Anda di halaman 1dari 8

Warta

TUBERKULOSIS INDONESIA

Wadah Informasi Gerakan Terpadu Nasional TB

Buletin Tiga Bulanan

Volume 27 April-Juni 2014 27/IV/2014

Menkes Serahkan Bantuan GeneXpert


ke RSUD Kabupaten Sorong

enteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A,


MPH serahkan satu unit Bantuan GeneXpert,
alat tes diagnostik cepat bagi penyakit
tuberkulosis secara simbolis kepada pihak
RSUD Kab. Sorong pada saat kunjungan ke RSUD
Sorong, Provinsi Papua Barat pada hari Senin 14 April
2014.
Pada kesempatan tersebut
Menkes
didampingi oleh Direktur Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, Prof. Dr. Tjandra Yoga
Aditama dan Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan, Dr.
Chairul Radjab Nasution juga menandatangani prasasti
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas III Manokwari
sekagilus meresmikan secara simbolis pemakaian
gedung tersebut.
Provinsi Papua Barat tercatat sebagai yang
terendah dalam penemuan kasus TB BTA positif tahun
2013, yaitu 44% dari total penduduk, dengan tingkat
keberhasilan pengobatan sebesar 70%. Oleh karena itu
Kemenkes membatu menyediakan 1 buah GeneXpert
dengan harapan agar mempermudah akses dan
mempercepat diagnosis sehingga pasien khususnya
suspek TB MDR dan TB HIV dapat memperoleh
pengobatan sedini mungkin sesuai standar.

dengan metode konvensional yang memerlukan waktu 3


sampai 4 bulan. Resistensi terhadap Rifampisin
merupakan proxy untuk TB kebal obat (TB MDR).
Terkait penyakit TB, dalam Rapat Kerja
Daerah Bupati dan Walikota se-Provinsi Papua Barat di
Hotel Mariat, Sorong, Menkes menyatakan dibutuhkan
kepemimpinan dari para Kepala Daerah dalam
pengendalian TB untuk menghimbau dan mendorong
masyarakat dengan gejala TB agar segera memeriksakan
diri di pusat pelayanan kesehatan, memberikan akses
pada masyarakat untuk mendapatkan diagnsosis TB,
mendapatkan pengobatan sesuai standar dan menjamin
pasien TB untuk mematuhi pengobatan TB agar dapat
sembuh total dan tidak resisten akibat pengobatan yang
tidak teratur.
Untuk pengobatan satu pasien TB agar bisa
sembuh total, dibutuhkan biayanya 400 ribu sampai 1
juta rupiah. Apabila pasien tersebut resisten (TB Resistan
Obat/TB MDR), dibutuhkan biaya sebesar 110 Juta rupiah
perpasien, jadi memang mahal sekali dan penderitaannya
jauh lebih besar, sambung Menkes. (Puskomlik dan
Subdit TB)

Dengan alat tersebut deteksi M. tuberculosis


dan resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
dapat dilakukan hanya dalam waktu 2 jam dibanding
Serah terima GeneXpert oleh Menkes RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp. a, MPH

Daftar Isi:
Menkes Serahkan Bantuan GeneXpert ke
RSUD Kabupaten Sorong
Peran Komunitas
dan
Pengendalian TB di Indonesia

LSM

dalam

Workshop Komunikasi Efektif TB Resistan Obat


bagi Petugas Kesehatan Medan, 26 Juni 2014.
Kegiatan Kelompok Riset Operasional TB 2014
Pelayanan TB yang Berpusat pada Pasien
Pertemuan Penyusunan Revisi Rencana Aksi
Nasional TB HIV 2015-2019
Implementasi Obat Bedaquiline di Indonesia
Green Light Committee (GLC) Mission 29 April
- 9 Mei 2014
Training of Trainer ISTC DOTS TB
Pojok Foto: Kaledoiskop Kegiatan TB HIV di
Indonesia II

Bu Menkes mengunjungi laboratorium


RSUD Kabupaten Sorong

Peran Komunitas dan LSM dalam Pengendalian TB di Indonesia

ndonesia saat ini menduduki


peringkat keempat sebagai negara
dengan beban TB terbanyak di dunia.
Walaupun telah diperoleh kemajuan
dan keberhasilan yang sangat signifikan
dalam program pengendalian TB, tetapi
besaran masalah yang dihadapi saat ini

masih cukup besar. Diperkirakan pada 2012


terdapat 730.000 kasus baru dan pengobatan
ulang (di antaranya 460.000 adalah kasus
baru) dan masih tingginya angka kematian
akibat TB yaitu 67.000 per tahun atau 186
orang/ hari.

