upaya mengembangkan teori, saya memadukan prosedur penelitian
teori grounded Glaser dan Strausss dengan prinsip-prinsip hermeneutika ganda Giddens.
Menurut prinsip hermeneutika ganda Giddens, teori yang ditemukan harus bertitik tolak dari
penafsiran tingkat pertama (the firs orde understanding). Atau harus dikembangkan
berdasarkan perspektif para pelaku yang menjadi subjek penelitian itu sendiri. Berarti harus
mendasarkan diri pada perspektif emik untuk beranjak menuju penafsiran tingkat kedua (the
second order understanding). Suatu teori yang ditemukan tergolong penafsiran tingkat kedua,
dan itu harus memakai bahan baku penafsiran tingkat pertama.
Teori yang saya temukan berkenaan dengan sumber heterogenitas budaya kerja
dikalangan petani. Sebelum melangkah ke upaya menemukan teori, pertama-tama saya
menemukan tipologi budaya kerja petani berdasarkan praktik beserta konsep dan kategori
setempat. Tipologi dimaksud, setelah ditransformasi kedalam istilah yang lebih formal dan
umum dikenal, gambarannya seperti terlihat pada gambar berikut ini.
KADAR KETERPANGGILAN :
OPTIMALISASI SUMBER DAYA PRODUKSI

TINGGI
PRODUKTIF
R

KONSUMTIF

E
N
D
A
H

PRODUKTIF
ASKETIS

SUBSISTEM
TRADISIONAL

SUBSISTEN
KONSUMTIF

T
I
N

SUBSISTEN
RENDAH
TIPOLOGI BUDAYA KERJA PETANI

ASKETIS

G
G
I

Kadar
Asketism:
Kapitalisasi
Hasil
Produksi

Itu menunjukkan bahwa para petani tempat penelitian beragam kategori budaya
kinerjanya. Ada yang tergolong produktif asketis, ada yang tergolong produktif konsumtif,
ada yang tergolong subsisten produktif, ada yang tergolong subsisten tradisional. Mengapa
mereka memiliki budaya kerja yang berbeda-beda? Apakah yang menjadi sumber (penjelas)
dari heterogenitas budaya kerja tersebut?
Hasil observasi awal ditempat penelitian mengisyaratkan ada kaitan erat antara
budaya kerja seseorang petani (kepala keluarga) dan latar belakang posisi ekonomi beserta
budaya kerja orang tua mereka masing-masing. Para petani yang berbudaya kerja produktif
asketis, misalnya terlihat menonjol melekat pada mereka yang berasal dari keluarga kurang
mampu secara ekonomi, dan orang tuanya juga dikenal berbudaya kerja produktif asketis.
Sebaliknya, petani yang berbudaya kerja subsisten konsumtif terlihat menonjol melekat pada
mereka yang berasal dari kalangan elit ekonomi dan politik setempat. Orang tua mereka juga
rata-rata berbudaya subsisten konsumtif.
Berdasarkan kenyataan demikian itu, secara hipotik dapat dinyatakan bahwa penjelas
dari heterogenitas budaya kerja petani setempat terletak pada bagaimana posisi ekonomi
beserta budaya kerja yang diwariskan orang tua mereka masing-masing. Bila kenyataannya
memang demikian, berarti sejalan dengan teori hasil belajar sosial (social learning), dan
sedikit banyak seiring pula dengan teori-teori yang tergolong determinisme ekonomi.
Apakah posisi ekonomi beserta tempaan hasil belajar dalam lingkungan keluarga bisa
sepenuhnya menjelaskan fenomena heterogenitas budaya kerja petani setempat? Apakah
tidak ada kasus-kasus yang bersifat menyanggah (negative case)?
Hasil observasi dan pelacakan lebih lanjut ditempat penelitian menunjukkan suatu
kenyataan yang kian kompleks, dikarenakan terdapat berbagai rupa kasus penyanggah.
Mereka yang tergolong berbudaya kerja produktif asketis, misalnya latar belakang posisi
ekonomi keluarganya juga beragam. Selain berasal dari keluarga kurang mampu, juga ada
yang berasal dari keluarga cukup mampu dan bahkan ada pula yang berasal dari keluarga
kaya raya. Latar belakang budaya kerja orang tua mereka juga beragam. Ada yang orang
tuanya memang tergolong berbudaya kerja produktif asketis, tetapi ada pula yang tidak
demikian. Kompleksitas semacam itu juga terjadi pada mereka yang berbudaya kerja
produktif konsumtif, subsisten asketis, subsisten konsumtif, dan subsisten tradisional.
Berdasarkan kasus-kasus yang terdapat dikalangan petani setempat, pola tipikal keragaman
seperti terlihat pada tabel dibawah.

