Anda di halaman 1dari 90

KEMUNDURAN MUTU IKAN GURAMI

(Osphronemus gouramy) PASCA PANEN PADA PENYIMPANAN


SUHU CHILLING

RIJAN ZAKARIA

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

RINGKASAN
RIJAN ZAKARIA. C34104021. Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus
gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling. Dibimbing oleh
NURJANAH dan TATI NURHAYATI
Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi dan dapat
dicerna dengan mudah oleh manusia.
Pada umumnya ikan mempunyai
kandungan kolesterol rendah dan asam lemak berantai ganda dengan jumlah yang
besar. Komposisi kimia ikan tergantung dari spesies ikan, umur, habitat, dan
pakan. Salah satu contoh spesies ikan yang memiliki kandungan protein yang
tinggi, yaitu ikan gurami.
Ikan gurami memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan banyak dikonsumsi
oleh masyarakat sebab ikan ini memiliki rasa daging yang enak, mempunyai
kandungan gizi tinggi yang bermanfaat untuk pertumbuhan maupun pembentukan
energi. Biasanya ikan gurami banyak dijual di pasaran dalam keadaan segar baik
dalam kondisi masih hidup ataupun yang sudah mati. Kesegaran ikan gurami
dapat dipertahankan dengan penyimpanan suhu chilling.
Penelitian ini dibagi menjadi 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui
karakteristik dan fase post mortem ikan gurami dengan berbagai umur panen,
yakni umur 2,5 tahun (A); 1,5 tahun (B); dan umur 8 bulan (C) sebagai patokan
untuk uji objektif. Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui tingkat
kesegaran ikan gurami menggunakan uji subjektif (organoleptik) dan objektif
(TVB, TPC, pH, assay aktivitas enzim katepsin dan konsentrasi protein katepsin).
Uji organoleptik dilakukan pada 14 titik dengan selang pengamatan setiap 6 jam
sekali. Uji TVB, TPC, pH, assay aktivitas enzim katepsin dan konsentrasi protein
katepsin dilakukan pada fase pre-rigor, rigor, post rigor dan deteriorasi.
Ikan gurami A, B, dan C memiliki berat total dan panjang total secara
berturut-turut, yakni: 995,45 g 1,85 g , 36-38 cm, 697,65 g 1,24, 32-34 cm;
345,55 g 1,42, 27-29 cm. Rendemen gurami adalah kepala 45-52 %; tulang
30-38 %; jeroan 6-8 %; insang 1-2 %; sirip 3-5 % dan sisik 4 %. Komposisi kimia
ikan gurami adalah kadar air 72,96-75,48 %; abu 0,95-1,03 %; lemak 2,20-2,79 %
dan protein 18,71-20,67 %.
Ikan gurami A mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan
deteriorasi secara berturut-turut adalah pada jam ke-0, 36, 228, dan 324. Ikan
gurami B pada jam ke 0, 30, 198 dan 268 sedangkan ikan C, yakni jam ke 0, 24,
180, dan 234. Ikan gurami A mengalami kemunduran mutu lebih lambat
dibandingkan dengan ikan gurami B dan C. Nilai organoleptik ikan gurami
selama penyimpanan berselang antara 2-9. Ikan gurami memiliki nilai log TPC
antara 3,079-9,176 CFU/ml, pH antara 5,92-6,87, TVB antara 7,28-32,42 mg
N/100 g, aktivitas enzim katepsin antara 0,233-1,733 U/ml dan konsentrasi
protein enzim katepsin antara 0,457-0,253 mg/ml. Hasil ANOVA =0,05
menunjukkan perbedaan umur panen dari ketiga ikan gurami memberikan
pengaruh yang nyata terhadap laju kemunduran mutu ikan terkait pada uji objektif
yang meliputi uji TPC, pH, TVB, dan aktivitas spesifik enzim katepsin.

KEMUNDURAN MUTU IKAN GURAMI


(Osphronemus gouramy) PASCA PANEN PADA PENYIMPANAN
SUHU CHILLING

Oleh:
RIJAN ZAKARIA
C34104033

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

Judul Skripsi

: KEMUNDURAN MUTU IKAN GURAMI


(Osphronemus gouramy) PASCA PANEN PADA
PENYIMPANAN SUHU CHILLING

Nama Mahasiswa

: Rijan Zakaria

Nomor pokok

: C34104021

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Pembimbing I

Pembimbing II

Ir. Nurjanah, MS
NIP 131578848

Dr. Tati Nurhayati S.Pi M.Si


NIP 132149436

Diketahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc


NIP. 131 578 799

Tanggal lulus :

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI


Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul
Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Pasca
Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling adalah hasil karya saya sendiri
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun
yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, September 2008

Rijan Zakaria
C34104021

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan judul Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Pasca
Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi
ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini,
terutama kepada:
1. Ayah dan ibu tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan,
baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada
penulis.
2. Ibu Ir. Nurjanah M.S dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku komisi
pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada
penulis.
3. Bapak Ir. Dadi R Sukarsa dan Ibu Ir. Wini Trilaksani M.Si selaku dewan
penguji atas segala masukan dan kritikan yang membangun demi
penyempurnaan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Si selaku pembimbing akademik atas
bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis.
5. Bapak Ir Agoes M Jacoeb selaku komisi pendidikan THP atas kesabaran,
saran, dukungan yang telah diberikan pada penulis
6. Keluarga kakakku tercinta Yudi Astuti, Budi Netti, Saefudin Nurmiati, Adi
Nurhidayah dan adikku Ajad atas kasih sayang yang diberikan, baik moril
maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.
6. Ibu Ema (Laboran THP), Ibu Ika dan Ibu Dewi (PAU) serta Pak Wahyu
(FKH) yang telah memberikan banyak sekali pembelajaran kepada penulis.
7. Seluruh staf dosen dan TU THP (Pak Jamhuri, Pak Tatang, Pak Ade, Mba
Heni, Mas Mail, Bu Yati, Mas Zaki, Mas Ipul, dan Umi mamah), terima kasih
atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis

8. Keluarga besar Wiliyanto dan Keluarga besar Malik di Pulau Panggung Enim.
Doa dan dukungannya selama ini sangat berarti buatku, terima kasih
banyak.
9. Sahabat sekaligus saudara terbaik saya Nurman Hidayat dan keluarga besar
Bapak Rachmat Lubis atas doa, semangat, dukungan nya selama ini.
10. Teman-teman satu bimbingan: Theta, Kudil, Opick, Wahyu, Erlangga Terima
kasih atas kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan
penelitian.
11. Teman-teman satu kost-an (Yudha, Gilang, Derry, Opik, Bozonk, Wawan)
Terima kasih sudah bisa menjadi sahabat-sahabat terbaik buat penulis.
12. Sahabat-sahabatku: Pu-Rie, Theta, Alim, Anez, Bang Yayan, Ijal, Afey, Galih,
Dede, Al-Saloon Crew, An-Nur Crew, anak-anak lab Om Benk dan anak-anak
THP 41. Terima kasih atas kebersamaan, bantuan, semangat dan doa nya.
13. Kakak-kakak kelasku (THP 40 dan THP 39) dan adik-adik kelasku (THP 42
dan THP 43) atas semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera
menyelesaikan seminar dan sidang.
14. Ayunda Panda Hilton atas motivasi, doa, senyuman dan canda tawa yang
telah diberikan kepada penulis
15. Kak Deden, Kak Aris Tenjo, Kak Merry Apriyanti, Kak Dian Purbasari, Nina,
Irfan, Rustam, Uu, Idmar dan Idris atas segala bantuan dan semangat nya
16. Kak Dzulkifli Atas semua bantuan baik materil dan moril, waktu, kesabaran,
semangat dan doa nya
17. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, 28 juli 2008

Rijan zakaria
C34104021

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Oktober 1986 di Pulau
Panggung Enim-Palembang. Penulis adalah anak ke-5 dari
enam bersaudara dari pasangan Bapak Hasanulkarim dan Ibu
Umi Habibah.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1992 di SDN 2 Pulau
Panggung Enim dan diselesaikan pada tahun 1998.

