BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dalam upaya untuk mengatasi/mengurangi masalah genangan air hujan di
berbagai kota di Indonesia, maka pemerintah Indonesia mempunyai strategi dan
program-program di bidang Cipta Karya, dimana salah satu program tersebut adalah
Sektor Drainase.
Ditinjau dari ketersediaan prasarana drainase kota yang ada saat ini, terdapat
indikasi bahwa tingkat kebutuhan sudah jauh di atas tingkat penyediaan, utamanya
untuk kota-kota yang sedang pesat mengalami proses pembangunan.
Sebab-sebab terjadinya banjir / genangan, pada dasarnya dapat dibagi dua,
yaitu akibat kondisi alam setempat misalnya curah hujan yang relatif tinggi, kondisi
topografi yang landai, dan adanya pengaruh pengempangan (back water) dari sungai
atau laut. Sedang yang termaksud akibat dari tingkah laku manusia misalnya masih
adanya kebiasaan membuang sampah ke dalam saluran / sungai, hunian di bantaran
sungai, dan adanya penyempitan saluran / sungai akibat adanya suatu bangunan
misalnya gorong-gorong atau jembatan.
Selain dari itu, masalah banjir / genangan dapat pula disebabkan oleh karena
belum tertatanya dengan baik sistem drainase yang diperlukan, atau karena kurang
terpeliharanya sistem drainase yang telah ada.
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud
: Tugas ini merupakan bagian dari mata kuliah Drainase Perkotaan dan
merupakan prasyarat untuk mengikuti ujian.
Tujuan
BAB II
KRITERIA PERENCANAAN
Dalam suatu pekerjaan untuk melaksanakan perencanaan yang mendetail suatu
proyek maka diperlukan suatu pedoman perencanaan, dan untuk memudahkan
perencanaan, pedoman tersebut biasa disebut dengan Kriteria Perencanaan.
Kriteria perencanaan harus disesuaikan dengan keadaan lokasi proyek, agar didapat
hasil seperti yang diharapkan. Kriteria Perencanaan untuk proyek drainase kota terdiri dari
5 (lima) pembahasan teknis utama, yaitu :
1. Kriteria Penentuan / Pembagian Daerah Layanan (Sub. Catchment Area)
2. Kriteria Pengukuran Topografi
3. Kriteria Hidrologi
4. Kriteria Hidrolika Saluran dan Bangunan
5. Kriteria Struktur.
2.1 KRITERIA
PENENTUAN
PEMBAGIAN
DAERAH
LAYANAN
(SUB.
CATCHMENT AREA)
Dalam menentukan luasan catchment area dari sebuah saluran drainase yang
melayani suatu areal tertentu, perlu diperhatikan sistem drainase pada kota tersebut
secara keseluruhan. Mengingat masing-masing areal pelayanan dari setiap saluran
merupakan sebuah subsistem dari sistem drainase kota sebagai suatu kesatuan.
Penentuan besarnya catchment area sangat tergantung dari beberapa faktor, antara lain
:
a. Kondisi topografi daerah proyek;
b. Sarana / prasarana drainase yang sudah ada;
c. Sarana / prasarana jalan yang sudah ada dan akan dibangun;
d. Sarana / prasarana kota lainnya seperti jaringan listrik, air bersih, telepon, dan
lain-lain.
e. Ketersediaan lahan alur saluran.
2.2 KRITERIA PENGUKURAN TOPOGRAFI
Pengukuran topografi saluran adalah untuk mendapatkan situasi memanjang
dan melintang saluran serta situasi bangunan yang ada dan yang akan direncanakan.
Cross Section
Analisa Frekuensi
Analisa Frekuensi adalah analisa kejadian yang diharapkan
terjadi rata-rata sekali N tahun atau dengan kata lain periode
berulangnya sekian tahun.
Metode analisa frekuensi yang diterapkan pada perencanaan
sistem drainase adalah dengan cara Extrime Value dari E.G.