Untuk mencapai target global TB pasca 2015


yaitu eliminasi kematian dan penderita akibat
TB (Zero TB Deaths) tersebut, peran serta
masyarakat dan LSM sangat penting terutama
untuk meningkatkan komitmen masyarakat
terhadap pengendalian TB dan komitmen dari
pemerintah lokal. Selain itu, LSM juga

WARTA TUBERKULOSIS INDONESIA Volume 27 April-Juni 2014 27/IV/2014

berperan dalam menjangkau kelompok


kelompok populasi khusus yang rentan terhadap
TB seperti para perempuan, anak, manula,
ODHA, kaum pendatang, dan para warga binaan.
Pada tanggal 1 12 April 2014,
Thomas Joseph, konsultan TB dari WHO Geneva
datang berkunjung ke Indonesia. Maksud dari
kunjungan beliau kali ini adalah untuk: 1)
meninjau kondisi dan situasi dari kegiatan TB
berbasis komunitas di Indonesia, 2)
Mengidentifikasi potensi peran dari LSM dan
ormas di Indonesia dalam meningkatkan
pelayanan dan program penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia. 3) membuat
rancangan strategi Nasional untuk peran dan
pelibatan LSM dan komunitas dalam
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia.
Serangkaian kegiatan dimulai dengan
kunjungan ke kantor pusat Aisyiyah, LKNU
Cepat, DMI, dan Perdakhi, untuk mendapatkan
gambaran mengenai peran komunitas dan LSM
di Indonesia dalam bekerjasama dengan
pemerintah untuk menanggulangi penyakit
Tuberkulosis di Indonesia.
Pada tanggal 3 April 2014 Thomas
Joseph bersama perwakilan WHO Indonesia dan
Subdit TB PP dan PL berkunjung ke Bandung
untuk melihat aktivitas Aisyiyah di lapangan.
Aisyiyah bekerja sama dengan Lazismu untuk
menyelenggarakan pelatihan membatik bagi
para pasien MDR TB. Seperti kita ketahui
pengobatan TB MDR membutuhkan waktu yang
lama sekitar 18-24 bulan, dimana pasien diminta
untuk datang ke fasyankes setiap hari untuk
pemberian obat, sehingga banyak pasien MDR
yang akhirnya berhenti dari pekerjaannya.
Pelatihan membatik ini bertujuan untuk
memberikan keterampilan bagi pasien MDR dan
dapat menambah penghasilan.

Bersama kader TB di PT Wiska

Kunjungan juga dilakukan untuk


melihat peran dari buruh pabrik sebagai kader TB
membantu pelaksanaan program TB di PT
Dewhirst and PT Wiska. Setelah melakukan
kunjungan di Bandung, Thomas Joseph dan tim
melakukan kunjungan ke KMP Pulo Merak,
Banten untuk melakukan kegiatan yang sama.

Rangkaian
kegiatan
pelibatan
komunitas ini ditutup dengan Workshop
Optimalisasi peran Komunitas dan LSM dalam
pengendalian TB di Indonesia pada tanggal
7-8 April 2014 yang dilaksanakan di Hotel Ibis
kemayoran. Peserta dari workshop ini
sebanyak 50 orang terdiri dari Kementerian
Kesehatan Subdit TB dan subdit HIV, LSM TB,
dan LSM HIV termasuk perwakilan dari forum
stop TB Indonesia. Adapun tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi
peran masing-masing NGO dan CSO dalam
penanggulangan TB di Indonesia, dan
menyusun rancangan strategi nasional untuk
keterlibatan LSM dalam program TB terutama
TB berbasis komunitas dan juga untuk
mensosialisasikan konsep ENGAGE TB dari
WHO (Maria Regina)

Kunjungan ke KMP Pulo Merak

Peserta workshop penguatan peran komunitas dan LSM dalam pengendalian TB di Indonesia,
Hotel Ibis Kemayoran 7 -8 April 2014
"Thomas saat berkunjung ke Lazismu dan
Aisyiyah Jawa Barat"

Kegiatan membatik oleh teman teman pasien TB MDR


bersama dengan kader TB dari kelurahan cicendo

Suasana di kelompok diskusi tim kecil untuk merumuskan strategi nasional Pelibatan LSM dan masyarakat
dalam penanggulangan TB

WARTA TUBERKULOSIS INDONESIA Volume 27 April-Juni 2014 27/IV/2014

Workshop Komunikasi Efektif TB Resistan Obat bagi


Petugas Kesehatan Medan, 26 Juni 2014

anajemen Terpadu Pengobatan


Tuberkulosis
Resistan
Obat
(MTPTRO) sejak tahun 2009 sudah
dimulai di Indonesia. Saat ini kegiatan
tersebut sudah diperluas hampir keseluruh
provinsi di Indonesia. Namun implementasi
MTPTRO masih mengalami beberapa
permasalahan, salah satunya adalah
kecenderungan peningkatan kasus loss to
follow up pada pasien TB Resistan Obat yang
sudah diobati (sekitar 20%). Penyebabnya
antara lain karena efek samping pengobatan,
masalah psikososial, ketidaktahuan pasien
terhadap pentingnya pengobatan serta
kurangnya dukungan dari petugas kesehatan
dan keluarga.
Ada beberapa upaya dalam
mengurangi angka loss to follow up salah
satunya dengan komunikasi yang baik antara
pasien dan petugas kesehatan. Melalui
komunikasi yang baik tersebut, petugas dapat
mengenal kondisi setiap pasien dengan baik
sehingga permasalahan yang terjadi dapat
diidentifikasi dan ditangani secepatnya. Untuk
itulah upaya peningkatan pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan petugas
kesehatan dalam melakukan komunikasi yang
efektif dan mudah dipahami oleh pasien
sangat diperlukan.
Untuk itu, Kementerian Kesehatan
dalam hal ini Subdit TB, bersama mitra terkait
(FHI/TB Care I) menyelenggarakan workshop
komunikasi efektif TB resistan obat bagi
petugas kesehatan dengan melibatkan Expert
Patient Trainer (EPT/pasien terlatih TB
resistan obat). Metode yang digunakan
menekankan pada proses role play/ bermain
peran dengan pasien sesungguhnya.