Kemudian penulis

melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Tanjung Agung (1998-2001) dan SMA


Negeri 1 Unggulan Muara enim (2001-2004). Pada tahun 2004, penulis diterima
di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI).
Selama kuliah, penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa
Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) dan tergabung dalam Ikatan
Keluarga Mahasiswa Bumi Sriwijaya (IKAMUSI) dari tahun 2004 hingga
sekarang. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten dosen mata kuliah
Toksikologi Hasil Perairan (2007), Kimia Industri Hasil Perairan (2007), dan
Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan (2008).

Penulis juga aktif dalam

penulisan karya ilmiah pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) IXX
di Universitas Muhamaddiyah malang (2006), PIMNAS XX di Universitas
lampung (2007) dan PIMNAS XXI di Universitas Sebelas Maret Semarang
(2008)
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, dengan judul Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus
gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling, dibimbing
oleh Ibu Ir. Nurjanah M.S dan Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

xi

1. PENDAHULUAN................................................................................

1.1. Latar Belakang ..............................................................................

1.2. Tujuan ............................................................................................

2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................

2.1 Deskripsi Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) ..........................

2.2 Mutu Ikan .......................................................................................

2.3 Proses Kemunduran Mutu ..............................................................


2.3.1 Perubahan pre-rigor mortis ..................................................
2.3.2 Perubahan rigor mortis .........................................................
2.3.3 Perubahan karena aktivitas enzim ........................................
2.3.4 Perubahan karena aktivitas bakteri...................................... .
2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan...

8
9
9
10
11
13

2.4 Metode Pengukuran Kesegaran Ikan .............................................

14

2.5. Proses Pendinginan ........................................................................

16

2.6. Enzim Katepsin ..............................................................................

19

2.7. Peranan Enzim Katepsin dalam Kemunduran Mutu Ikan ..............

20

3. METODOLOGI ..................................................................................

22

3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................

22

3.2 Alat dan Bahan .............................................................................

22

3.3 Metode Penelitian ..........................................................................

22

3.3.1 Penelitian pendahuluan ......................................................


3.3.2 Penelitian utama .................................................................

23
24

3.4 Pengamatan ..................................................................................


3.4.1. Rendemen ........................................................................
3.4.2 Uji organoleptik (SNI 01-2346-2006) ..............................
3.4.3 Total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) ...........................
3.4.4 Analisis Proksimat ...........................................................
(a). Kadar air (AOAC 1995) ...........................................
(b). Kadar abu (AOAC 1995) ..........................................
(c). Kadar protein (AOAC 1995) ....................................
(d). Kadar lemak (AOAC 1995) ......................................

25
25
25
25
26
26
26
27
27

3.4.5 pH (Apriyantono et al. 1989) ...........................................


3.4.6 Total volatile base (TVB) (AOAC 1995) .........................

29
29

3.5 Assay Aktivitas Katepsin (Dinu et al. 2002) ...............................

30

3.6

Pengukuran Konsentrasi Protein Katepsin (Bradford 1976)........

31

3.7

Analisis Data ................................................................................

32

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................

33

4.1 Penelitian Pendahuluan ................................................................


4.1.1 Ukuran dan rendemen ikan gurami
(Osphronemus gouramy) .....................................................
4.1.2 Penentuan fase post mortem ikan gurami
(Osphronemus gouramy) .....................................................

33

4.2. Penelitian Utama ..........................................................................


4.2.1 Hasil analisis proksimat ikan gurami
(Osphronemus gouramy ) ....................................................
(a). Kadar air .......................................................................
(b). Kadar abu .....................................................................
(c). Kadar protein ................................................................
(d). Kadar lemak .................................................................
4.2.2 Nilai organoleptik .................................................................
4.2.3 Nilai TPC (Total Plate Count)..............................................
4.2.4 Nilai pH ................................................................................
4.2.5 Nilai TVB (Total Volatile Base) ...........................................
4.2.6 Aktivitas spesifik enzim katepsin.............................. ...........
4.2.7 Hubungan antar parameter kesegaran ikan ...........................

40
40
41
42
42
44
45
47
49
51
56
58

5. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................

60

5.1 Kesimpulan ...................................................................................

60

5.2 Saran..............................................................................................

60

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

61

LAMPIRAN.................................................................................................

65

33
35

DAFTAR TABEL
No

Teks

Halaman

1. Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar ......................................................

2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan basah..............................................

3. Pengelompokkan mikroorganisme berdasarkan suhu


pertumbuhannya ...................................................................................

11

4. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan ......................

17

5. Potensi lamanya penyimpanan ikan dengan es ....................................

18

6. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan ..........

19

7. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml................

31

8. Fase post mortem ikan gurami (Osphronemus gouramy) A pada


penyimpanan suhu chilling .................................................................

36

9. Fase post mortem ikan gurami (Osphronemus gouramy) B pada


penyimpanan suhu chilling ..................................................................

37

10. Fase post mortem ikan gurami (Osphronemus gouramy) C pada


penyimpanan suhu chilling ..................................................................

38

11. Hasil analisis proksimat ikan gurami (Osphronemus gouramy)


dengan berbagai umur panen ...............................................................

42

12. Nilai pH terendah berbagai jenis ikan pada fase post mortem .............

52

13. Aktivitas katepsin, konsentrasi protein katepsin,


dan aktivitas spesifik katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen
selama penyimpanan suhu chilling........................................................

54

DAFTAR GAMBAR
No

Teks

Halaman

1. Ikan gurami (Osphronemus gouramy) .................................................

2. Akibat dari terhentinya sirkulasi darah dalam jaringan otot


(Lawrie 1985) ........................................................................................

12

3. Kerangka penelitian pendahuluan .........................................................

23

4. Kerangka penelitian utama ....................................................................

24

5. Persentase rendemen ikan gurami A .....................................................

34

6. Persentase rendemen ikan gurami B .....................................................

34

7. Persentase rendemen ikan gurami C .....................................................

34

8. Kadar air ikan gurami dengan berbagai umur panen ............................

41

9. Kadar abu ikan gurami dengan berbagai umur panen ...........................

42

10. Kadar protein ikan gurami dengan berbagai umur panen .....................

43

11. Kadar lemak ikan gurami dengan berbagai umur panen .......................

44

12. Rata-rata nilai organoleptik dari ikan gurami dengan


berbagai umur panen pada penyimpanan suhu chilling ......................

45

13. Nilai log TPC dari ikan gurami dengan berbagai umur
panen pada penyimpanan suhu chilling. ...............................................

47

14. Nilai log pH dari ikan gurami dengan berbagai umur


panen pada penyimpanan suhu chilling. ...............................................

49

15. Proses glikolisis pada daging ikan (Eskin 1990)....................................

50

16. Nilai log TVB dari ikan gurami dengan berbagai umur
panen pada penyimpanan suhu chilling. ...............................................

52

17. Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami pada berbagai umur
panen selama penyimpanan suhu chilling...............................................

56

18. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami A.............................

58

19. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami B.............................

58

20. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami C.............................

59

DAFTAR LAMPIRAN
No.

Halaman

1.

Score sheet uji orgoneltik ikan segar (SNI-01-2345-1991) ............... ...

65

2.

Data mentah panjang, berat dan rendemen ikan gurami .........................