GUMBEL, yakni suatu metode distribusi frekuensi yang mendasarkan
pada karakteristik dari penyebaran dengan menggunakan suatu koreksi
yang
variabel
dan
menggunakan
distribusi
dari
harga-harga
= x + k.Sd
=
Ytr - Yn
Sn
Ytr
Tr
Tr - 1
Xtr
Sd
= standar deviasi
= faktor frekuensi
Reduce Variate = Yt
0,3665
1,4999
2,2502
2,9702
3,1985
3,9019
4,6001
5,2958
2.3.2.2.
a
t+b
di mana :
a =
b =
(it)(i2) (i2t)(i)
N(i2) (i)(i)
(i)(it) N(i2t)
N(i2) (i)(i)
b. Formula Sherman
I =
a
tn
di mana :
log a =
=
(logt)2 (logt)(logt)
c. Formula Ishiguro
I =
a
t b
di mana :
(i t )(i2) (i t )(i)
a =
N(i2) (i)(i)
b =
(i)(i t ) N(i2t )
N(i2) (i)(i)
Keterangan:
I
a,b,n
= Jumlah pengamatan.
Seandainya data curah hujan pengamatan jangka pendek
24
2/3
24
Cara ini dapat dilakukan apabila semua data lengkap, pertama setiap
durasi hujan tertentu dengan intensitas maksimum tahunannya dicatat dan
ditabulasikan, satu data mewakili satu tahun. Disusun secara berurut dan
dihitung analisa frekuensinya, susun durasi hujan menurut frekuensi.
Turunkan intensitas curah hujan (mm/jam) kemudian diplot dalam
salib sumbu dengan durasi sebagai axis dan intensitas sebagai ordinat.
2.3.4. Periode Ulang
Periode ulang ditetapkan berdasarkan kebutuhan drainase pada suatu
daerah sesuai Catchment. Area seperti tabel di bawah ini:
Tabel : Periode Ulang
JENIS KOTA
Metropolitan
Kota Besar
Kota Sedang
Kota Kecil
Kota Sangat
10
12
12
12
12
1
>500
10 25
5 10
10
25
Kecil
Cs = Storage Coefficient
2.3.5.2 Koefisien pengaliran (Run Off Coeficient)
Pada saat terjadi hujan pada umumnya sebagian air hujan akan
menjadi limpasan dan sebagian mengalami infiltrasi dan evaporasi.
Bagian hujan yang mengalir di atas permukaan tanah dan saat
sesudahnya merupakan limpasan / pengaliran. Besarnya koefisien
pengaliran untuk daerah perencanaan disesuaikan dengan karakteristik
daerah pengaliran yang dipengaruhi oleh tata guna lahan (Land Use)
yang terdapat dalam wilayah pengaliran tersebut.
Besarnya koefisien pengaliran dapat dilihat pada tabel tabel berikut :
Tabel : Besarnya Koefisien Pengaliran
Kondisi
Koefisien
Karakteristik
Koefisien
Pusat Perdagangan
Lingkungan sekitar
Rumah-rumah tinggal
Kompleks perumahan
Daerah pinggiran
Apartemen
Industri berkembang
Industri besar
Taman Perkuburan
Taman bermain
Lapangan dan rel kereta
Daerah belum berkembang
0,70 0,95
0,50 0,70
0,30 0,50
0,40 0,60
0,25 0,40
0,50 0,70
0,50 0,80
0,60 0,90
0,10 0,25
0,10 0,25
0,25 0,40
0,10 0,30
Permukaan aspal
Permukaan beton
Permukaan batu-batuan
Permukaan kerikil
Alur setapak
Atap
Lahan tanah berpasir kemiringan 2%
Kemiringan 2 s/d 7%
Bertrap 7%
Lahan tanah keras kemiringan 2%
Kemiringan rata-rata 2 s/d 7%
Bertrap 7%
0,70 0,95
0,80 0,95
0,70 0,85
0,15 0,85
0,10 0,85
0,75 0,95
0,05 0,10
0,10 0,15
0,15 0,20
0,13 0,17
0,18 0,22
0,25 0,35
td
td = L / V
Di mana:
L
2tc
2tc + td
Di mana:
Tc
Td
Keterangan :
Rumus Rational Method sesuai digunakan untuk daerah pengaliran
yang kecil dengan batasan 20 sampai 300 ha, sedangkan untuk
Rational Modification dapat digunakan untuk daerah pengaliran
sampai 1300 ha.. Sedangkan untuk daerah pengaliran yang lebih
besar dari itu maka digunakan Snyder SyntheticUnit Hydrograph
Methode..