Workshop ini dilaksanakan pada


tanggal 26 Juni 2014 di Hotel Polonia, Medan.
Peserta workshop sebanyak 14 orang yaitu
dokter dan perawat yang sudah pernah
mendapatkan materi tentang MTPTRO atau
akan dan telah menangani pasien TB resistan
obat. Peserta berasal dari Rumah Sakit Adam
Malik dan fasyankes satelit di kota Medan;
Puskesmas Selayang, Puskesmas Helvetia,
Puskesmas Glugur Barat, Puskesmas
Simpang Limun, Puskesmas Amplas 2, serta
dihadiri oleh subdit TB, KNCV, dan Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Fasilitator
dalam kegiatan ini adalah dr. Kemmy A.
Purnamawati, dr. Hendra Widjadja, Drs. Joko
Siswanto, M.Kes, dr. Betty Nababan, dr.
Parluhutan Siagian, Sp.P.

Pamaparan Materi oleh Fasilitator dalam


Workshop Komunikasi Efektif TB Resistan
Obat bagi Petugas Kesehatan di Medan

Kegiatan yang dilaksanakan meliputi


brain storming bagi petugas kesehatan terkait
pengalaman selama merawat pasien TB
resistan obat, pemaparan dan tanya jawab
mengenai teknik komunikasi efektif, prinsip
umum perawatan kronik yang baik, prinsip 5M
(mengkaji, menyarankan, meyetujui, membantu
dan menjadwalkan) serta role play/ bermain
peran. Role play dilakukan oleh petugas
kesehatan langsung dengan EPT. Satu orang
EPT melakukan konsultasi dengan satu

orang dokter atau perawat. Role play


dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap
pertama membahas mengenai psikososial
dan ekonomi saat pasien masih menjadi
suspek dan penyampaian hasil pemeriksaan
sedangkan tahap ke dua membahas
mengenai efek samping pengobatan. Dalam
setiap tahap tersebut dilakukan dua kali
putaran yang terdiri dari 10 menit tanya jawab
pasien dengan petugas dan 5 menit umpan
balik dari pasien kepada petugas tersebut.
Suasana cukup hidup ketika role play
berlangsung
karena
pasien
dapat
mengutarakan apa yang dirasakan selama
menjadi pasien. Demikian juga petugas mau
mendengarkan, memberikan feedback serta
merasa lebih tersentuh karena diberi
kesempatan lebih lama berinteraksi langsung
dengan pasien dan merasakan apa yang
dialami pasien selama ini.
Output dari workshop ini adalah
petugas kesehatan dapat memahami dan
merasakan apa yang dihadapi pasien TB
resistan obat selama ini, sehingga diharapkan
kemampuan petugas kesehatan dalam
melakukan komunikasi yang efektif dan
mudah dipahami oleh pasien TB Resistan
Obat dapat meningkat. (Rena Titis)

Role play petugas kesehatan dengan


pasien TB resistan obat (EPT)

Kegiatan Kelompok Riset Operasional TB 2014

uberkulosis (TB) masih merupakan


masalah kesehatan masyarakat yang
menjadi tantangan global, berbagai
tantangan baru pengendalian TB
mencuat dalam beberapa tahun terakhir, seperti
MDR-TB, TB-HIV, TB-DM dan TB-Anak. Di
samping itu, program TB nasional masih
terkendala dengan perlunya segera melibatkan

praktik dokter swasta dalam program


pengobatan TB. Untuk mengatasi hal ini,
program pengendalian TB perlu riset-riset
operasional untuk merumuskan kebijakan
inovatif, efektif dan berbasis bukti. Riset
operasional bertujuan meningkatkan penelitian
dan pengembangan berbagai alat diagnosis,
obat, vaksin, serta penerapan metode baru, dan

menjamin
pemanfaatan,
keterjangkauannya (Stop
2006-2015).

akses
dan
TB Strategy

Upaya
yang
dilakukan
oleh
Kementerian Kesehatan RI dalam mencapai
target global maupun nasional serta peningkatan
mutu program nasional pengendalian atau

WARTA TUBERKULOSIS INDONESIA Volume 27 April-Juni 2014 27/IV/2014

tuberkulosis, antara lain melaksanakan riset


operasional di bidang tuberkulosis.
TORG
(Tuberculosis Operational Research Group)
Kelompok Kerja Riset Operasional Tuberkulosisme
salah satunya adalah melakukan kegiatan capacity
building di 27 provinsi melalui workshop, dan telah
menghasilkan 32 tim riset operasional tuberkulosis
dengan riset operasional topik masalah/kebutuhan
spesifik daerah. Operasional riset yang dihasilkan
telah terdokumentasi berupa extended abstract
dan dibukukan, yang akan digunakan oleh
pengambil keputusan dalam menyusun strategi
pengembangan program TB.
Kegiatan Riset Operasional Tuberkulosis yang
dihasilkan:

. Multi Country Workshop on TB Prevalence


Survey
Workshop diikuti oleh delegasi dari Nepal, Korea
Utara, dan Bangladesh, untuk melihat
implementasi pelaksanaan survei prevalensi TB
di Indonesia, dalam rangkaian kegiatan
workshop tersebut dilakukan kunjungan
lapangan cluster di Kabupaten Karangasem,
Provinsi Bali (Februari 2014).