67

3a

Data mentah nilai organoleptik ikan gurami pre-rigor ..........................

68

3b

Data mentah nilai organoleptik ikan gurami fase rigor ..........................

69

3c

Data mentah nilai organoleptik ikan guarmi fase post rigor...................

70

3d

Data mentah nilai organoleptik ikan guarmi fase busuk.........................

71

4.

Data mentah nilai TPC ikan gurami pada tiap fase.................................

72

5.

Hasil uji ragam (anova) nilai TPC ..........................................................

73

6.

Hasil uji ragam (anova) nilai pH... .........................................................

75

7.

Hasil uji ragam (anova) nilai TVB .........................................................

76

8.

Hasil uji ragam (anova) nilai aktivitas katepsin......................................

78

9.

Hasil uji ragam (anova) nilai konsentrasi protein katepsin.....................

79

5 a. Data mentah nilai pH, TVB, Assay aktivitas katepsin dan konsentrasi
protein katepsin ikan gurami..................................................................

81

5b.

81

Persamaan linear konsentrasi protein enzim katepsin.............................

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wilayah perairan Indonesia sangat luas dan mengandung sumberdaya
perikanan darat dan perikanan laut yang sangat besar. Potensi produksi perikanan
darat Indonesia cukup besar kenaikannya selama kurun waktu antara tahun
2003-2006 yaitu dari 26.641.072.151 ton/tahun menjadi 34.523.154.560 ton/tahun
dan untuk potensi produksi ikan gurami antara kurun waktu 2001-2007, yaitu
14.065 ton/tahun hingga 31.600 ton/tahun (Ditjen Perikanan Tangkap, DKP
2007).
Adapun keunggulan dari hasil perikanan, yakni ikan merupakan salah satu
sumber protein hewani yang cukup tinggi dan juga dapat dicerna dengan mudah
oleh manusia. Hal ini dikarenakan susunan komponen protein ikan hampir sama
dengan susunan komponen protein pada manusia. Selain itu juga, pada umumnya
ikan mempunyai kandungan kolesterol rendah dan asam lemak yang berantai
ganda dengan jumlah yang besar. Komposisi kimia ikan tergantung pada spesies,
umur, habitat dan pakan. Salah satu contoh spesies ikan yang memiliki nilai gizi
yang tinggi, yaitu ikan gurami
Ikan gurami merupakan ikan asli perairan Indonesia yang sudah menyebar
ke wilayah Asia Tenggara dan Cina. Ikan ini memiliki labirin dan secara
taksonomi termasuk famili Osphronemidae. Ikan gurami termasuk komoditas
yang banyak dikembangkan oleh para petani. Hal ini dikarenakan permintaan
pasar cukup tinggi karena rasa dagingnya yang enak, pemeliharaan mudah, serta
harga yang relatif stabil. Selain itu, ikan gurami merupakan bahan pangan yang
mempunyai kandungan gizi tinggi yang bermanfaat bagi manusia terutama untuk
pertumbuhan maupun pembentukan energi. Biasanya ikan gurami banyak dijual
di pasaran dalam keadaan segar baik dalam kondisi masih hidup ataupun yang
sudah mati (Jangkaru 1998).
Namun demikian, ikan segar memiliki kelemahan, yaitu mudah mengalami
kerusakan atau kemunduran mutu (highly perishable food). Proses kemunduran
mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat. Kecepatan proses tersebut
sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak

berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan
lingkungan dan perlakuan manusia. Faktor luar yang paling berpengaruh terhadap
kemunduran mutu ikan adalah penggunaan alat tangkap dan penanganan pascapanen yang dilakukan oleh para nelayan. Alat tangkap yang baik adalah yang
dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (merontaronta) sebelum mati. Penanganan yang baik adalah menggunakan sistem rantai
dingin serta mengutamakan sanitasi dan higiene untuk mempertahankan mutu
mengingat perairan Indonesia merupakan perairan tropis sebagai tempat yang baik
untuk pertumbuhan mikroba pembusuk. Jika tidak mendapatkan penanganan yang
baik maka akan mengalami kemunduran mutu dengan cepat. Mutu ikan dapat
terus dipertahankan jika ikan tersebut ditangani dengan hati-hati, cepat, bersih,
dan disimpan dalam ruangan dengan suhu yang dingin (C3Q: cool, clean, carefull
n quick).
Salah satu faktor internal yang sangat penting dan erat hubungannya dengan
mutu ikan adalah tingkat kesegaran ikan tersebut. Ikan dalam keadaan masih
segar memiliki mutu yang baik sehingga nilai jualnya tinggi, sebaliknya jika ikan
kurang segar memilki mutu yang rendah sehingga harganya rendah (Murniyati
dan Sunarman 2000). Kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan melainkan
dipertahankan. Agar tingkat kesegaran ikan dapat dipertahankan maka diperlukan
teknik-teknik penanganan yang tepat.
Salah satu teknik penanganan ikan yang paling umum dilakukan untuk
menjaga kesegaran ikan adalah penggunaan suhu rendah atau disebut juga teknik
pendinginan ikan. Teknik pendinginan ini biasanya diterapkan pada tahap pasca
panen setelah penangkapan, pengolahan, distribusi, dan konsumsi. Adapun
keuntungan penerapan suhu rendah pada ikan dapat memperpanjang daya awetnya
mencapai satu sampai empat minggu, serta mempertahankan tingkat kesegaran
ikan dan nilai gizinya. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri
pembusuk dan proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang
mengarah pada kemunduran mutu menjadi lebih lambat (FAO 1995). Oleh karena
itulah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses kemunduran mutu ikan
gurami selama penyimpanan suhu chilling agar dapat dijadikan acuan data oleh
masyarakat luas.

1.2 Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui pola
kemunduran mutu ikan gurami dan memiliki tujuan khusus sebagai berikut:
(1). mengetahui tingkat kesegaran ikan gurami pada penyimpanan suhu
chilling secara subjektif dan objektif (TVB, TPC, dan pH) pada beberapa
umur panen;
(2). mengetahui komposisi kimia (proksimat), karakteristik, dan rendemen
ikan gurami pada beberapa umur panen;
(3). mengetahui aktivitas katepsin dan konsentrasi protein enzim katepsin dari
ikan gurami pada beberapa umur panen.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Gurami
Ikan gurami merupakan ikan asli perairan Indonesia yang sudah menyebar
ke wilayah Asia Tenggara dan Cina ( Chakroff 1976). Ikan ini termasuk salah
satu ikan labyrinthici dan secara taksonomi termasuk famili Osphronemidae.
Adapun klasifikasi ikan gurami menurut Saanin (1984)(adalah sebagai berikut:
Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Osteichtyes

Ordo

: Teleostei

Subordo

: Labyrinthici

Famili

: Anabantidae

Genus

: Osphronemus

Spesies

: Osphronemus gouramy, Lac. ( Gambar 1)

Gambar 1. Ikan Gurami (Osphronemus gouramy)


Secara morfologi, ikan ini memiliki bentuk badan agak panjang, pipih dan
tertutup sisik yang berukuran besar serta terlihat kasar dan kuat, terdapat garis
lateral tunggal, lengkap dan tidak terputus, bersisik stenoid serta memiliki gigi
pada rahang bawah. Sirip ekor membulat. Jari-jari lemah pertama sirip perut
merupakan benang panjang yang berfungsi sebagai alat peraba. Tinggi badan
2,0-2,1 kali dari panjang standar. Pada ikan muda terdapat garis-garis tegak
berwarna hitam berjumlah 8 sampai dengan 10 buah dan pada daerah pangkal
ekor terdapat titik hitam bulat. Bagian kepala gurami muda berbentuk lancip dan

akan menjadi tumpul bila sudah besar. Mulutnya kecil dengan bibir bawah sedikit
menonjol dibandingkan bibir atas dan dapat disembulkan. (Jangkaru 1998).
Ikan gurami mempunyai alat pernafasan tambahan berupa labirin yang
berbentuk selaput, berkelok-kelok dan merupakan penonjolan tepi atas insang
pertama (Sitanggang 1992). Pada selaput ini terdapat pembuluh darah kapiler
sehingga memungkinkan gurami untuk mengambil oksigen langsung dari udara
dalam pernafasan nya. Adanya alat ini memungkinkan gurami untuk dapat hidup
dengan

baik

pada

air

yang

tenang

dan

kurang

oksigen

(Puspowardoyo dan Djarijah 1992).