2.3.5.5 Metode Hydrograph dari SCS (US Soil Conservation Servis)
Salah satu metode yang digunakan dalam perhitungan debit
puncak dengan Hidrograf Aliran adalah metode SCS. Rumus ini
dipakai untuk menghitung debit dengan luas Catchment Area lebih
besar 1300 ha.
0,02081 A.Q
Tp
Di mana:
Qp = Debit puncak banjir (m3/det)
A
Tp = Waktu puncak hidrograf aliran (jam) D/2 + log time atau 0,70
Tc
D
S =
1000
CN
25400
CN =
254 + S
Di mana:
IA
= Lamanya hujan.
lapisan
tanah
liat
yang
menghambat
proses
Hidrolika Saluran
2.4.1.1 Kapasitas Saluran
Rumus yang digunakan untuk menghitung jumlah pengaliran
dalam saluran adalah rumus Manning:
Q =
A.R2/3.S1/2
N
dengan asumsi aliran dalam tampang saluran adalah Aliran Seragam.
2.4.1.2 Koefisien Kekasaran Manning
Besarnya koefisien Kekasaran Manning (n) diambil:
- Pasangan batu kali / gunung tidak diplester 0,20
- Pasangan batu kali / gunung diplester 0,018
- Tanah 0,025
2.4.1.3 Kecepatan Dalam Saluran
Kecepatan aliran dalam saluran direncanakan sedemikian
rupa, sehingga tidak menimbulkan erosi pada dasar dan dinding
saluran serta tidak terjadi penumpukan sedemikian / kotoran di hulu
saluran.
: 0,20 0,30 m
Saluran sekunder
: 0,10 0,20 m
Saluran tersier
: 0,10 m
Atau disesuaikan dengan kondisi muka tanah yang ada. Dapat juga
dihitung dengan rumus:
fb =
Cf h
Di mana:
fb
Cf
= koefisien variasi 1,5 untuk debit 60 m3/det dan 2,5 untuk debit
85 m3/det.
R.iW atau
iW =
dan
2
A .C .R
h
L =
ib + iW
Di mana:
2.4.2
= Debit (m3/det)
= Koefisien Chezy
= Jari-jari hidrolis
iW
ib
= Kemiringan invert
Hidrolika Bangunan
2.4.2.1 Gorong-gorong
Gorong-gorong adalah suatu bangunan yang berfungsi
mengalirkan air drainase di bawah jalan raya atau jalan kereta api.
Untuk drainase perkotaan di Kotamadya Ujung Pandang dipakai tipe
segi empat dengan konstruksi retaining wall dan lantai dari pasangan
batu yang penutupnya terbuat dari beton campuran 1 : 2 : 3 dan
(V22 V12)
2g
Di mana:
he = kehilangan tinggi akibat gesekan (m)
19,6n2
f =
R.V3
n
= 9,81 m/det2
b. Akibat Pengeluaran
V22 V32
ho = 0,1
2g
Di mana:
ho
= 9,81 m/det2
c. Akibat Transisi
Bangunan Terjun
Bangunan terjun (vertical drops) dibuat khususnya untuk saluran
sekunder dan tersier yang mempunyai penampang. Pada saat terjadi muka air
tinggi (debit puncak) di saluran, aliran di saluran drainase tidak
mengakibatkan terjunan air muka. Kemudian pada kondisi di mana aliran di
saluran drinase lebih kecil dari debit puncak, maka penurunan (drop) muka air
akan terjadi. Biasanya penurunan muka air itu berkisar dari 0 0,60 m
maksimum. Apabila penurunan (terjunan) maksimum terjadi, berarti debitnya
sangat kecil atau 0.
