X1
Y1
pelayanan staf rumah sakit tampaknya memang berbeda terhadap para pasien sekarat. Ada
yang kualitas pelayanannya tergolong baik, dan ada pula yang kualitas pelayanannya
tergolong kurang baik.
Mengapa kualitas pelayanan yang diberikan pada pasien yang sekarat itu berbedabeda? Data apakah yang bisa memberikan jawaban terhadap fenomena tersebut?
Untuk itu, Glaser dan Strauss mencoba merekam secara cermat peristiwa interaksi staf
rumah sakit (selaku pemberi layanan) dengan keluarga pasien yang setia mendampingi sang
pasien. Simbol-simbol yang muncul dalam peristiwa interaksi, misalnya ucapan dokter yang
menyatakan waduh kasihan, anaknya masih kecil-kecil, simbol yang muncul saat interaksi
ternyata mengarah sebagai indikasi tentang persepsi staf rumah sakit tentang seberapa
penting nilai guna sang pasien sekarat itu bagi keluarga beserta tempat kerja mereka
masing-masing. Sesuai dengan data yang mereka kumpulkan itu, Glaser dan Strauss lalu
memunculkan konsep dan kategori tentang kerugian sosial (social loss). Ada pasien-pasien
sekarat yang oleh staf rumah sakit dipersepsi besar nilai kerugian sosialnya manakala sang
pasien sampai meninggal dunia. Dan, ada pula pasien-pasien yang dipersepsi kecil nilai
kerugian sosialnya manakala sang pasien sampai meninggal dunia. Persepsi tentang besar
kecil nilai kerugian sosial tersebut, oleh Glaser dan Strauss ditempatkan sebagai suatu
kategori (lazim disebut variabel dalam penelitian kuantitatif) yang diperkirakan bisa
menjelaskan mengapa terjadi perbedaan kualitas pelayanan terhadap para pasien. Sebab,
indikasi ke arah itu memang kuat, dan itulah yang dikembangkan menjadi hipotesis.
Data tentang kualitas pelayanan yang diberikan staf rumah sakit kepada pasien, dan
data tentang persepsi staf rumah sakit mengenai besar kecil nilai kerugian sosial sang pasien,
ternyata secara meyakinkan saling berhubungan satu sama lain. Pasien-pasien yang
dipersepsi besar nilai kerugian sosialnya cenderung tergolong baik kualitas pelayanan yang
diperoleh, sedangkan para pasien yang dipersepsi kecil nilai kerugian sosialnya cenderung
tergolong kurang baik kualitas pelayanan yang diperoleh. Berarti, persepsi staf rumah sakit
tentang besar kecil nilai kerugian sosial pasien menentukan bagaimana kualitas pelayanan
yang mereka berikan kepada masing-masing pasien. Itulah inti teori yang ditemukan Glaser
dan Strauss. Suatu teori yang dibangun berdasrkan data, atau sepenuhnya dikembangkan
secara induktif berdasarkan hasil observasi. Dengan pengalaman tersebut, Glaser dan Stauss
lalu menawarkan suatu corak penelitian jenis baru, yang hingga sekarang populer dengan
sebutan penelitian grounded, atau lebih tepatnya penelitian untuk menemukan teori
grounded. Untuk lebih ringkas, barangkali tak terlampau salah bila dinamakan Penelitian
Teori Grounded.
TINGGI
PRODUKTIF
R
KONSUMTIF
E
N
D
A
H
PRODUKTIF
ASKETIS
SUBSISTEM
TRADISIONAL
SUBSISTEN
KONSUMTIF
T
I
N
SUBSISTEN
RENDAH
TIPOLOGI BUDAYA KERJA PETANI
ASKETIS
G
G
I
Kadar
Asketism:
Kapitalisasi
Hasil
Produksi
Itu menunjukkan bahwa para petani tempat penelitian beragam kategori budaya
kinerjanya. Ada yang tergolong produktif asketis, ada yang tergolong produktif konsumtif,
ada yang tergolong subsisten produktif, ada yang tergolong subsisten tradisional. Mengapa
mereka memiliki budaya kerja yang berbeda-beda? Apakah yang menjadi sumber (penjelas)
dari heterogenitas budaya kerja tersebut?
