persisten
Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri
Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk
satu gejala utama dari proses inflamasi, tetapi sebagian besar pasien tidak
mengeluhkan nyeri terus menerus. Kebanyakan pasien mengeluhkan nyeri
bila jaringan atau organ yang berlesi mendapat stimuli, misalnya: sakit gigi
semakin berat bila terkena air es atau saat makan, sendi yang sakit semakin
hebat bila digerakkan.
c) Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan disebabkan adanya
disfungsi primer ataupun lesi pada sistem saraf yang diakibatkan: trauma,
kompresi, keracunan toksin atau gangguan metabolik. Akibat lesi, maka
terjadi perubahan khususnya pada Serabut Saraf Aferen (SSA) atau fungsi
neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif
oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya, sehingga
menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan tersebut
dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivasi SSA (mekanisme
perifer) menjadi abnormal yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi
Nyeri pada wajah ataupun rongga mulut dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori
yaitu:
a) Nyeri somatik, nyeri yang dapat dihasilkan dari stimulasi reseptor-reseptor
neural ataupun saraf-saraf periferal. Jika stimulasi bermula dari bagian
superfisial tubuh, karakteristik klinisnya, seperti: nyeri dengan kualitas
menstimulasi, lokalisasi nyeri yang tepat, adanya hubungan yang akurat
antara tempat lesi dan sumber nyeri serta cara menghilangkan nyeri yang
temporer dengan aplikasi anestesi topikal. Jika stimulasi bermula dari
bagian dalam tubuh, karakteristik klinisnya, seperti: nyeri dengan kualitas
mendepresikan, lokalisasi beragam dari nyeri yang menyebar, lokasi dari
nyeri bisa ataupun tidak berhubungan dengan tempat lesi, sering
menunjukkan efek-efek sekunder dari perangsangan pusat.
b) Nyeri neurogenik, nyeri yang dihasilkan dalam sistem sarafnya sendiri,
reseptor saraf ataupun stimulasi serabut yang tidak diperlukan. Karakteristik
klinis dari nyeri neurogenik, yaitu: nyeri seperti membakar dengan kualitas
menstimulasikan, lokalisasi baik, adanya hubungan yang tertutup diantara
lokasi dari nyeri dan lesi, pengantaran nyeri mungkin dengan gejala-gejala
sensorik, motorik dan autonomik.
c) Nyeri psikogenik, nyeri yang dapat memunculkan intensifikasi nyeri
somatik atau neurogenik dan juga merupakan suatu manifestasi
psikoneurotik. Karakteristik dari nyeri psikogenik, seperti: lokasi nyeri
selalu tidak mempunyai hubungan dengan suatu penyebab yang mungkin,
tindakan klinis dan respon pada pengobatan mungkin non fisiologis, tidak
diharapkan dan tidak biasa.Nyeri wajah Atipikal adalah salah satu nyeri
psikogenik.
2. Etiologi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Tidak hanya satu stimulus yang menghasilkan suatu yang spesifik dari nyeri,
tetapi nyeri memiliki suatu etiologi multimodal. Nyeri biasanya dihubungkan dengan
beberapa proses patologis spesifik. Kelainan yang mengakibatkan rasa nyeri,
mencakup: infeksi, keadaan inflamasi, trauma, kelainan degenerasi, keadaan toksik
metabolik atau neoplasma. Nyeri dapat juga timbul karena distorsi mekanis ujungujung saraf misalnya karena meningkatnya tekanan di dinding viskus / organ.
Banyak faktor yang mempengaruhi nyeri (gambar 1), antara lain: lingkungan,
umur, kelelahan, riwayat nyeri sebelumnya, mekanisme pemecahan masalah pribadi,
kepercayaan, budaya dan tersedianya orang-orang yang memberi dukungan.
Sebagian besar rasa nyeri hebat oleh karena: trauma, iskemia atau inflamasi
disertai kerusakan jaringan. Hal ini mengakibatkan terlepasnya zat kimia tertentu
yang berperan dalam merangsang ujung-ujung saraf perifer.
Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang
berlebihan, misalnya: kebisingan, cahaya yang sangat terang dan kesendirian.
Kelelahan juga meningkatkan nyeri sehingga banyak orang merasa lebih nyaman
setelah tidur. Riwayat nyeri sebelumnya dan mekanisme pemecahan masalah pribadi
berpengaruh pula terhadap seseorang dalam mengatasi nyeri, misalnya: ada beberapa
kalangan yang menganggap nyeri sebagai suatu kutukan. Tersedianya orang-orang
yang memberi dukungan sangat berguna bagi seseorang dalam menghadapi nyeri,
misalnya: anak-anak akan merasa lebih nyaman bila dekat dengan orang tua. Faktor
kognitif (seperti: kepercayaan seseorang) dapat meningkatkan ataupun menahan
nyeri, terutama pemahaman tentang nyeri yang dimiliki individu merupakan
penyebab yang mungkin atau implikasinya.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan Woodrow et al, ditemukan bahwa
toleransi terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan umur, misalnya
semakin bertambah usia seseorang maka semakin bertambah pula pemahaman
terhadap nyeri dan usaha mengatasinya. Toleransi terhadap nyeri lebih besar pada
pria daripada wanita dan pada orang kulit putih lebih dapat mentoleransinya
dibanding pada orang kulit hitam ataupun pada orang ras oriental.