POLA TIPIKAL KERAGAMAN LATAR BELAKANG BUDAYA KERJA DAN POSISI


EKONOMI ORANG TUA MENURUT KATEGORI BUDAYA KERJA DI KALANGAN
Budaya Kerja

PETANI TEMPAT PENELITIAN


Pola
Latar Belakang
Orang Tua

Petani
Kiak

Budaya Kerja
1

Basangada

Kiak

Contoh Kasus

Posisi Ekonomi
Kurang

Halman

Cukup

Zadin

Kurang

Keman

Mampu

Mame

Mampu

Ure

Kurang

Mado

Kurang

Kembe

Cukup

Hure

Mampu

Tamal

Mampu

Hosa

Cukup

Asta

Mampu

Mali

Cukup

Hamus

Basangada
2

Tepang
Jangka

Ota-ota
Basanyaman

Tepang
Jangka

Ota-ota
Basanyaman

Kiak

Basanyaman

Kiak
Basanyaman

Kiak
Basangada

Ota-ota

Basangada

Ota-ota
Basangada

Ota-ota
Basanyaman

Kiak
Basangada

Ota-ota
Basanyaman

Ota-ota

Basanyaman

Ota-ota
Basanyaman

Tepang

Jangka
Tepang

Jangka

Tepang

Cukup

Habo

Mampu

Sali

Cukup

Kele

Mampu

Homal

Jangka
2

Kiak
Basangada

Ota-ota
Basangada

Ota-ota
Basangada

Pada tabel tersebut, kategori budaya kerja petani disebut sesuai dengan terminologi
lokal. Kiak basangada adalah padanan dari istilah produktif asketis. Kiak basanyaman
merupakan padanan dari istilah produktif konsumtif. Ota-ota basangada padanan dari istilah

subsisten asketis, ota-ota basanyaman padanan dari istilah subsisten asketis. Dan, tepang
jangka merupakan padanan dari istilah subsisten tradisional.
Pola yang terglong menonjol sebagai arus utama (maim stream) dimasing-masing
kategori budaya kerja adalah pola 1, sebab jumlah agen/pelaku yang tergolong berada
disetiap pola1 memang cenderung lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mereka yang
berbeda dipola lain (pola 2-5). Karenanya, wajar dan bisa dimengerti bila kesan awal (hasil
observasi) memperlihatkan adanya hubungan budaya kerja petani dengan latar belakang
posisi ekonomi dan budaya kerja orang tua mereka masing-masing. Tetapi dengan adanya
kasus-kasus negatif (penyanggah) seperti tercermin pada pola 2-5 maka diperlukan suatu
penjelasan lain, setidak-tidaknya penjelasan tambahan, yang bisa secara lebih memadai
menjelaskan sumber heterogenitas budaya kerja petani setempat.
Adakah penjelasan tambahan yang lebih memadai untuk menjelaskan sumber
heterogenitas budaya kerja dikalangan petani setempat? Apakah menonjolnya pola 1 sebagai
arus utama masing-masing kategori budaya kerja merupakan konsekuensi logis dari logika
ekonomi petani semata-mata? Adakah logika lain (non ekonomi) yang ikut bermain dalam
diri agen/pelaku budaya kerja? Bagaimanakah dengan kasus-kasus penyanggah yang terdapat
pada setiap kategori budaya kerja? Mengapa para petani (agen) pelaku budaya kerja yang
tergolong kasus penyanggah mengambil jalan berbeda, tak berperilaku kerja seiring sejalan
dengan pola menonjol yang menjadi arus utama? Adakah benang merah yang bisa
menjelaskan kesemuanya itu?
Setelah 17 petani yang merupakan contoh kasus masing-masing pola pada setiap
kategori budaya kerja dikaji kasusnya secara mendalam, tampak gamblang bahwa budaya
kerja masing-masing petani bersangkut paut dengan pertimbangan ila (rasa malu).
Bersangkut paut dengan rasa malu yang mereka kaitkan dengan soal citra diri dan
kehormatan diri ditengah masyarakat. Hal tersebut memang sesuai dengan etos, jiwa, atau
watak khas budaya lokal setempat yang menomorsatukan harga diri dan kehormatan ditengah
masyarakat. Teori yang saya temukan menunjukkan bahwa kategori budaya kerja petani
bergantung pada tinggi/rendah citra diri mereka ditengah masyarakat beserta tinggi/rendah
tantangan sosial yang dihadapai atas citra diri tersebut. Dalam konteks budaya setempat,
secara meyakinkan bisa dinyatakan bahwa sumber heterogenitas budaya kerja petani itu
seperti terlukis secara diagramatik di gambar berkut.