Di alam aslinya ikan gurami termasuk ikan yang mendiami daerah
perairan yang tenang dan tergenang, seperti rawa, waduk, situ dan danau
(Susanto 1987). Temperatur yang ideal untuk pertumbuhan ikan gurami adalah
24-28 0C, pH 7-8 (Puspowardoyo dan Djarijah 1992).
Ikan gurami adalah salah satu komoditas yang banyak dikembangkan oleh
para petani hal ini disebabkan oleh permintaan pasar cukup tinggi, pemeliharaan
mudah serta harga yang relatif stabil (Sitanggang 1992).
2.2 Mutu Ikan
Khusus bagi produk makanan yang mudah dan cepat membusuk, seperti
ikan basah yang baru ditangkap, pengertian mutu sebenarnya identik dengan
kesegaran. Ikan segar mempunyai dua pengertian, yang pertama merupakan ikan
yang baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan. Kedua, ikan yang
mutunya masih baik, disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu yang tidak
berubah serta belum mengalami kemunduran, baik secara kimia, fisika, maupun
biologi walaupun sudah mengalami penyimpanan, misalnya ikan-ikan yang
dibekukan (FAO 1995a, Yunizal dan Wibowo 1998, Dassow 1963). Kesegaran
akan bisa dicapai bila dalam penanganan ikan berlangsung dengan baik. Ikan
yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-perubahan biokimiawi,
mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada
daging ikan (Irawan 1995).

Ikan segar memiliki ciri-ciri sebagai berikut

(Stansby 1963):
(a). daging ikan elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya;
(b). aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut;

(c). mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan;
(d). insang berwarna merah cerah;
(e). kulit mengkilat dan berwarna cerah.
Untuk mempertahankan mutu ikan segar, bahan baku harus secepatnya
diolah. Apabila terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus
disimpan dengan es atau air dingin (0 oC sampai dengan 5 oC), saniter dan
higienis (SNI 01-2729.1-2006)
Tingkat kesegaran ikan memberikan kontribusi utama terhadap mutu produk
hasil perikanan. Untuk semua produk, kesegaran ikan sangat penting bagi mutu
dari produk akhir yang dihasilkan. Secara umum ada 2 metode utama yang biasa
digunakan untuk menilai tingkat kesegaran dan mutu ikan, yaitu metode sensori
(subjektif) dan non-sensori (objektif) (Robb 2002).
Mutu mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu
materi, produk atau jasa, seperti hasil pertanian pada umumnya. Hasil perikanan
memiliki paling kurang beberapa aspek mutu antara lain aspek bio-teknis, aspek
sanitasi dan higiene, aspek industrial, dan lain-lain. Mutu ikan merupakan nilainilai tertentu yang diinginkan dari ikan (Ilyas 1983).

Hal-hal lain yang

membentuk mutu komoditas meliputi unsur-unsur mutu yang terlihat dan


tersembunyi serta dapat diukur dan yang tidak dapat diukur (Soekarto 1990).
Unsur mutu terdiri dari 3 kategori (Soekarto 1990), yaitu:
(a) sifat mutu, yaitu sifat yang dapat langsung diukur secara obyektif atau
subyektif ;
(b) parameter mutu, yaitu besaran yang mencirikan sifat mutu produk;
(c) faktor mutu, yaitu hal-hal yang tidak dapat diukur atau diamati secara
langsung namun mempengaruhi mutu, seperti varietas, faktor genetik, dan
asal daerah. Perbedaan ciri-ciri ikan segar dan tidak segar dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Ciri-ciri ikan segar dan tidak segar


Parameter

Kondisi Segar

Kondisi Tidak Segar

Mata

Pupil hitam menonjol dengan Pupil mata kelabu tertutup lendir


kornea jernih, bola mata seperti putih susu, bola mata
cembung dan cemerlang atau cekung, dan keruh.
cerah.

Insang

Warna merah cemerlang atau Warna merah coklat sampai


merah tua tanpa adanya lendir, keabu-abuan, bau menyengat,
tidak tercium bau yang lendir tebal.
menyimpang (off odor).

Tekstur
daging

Elastis dan jika ditekan tidak Daging kehilangan elastisitasnya


ada bekas jari, serta padat dan atau lunak dan jika ditekan
kompak.
dengan
jari
maka
bekas
tekanannya lama hilang.

Keadaan
kulit dan
lendir

Warna sesuai dengan aslinya


dan
cemerlang,
lendir
dipermukaan
jernih
dan
transparan dan baunya segar
khas menurut jenisnya.

Warnanya sudah pudar dan


memucat, lendir tebal dan
menggumpal
serta
lengket,
warnanya berubah seperti putih
susu.

Keadaan
perut dan sayatan
daging

Perut tidak pecah masih utuh


dan warna sayatan daging
cemerlang jika ikan dibelah
daging melekat kuat pada
tulang terutama rusuknya.

Perut sobek, warna sayatan


daging kurang cemerlang dan
terdapat warna merah sepanjang
tulang belakang serta jika dibelah
daging mudah lepas.

Bau

Spesifik menurut jenisnya, dan


segar seperti bau rumput laut,
pupil mata kelabu tertutup
lendir seperti putih susu, bola
mata cekung dan keruh

Bau menusuk seperti asam asetat


dan lama kelamaan berubah
menjadi bau busuk yang
menusuk hidung.

Sumber: FAO (1995)

Kesegaran ikan dapat digolongkan ke dalam empat kelas mutu


(Hadiwiyoto 1993), yaitu:
(1). Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (sangat prima)
Ikan pada kondisi ini merupakan ikan yang baru saja ditangkap dan baru saja
mengalami kematian. Semua organ tubuhnya baik daging, mata, maupun
insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar.

(2). Ikan yang kesegarannya masih baik (prima)


Pada kondisi ini, ikan masih dalam keadaan segar namun tidak sesegar seperti
kondisi pertama. Ciri-cirinya adalah bola mata yang agak cerah, kornea agak
keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun lunak
bila ditekan.
(3). Ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang)
Ikan pada kondisi ini organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan,
bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah menjadi
merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging lembek.
(4). Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk).
Pada kondisi ini ikan sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Ciri-cirinya adalah
daging sudah lunak, sayatan daging tidak cemerlang lagi, bola mata cekung,
insang berubah jadi berwarna coklat tua, sisik mudah lepas dan sudah
menyebarkan bau busuk. Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar (SNI 01-27292006) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan basah
Jenis Uji
a). Organoleptik
Nilai min.
b). Cemaran mikroba

Satuan

Persyaratan Mutu
7
5 x 105
<3
negatif

1). ALT/gr, maks


koloni/g
2). Escherichia coli
APM/g
3). Vibrio cholerae *)
Per 25 gram
Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total
APM = Angka Paling Memungkinkan

2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan


Ikan yang telah mati akan mengalami perubahan fisik, kimia, enzimatis
dan mikrobiologi yang berkaitan dengan kemunduran mutu. Proses kemunduran
mutu ikan terdiri dari empat tahap, yaitu: hiperaemia (pre-rigor), rigor mortis,
autolisis dan penyerangan oleh bakteri (Zaitsev et al. 1969). Secara umum proses
terjadinya kemunduran mutu ikan terdiri dari tiga tahap, yaitu pre-rigor, rigor
mortis, dan post-rigor.

