Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN STUDI KASUS REPRODUKSI PPDH TA 2014-2015

KASUS
(Peternak melaporkan bahwa dari alat kelamin sapi betinanya keluar carian
keruh)

1.
2.
3.
4.

KELOMPOK F 2B
Lucky Agung Iskandar
Nurul Fuady Abbas
Rizka Fitri Syarafina
St. Khadijah Hardyanti

B94144225
B94144233
B94144239
B94144244

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
REKAM MEDIK
Signalement : Nama
: Bulbu
Jenis hewan
: Sapi
Ras
: Peranakan Ongole
Umur
: 4 tahun

Anamnesa

Diferensial
Diagnosa
:
Pemeriksaaa
n
Fisik
:
Diagnosa
:
Treatment

Prognosa

Jenis kelamin
: Betina
Warna kulit
: Putih keabu-abuan
Berat badan
: 300 kg
Suhu
: 39,5oC
Frekuensi jantung
: 68x/menit
Frekuensi nafas
: 48x/menit
Rambut dan kulit
: Mukosa hidung kering
Perilaku
: Gelisah, lemas, anoreksia
Dua bulan yang lalu sapi Bulbu mengalami partus yang kedua
kalinya. Setelah dua bulan berikutnya sapi mengalami anestrus
dan terdapat cairan keruh yang keluar dari vagina. Sapi
tersebut dipindahkandangkan dua minggu setelah melahirkan
dimana sanitasi kandangnya lebih buruk dibandingkan
kandang yang awal.
Kebuntingan, hydrometra, mucometra, mummifikasi fetus
Terlihat adanya cairan keruh dari vulva, ekor sering diangkat,
dan sering merejan. Sapi mengalami pyrexia, hasil palpasi
perektal ditemukan cairan yang penuh mengisi uterus dan
pada salah satu uterus terdapat corpus luteum persisten.
Pyometra
Injeksi PGF2, pengulangan dilakukan setelah 12 hari, irigasi
dengan antiseptik dan pemberian antibiotic penisilin yang
dapat dikombinasi dengan streptomisin secara intra uterine.
Dilakukan perbaikan sanitasi kandang.
Fausta

PERTANYAAN YANG DIBERIKAN UNTUK PETERNAK


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Berapa tahunkah umur sapi tersebut?


Gejala apa saja yang tampak pada hewan yang terkena penyakit?
Sudah berapa lamakah gejalanya muncul?
Perlakuan apa saja yang diberikan kepada sapi sebelum muncul gejala
sakit?
Apakah sudah pernah diobati?
Pakan apa saja yang diberikan pada sapi?
Kapan terakhir sapi dikawinkan?
Kapan terakhir sapi bunting?
Kapan sapi terakhir kali partus?
PEMBAHASAN

Dari rekam medik dan hasil pemeriksaan secara inspeksi, palpasi, dan
auskultasi yang dilakukan oleh dokter hewan, penyakit yang menyerang Bulbu
adalah pyometra yang dapat disebabkan oleh bakteri. Penjelasan lebih lanjut yang
menegakkan diagnosa dipaparkan lebih rinci di bawah.
Pyometra
Uterus yang normal harus berada dalam keadaan yang steril dan mampu
membersihkan dirinya sendiri dari infeksi yang temporer secara efisien. Pada
periode pascapartus, uterus sapi biasanya dicemari dengan bermacam-macam
organisme. Secara alami, lingkungan uterus pascapartus pada kebanyakan hewan
mamalia kembali steril setelah 25 hari (Anonimus, 2008). Adanya kontaminasi
menyebabkan terjadinya penyakit pada uterus (Bonnett et al. 1991) salah satunya
adalah pyometra.
Pyometra berasal dari Bahasa latin yaitu pyo yang artinya nanah dan
metra kandungan, jadi pyometra adalah infeksi yang disertai penimbunan nanah
yang menyebar di dalam uterus. Menurut Ressang (1984), pyometra adalah
penimbunan nanah dalam uterus yang disebabkan oleh bakteri-bakteri yang secara
normal berada dalam uterus namun dalam keadaan tertentu menjadi patogen
akibat dari pengaruh hormonal. Infeski uterus selalu dihubungkan dengan
Arcanobacterium pyogenes, Escherchia coli, Fusobacterium necrophorum, dan
Prevotella melaninogenicus. Uterus yang mengalami pyometra akan mengalami
kegagalan dalam involusi uteri dan ovarium akan terbentuk korpus luteum (CL)
persisten. Sapi pyometra akan mengalami peradangan uterus. Uterus berada di
bawah pengaruh hormon progestreon yang menekan aktivitas fagositosis untuk
membasmi mikroorganisme patogen, selain itu hormon tersebut menyebabkan
servik tertutup yang menyebabkan nanah terakumulasi di dalam uterus (Cuneo et
al 2006).