TANTANGAN SOSIAL

TINGGI
PRODUKTIF
R

ASKETIS

SUBSISTEM

E
N
D
A

PRODUKTIF
ASKETIS

TRADISIONAL
SUBSISTEN
KONSUMTIF

I
N

SUBSISTEN
RENDAH

ASKETIS

CITRA
DIRI

G
G
I

SUMBER HETEROGENITAS BUDAYA KERJA PETANI

Focus Group Discussion Untuk Analisis


Data Kualitatif
Burhan Bungin
Pendahuluan
Focus Group Discussion (FGD) adalah sebuah teknik pengumpulan data yang
umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema
menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan
dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan
tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang
peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti.
Lebih jauh lagi teknik ini digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap maknamakna intersubyektif yang sulit dimaknakan sendiri oleh peneliti karena dihalangi oleh
ketidaktahuan peneliti terhadap makna sesungguhnya dari orang-orang disekitar sebuah
fenomena yang sedang diteliti serta sejauh mungkin peneliti menghindari diri dari dorongan
subyektifitas peneliti tersebut.
Bangunan FGD dibangun berdasarkan asumsi; (a) keterbatasan individu selalu
tersembunyi pada ketidaktahuan kelemahan pribadi tersebut; (b) masing-masing anggota
kelompok saling memberi pengetahuan satu dengan yang lainnya dalam pergaulan kelompok;
(c) setiap individu dikontrol oleh individu lain, sehingga ia berupaya agar menjadi yang
terbaik; (d) kelemahan subyektif terletak pada kelemahan individu yang sulit dikontrol oleh
individu yang bersangkutan; (e) intersubyektif selalu mendekati kebenaran yang terbaik (pada
saat itu).

Diluar asumsi diatas, pandangan yang menyatakan kelompok memiliki pemikiran


yang lebih sempurna dari individu, memiliki kebenaran yang relatif tidak terbantahkan.
Karena umumnya kelebihan berpikir individu selalu dibatasi oleh bingkai berfikir pribadi
(frame of reference). Batasan-batasan ini membuat seorang menjadi egois, berfikir sempit,
berfikir terbatas, bahkan menghalangi progresivitas individu. Pada umumnya individu hanya
mampu memahami fenomena dari sisi dimana individu berada. Sehingga kehadiran orang
lain dari luar pribadi menjadi penolong terhadap kelemahan kritikal yang dimiliki individu.
Dengan demikian, pemaknaan yang dihasilkan oleh teknik ini adalah pemaknaan
intersubyektif, yang mana bisa jadi peran subyektivitas peneliti lebih kurang kecil atau lebih
besar, tergantung berapa jauh peran kelompok dalam proses-proses diskusi. Berdasarkan hal
itu, penggunaan FGD dimulai dari pertimbangan apakah teknik ini memang tepat digunakan
dalam suatu kasus penelitian, terutama apabila penelitian itu membutuhkan pemaknaan
intersubyektif. Sebagaimana diketahui, FGD digunakan hanya untuk mengungkapkan
fenomena yang meminta tanggapan (pemecahan) kelompok.
Sebagaimana juga teknik lainnya dalam penelitian kualitatif, FGD hanya dipakai
untuk tujuan menghimpun data sebanyak-banyaknya dari informan kelompok. Hanya saja
kalau metode lain, peneliti memperoleh data dari informan yang bersifat pribadi tanpa
melalui pergumulan sikap dan pendapat orang lain, sedangkan melalui FGD informasi yang
ditangkap peneliti adalah informasi kelompok, sikap kelompok, pendapat kelompok dan
keputusan kelompok terhadap sebuah fenomena.
Dengan demikian maka kebenaran informasi bukan lagi kebenaran perorangan
(subjektif) namum menjadi kebenaran intersubjektif. Karena selama diskusi berlangsung
masing-masing orang tidak saja memperhatikan pendapatnya sendiri namun ia juga
mempertimbangkan apa yang dikatakan oleh peserta FGD.
Fokus diskusi dalam FGD adalah fenomena yang dirasakan banyak orang, atau
permunculan dilakukan oleh banyak orang, atau melibatkan banyak orang, bahkan fenomena
itu berlangsung diantara banyak orang, seperti umpamanya kenakalan anak, televisi,
kriminalitas, pendidikan anak, moneter dan sebagainya.
Keterlibatan Peserta FGD
Di dalam proses FGD, peneliti melibatkan berbagai pihak yang dipandang dapat
memberi sumbangan pemikiran terhadap persoalan yang didiskusikan. Namun karena
kapasitas