2.3.1

Perubahan pre-rigor
Perubahan pre-rigor atau sering dikenal dengan istilah hiperaemia

merupakan fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian yang
ditandai dengan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan
kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan
musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003).
Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di
sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi
alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan.
Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga
mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Murniyati dan Sunarman 2000).
2.3.2

Perubahan rigor mortis


Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan

kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati,
sirkulasi darah berhenti suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan
glikogen menjadi asam laktat.

Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan

menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta
ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah
yang dikenal dengan istilah rigor mortis (Junianto 2003).
Rigor mortis terjadi pada saat-saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin
dan aktin di dalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen.
Rigor mortis dianggap penting dalam industri perikanan, selain dapat
memperlambat pembusukan oleh mikroba juga dikenal oleh konsumen sebagai
petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan masih sangat segar (Eskin 1990).
Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat
ATP mulai mengalami penurunan, rigor mortis pun mulai terjadi dan mencapai
kejang penuh (full-rigor) ketika ATP sekitar 1 mol/g. Energi pada jaringan otot
ikan diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen. Glikolisis (penguraian
glukosa) menghasilkan ATP dan asam laktat.

Akumulasi asam laktat selain

menurunkan pH otot, juga diikuti oleh peristiwa rigor mortis (Eskin 1990).
Pada fase rigor mortis ini, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari
mula-mula pH 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada

jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging
ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat,
asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir
dan pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral
hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat
keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat
basa. Pada kondisi ini, pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin
banyak senyawa basa purin dan pirimidin yang terbentuk akan semakin
mempercepat kenaikan pH ikan (Junianto 2003).
2.3.3 Proses perubahan karena aktivitas enzim
Enzim merupakan protein yang bertindak sebagai katalisator organik dalam
kegiatan penguraian senyawa dalam jaringan tubuh ikan.

Selagi ikan hidup,

sistem enzim selalu terkendali guna mempertahankan kesetimbangan antara


kegiatan penguraian dan sintesis sehingga menjamin kegiatan yang efektif tubuh
ikan dalam lingkungannya. Penyediaan tenaga untuk menjamin kesetimbangan itu
diperoleh dari oksidasi makanan yang dimakan ikan dan menghasikan adenosine
trifosfat (ATP) yang kaya akan energi (Ilyas 1983).
Perubahan enzimatik berhubungan dengan tingkat kesegaran ikan dan
perubahan mutu oleh bakteri. Dalam beberapa jenis ikan (cumi-cumi, herring),
perubahan enzimatik terjadi paling awal dan mendominasi pembusukan ikan yang
disimpan pada suhu dingin. Autolisis berperan dalam bermacam-macam tingkat
pembusukan secara keseluruhan dan sebagai media pertumbuhan bakteri
(FAO 1995).
Autolisis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula, protein
dipecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan
dehidrasi protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi pepton, polipeptida dan
akhirnya menjadi asam amino. Di samping itu dihasilkan pula sejumlah kecil
pirimidin dan purin basa yang dibebaskan pada waktu asam nukleat memecah.
Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan
gliserol (Murniyati dan Sunarman 2000).

2.3.4 Proses perubahan karena aktivitas bakteri


Daging ikan yang baru ditangkap masih steril karena memiliki sistem
kekebalan yang mencegah bakteri tumbuh pada daging ikan. Setelah ikan mati,
sistem kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang biak
dengan bebas. Jumlah mikroorganisme yang menyerang sangat terbatas dan
pertumbuhan bakteri sebagian besar berlangsung di permukaan. Proses
pembusukan terjadi akibat adanya enzim yang dihasilkan bakteri yang merusak
bahan gizi pada daging ikan (FAO 1995).
Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan
fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang
disebut sebagai busuk (Lan et al. 2007). Jumlah bakteri yang terdapat pada
tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup.
Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan adalah bakteri Pseudomonas,
Alcaligenes,

Sarcina,

Vibrio,

Flavobacterium,

Serratia

dan

Bacillus.

Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya dapat dilihat


pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya
Kelompok

Suhu Pertumbuhan

Mikroorganisme

Minimum

Optimum

Maksimum

Psikorofil

-15

10

20

Psikrotrof

-5

25

35

Mesofil

-5-0

30-37

45

Thermofil

40

45-55

60-80

Thermotrof

15

42-46

50

Sumber : Lan et al. (2007)


Proses kemunduran mutu kesegaran ikan akan terus berlangsung apabila
tidak segera dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh
banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu
sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan. Gambar 2
menjelaskan tentang proses kemunduran mutu ikan setelah mati.

Sirkulasi darah

Ikan mati

Sistem syaraf
dan hormon
terhenti

terhenti

Suplai vitamin,
antioksidan, dll
terhenti

Suplai
oksigen
terhenti

Keseimbangan
osmotik

Potensial redoks
menurun

Penurunan suhu

Respirasi terhenti
(glikogen --- CO2)

Pemadatan
lemak

Akumulasi
bakteri

Penguraian fosfat
Berenergi tinggi

Pemunculan
rigor mortis

Denaturasi
protein

Glikolisis terjadi
(glikogen --- as.
laktat)

Penurunan pH

Pembebasan
dan
pengaktifan
katepsin

Protein
melepaskan Ca2+
dan mengikat K+
Oksidasi
lemak dan
ketengikan

Akumulasi
metabolit,
pemicu flavor,
dll

Perubahan
warna

Penguraian
protein

Gambar 2. Akibat dari terhentinya sirkulasi darah dalam jaringan otot


(Lawrie 1985)

Pertumbuh
an bakteri

2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan


Proses kemunduran mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat.
Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor
internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun
eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Adapun
faktor internal yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan (Junianto 2003), yaitu:
(a). Jenis ikan.

Jenis ikan pelagis cenderung lebih cepat mengalami

kemunduran mutu dibanding ikan demersal dan ikan air tawar cenderung
lebih cepat mencapai kemunduran mutu dibanding ikan air laut.
(b) Umur dan ukuran ikan. Ikan dewasa dengan ukuran yang besar lebih lama
mengalami kemunduran mutu daripada ikan kecil.
(c) Kandungan lemak. Ikan yang mengandung lemak tinggi cenderung lebih
cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan-ikan berlemak
rendah.
(d) Kondisi fisikal ikan. Kondisi fisik yang lemah sebelum ditangkap karena
kurang bergizi makanannya, baru menelurkan dan sebagainya akan
berpengaruh terhadap waktu memasuki tahap rigor.
(e) Karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Ikan yang memiliki kulit yang tebal
akan cenderung lebih lama laju kemunduran mutunya dibanding ikan yang
memiliki kulit yang tipis, begitu juga dengan ikan yang bentuk tubuhnya
bulat lebih lama kemunduran mutunya dibanding ikan yang bentuknya
pipih.
Faktor-faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu
ikan (Junianto 2003) adalah:
(a) Penggunaan alat tangkap. Jenis da teknik penangkapan akan berpengaruh
pada derajat keletihan ikan. Ikan yang berjuang keras lama menghadapi
kematiannya dalam jaring sebelum ditarik ke kapal akan kehabisan banyak
cadangan tenaga sehingga lebih cepat memasuki masa rigor. Alat tangkap
yang baik adalah yang dapat menekan tingkat stres pada ikan dan
mengurangi gerakan ikan (meronta-ronta) sebelum mati.
(b) Penanganan pasca-panen yang dilakukan oleh para nelayan. Untuk
memperoleh ikan yan bermutu dan daya awet panjang, pokok utama