Hasil observasi awal ditempat penelitian mengisyaratkan ada kaitan erat antara
budaya kerja seseorang petani (kepala keluarga) dan latar belakang posisi ekonomi beserta
budaya kerja orang tua mereka masing-masing. Para petani yang berbudaya kerja produktif
asketis, misalnya terlihat menonjol melekat pada mereka yang berasal dari keluarga kurang
mampu secara ekonomi, dan orang tuanya juga dikenal berbudaya kerja produktif asketis.
Sebaliknya, petani yang berbudaya kerja subsisten konsumtif terlihat menonjol melekat pada
mereka yang berasal dari kalangan elit ekonomi dan politik setempat. Orang tua mereka juga
rata-rata berbudaya subsisten konsumtif.
Berdasarkan kenyataan demikian itu, secara hipotik dapat dinyatakan bahwa penjelas
dari heterogenitas budaya kerja petani setempat terletak pada bagaimana posisi ekonomi
beserta budaya kerja yang diwariskan orang tua mereka masing-masing. Bila kenyataannya
memang demikian, berarti sejalan dengan teori hasil belajar sosial (social learning), dan
sedikit banyak seiring pula dengan teori-teori yang tergolong determinisme ekonomi.
Apakah posisi ekonomi beserta tempaan hasil belajar dalam lingkungan keluarga bisa
sepenuhnya menjelaskan fenomena heterogenitas budaya kerja petani setempat? Apakah
tidak ada kasus-kasus yang bersifat menyanggah (negative case)?
Hasil observasi dan pelacakan lebih lanjut ditempat penelitian menunjukkan suatu
kenyataan yang kian kompleks, dikarenakan terdapat berbagai rupa kasus penyanggah.
Mereka yang tergolong berbudaya kerja produktif asketis, misalnya latar belakang posisi
ekonomi keluarganya juga beragam. Selain berasal dari keluarga kurang mampu, juga ada
yang berasal dari keluarga cukup mampu dan bahkan ada pula yang berasal dari keluarga
kaya raya. Latar belakang budaya kerja orang tua mereka juga beragam. Ada yang orang
tuanya memang tergolong berbudaya kerja produktif asketis, tetapi ada pula yang tidak
demikian. Kompleksitas semacam itu juga terjadi pada mereka yang berbudaya kerja
produktif konsumtif, subsisten asketis, subsisten konsumtif, dan subsisten tradisional.
Berdasarkan kasus-kasus yang terdapat dikalangan petani setempat, pola tipikal keragaman
seperti terlihat pada tabel dibawah.
Petani
Kiak
Budaya Kerja
1
Basangada
Kiak
Contoh Kasus
Posisi Ekonomi
Kurang
Halman
Cukup
Zadin
Kurang
Keman
Mampu
Mame
Mampu
Ure
Kurang
Mado
Kurang
Kembe
Cukup
Hure
Mampu
Tamal
Mampu
Hosa
Cukup
Asta
Mampu
Mali
Cukup
Hamus
Basangada
2
Tepang
Jangka
Ota-ota
Basanyaman
Tepang
Jangka
Ota-ota
Basanyaman
Kiak
Basanyaman
Kiak
Basanyaman
Kiak
Basangada
Ota-ota
Basangada
Ota-ota
Basangada
Ota-ota
Basanyaman
Kiak
Basangada
Ota-ota
Basanyaman
Ota-ota
Basanyaman
Ota-ota
Basanyaman
Tepang
Jangka
Tepang
Jangka
Tepang
Cukup
Habo
Mampu
Sali
Cukup
Kele
Mampu
Homal
Jangka
2
Kiak
Basangada
Ota-ota
Basangada
Ota-ota
Basangada
Pada tabel tersebut, kategori budaya kerja petani disebut sesuai dengan terminologi
lokal. Kiak basangada adalah padanan dari istilah produktif asketis. Kiak basanyaman
merupakan padanan dari istilah produktif konsumtif. Ota-ota basangada padanan dari istilah
subsisten asketis, ota-ota basanyaman padanan dari istilah subsisten asketis. Dan, tepang
jangka merupakan padanan dari istilah subsisten tradisional.