. Simposium New approach in diagnosis TB

prevention and management (current


research results)
Simposium diseminasi riset operasional TB ini
diselenggarakan dalam rangka peringatan Hari
TB Sedunia 2014, tanggal 29 Maret 2014 di
Menara 165 Jakarta, diikuti oleh para dokter,
peneliti, para mahasiswa fakultas kedokteran,
mahasiswa fakultas kesehatan masyarakat, dan
staf peneliti atau staf dari instansi terkait.
Sebagai pembicara adalah TORG, Bagian
Mikrobiologi FK UI, UNPAD, FKM UI.

. Penerbitan Buku Panduan Standar Seleksi

Audiensi di kantor Dinkes Kab. Karangasem

. Survei Prevalensi TB 2013 - 2014

Untuk menentukan prevalensi nasional TB


dengan konfirmasi bakteriologis positif
pada penduduk usia lebih dari atau sama
dengan 15 tahun. Pelaksana oleh Badan
Litbangkes Kemenkes. Hasil sementara: 1)
Manajemen Kasus: pasien TB yang
ditemukan
di
setiap
cluster
dikomunikasikan ke wasor kabupaten;
wasor kabupaten diminta menghubungi
puskesmas di mana pengumpulan data
dilakukan untuk menghubungi pasien; dari
90 cluster yang sudah direview, 279 pasien
teridentifikasi, termasuk 9 pasien MDR TB;
2) Lab: GeneXpert dari semua isolat yang
positif TB (tambahan sekitar 230 dari yang
kultur positif namun belum ada hasil
GeneXpert); uji kepekaan obat untuk yang
GeneXpert resisten Rifampisin dan yang
sensitif Rifampisin namun mempunyai
riwayat pengobatan TB.

dan
Fasilitasi
Pelaksanaan
Riset
Operasional Tuberkulosis Indonesia, 2014
Merupakan buku panduan (standard
operating procedure), sebagai panduan
dalam menentukan jenis dan topik riset
operasional, dan tim peneliti; juga sebagai
suatu mekanisme dan semua isolat yang
positif TB (tambahan sekitar 230 dari yang
kultur positif namun belum ada hasil
GeneXpert); uji kepekaan obat untuk yang
GeneXpert resisten Rifampisin dan yang
sensitif Rifampisin namun mempunyai
riwayat pengobatan TB.

Pembicara TORG menyampaikan materi


pada Simposium TB Day 2014

. Workshop

Analisis Data dan Penyusunan


Laporan Riset Operasional TB
Angkatan 9 (Juli 2014), peserta adalah tim
peneliti provinsi Kalbar, Riau, Sulteng, dan
Malut. Topik riset sesuai dengan kebutuhan
program atau permasalahan di daerah/ provinsi
masing-masing. Tujuan workshop: memberikan
kapasitas menganalisis data dan menyusun
laporan penelitian. Sebagai keluaran adalah
Laporan Hasil Riset Operasional TB Provinsi
Kalbar, Riau, Sulteng, dan Malut. Hasil riset ini
akan didiseminasikan kepada instansi terkait
tuberkulosis pada bulan Agustus 2014.

Peserta kunjungan lapangan di Balai Banjar, Karangasem, Bali.

Peserta dan Narasumber Workshop Analisis dan Laporan Riset Operasional TB

. TB Reach Wave 3, 2013/2014

Merupakan Social Business Models untuk


GeneXpert scale-up di sektor swasta,
tujuan untuk mendeteksi lebih banyak
kasus (CDR meningkat hingga 90%); untuk
merawat/mengobati lebih banyak pasien
(100%); dan untuk meningkatkan tingkat
keberhasilan sampai 95%. Pelaksana oleh
PT ISI. Status saat ini dalam proses
pelaksanaan.

WARTA TUBERKULOSIS INDONESIA Volume 27 April-Juni 2014 27/IV/2014

. Call for Proposal Riset Operasional topik

prioritas program (2014/2015)


Merupakan pelaksanaan riset operasional
yang dibutuhkan program TB nasional
dalam waktu dekat, sebagai respon
terhadap rekomendasi JEMM dan TORG
(hasil rekomendasi JEMM dan Monev
Nasional TB), dengan topik-topik OR yang
ditentukan sesuai prioritas program, yaitu
topik MDR-TB, TB-HIV, dan TB Anak.
(TORG & Tim OR Subdit TB)

Pelayanan TB yang Berpusat pada Pasien

oseph Novi menuturkan "kadang kala


pelayanan kesehatan tidak terlalu
memperhatikan pasien, saya merasa
kurang diperlakukan dengan baik
padahal saya ingin berkonsultasi mengenai
penyakit saya".
Joseph adalah mantan pasien TB
Resistan obat (TB MDR) yang telah sembuh.
Dia menceritakan pengalamannya ketika
menjadi pasien TB memerlukan penanganan
rumit, baik dari sisi medis maupun dukungan
psikososial. Apa yang dialami Joseph
mungkin saja terjadi dalam suatu lembaga
layanan publik seperti rumah sakit.
Bagaimanapun, dokter, perawat dan pasien
adalah elemen yang saling terkait dan
berhubungan dengan fungsi dan kepentingan
masing-masing. Menurut Global Tuberculosis
Report 2012, Joseph ada diantara 331.424
pasien TB di Indonesia yang mempunyai hak
untuk sembuh. Penanganan yang sesuai
dengan kebutuhan mereka akan membantu
pencapaian tujuan program TB nasional.
Pasien berhak untuk memperoleh
pelayanan terbaik. Bila pasien tidak nyaman
dalam menjalankan pengobatannya seperti
yang dialami Joseph, mereka dapat saja putus
berobat. Bila salah penatalaksanaan atau
putus berobat maka dapat mengakibatkan
terjadinya TB resistan obat. Lebih dari itu,
Sebagai penyakit menular, TB akan menyebar
ke orang lain, terutama yang berada di
lingkungan pasien itu sendiri. Bisa
terbayangkan efek domino bila ini terjadi.
Untuk mengetahui layanan yang
berpihak pada pasien
maka diperlukan
panduan dan standar operasional untuk
mengimplementasi Pendekatan Berpusat
pada
Pasien
(Patient
Centered
Approach/PCA) yang sesuai dengan situasi
dan kebutuhan di Indonesia. Untuk
itulah
diadakan
Workshop