merupakan

pertimbangan

kualitas

diskusi,

maka

peneliti

juga

harus

mempertimbangkan siapa saja yang akan menjadi peserta FGD, siapa pula narasumber.

Pertimbangan menentukan siapa yang terlibat dalam FGD berkaitan dengan beberapa hal; (a)
keahlian atau kepakaran seseorang dalam kasus yang akan didiskusikan; (b) pengalaman
praktis dan kepedulian terhadap fokus masalah; (c) pribadi terlibat dalam fokus masalah;
(d) tokoh otoritas terhadap kasus yang didiskusikan; (e) masyarakat awam yang tidak tahu
menahu dengan masalah tersebut namun ikut merasakan persoalan sebenarnya.
Gambar : Situasi Diskusi Pelaksanaan FGD
P

P
P

M
MEJA

NT
P
N
P

Keterangan;
M = Moderator (pimpinan
diskusi)
NT = Notulis
N = Narasumber
P
= Peserta diskusi

Pelaksanaan diskusi dipimpinan oleh seorang pemimpin diskusi dan juga bisa dibantu
oleh sekretaris yang akan mencatat jalannya diskusi. Namun bisa saja pimpinan diskusi
mencatat sendiri jalannya diskusi. Pada awal diskusi pimpinan diskusi mengarahkan fokus
dan jalannya diskusi serta hal-hal yang akan dicapai pada akhir diskusi. Peserta benar-benar
dihadapkan dengan suatu fokus persoalan yang sedang dihadapi dan dibahas bersama.
Sasaran diskusi dapat dirumuskan sendiri oleh pimpinan diskusi agar peserta melakukan
diskusi secara terfokus.
Bahan diskusi dicatat dalam transkrip

yang lengkap, semua percakapan dicatat

sebagaimana adanya, termasuk komentar peserta kepada peserta lain dan kejadian-kejadian
khusus saat diskusi. Transkrip FGD dibuat berdasarkan kronologi pembicaraan agar
memudahkan analisis.