dalam menangani ikan adalah bekerja cepat, cermat, bersih dan pada suhu
rendah.
(c) Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih
pendek. Daya awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu.
(d) Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga
berpengaruh terhadap daya awet.
(e) Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi apalagi ikan agak
lama tinggal dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses
penurunan mutunya.
2.4 Metode Pengukuran Kesegaran Ikan
Tingkat kesegaran adalah tolok ukur untuk membedakan ikan yang bermutu
baik dan buruk. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia,
mikrobiologi, dan fisika yang terjadi belum menyebabkan perubahan sifat-sifat
ikan pada waktu masih hidup. Berdasarkan tingkat kesegarannya ikan dapat
digolongkan menjadi empat kelas, yaitu ikan yang kesegarannya masih baik sekali
(sangat prima), ikan yang kesegarannya masih baik (prima), ikan yang
kesegerannya sudah mulai mundur (sedang), dan ikan yang sudah tidak segar lagi
(busuk) (Hadiwiyoto 1993).
Ikan yang telah busuk bukan saja tidak enak, tetapi juga membahayakan
kesehatan bila dimakan. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan mutu ikan
yang akan dikonsumsi. Pemeriksaan mutu dapat dilakukan dengan tiga cara
(Murniyati dan Sunarman 2000) yaitu:
(a). pemeriksaan organoleptik atau sensorik;
(b). pemeriksaan di laboratorium (secara fisik, kimia, dan mikrobiologis);
(c). menggunakan alat-alat seperti freshness measure, electric freshness tester.
Analisis yang biasa digunakan untuk mengevaluasi kesegaran ikan adalah
analisis organoleptik. Cara ini sangat cepat, murah dan praktis untuk dikerjakan,
tetapi ketelitiannya sangat tergantung pada tingkat kepandaian orang yang
melaksanakannya.

Cara organoleptik adalah cara penilaian dengan hanya

mempergunakan indera manusia, sehingga cara organoleptik dapat juga disebut


cara sensorik (SNI 01-2346-2006). Pengukuran mutu secara sensorik dipengaruhi
oleh 3 faktor, yaitu sampel yang diuji, metode penilaian, dan panelis. Penentuan

mutu ikan dengan metode sensoris menimbulkan kesulitan-kesulitan, seperti


tingkat kepercayaan khusus pada panelis, keharusan panelis untuk selalu siap
menilai setiap saat penilaian dibutuhkan, serta lamanya waktu yang dibutuhkan
(Hanna 1992).
Pemeriksaan kesegaran ikan di laboratorium dilakukan untuk menentukan
mutu ikan dengan lebih teliti dan secara obyektif. Metode yang digunakan harus
memenuhi beberapa kriteria, yaitu waktu yang relatif singkat, penilaian yang
singkat, biaya yang murah, dan menghasilkan nilai yang dapat diulang serta
memiliki korelasi dengan nilai pengamatan secara sensorik (Hanna 1992).
Metode yang sering digunakan adalah mengukur total basa yang menguap
(Total Volatile Base, TVB), dan menghitung jumlah bakteri (Total Plate Count,
TPC) (Murniyati dan Sunarman 2000).
Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa volatil yang
terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan
(Hadiwiyoto 1993). Nilai TVB maksimum untuk ikan segar, yaitu 30 mg N/100g
(Direktorat Jendral Perikanan 2007). Selain itu, kelebihan yang timbul dalam
penggunaan metode TVB adalah nilai yang tidak meningkat banyak selama tahap
awal dari proses penguraian dan hanya meningkat banyak secara nyata sebagai
hasil aktivitas mikroba pada tahap lebih lanjut dari proses kemunduran mutu ikan
(Hanna 1992). Pengujian bakteri yang terdapat pada daging ikan dapat dilakukan
dengan metode TPC, yaitu perhitungan jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada
suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam. Batas
maksimum bakteri untuk ikan segar yaitu 5x105 koloni/gram (SNI 01-2346-2006)
Pemeriksaan lebih rinci untuk menentukan derajat kesegaran ikan yang
belum menampakkan tanda-tanda pembusukan atau ikan-ikan yang relatif masih
segar dilakukan dengan metode pengukuran nilai K (K-Value). Nilai K dihitung
berdasarkan jumlah ATP dan hasil-hasil uraiannya atau senyawa-senyawa
turunannya. Nilai-K dianggap sebagai indeks mutu kesegaran ikan yang lebih
baik dibandingkan dengan TMA, TVB, maupun TPC. Nilai-K mulai digunakan
oleh Saito dan Arai pada tahun 1957 yang kemudian rumusnya dimodifikasi oleh
Uchiyama et al. pada tahun 1970 dan Karube et al. pada tahun 1984
(Murniyati 2000) dengan rumus sebagai berikut:

K=

I + Hx
X 100%
ATP + ADP + IMP + I + Hx

Keterangan

: ATP = Adenosine Triphosphate


ADP = Adenosine Diphosphate
IMP = Inosine Monophosphate
I

= Inosine

Hx = Hipoxantine
Setelah ikan mati (keadaan relaksasi), fosfat berenergi tinggi (ATP)
diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kreatin fosfat menyumbang group
fosfatnya kepada ADP untuk memproduksi ATP (Eskin 1990).
Kreatinfosfotransferase
ADP + Kreatin Fosfat

ATP + Kreatin

Ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai titik yang sama,
adenosine triphosphate (ATP) mulai mengalami penguraian (hidrolisis) menjadi
ADP dan menghasilkan energi. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan
enzim ATPase terjadi berdasarkan reaksi sebagai berikut (Eskin 1990):
ATPase
ATP + H2O

ADP + H3PO4

Degradasi ATP yang terjadi setelah ikan mati dipengaruhi oleh aktivitas
enzim. Degradasi ATP merupakan reaksi autolisis yang disebabkan oleh enzim
yang ada secara alami pada daging ikan. Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah
menjadi AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi
oleh enzim deaminase dan IMP menjadi inosine dipengaruhi oleh enzim fosfatase
(Eskin 1990). Defosforilasi dari IMP menjadi inosin relatif lambat, tetapi inosin
sangat cepat berubah menjadi hipoksantin. Pada tahap awal, hipoksantin terbentuk
secara autolisis, namun pada tahap kemunduran mutu ikan selanjutnya aktivitas
bakteri juga berperan dalam menambah jumlah hipoksantin (Hanna 1992).
2.5 Proses Pendinginan

Pendinginan merupakan suatu proses pengawetan ikan dengan suhu rendah,


yaitu antara -1C sampai 5C. Pendinginan disebut chilling yang mempunyai

tujuan utama untuk menghambat proses kemunduran mutu ikan yang disebabkan
oleh aktivitas mikroorganisme dan proses kimia maupun fisis sehingga ikan tetap
dalam kondisi segar sampai jangka waktu yang cukup lama (Gelman et al. 2004).
Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin
rendah suhu yang digunakan, pertumbuhan bakteri semakin dihambat. Bakteri
dapat tumbuh dalam deret suhu yang besar, yaitu dari 0-45 oC.