Gejala Klinis
Gejala pada sapi betina yang menderita pyometra adalah tidak munculnya
berahi dalam waktu yang lama atau anestrus, siklus berahi hilang karena adanya
CL persisten, cairan nanah mengisi penuh uterus dapat ditemukan dengan palpasi
rektal dan adanya (discharge) berwarna keruh yang berbau busuk berwarna coklat
kemerah-merahan bisa dilihat di sekitar ekor dan vulva. Sapi mengalami kelainan
perilaku seperti sapi sering melihat ke belakang, ekor sering diangkat, dan selalu
merejan (Sayuti 2012). Tubuh sapi penderita pyometra terlihat kurus, bulu suram,
temperatur tubuh naik, respirasi cepat, dan pulsus naik. Sapi tidak mau makan
tetapi banyak minum dan urinasi. Sapi juga dapat menderita peritonitis, depresi,
dan muntah.
Diagnosa Penyakit
Sapi peternak tersebut mengalami pyometra akibat dari kondisi kandang
yang kotor pasca partus sebelumnya. Proses pemeriksaan diawali menanyakan
anamnesa terlebih dahulu kemudian dilakukan inpeksi di sekitar vulva sapi yang
terdapat discharge keruh, kemudian palpasi rektal untuk mengetahui kondisi
cornua uteri dan CL persisten di ovarium. Pengamatan terhadap lingkungan
sekitar kandang juga diperhatikan.
Diagnosa Penunjang
Selain berdasarkan gejala klinis dan palpasi perektal, kasus pyometra dapat
diperiksa dengan Ultrasonography (USG) dan pemeriksaan diferensial leukosit
melalui pembuatan preparat ulas darah untuk mempertegas diagnosa.
Predisposisi
Kejadian pyometra sangat sering terjadi sesudah birahi, bila dari anamnesa
diketahui hewan tersebut tidak pernah kawin maka infeksi-infeksi sekunder dari
mikroorganisme yang secara normal hidup dalam uterus dianggap sebagai causa
penyebab pyometra. Mikroorganisme ini menyebabkan proses radang,
kemungkinan pyometra juga terjadi karena sapi yang estrus tidak terjadi konsepsi.
Gangguan ini menghasilkan kadar estrogen dalam darah berlebihan
(hyperestrogen), dalam keadaan ini hanya sedikit leukosit yang menuju ke dalam
mukosa vagina dan mungkin inilah yang menyebabkan infeksi dalam uterus
mudah terjadi. Nanah dan hasil sekresi dari kelenjar-kelenjar uterina menimbun di
dalam uterus karena kontraksi uterus berkurang bahkan tidak terjadi. Hal ini
diduga karena peningkatan hormon progesteron yang mengganggu fungsi bagian
posterior kelenjar pituitarian (Anonim 2007; Ressang 1984).
Secara umum pyometra juga sering terjadi pada hewan betina yang tua,
berupa pyometra tertutup dan terbuka yang tergantung pada jumlah nanah yang
terkandung didalam uterus. Leleran nanah pada vagina yang berbau khas sangat
jelas terlihat gejalanya pada pyometra terbuka. Pyometra tertutup ditandai dengat