Pendekatan Berpusat pada Pasien (PBP) di


Hotel Acacia, Jakarta, 14-15 April 2014 yang
difasilitasi TB CARE I USAID. Workshop ini
dihadiri 25 orang peserta dari Subdit TB,
Dinas Kesehatan Provinisi, Lembaga
Swadaya Masyarakat, mantan pasien TB
dengan menghadirkan Sara Massaut sebagi
nara sumber.
Lokakarya ini adalah bentuk tindak
lanjut dari penelitian PCA sebelumnya yang
telah dilakukan di Jawa Barat pada 3
kabupaten yaitu Cimahi, Cianjur dan Bandung
pada November 2012 - Januari 2013. Uji
coba Pendekatan berbasis pasien ini
mengunakan tiga instrument yakni Piagam
Hak dan Kewajiban Pasien TB, Quote TB Light
dan perkiraan biaya yang diperlukan oleh
pasien untuk mengakses pengobatan TB
(Patient Cost).

Peserta Workshop sedang melakukan diskusi kelompok

Pendekatan yang berpusat pada


pasien adalah sebuah pendekatan yang
menempatkan pasien sebagai pusat dari
usaha
peningkatan
kualitas
layanan
tuberkulosis
di
Indonesia.
Persepsi,
pengetahuan, pengalaman dan keahlian
pasien sebagai penerima manfaat langsung
dari layanan tuberkulosis menjadi katalisator
lewat feedback secara positif pada usaha
meningkatkan kualitas layanan kesehatan di
puskesmas dan rumah sakit.

Berdasarkan
hasil
ujicoba
penerapan PBP di Provinsi Jawa Barat
ditemukan beberapa hal penting terkait
persepsi pasien terhadap layanan kesehatan
tuberkulosis di Jawa Barat. Temuan-temuan
berupa informasi tingkat pengetahuan dan
persepsi pasien serta penyedia layanan
kesehatan dalam pelayanan pengobatan TB,
faktor sosial budaya dan konteks yang
mempengaruhi health beliefs dan health
seeking behaviour terkait TB serta kisaran
biaya yang dibutuhkan pasien dalam mencari
dan mematuhi pengobatan TB, dan yang
terakhir adalah gambaran pelayanan TB
dalam hal ketersediaan dan akses terhadap
pelayanan TB.
Berdasarkan pembelajaran dari uji
coba PBP di Jawa Barat ini maka dilakukan
pengembangan kerangka dasar panduan dan
petunjuk teknis untuk implementasi PBP.
Petunjuk teknis PBP diharapkan bisa menjadi
panduan bagi implementasi pendekatan yang
berpihak pada pasien di Indonesia.
Keterlibatan Organisasi masyarakat sipil
dalam implementasi pendekatan diharapkan
akan menjadi nilai tambah dalam penguatan
suara pasien dalam memberikan umpan balik
terhadap layanan tuberkulosis. Tentu saja, hal
tersebut tidak secara otomatis menghasilkan
keberpihakan pada pasien, namun alat ini
memungkinkan pasien TB untuk berpartisipasi
dan terdengar suaranya oleh program
pengendalian TB, khususnya di Indonesia.
(Nana & Varel).

Pertemuan Penyusunan Revisi Rencana Aksi Nasional


TB-HIV 2015-2019

trategi baru Global Fund New Funding


Mechanism
2015-2019
membutuhkan suatu concept note
tunggal TB-HIV. Dengan adanya
beberapa perkembangan terbaru, Rencana

Aksi Nasional (RAN) TB-HIV yang dimiliki saat


ini perlu direvisi. Pada tanggal 12-13 Juni
2014, bertempat di hotel SwissBel Mangga
Besar Jakarta, Kementerian Kesehatan melalui
pendanaan Global Fund TB dan TB CARE I

mengadakan pertemuan untuk melakukan


pengkajian terhadap hasil capaian kolaborasi
TB-HIV. Selain itu dalam pertemuan ini juga
dilakukan
analisis
situasi
untuk
mengidentifikasi beberapa tantangan utama

WARTA TUBERKULOSIS INDONESIA Volume 27 April-Juni 2014 27/IV/2014

dalam implementasi kolaborasi TB-HIV dan


mendiskusikan beberapa aktifitas utama yang
akan
dirumuskan
sebagai
strategi
implementasi dalam RAN TB-HIV 2015-2019.
Pertemuan ini dibuka oleh Kepala
Seksi Standarisasi & Kemitraan Subdirektorat
TB, Kementerian Kesehatan RI mewakili
Kasubdit TB. Kemudian dilanjutkan dengan
penjelasan mengenai Joint Concept Note
TB-HIV oleh dr. Chawalit Natpratan dari
FHI360. Untuk landasan diskusi kelompok
maka dr. Vanda dari subdit TB memberikan

materi paparan mengenai Strategi & Capaian


Kolaborasi TB-HIV berdasarkan RAN 2011-2014
serta Ibu Nurjanah dari Subdit AIDS membawakan
materi paparan mengenai Rancangan Kerangka
untuk RAN TB-HIV 2015-2019.