Pola yang terglong menonjol sebagai arus utama (maim stream) dimasing-masing
kategori budaya kerja adalah pola 1, sebab jumlah agen/pelaku yang tergolong berada
disetiap pola1 memang cenderung lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mereka yang
berbeda dipola lain (pola 2-5). Karenanya, wajar dan bisa dimengerti bila kesan awal (hasil
observasi) memperlihatkan adanya hubungan budaya kerja petani dengan latar belakang
posisi ekonomi dan budaya kerja orang tua mereka masing-masing. Tetapi dengan adanya
kasus-kasus negatif (penyanggah) seperti tercermin pada pola 2-5 maka diperlukan suatu
penjelasan lain, setidak-tidaknya penjelasan tambahan, yang bisa secara lebih memadai
menjelaskan sumber heterogenitas budaya kerja petani setempat.
Adakah penjelasan tambahan yang lebih memadai untuk menjelaskan sumber
heterogenitas budaya kerja dikalangan petani setempat? Apakah menonjolnya pola 1 sebagai
arus utama masing-masing kategori budaya kerja merupakan konsekuensi logis dari logika
ekonomi petani semata-mata? Adakah logika lain (non ekonomi) yang ikut bermain dalam
diri agen/pelaku budaya kerja? Bagaimanakah dengan kasus-kasus penyanggah yang terdapat
pada setiap kategori budaya kerja? Mengapa para petani (agen) pelaku budaya kerja yang
tergolong kasus penyanggah mengambil jalan berbeda, tak berperilaku kerja seiring sejalan
dengan pola menonjol yang menjadi arus utama? Adakah benang merah yang bisa
menjelaskan kesemuanya itu?
Setelah 17 petani yang merupakan contoh kasus masing-masing pola pada setiap
kategori budaya kerja dikaji kasusnya secara mendalam, tampak gamblang bahwa budaya
kerja masing-masing petani bersangkut paut dengan pertimbangan ila (rasa malu).
Bersangkut paut dengan rasa malu yang mereka kaitkan dengan soal citra diri dan
kehormatan diri ditengah masyarakat. Hal tersebut memang sesuai dengan etos, jiwa, atau
watak khas budaya lokal setempat yang menomorsatukan harga diri dan kehormatan ditengah
masyarakat. Teori yang saya temukan menunjukkan bahwa kategori budaya kerja petani
bergantung pada tinggi/rendah citra diri mereka ditengah masyarakat beserta tinggi/rendah
tantangan sosial yang dihadapai atas citra diri tersebut. Dalam konteks budaya setempat,
secara meyakinkan bisa dinyatakan bahwa sumber heterogenitas budaya kerja petani itu
seperti terlukis secara diagramatik di gambar berkut.
TANTANGAN SOSIAL
TINGGI
PRODUKTIF
R
ASKETIS
SUBSISTEM
E
N
D
A
PRODUKTIF
ASKETIS
TRADISIONAL
SUBSISTEN
KONSUMTIF
I
N
SUBSISTEN
RENDAH
ASKETIS
CITRA
DIRI
G
G
I
merupakan
pertimbangan
kualitas
diskusi,
maka
peneliti
juga
harus
mempertimbangkan siapa saja yang akan menjadi peserta FGD, siapa pula narasumber.
Pertimbangan menentukan siapa yang terlibat dalam FGD berkaitan dengan beberapa hal; (a)
keahlian atau kepakaran seseorang dalam kasus yang akan didiskusikan; (b) pengalaman
praktis dan kepedulian terhadap fokus masalah; (c) pribadi terlibat dalam fokus masalah;
(d) tokoh otoritas terhadap kasus yang didiskusikan; (e) masyarakat awam yang tidak tahu
menahu dengan masalah tersebut namun ikut merasakan persoalan sebenarnya.