Untuk bangunan terjun jenis ini maka tidak diperlukan perhitungan
peredaman energi (energy dissipation). Terjunan di dasar saluran, disarankan
untuk sekunder maksimum 0,6 m dan untuk tersier maksimum 0,4 m. Untuk
pasangan terjun seperti ini, disarankan dengan dinding pasangan batu tegak
dengan lantai di hulu dan hilirnya dan pengaman tebing. Bangunan terjun ini
berfungsi sebagai transisi.
2.4.4
Pemasukan (Inlet)
Apabila ada rencana pemasukan dari saluran ke saluran, di mana yang
masuk itu tidak termasuk dalam desain saat ini, maka pekerjaan yang akan
datang dibuat sepanjang 5 m.
2.4.5
Out Fall
2.4.5.1 Out Fall ke Sungai
Bangunan ini dibuat di tempat pertemuan antara saluran
drainase sekunder dengan sungai. Bangunan ini diperlukan untuk
menghindari kerusakan akibat scouring. Fungsi dari out fall ini adalah
untuk memindahkan air banjir dari elevasi yang lebih tinggi ke elevasi
yang lebih rendah dan meredam energi yang ditimbulkannya.
Konstruksi ini dibuat dari pasangan batu dengan campuran 1 semen : 4
pasir. Dalam analisa stabilitas harus diambil keadaan yang paling tipis.
2.4.5.2 Out Fall ke laut
V
g.h
Di mana :
V = kecepatan air saat mulai terjadi loncatan (m/det)
g = percepatan gaya gravitasi (m/det2)
h = kedalaman air pada loncatan pertama (m)
Bilangan Froude juga dapat digunakan untuk menghitung kedalaman
hidrolik yang kedua dengan memakai rumus :
h1
h2
1 8 Fr 2
+ 1)
2
Dari kedalaman air h2 dapat diperhitungkan Tail Water (TW) yang
terjadi di sepanjang kolam olakan.
Dengan menambahkan 5% pada kedalaman h2, maka
dalamnya Tail Water yang terjadi pada loncatan hidrolik yang kedua
adalah :
TW = 1,05 x h2
Jarak Maksimum
120
450 900
150
Unit Weight
(kg / m3)
1000
2200 2300
2400
2000
2200
7850
7250
1000
1700
1750
1900
c. Tekanan Tanah
Tekanan tanah efektif dapat dihitung dengan rumus Rankine.
Diagram tekanan diasumsikan segitiga, sama dengan tekanan air,
dengan daya resultante bekerja 1/3 h di atas alas diagram.
2.5.2
Material Konstruksi
2.5.2.1 Beton dan Besi Bertulang
Mutu beton dan besi tulangan harus disesuaikan dengan bahan yang
tersedia di lapangan. Untuk Kotamadya Makassar, dipakai mutu beton K 175
dan mutu besi U.24, sedang analisa perhitungannya dipakai PBI (1971).
2.5.2.2 Pasangan Batu
Pasangan batu untuk saluran dipakai 1 semen : 4 pasir. Adapun
pasangan batu untuk gorong-gorong dipakai 1 semen : 3 pasir.
2.5.3
Stabilitas
Daya Dukung Tanah
Daya dukung tanah yang diijinkan untuk Kotamadya Makassar berdasarkan
penelitian adalah : t = 1,2 kg/cm3.
Jadi untuk perencanaan, maka tegangan yang terjadi akan melebihi daya
dukung ijin tersebut.
2.5.3.1 Keamanan Terhadap Gelincir (Sliding)
Rumus :
Fs =
V
> (1,25 1,50)
H
Di mana :
Fs
MR
Fs =
Mo
Di mana :
Fs
MR
Mo