Peserta melakukan Diskusi Kelompok melengkapi


kerangka kerja untuk menulis RAN TB-HIV

Peserta kemudian dibagi menjadi 4 kelompok


dimana
masing-masing
kelompok
mendapatkan tugas untuk melengkapi matriks
kerangka kerja yang menjadi alat bantu untuk
menyusun revisi RAN TB-HIV yang baru. Hari
kedua diisi dengan presentasi dari
masing-masing kelompok serta tanya-jawab
untuk memperkaya isi matriks. Pertemuan
pun kemudian kembali ditutup oleh dr. Vanda
dengan rencana tindak lanjut yaitu penulisan
rancangan RAN TB-HIV 2015-2019 oleh tim
sekretariat. (Merry Samsuri).

Implementasi Obat Bedaquiline di Indonesia

ejak tahun 2009 Program Nasional


Pengendalian Tuberkulosis (TB) telah
melaksanakan
pengembangan
kegiatan pelayanan pengobatan pasien
TB yaitu pelayanan pasien TB yang telah
resistan terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
lini pertama, yang dikenal sebagai pasien TB
MDR (Multiple Drug Resistant).
Sejak dari awal pelaksanaannya
hingga saat ini, Manajemen Terpadu
Pegendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)
memiliki masalah yang cukup kompleks,
seperti angka resistensi obat flouroquinolon
yang cukup tinggi (40% di beberapa daerah),
resistensi obat aminoglycoside sebanyak 20%
dari total jumlah kasus dan gagal dalam
pengobatan TB MDR. Keadaan seperti ini yang
selanjutnya akan mengakibatkan kasus
pre-XDR TB (resisten fluoroquinolones dan
obat lini kedua) yang saat ini masih sangat
terbatas pilihan obat yang bisa digunakan.
Keadaan pasien pre-XDR TB ini diperparah
karena harus meninggalkan keluarga dan
rumah mereka untuk melakukan pengobatan di
RS pusat rujukan TB MDR, sehingga
mengakibatkan pasien dalam keadaan depresi.
Hal tersebut melatarbelakangi WHO untuk
merekomendasikan mengenai penemuan obat
TB MDR baru, yaitu Bedaquiline.
Bedaquiline sebagai obat tambahan
dalam kasus pengobatan TB MDR diharapkan
dapat mengurangi efek samping yang selama
ini dirasakan oleh pasien yang menkonsumsi
obat TB MDR sehingga angka gagal dalam
pengobatan bisa berkurang. Selain berfungsi
mengurangi efek samping, Bedaquiline juga
dapat digunakan dalam kasus pre-TB XDR.
Indonesia

Selain akan diimplementasikan di


Bedaquiline
juga
akan

diimplementasi di empat negara lainnya yaitu


Filipina, Vietnam, Kazakhtan dan Afrika Selatan.
Sosialisai obat Bedaquiline ini diawali dengan
diadakannya workshop pada tanggal 3-4 Mei
2014 di Jakarta dan dihadiri oleh dr. Christian
Lienhart dan dr. Jennifer Furrin dari
WHO-Geneva, WHO Indonesia, Subdit TB
Kemenkes RI, KNCV TB Care, dan selain itu
juga antar lintas sektoral terkait seperti BPOM,
BPPM, dan tim ahli klinis dari masing-masing
RS pilot sites obat bedaquiline yaitu RSUP
Persahabatan Jakarta, RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung dan RSUD dr. Soetomo Surabaya.
Workshop tersebut dibuka dengan
presentasi singkat mengenai program TB MDR
di Indonesia oleh Kasubdit TB Ditjen P2PL
Kemenkes RI ibu drg. Dyah Erti Mustikawati,
MPH. Selanjutnya pihak dari WHO-Genevan
yaitu dr. Christian Lienhart dan dr. Jennifer
Furrin menjelaskan tentang prinsip dasar
penggunaan obat bedaquiline, efektifitas obat
tersebut dalam mengobati kasus TB MDR
berdasarkan hasil uji klinis yang sudah
dilakukan, sampai dengan tahap-tahap
implementasi obat Bedaquiline di Indonesia
serta pembentukan Tim Working Group Obat
Bedaquiline yang bertugas untuk merencakan
proses-proses implementasi obat Bedaquiline
di Indonesia yang pengobatan awalnya dimulai
01 April 2015. Ada beberapa ketentuan yang
sudah ditetapkan oleh WHO dalam penggunaan
obat Bedaquiline di Indonesia, salah satunya
adalah monitoring efek samping yang ketat
selama pemberian obat tersebut yang biasanya
kita kenal dengan sistem pharmacovigilance di
ketiga RS pilot sites tersebut.
Rangkaian kegiatan selanjutnya
setelah workshop implementasi obat
Bedaquiline adalah kunjungan lapangan ketiga
RS pilot sites untuk mengetahui sistem

WARTA TUBERKULOSIS INDONESIA Volume 27 April-Juni 2014 27/IV/2014

pharmacovigilance yang sudah ada saat ini.