Proses

pendinginan yang diberikan pada saat proses pembusukan sudah mulai kurang
efektif dalam hubungannya dengan pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dan
akan memberikan hasil yang kurang memuaskan (Ilyas 1983). Hubungan antara
suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri, dan mutu ikan
Suhu
25 C sampai 10 C

Kegiatan Bakteri
Luar biasa cepat

10 C sampai 2 C

Pertumbuhan
kurang cepat

2 C sampai -1 C

Pertumbuhan bakteri jauh Penurunan


mutu
agak
berkurang
dihambat, daya awet wajar (310 hari)

-1 C

Kegiatan
ditekan

-2 C sampai -10 C

Kegiatan bakteri ditekan Penurunan mutu minimum,


menjadi tidak aktif
tekstur dan rasa ikan rendah,
daya awet panjang 7-30 hari

-18 C
rendah

dan

bakteri

Mutu Ikan
Cepat menurun, daya awet
sangat pendek (3-10 jam)
bakteri Mutu menurun kurang cepat,
daya awet pendek (2-5 hari)

dapat Sebagai ikan basah, penurunan


suhu minimum sehingga daya
awet maksimum 5-20 hari

lebih Ditekan minimum, bakteri Mutu ikan beku lebih baik,


tersisa tidak aktif
daya awet sampai setahun

Sumber: Ilyas (1983).

Penyimpanan ikan pada suhu dingin dalam lemari es (refrigerator) hanya


mampu memperpanjang umur simpan ikan hingga beberapa hari, sedangkan
dalam lemari pembeku (freezer) akan memperpanjang masa simpan hingga
berbulan-bulan tergantung suhu yang digunakan (Pandit et al. 2007).
Penyimpanan ikan pada suhu rendah harus dilakukan secepat mungkin
segera setelah ikan ditangkap dari habitatnya sehingga suhu ikan cukup rendah

dan proses kemunduran mutu dapat dihambat. Ikan yang disimpan harus dalam
keadaan bersih, terseleksi sehingga mutu awal tinggi. Sistem rantai dingin harus
diterapkan untuk mempertahankan ikan dalam kondisi dingin sampai ikan siap
untuk diolah (Gelman et al. 2004).
Cara termudah, praktis, dan tidak membutuhkan biaya besar adalah
menggunakan es. Es yang digunakan untuk mendinginkan ikan harus terbuat dari
air yang bersih dan disimpan di tempat yang bersih pula. Es untuk mendinginkan
harus berupa hancuran es untuk menghindari luka-luka atau memar pada ikan.
Selain itu dengan menggunakan hancuran es maka kontak langsung antara es
dengan ikan menjadi lebih baik dan proses terjadinya penurunan suhu pun
menjadi lebih cepat (Ilyas 1983). Lamanya penyimpanan ikan dengan es
dijabarkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Potensi lamanya penyimpanan ikan dengan es
Jenis Ikan

Masa simpan (hari)

Tilapia

22-28

Mas

35

Catfish

12-16

Kakap merah

20

Mackarel

7-9

Herring

2-5

Cod

12-15

Sumber: Konagoya (1990).

Peranan es dapat dikatakan paling dominan dalam menghasilkan suhu


dingin untuk menjaga kesegaran ikan. Oleh sebab itu pada saat ikan didinginkan,
penurunan suhu terjadi ketika es-es itu mencair, dan mencairnya es karena adanya
panas yang timbul dari ikan yang didinginkan. Air yang berasal dari cairnya es
akan menghanyutkan substansi-substansi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
sehingga pertumbuhan bakteri pembusuk menjadi terhambat dan secara langsung
dapat memperpanjang kesegaran ikan sampai jangka waktu yang cukup lama.
Bahkan bila ikan-ikan itu tetap disimpan dalam suhu antara 0-2,5 C kondisinya
akan tetap segar dan terjamin mutunya (Ilyas 1983).

2.6 Enzim Katepsin

Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada


jaringan hewan termasuk ikan yang dapat menghidrolisis protein menjadi
polipeptida. Katepsin banyak ditemukan dalam jaringan otot ikan. Pada jaringan
otot ikan, katepsin dan enzim penghidrolisis lainnya ditempatkan dalam organel
subselluler atau disebut lisosom dan dibagi dalam dua tempat, yakni pada serabut
otot dan matriks ekstraselluler (Shahidi dan Botta 1994).
Katepsin dikenal sebagai famili dari endopeptidase dan atau eksopeptidase.
Banyak katepsin yang memiliki pH optimal asam walaupun beberapa aktif pada
pH netral.

Katepsin A yang mula-mula digambarkan sebagai enzim yang

memisahkan

karbobenzoksi-L-Glu-L-Tyr,

sekarang

dikenal

dengan

nama

karboksipeptidase A dan mampu memisahkan residu secara sekuen dari karboksil


terminal peptida, seperti glukagon. Katepsin A yang termasuk jenis eksopeptidase
memiliki pH optimum 5-6, serta inaktif oleh panas dan alkali. Pada Tabel 6 dapat
dilihat secara lengkap berbagai jenis katepsin yang terdapat dalam lisosom otot
ikan.
Tabel 6. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan
Enzim
Katepsin B

Famili
Sistein

Aktivitas
Endopeptidase

Proses dan asal enzim


Dimurnikan dari otot berbagai spesies
ikan, identifikasi pada berbagai
spesies
Identifikasi pada otot ikan salmon
Identifikasi pada otot ikan salmon
dan mackarel
Identifikasi dari otot berbagai spesies
ikan

Katepsin H
Katepsin J
Katepsin L

Sistein
Sistein
Sistein

Endopeptidase
Endopeptidase
Endopeptidase

Dipeptidil
peptidase I
(katepsin C)
Dipeptidil
petidase II
Katepsin D

Sistein

Eksopeptidase

Sistein

Eksopeptidase

Aspartat

Endopeptidase

Dimurnikan dan diidentifikasi dari


otot berbagai spesies ikan
-

-glutamil
Aspartat Endopeptidase
karboksipeptidase
Karboksipeptidase
Serin
Eksopeptidase Dimurnikan dari berbagai spesies
A (katepsin A dan
ikan dan diidentifikasi pada otot
I)
berbagai spesies
Katepsin S
Sistein
Eksopeptidase Diidentifikasi pada otot mackarel
Sumber: Goll et al. ( 1989) diacu dalam Shahidi dan Botta (1994)

Katepsin H merupakan endopeptidase dengan aktivitas aminopeptidase yang


aktif pada pH netral. Seperti katepsin B1, enzim ini menghidrolisis benzoil-D, L
arginin--naphthylamide (BANA) tetapi berbeda pada struktur glikoproteinnya,
aktif pada pH netral, stabil terhadap panas dan menunjukkan aktivitas molekuler
dengan substrat miosin. Katepsin L merupakan jenis protease lain yang hampir
sama dengan B1 tetapi berbeda dalam hal ketidakmampuan untuk menghidrolisis
BANA dan sangat aktif dalam mendegradasi protein miofibril.

Aktivitas

molekuler dari katepsin L dengan substrat miosin adalah 10 kali lebih besar dari
pada ketepsin B. Katepsin L telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi pada otot
mackarel. Katepsin L dapat mendegradasi miofibril, termasuk aktin, miosin dan
tropomiosin pada pH 6,5 dan secara khusus aktif untuk troponin serta dalam
pemindahan Ca dari ATPase miofibril pada pH netral.

Selain itu ada juga

katepsin S yang memiliki sifat sama seperti katepsin L tetapi berbeda pada
kemampuan dalam memisahkan metilcoumarilamide dan diduga terdapat dalam
mackarel (Shahidi dan Botta 1994).
2.7 Peranan Katepsin dalam Kemunduran Mutu Ikan

Katepsin merupakan salah satu enzim yang berperan penting dalam proses
kemunduran mutu ikan selama post mortem. Ketika ikan mati (fase pre rigor),
maka kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim yang terdapat dalam
tubuh ikan dengan melepaskan energi.

Proses ini kemudian diikuti dengan

peristiwa glikolisis yang akan menguraikan glikogen menjadi asam laktat.