Gambar : Situasi Diskusi Pelaksanaan FGD
P
P
P
M
MEJA
NT
P
N
P
Keterangan;
M = Moderator (pimpinan
diskusi)
NT = Notulis
N = Narasumber
P
= Peserta diskusi
Pelaksanaan diskusi dipimpinan oleh seorang pemimpin diskusi dan juga bisa dibantu
oleh sekretaris yang akan mencatat jalannya diskusi. Namun bisa saja pimpinan diskusi
mencatat sendiri jalannya diskusi. Pada awal diskusi pimpinan diskusi mengarahkan fokus
dan jalannya diskusi serta hal-hal yang akan dicapai pada akhir diskusi. Peserta benar-benar
dihadapkan dengan suatu fokus persoalan yang sedang dihadapi dan dibahas bersama.
Sasaran diskusi dapat dirumuskan sendiri oleh pimpinan diskusi agar peserta melakukan
diskusi secara terfokus.
Bahan diskusi dicatat dalam transkrip
sebagaimana adanya, termasuk komentar peserta kepada peserta lain dan kejadian-kejadian
khusus saat diskusi. Transkrip FGD dibuat berdasarkan kronologi pembicaraan agar
memudahkan analisis.
Penggunaan FGD
FGD sebagaimana juga metode-metode kualitatif yang lain, memiliki karakter yang
unik pada saat digunakan. Walaupun metode ini dapat dijalankan secara sendiri, namun FGD
tak bisa dilepas dengan metode lainnya. Karena itu paling tidak ada beberapa cara
penggunaan FGD sebagai berikut;
Pertama; pada mulanya FGD harus memiliki tujuan, dimana tujuan ini akan
mewarnai isi dari FGD itu sendiri. Tujuan FGD ini harus diketahui oleh peserta FGD melalui
pemberitahuan yang dilakukan sebelum hari pelaksanaan FGD atau pada saat FGD
dilaksanakan. Pemberitahuan kepada peserta FGD sebelum pelaksanaan FGD dilakukan
bersamaan dengan permintaan mereka menjadi peserta dalam FGD. Isi pemberitahuan dapat
berupa topik-topik penting dari FGD kali ini, tujuan-tujuan umum FGD, peserta FGD
maupun target-target yang diharapkan dalam FGD kali ini.
Kedua; FGD tak bisa dilepas dari interview pribadi (individual interviewing), artinya
pada proses pelaksanaan FGD, proses interview pribadi menjadi teknik-teknik penting yang
digunakan untuk mencoba mengungkapkan persoalan sebenarnya. Walaupun teknik ini
memiliki fokus diskusi, namun interview pribadi dengan orang-orang yang mengalami
kejadian langsung, atau orang-orang yang terlibat langsung dalam sebuah peristiwa atau
interview dengan narasumber, ikut menentukan makna dan isi FGD.
Penggunaan interview dalam FGD ini bias dilakukan dengan cara terputus. Yaitu
mencoba menghentikan interview pada tahap-tahap tertentu, kemudian mengalihkan
ketahapan lain, yaitu melakukan interview terputus dengan orang-orang yang terlibat dalam
kasus atau peristiwa pada masalah focus diskusi ini, untuk mencoba mereview apakah fokus
diskusi sudah mengarah kepada persoalan sebenarnya. Kemudian hasil interview terputus itu
didiskusikan kembali bersama kelompok diskusi untuk memaknakan peristiwa atau fokus
masalah sebenarnya. Penggunaan interview dalam proses FGD menjadikan keseluruhan FGD
menjadi lebih terfokus pada persoalan nyata yang dihadapi oleh seluruh peserta FGD.
Ketiga; hasil FGD juga akan sangat bermakna, apabila penggunaannya dihubungkan
dengan metode lain seperti observasi partisipasi. Metode observasi partisipasi ini merupakan
metode yang umum digunakan untuk mengamati dan ikut terlibat dalam peristiwa-peristiwa
yang dialami oleh orang-orang tertentu yang masalahnya sedang menjadi fokus diskusi.
Dalam penelitian kualitatif, pengalaman observasi partisipasi terhadap persoalan
sedang difokuskan dalam diskusi amat bermanfaat untuk mengulas habis fokus masalah.