Kunjungan lapangan dilaksanakan pada tanggal
11 Juni 2014 di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung
dan 12 Juni 2014 di RSUD dr. Soetomo
Surabaya. Peserta dari kunjungan ini adalah dari
KNCV TB CARE, Subdit TB, BPOM dan tim klinis
terpadu dari masing-masing rumah sakit. Hasil
dari kunjungan tersebut adalah masing-masing
RS pada dasarnya sudah memiliki formulir
monitoring efek samping, tetapi pencatatannya
tidak rutin hanya bersifat kadang-kadang saja dan
hasilnya tidak dilaporkan ke management RS atau
pihak terkait seperti MESO BPOM, hanya menjadi
catatan bagian farmasi saja.

Kunjungan ke RSUP Persahabatan Jakarta

dr. Jennifer Furrin di RSUP Persahabatan berinteraksi


dengan pasien TB MDR fase lanjutan yang sedang minum obat

Serangkaian acara tersebut ditutup


dengan briefing di Subdit TB yang
mempresentasikan hasil kunjungan beserta
rekomendasinya. Diharapkan implementasi obat
Bedaquiline ini dapat berjalan sesuai dengan
rencana dan tepat waktu. (Tiara)

Green Light Committee (GLC) Mission 29 April 9 Mei 2014

alam upaya peningkatan pelayanan


yang terstandar dan untuk
mencegah
serta
mengurangi
kemungkinan adanya tindakan yang
kurang tepat terkait isu-isu klinis dan
manajerial dalam pengelolaan pada pasien
Multi Drug Resistance Tuberculosis (TB
MDR) atau TB Resistan Obat, maka pada
tanggal 29 April 9 Mei 2014 dilakukan
penilaian dan evaluasi oleh Green Light
Committee (GLC) yang diwakili oleh dr.
Michael Rich. Sebelumnya, pada tahun
2013 GLC juga melakukan kunjungan ke
Indonesia dan memberikan beberapa
rekomendasi untuk kegiatan Manajemen
Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat
(MTPTRO).
Rekomendasi-rekomendasi
yang diberikan saat GLC Mission
sebelumnya sudah dilaksanakan oleh
Indonesia dan salah satu keberhasilan yang
dicapai adalah meningkatnya jumlah pasien
TB MDR yang diobati.

Kesehatan Provinsi membahas tentang


rencana strategi pengembangan MTPTRO
provinsi dan dilanjutkan dengan sesi
diskusi. Kunjungan ini diharapkan dapat
meningkatkan motivasi tim pengelola
program TB provinsi dalam mengemban
tugas mereka terkait kegiatan MTPTRO.

Kunjungan kali ini diawali


pertemuan dr. Michael Rich dengan
National TB Program (NTP), WHO, dan
KNCV. Setelah itu dilakukan kunjungan ke
Dinas Kesehatan Provinsi, Rumah Sakit
Rujukan TB MDR, Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (Fasyankes) Satelit TB MDR di
tiga kota yakni Bandung, Surabaya, dan
Jakarta. Agenda pertama di Dinas

RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung,


RSUD dr. Soetomo Surabaya, dan RSUP
Persahabatan Jakarta merupakan tiga lokasi
MTPTRO yang sudah menjadi pusat rujukan
TB MDR sejak tahun 2009. Tingginya angka
lost to follow up pasien TB MDR di
Indonesia masih menjadi PR besar kita
semua. Penyebab dari lost to follow up ini
antara lain karena pasien takut/tidak kuat
dengan efek samping obat, kurangnya
dukungan dari lingkungan sekitar, dan
berbagai masalah sosial ekonomi lainnya.
Saat bertemu degan para pasien TB MDR,
dr. Michael Rich menyarankan agar selalu
mengutarakan keluhan terkait efek samping
yang dirasakan kepada petugas kesehatan,
dan juga dapat bercerita dengan teman
sesama pasien TB MDR untuk mengurangi
beban mereka. Di lokasi MTPTRO dr.
Michael Rich sempat mengevaluasi
pencatatan dan pelaporan yang dilakukan
petugas poli TB MDR. Meski ada beberapa
yang belum lengkap, namun secara
keseluruhan sudah baik. Pada kesempatan

Kunjungan Tim ke RSUD dr. Soetomo, Surabaya

Kunjungan ke RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung

itu juga diadakan sesi Guest Lecture kurang


lebih 60 menit dari dr. Michael Rich untuk
para petugas kesehatan dan PPDS di rumah
sakit yang ingin berdiskusi seputar TB
MDR.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes) Satelit TB MDR juga memiliki
peran penting dalam keberlangsungan
pegobatan pasien TB MDR. Fasyankes
satelit merupakan perpanjangan tangan dari
RS rujukan. Pasien di rumah sakit rujukan
dapat
didesentralisasi
ke
puskesmas/rumah sakit sekitar tempat
tinggal pasien, dengan catatan petugas
kesehatan di fasyankes tersebut telah dilatih
MTPTRO. Sampai dengan saat ini tercatat
697 fasyankes satelit di Indonesia yang
sudah dapat menatalaksana pasien TB
MDR. Tujuan dari desentralisasi ini agar
pasien tidak putus berobat. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini juga dilakukan
kunjungan ke fasyankes satelit, yaitu
Puskesmas Puter Bandung dan Puskesmas
Krembangan Selatan Surabaya.
Pada kunjungan kali ini dr.
Michael Rich memberikan bebrapa
rekomendasi terhadap kegiatan MTPTRO di
Indonesia antara lain; tetap melanjutkan
program MTPTRO yang telah berjalan,
meningkatkan penemuan kasus dengan
cepat menggunakan Rapid Test dan DST,
pengobatan yang kuat dan tepat pada
pasien TB dan TB MDR, serta melakukan
pengembangan kapasitas laboratorium.
Hasil dari kunjungan GLC ini akan menjadi
input terhadap peningkatan kualitas
program MTPTRO di Indonesia. (Triana)