Penggunaan FGD
FGD sebagaimana juga metode-metode kualitatif yang lain, memiliki karakter yang
unik pada saat digunakan. Walaupun metode ini dapat dijalankan secara sendiri, namun FGD
tak bisa dilepas dengan metode lainnya. Karena itu paling tidak ada beberapa cara
penggunaan FGD sebagai berikut;
Pertama; pada mulanya FGD harus memiliki tujuan, dimana tujuan ini akan
mewarnai isi dari FGD itu sendiri. Tujuan FGD ini harus diketahui oleh peserta FGD melalui
pemberitahuan yang dilakukan sebelum hari pelaksanaan FGD atau pada saat FGD
dilaksanakan. Pemberitahuan kepada peserta FGD sebelum pelaksanaan FGD dilakukan
bersamaan dengan permintaan mereka menjadi peserta dalam FGD. Isi pemberitahuan dapat
berupa topik-topik penting dari FGD kali ini, tujuan-tujuan umum FGD, peserta FGD
maupun target-target yang diharapkan dalam FGD kali ini.
Kedua; FGD tak bisa dilepas dari interview pribadi (individual interviewing), artinya
pada proses pelaksanaan FGD, proses interview pribadi menjadi teknik-teknik penting yang
digunakan untuk mencoba mengungkapkan persoalan sebenarnya. Walaupun teknik ini
memiliki fokus diskusi, namun interview pribadi dengan orang-orang yang mengalami
kejadian langsung, atau orang-orang yang terlibat langsung dalam sebuah peristiwa atau
interview dengan narasumber, ikut menentukan makna dan isi FGD.
Penggunaan interview dalam FGD ini bias dilakukan dengan cara terputus. Yaitu
mencoba menghentikan interview pada tahap-tahap tertentu, kemudian mengalihkan
ketahapan lain, yaitu melakukan interview terputus dengan orang-orang yang terlibat dalam
kasus atau peristiwa pada masalah focus diskusi ini, untuk mencoba mereview apakah fokus
diskusi sudah mengarah kepada persoalan sebenarnya. Kemudian hasil interview terputus itu
didiskusikan kembali bersama kelompok diskusi untuk memaknakan peristiwa atau fokus
masalah sebenarnya. Penggunaan interview dalam proses FGD menjadikan keseluruhan FGD
menjadi lebih terfokus pada persoalan nyata yang dihadapi oleh seluruh peserta FGD.
Ketiga; hasil FGD juga akan sangat bermakna, apabila penggunaannya dihubungkan
dengan metode lain seperti observasi partisipasi. Metode observasi partisipasi ini merupakan
metode yang umum digunakan untuk mengamati dan ikut terlibat dalam peristiwa-peristiwa
yang dialami oleh orang-orang tertentu yang masalahnya sedang menjadi fokus diskusi.
Dalam penelitian kualitatif, pengalaman observasi partisipasi terhadap persoalan
sedang difokuskan dalam diskusi amat bermanfaat untuk mengulas habis fokus masalah.
Namun tidak jarang juga terjadi, perserta FGD memiliki pengalaman-pengalaman observasi
partisipasi terhadap masalah FGD kali ini ditempat lain, atau pengalaman itu sedang ia jalani

sehingga ia dapat mengungkapkan lebih banyak dalam diskusi. Pengetahuan peneliti tentang
kapasitas anggota FGD dan pengalaman-pengalamannya menjadi sangat penting.
Keempat; penggunaan FGD juga akan semakin berkembang apabila metode ini dapat
menggunakan bahan-bahan atau hasil survey yang berhubungan dengan fokus FGD kali ini.
Hal ini disebabkan karena FGD membutuhkan banyak data dan banyak informasi untuk
membahas problem FGD kali ini. Ada tiga cara mendasar di mana bahan-bahan survey dapat
digunakan untuk FGD, yaitu : (a) malalui penangkapan semua wilayah kebutuhan yang sudah
terukur dalam survey yang dibutuhkan oleh FGD, (b) melalui pembatasan dimensi-dimensi
yang diperbesar dari wilayah kebutuhan itu yang dibutuhkan oleh FGD, (c) melalui
pemberian item yang tersusun secara efektif,yang membawa peneliti masuk kepada
responden

survey. Hal ini dimaksud agar pengalaman atau hasil survey itu dapat

dimanfaatkan dalam FGD sesuai fokus kebutuhan.