tersumbatnya cervik uterus, pada kasus ini tidak adanya presentasi leleran dari
vagina sehingga indikasi dari pyometra sangat sulit ditentukan (Foster dan Smith
2007).
Menurut Anonim (2004), Faktor predisposisi terjadinya pyometra adalah
pemakain obat-obatan yang berbasis progesteron, penggunaan estrogen dapat juga
meningkatkan progesteron. Obat dengan kandungan steroid kedua hormon ini
sering digunakan untuk memperlakukan kondisi-kondisi tertentu untuk tujuan
reproduktif.
Cervik uterus merupakan pintu masuknya mikroorganisme kedalam
uterus yang selamanya tertutup, kecuali pada saat estrus. Bakteri yang normalnya
ditemukan didalam vagina dapat masuk dengan mudah pada saat terjadi estrus,
jika kondisi uterus normal bakteri yang masuk tidak akan bisa bertahan hidup, jika
kondisi dalam uterus tidak normal akibat adanya cystik kondisi didalam uterus
merupakan tempat yang sempurna untuk perkembangan bakteri. Pyometra sering
terjadi sekitar 1-2 bulan pasca estrus, pyometra bisa saja terjadi pada hewan muda
dan hewan dewasa, bagaimanapun juga pyometra sangat sering terjadi pada
hewan yang berumur tua akibat dari estrus yang tidak disertai dengan kehamilan,
akibatnya perubahan lingkungan uterus yang tidak sesuai dan ini merupakan salah
satu predisposisi untuk pyometra.
Pengobatan
Protokol pengobatan terbaik adalah dengan menggunakan prostaglandin
(PGF2 atau sintetis yang analog) injeksi karena adanya korpus luteum (CL)
persisten. Regresi CL memungkinkan perkembangan folikel dominan pada ovary
yang menghasilkan berahi dan ovulasi 72-96 jam setelah administrasinya (Wulster
et al. 2003). Untuk mencegah terjadinya pengulangan kasus pengobatan
prostaglandin dianjurkan untuk diulangi 12 sampai 14 hari kemudian . Pemakaian
PGF2 menyebabkan relaksasi serviks dan pengeluaran leleran dari uterus
(Hirsbruner et al. 2000). Selain itu penggunaan PGF2 dapat menyediakan
lingkungan uterus yang resisten terhadap kuman (mikrobial) dan meningkatkan
aktivitas pertahanan tubuh pada mekanisme fagositosis (Wulster et al. 2003).
Antibiotik yang dapat diberikan secara intrauterin adalah penisilin bersama-sama
dengan streptomisin yang dilarutkan kedalam aquades atau oksitetrasiklin
(tertramisin) dilarutkan kedalam NaCl 0.9% dimasukkan kedalam uterus dengan
kateter. Penggunaan antibiotika diterapkan setelah semua nanah dalam uterus
dikeluarkan semua melalui irigasi dengan antiseptic (Susanti 2011). Pengobatan
dilakukan selama 26 hari. Cara pengobatan pyometra yang lain adalah dengan
pembedahan, yaitu mengangkat seluruh uterus yang terkena pyometra
(ovariohysterektomi). Operasi ini lazim dilakukan pada kasus pyometra anjing
dan kucing. Namun jarang dilakukan pada sapi karena melihat sisi ekonomisnya
yang kurang menguntungkan.

Pencegahan
Pencegahan penyakit pyometra yaitu dengan mencegah terjadinya
kelukaan atau keradangan mucosa uterus. Sterilisasi peralatan dan operator pada
saat penanganan distokia dan inseminasi buatan sangat penting untuk mencegah
infeksi bakteri dari luar tubuh. Kehati-hatian dalam melakukan penanganan
distokia dan inseminasi buatan berguna untuk mencegah terjadinya kelukaan pada
saluran reproduksi. Sanitasi kandang dan kebersihan tubuh sapi terutama pada
bagian alat kelamin luar berfungsi untuk mencegah berkembangnya bakteri.
Menjaga kesehatan umum sapi juga dapat mencegah terjadinya pyometra.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Pyometra [Internet]. [diunduh 31 Januari 2015]. Tersedia pada:
Http://www.penstone-vets.co.uk/pyometra.htm
Anonim. 2007. Pyometra [Internet]. [diunduh 31 Januari 2015]. Tersedia pada:
www.acvs.org/animalowners/healthconditions/smallanimaltopics/pyometra
indogscats.
Anonimus. 2008. Metritis and Endometritis. New Jersey (US): Merck & Co. Inc
White house station.
Bonnett, B.N., S.W. Martin, V.P. Gannon, R.B. Miller, and W.G. Etherington.
1991. Endometrial biopsy in HolsteinFriesian dairy cows-III.
Bacteriological analysis and correlations with histological findings. Can. J.
Vet. Res. 55:168-173.
Cuneo, S.P., C.S. Card, and E.J. Bicknell. 2006. Disease of Beef Cattle Associated
with Post-calving and Breeding. Cattle Producers Library. London.
Foster and Smith. 2007. Pyometra & infections of the uterus [Internet]. [diunduh
31 Januari 2015]. Tersedia pada: http://www.peteducation.com/article.cfm?
cls=2&ca
Hisbruner, G., R. Ficher, U. Kupfer, H. Burkhardt, and A. Steiner. 2000. Effect of
different doses of prostaglandin F2a on intrauterine pressure and uterine
motility during diestrus in experimental cows. Theriogenology 54(2):291303.
Ressang. 1984. Patologi khusus veteriner. Bali (ID): Bali press.
Sayuti A, Melia J, Amrozi, Syafruddin, Roslizawaty, Fahrimal Y. 2012. Gambaran
klinis sapi pyometra sebelum dan setelah terapi dengan antibiotik dan
prostaglandin secara intrauteri. J Kedokteran Hewan. 6 (2): 99-101.
Susanti AE. 2011. Penanganan pyometra pada sapi [internet]. [diacu 2015 Januari
30]. Tersedia
dari:
http://sumsel.litbang.deptan.go.id/
index.php/
program/psds/ kesehatan-hewan/201-pyometra-pada-sapi.
Wulster, R. M. C., R. C. Seals and G. S. Lewis. 2003. Progesterone increases
susceptibility of gilts to uterine infections after intra uterine inoculation with
infectious bacteria. J. Anim. Sci., 81:1242-1252.

Anda mungkin juga menyukai