Training of Trainer ISTC DOTS TB

eringkali diagnosis TB paru dan TB


ekstraparu menjadi sulit karena gejala
yang tidak spesifik. Munculnya
penyakit HIV serta interaksi antara TB
dan HIV akan semakin menambah
kompleksitas permasalahannya. Multiple
Drug Resistance (MDR) TB merupakan

permasalahan yang muncul sebagai risiko


ekspansi DOTS. Apabila masalah ini tidak
diantisipasi dengan baik, maka biaya yang
diperlukan untuk mengendalikan masalah TB
resisten obat berada di luar kemampuan
sistem kesehatan nasional. International
Standard of TB Care (ISTC) merupakan suatu

upaya untuk membantu mengakomodasi


keterlibatan berbagai penyedia pelayanan baik
pemerintah maupun swasta dalam pelayanan
pasien TB. Berbagai permasalahan yang
ditemui dalam penanggulangan TB baik dari
segi klinis maupun program menyebabkan
perlunya penyebaran informasi di kalangan

WARTA TUBERKULOSIS INDONESIA Volume 27 April-Juni 2014 27/IV/2014

medis secara lebih luas, oleh karena itu


Kementrian Kesehatan bekerjasama dengan
PAPDI/PERPARI melaksanakan Training of
Trainer ISTC DOTS TB 2014 pada Sabtu dan
Minggu, 7-8 Juni 2014 di Hotel Grend
Alia-Jakarta Pusat.

Kepala Dinas yang berasal dari Provinsi Jawa


Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi
Selatan, Sumatra Utara, dan Makassar.
Metode yang digunakan dalam kegiatan ini
terdiri dari pembahasan, diskusi, dan evaluasi
dari hasil Rencana Tindak Lanjut (RTL).
Peserta diberikan modul materi dari presentasi
pembicara.

Para Peserta dan Nara Sumber TOT ISTC DOTS TB

Kegiatan ini dihadiri oleh 30 peserta


yang berasal dari IDI, PAPDI, PERPARI dan

Adapun
materi-materi
yang
disampaikan dalam pelatihan tersebut; Situasi
TB Terkini & Tatalaksana Pasien TB oleh
Program Nasional, ISTC, TB MDR, PPI,
Diagnosis TB Dewasa dan TB Laten,
Pengobatan TB Dewasa, Kondisi Khusus &
Komorbid, TB Extra Paru, TB HIV, Realisasi
Pelayanan TB di Praktek Swasta Terintegrasi
dengan Program Nasional, Micro Teaching
(Penyamaan cara penyampaian materi),
Pencatatan dan Pelaporan serta Jejaring P2TB.
Kegiatan ini terlaksana dengan baik dan
sukses. (Silvia Dini).

Para Narasumber Menyampaikan Materi

POJOK FOTO: KALEDOISKOP KEGIATAN


TB HIV DI INDONESIA II
Pelindung:
Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SH, M.Si, Sp.F (K)
(Plt. Direktur Jenderal PP & PL)
Penasehat:
Dr. Slamet, MHP
(Direktur PPML)
Penaggung Jawab:
drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH
(Ka Subdit TB)
Dewan Redaksi:
Ketua Redaksi
dr. Vanda Siagian
Para Peserta Joint Planning TB-HIV dari 19 Provinsi, Jakarta 21-28 Mei 2014.

Redaksi
dr. Triya Novita Dinihari
Totok Haryanto, SKM
Budiarti, S., SKM, M. Kes
Nurul Badriyah, SKM
drg. Devi Yuliastanti
Silvia Dini, SKM
Dangan Prasetya, S.I.P.
Redaksi Kehormatan:
Prof. Dr. dr. Sudijanto Kamso

Para Peserta Workshop Pertemuan Peningkatan Kapasitas


Petugas Kesehatan Lapas & Rutan Provinsi DI Yogyakarta, April 2014

Para Petugas sedang mendengarkan arahan Teknis Lab. TB


di Lapas pada Maret 2014.

Administrasi:
Harsana, SE
Alamat Redaksi:
Subdit TB, Dit PPML, Ditjen PP & PL,
DEPKES RI
Gedung B Lantai 4
Jl. Percetakan Negara No. 29
Jakarta 10560 Indonesia
Telp/Fax: (62 21) 428 04154
Website: www.tbindonesia.or.id
Email: subdittb@tbindonesia.or.id

Para Peserta Refreshing dan Pelaporan TB-HIV untuk


Lapas dan Rutan di Jakarta, April 2014.

Petugas sedang berlatih TIPK dengan EPT, Medan 4-6 Juni 2014.

WARTA TUBERKULOSIS INDONESIA Volume 27 April-Juni 2014 27/IV/2014

Anda mungkin juga menyukai