Hasil-hasil survey juga berguna untuk FGD terutama menyangkut data-data dari
semua kebutuhan FGD yang dapat disajikan dalam bentuk tabel-tabel atau sajian distribusi
frekuensi yang tidak saja berguna untuk mengabstraksikan fokus persoalan akan tetapi
berguna juga untuk menukik lebih mendalam, melihat seberapa mendalam, seberapa lama,
seberapa luas fokus persoalan dalam FGD kali telah dialami oleh satu orang, sekelompok
orang, atau oleh sebuah masyarakat tertentu. Hal ini berguna untuk menemukan makna yang
ada dibalik semua yang dapat diungkapakan dalam FGD.
Kelima; penggunaan FGD juga dapat memanfaatkan bahan-bahan eksperimen atau
dapat dihubungkan dengan teknik eksperimen. Penggunaan FGD dengan memanfaatkan
eksperimen dikhususkan pada tujuan-tujuan tertentu. Jadi apabila kita ingin melihat makna
pengaruh-pengaruh tertentu dari suatu fenomena terhadap fenomena lain, maka FGD dapat
menggunakan model eksperimen untuk membantu menemukan pengaruh tersebut. Suatu
contoh apabila FGD ingin melihat makna pemberian nilai matakuliah agama pada kelas yang
dominasi mahasiswi, maka FGD dapat menggunakan bentuk-bentuk eksperimen terhadap
kelas-kelas matakuliah agamayang didominasi oleh mahasiswi untuk melihat bagaimana
makna pemberian nilai itu bagi mereka. Hal ini tentu akan mendapatkan makna yang lain
pada kelas-kelas yang didominasi oleh mahasiswa.
Jadi penggunaan FGD memiliki dimensi yang luas, tidak saja menyangkut hubungan
FGD dengan teknik-teknik lainnya, namun juga menyangkut penggunaan FGD pada
masalah-masalah yang menjadi fokus FGD. Masalah yang menjadi fokus FGD tidak saja
menyangkut masalah-masalah individu, yaitu bagaimana kasus si Ahmad, seorang anak
sekolah dasar (SD) sehingga menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Anak karena

menjadi penyebar narkotika di sekolahnya, akan tetapi juga dapat menyangkut masalahmasalah yang besar seperti masalah-masalah tenaga kerja, masalah korupsi, masalah politik,
masalah skandal perbankan. Begitu pula FGD dapat digunakan untuk mencoba menganalisis
problem-problem budaya masyarakat terasing, problem hilangnya budaya local dan problem
dilematik budaya kontemporer dan sebagainya.
Ketika FGD akan digunakan sebagai alat analisis, maka secara singkat, penggunaan
FGD menggunakan tahapan analisis yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan transkrip FGD
yang telah dibuat. Jadi ada dua tahapan utama FGD sebagai berikut:
1) Tahap Diskusi dengan melibatkan berbagai anggota FGD yang diperoleh berdasarkan
kemanpuan dan kompetensi formal serta kompetensi penguasaan Fokus masalah FGD,
seperti yang telah dijelaskan di atas
2) Tahap Analisis Hasil FGD, pada tahap ini dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap nanalisis
mikro dan tahap analisis makro.
Pada tahap analisis mikro, FGD mimiliki langkah-langkah analisis sebagai berikut:
pertama; melakukan coding terhadap sikap, pendapat peserta yang memiliki kesamaan.
Kedua; menentukan kesamaan sikap dan pendapat berdasarkan konteks yang berbeda.
Ketiga; menentukan persamaan istilah yang digunakan, termasuk perbedaan pendapat
terhadap istilah yang sama tadi. Keempat; melakukan klarifikasi dan kategorisasi terhadap
sikap dan pendapat peserta FGD berdasarkan alur diskusi. Kelima; mencari hubungan
diantara masing-masing kategorisasi yang ada untuk menentukan bentuk bangunan hasil
diskusi atau sikap dan pendapat kelompok terhadap masalah yang didiskusikan (fokus
diskusi). Keenam; menyiapkan draf laporan FGD untuk didiskusikan pada kelompok yang
lebih besar untuk mendapat masukan lebih luas, sebelum diseminarkan dalam forum yang
lebih luas.
Pada tahap analisis makro, FGD (terutama pada tahap kelima dan keenam). Pada
tahap ini peneliti tidak saja dapat menemukan hubungan antara masing-masing kategorisasi,
namun dapat juga mengabstraksikan hubungan-hubungan itu pada tingkat yang lebih
subtansial, menyangkut hubungan antara fenomena-fenomena budaya dan sosial terhadap
kategorisasi-kategorisasi itu, bahkan abstraksi itu sampai pada tingkat mengkonstruk
pengetahuan baru, mendekontruksi teori, dan merekontruksi teori-teori baru. Sebenarnya
tahap analisis makro adalah bagian dari tahap analisis mikro, akan tetapi tahap ini memiliki
level analisis yang berbeda dengan tahap level mikro.

Anda mungkin juga menyukai