Namun tidak jarang juga terjadi, perserta FGD memiliki pengalaman-pengalaman observasi
partisipasi terhadap masalah FGD kali ini ditempat lain, atau pengalaman itu sedang ia jalani
sehingga ia dapat mengungkapkan lebih banyak dalam diskusi. Pengetahuan peneliti tentang
kapasitas anggota FGD dan pengalaman-pengalamannya menjadi sangat penting.
Keempat; penggunaan FGD juga akan semakin berkembang apabila metode ini dapat
menggunakan bahan-bahan atau hasil survey yang berhubungan dengan fokus FGD kali ini.
Hal ini disebabkan karena FGD membutuhkan banyak data dan banyak informasi untuk
membahas problem FGD kali ini. Ada tiga cara mendasar di mana bahan-bahan survey dapat
digunakan untuk FGD, yaitu : (a) malalui penangkapan semua wilayah kebutuhan yang sudah
terukur dalam survey yang dibutuhkan oleh FGD, (b) melalui pembatasan dimensi-dimensi
yang diperbesar dari wilayah kebutuhan itu yang dibutuhkan oleh FGD, (c) melalui
pemberian item yang tersusun secara efektif,yang membawa peneliti masuk kepada
responden
survey. Hal ini dimaksud agar pengalaman atau hasil survey itu dapat
menjadi penyebar narkotika di sekolahnya, akan tetapi juga dapat menyangkut masalahmasalah yang besar seperti masalah-masalah tenaga kerja, masalah korupsi, masalah politik,
masalah skandal perbankan. Begitu pula FGD dapat digunakan untuk mencoba menganalisis
problem-problem budaya masyarakat terasing, problem hilangnya budaya local dan problem
dilematik budaya kontemporer dan sebagainya.
Ketika FGD akan digunakan sebagai alat analisis, maka secara singkat, penggunaan
FGD menggunakan tahapan analisis yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan transkrip FGD
yang telah dibuat. Jadi ada dua tahapan utama FGD sebagai berikut:
1) Tahap Diskusi dengan melibatkan berbagai anggota FGD yang diperoleh berdasarkan
kemanpuan dan kompetensi formal serta kompetensi penguasaan Fokus masalah FGD,
seperti yang telah dijelaskan di atas
2) Tahap Analisis Hasil FGD, pada tahap ini dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap nanalisis
mikro dan tahap analisis makro.
Pada tahap analisis mikro, FGD mimiliki langkah-langkah analisis sebagai berikut:
pertama; melakukan coding terhadap sikap, pendapat peserta yang memiliki kesamaan.
Kedua; menentukan kesamaan sikap dan pendapat berdasarkan konteks yang berbeda.
Ketiga; menentukan persamaan istilah yang digunakan, termasuk perbedaan pendapat
terhadap istilah yang sama tadi. Keempat; melakukan klarifikasi dan kategorisasi terhadap
sikap dan pendapat peserta FGD berdasarkan alur diskusi. Kelima; mencari hubungan
diantara masing-masing kategorisasi yang ada untuk menentukan bentuk bangunan hasil
diskusi atau sikap dan pendapat kelompok terhadap masalah yang didiskusikan (fokus
diskusi). Keenam; menyiapkan draf laporan FGD untuk didiskusikan pada kelompok yang
lebih besar untuk mendapat masukan lebih luas, sebelum diseminarkan dalam forum yang
lebih luas.
Pada tahap analisis makro, FGD (terutama pada tahap kelima dan keenam). Pada
tahap ini peneliti tidak saja dapat menemukan hubungan antara masing-masing kategorisasi,
namun dapat juga mengabstraksikan hubungan-hubungan itu pada tingkat yang lebih
subtansial, menyangkut hubungan antara fenomena-fenomena budaya dan sosial terhadap
kategorisasi-kategorisasi itu, bahkan abstraksi itu sampai pada tingkat mengkonstruk
pengetahuan baru, mendekontruksi teori, dan merekontruksi teori-teori baru. Sebenarnya
tahap analisis makro adalah bagian dari tahap analisis mikro, akan tetapi tahap ini memiliki
level analisis yang berbeda dengan tahap level mikro.