Pembentukan asam laktat menyebabkan terjadinya penurunan pH, dan jaringan
otot tidak mampu mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal
dengan istilah rigor mortis. Nilai pH yang semakin menurun mengakibatkan
katepsin

yang

terdapat

dalam

jaringan

otot

menjadi

aktif

(Afrianto dan Liviawaty 1989).


Pembebasan dan aktivasi katepsin selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.

Hal ini

menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan senyawasenyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan pH dan peningkatan
jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan media yang

sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri pembusuk


(Lawrie 1985).
Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi
sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada akhir fase rigor mortis, saat hasil
penguraian semakin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila
fase rigor mortis telah terlewati, ditandai dengan badan ikan yang mulai melunak
(fase post rigor), maka kecepatan pembusukan akan meningkat (Moeljanto 1992).
Peranan katepsin dalam proses kemunduran mutu ikan secara nyata terlihat
dari perubahan kondisi fisik dan perubahan cita rasa ikan. Aktivitas katepsin
sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin dapat
menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis
dan jaringan daging ikan melunak (lembek). Pelunakan daging ini merupakan
salah satu sumber masalah pada industri surimi karena katepsin dapat menurunkan
kemampuan pembentukan gel pada proses pembuatan surimi dari daging ikan
akibat degradasi protein miofibril yang dapat mengurangi elastisitas dan kekuatan
gel surimi. Jenis katepsin B, D, L dan H telah diketahui memiliki efek gel
softening pada proses pembentukan gel surimi (Haard dan Simpson 2000).

3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan April 2008
di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium
Bioteknologi 2 Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan,
Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Terpadu Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama,
yaitu ikan gurami yang diperoleh dari kolam pembudidayaan desa Cibereum Petir
sebanyak 18 ekor dengan tiga katagori umur dan ukuran. Umur panen 2,5 tahun
dengan berat 995,45 g 1,85 g (ikan A), umur panen 1,5 tahun dengan berat
697,65 g 1,24 (ikan B), dan umur 8 bulan dengan berat 345,55 g 1,42 (ikan C); Ikan

gurami diangkut dalam keadaan hidup lalu ditampung dalam akuarium dan diberi
aerator. Ikan dipuasakan selama satu malam. Bahan-bahan untuk analisis nilai pH
(larutan buffer standar pH 7, akuades), analisis TPC (larutan garam 0,85 % (w/v) steril,
nutrient agar), analisis TVB (H3BO3, K2CO3, trichloroacetic acid (TCA) 7 %, HCl

0,032 N), assay aktivitas katepsin (buffer tris-HCl pH 7,4, hemoglobin, HCl 1 N,
TCA 5 %, pereaksi folin, tirosin), pengukuran konsentrasi protein katepsin
(bovine serum albumin, coomassie blue G-250, etanol 95 %, asam fosfat 85 %
(w/v)).
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain refrigerator
bersuhu 4 0C, inkubator (Termoline), oven (Yamato), sentrifuse suhu dingin (Kokusan),
spektrofotometer (Yamato), mikropipet (Pipetman), timbangan analitik, homogenizer,
magnetic stirrer, hot plate, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, tabung reaksi, cawan

petri, erlenmeyer, pH meter, kapas, tissue, alumunium foil, bunsen, jarum ose,
beaker glass, dan peralatan gelas lainnya.
3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, meliputi penelitian pendahuluan


untuk menentukan fase post mortem ikan secara organoleptik dan menghitung
rendemen ikan gurami serta penelitian utama untuk mentukan tingkat kesegaran
ikan berdasarkan penilaian subjektif dan objektif.
3.3.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian ini diawali dengan melakukan survei ke lapangan untuk


memperoleh informasi tentang asal sampel, potensi, dan cara membudidayakan
ikan gurami. Kemudian dilanjutkan dengan penanganan ikan di laboratorium
yang sebelumnya dicatat data awal yaitu ukuran (panjang, berat, umur), dan
rendemen ikan. Setelah itu dilakukan pengamatan dengan tujuan untuk
menentukan titik pengamatan pada tahap pre-rigor, rigor mortis, dan post rigor
setelah ikan gurami mati dengan cara ditusuk dan pembuangan isi perut (jeroan)
pada penyimpanan suhu chilling menggunakan refrigerator 4 0C. Pengamatan
dilakukan dengan uji organoleptik (BSN 2006) setiap 6 jam sekali selama 14 hari
untuk menentukan empat fase kemunduran mutu ikan. Score sheet uji
organoleptik disajikan pada Lampiran 1. Adapun diagram alir metode penelitian
ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Ikan gurami
Penimbangan
Pemberokan (1 hari)
Pematian segera/ mati ditusuk
Pembuangan isi perut
Pencucian
Penyimpanan suhu chilling (refrigerator 4 0C)
Pengamatan (setiap 6 jam sekali selama 14 hari)
Penentuan fase pre-rigor,rigor dan post rigor
Gambar 3. Kerangka penelitian pendahuluan
3.3.2 Penelitian utama

Penelitian utama dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan. Ikan


gurami dimatikan dengan cara ditusuk dan isi perut dibuang.

Pengamatan

dilakukan setiap 6 jam sekali selama 14 hari untuk uji organoleptik


(SNI-01-2346-2006), analisis komposisi kimia daging ikan (analisis kadar air,
kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak) pada saat ikan masih segar serta uji
TVB (AOAC 1995), uji mikrobiologi atau TPC (Fardiaz 1984), (AOAC 1995), uji
pH (Apriantono et al. 1989), assay aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002) dan
mengukur konsentrasi protein katepsin (Bradford 1976) pada setiap fase yang
telah diperoleh dari penelitian pendahuluan dan sampel yang digunakan adalah
daging ikan gurami. Kerangka penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 4.
Ikan gurami
Penimbangan
Pemberokan (1 hari)
Pematian segera/ mati ditusuk
Pembuangan isi perut
Pencucian
Penyimpanan suhu chilling (refrigerator 4 0C)
Pengamatan

Uji organoleptik (tiap 6 jam)

Uji TVB,TPC, pH,


aktivitas katepsin dan
konsentrasi protein katepsin
(pada tiap fase)

Gambar 4. Kerangka penelitian utama


3.4 Pengamatan

Pada penelitian ini dilakukan beberapa pengamatan dan analisis meliputi:


rendemen, uji organoleptik, uji mikrobiologi (TPC), proksimat, pH, TVB,
aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin.
3.4.1 Rendemen

Metode yang digunakan untuk perhitungan rendemen ini berdasarkan


SNI-19-1705-1992. Rendemen dihitung sebagai persentase bobot bagian tubuh
ikan dari bobot ikan awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berkut :
Rendemen (%) = Bobot contoh (g) x 100 %
Bobot total (g)
3.4.2 Uji organoleptik (SNI-01-2346-2006)

Metode yang digunakan untuk uji organoleptik ini berdasarkan scoring test
SNI-01-2346-2006. Metode ini menggunakan angka yang berkisar antara
1 sampai 9. Pengukuran organoleptik merupakan cara penilaian mutu ikan yang
bersifat subjektif menggunakan indera manusia. Jumlah panelis yang digunakan
adalah 15 orang dengan kategori panelis semi terlatih dan sampel yang diamati
sebanyak 4 ekor pada masing-masing titik pengamatan.
3.4.3 Uji mikrobilogis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1984)

Prinsip kerja dari uji mikrobiologis ini adalah penghitungan jumlah koloni
bakteri yang ada dalam sampel (daging ikan gurami) dengan pengenceran sesuai
keperluan dan dilakukan secara duplo.

Pembuatan larutan contoh dilakukan

dengan mencampurkan 10 gram sampel dan larutan garam fisiologis sebanyak


90 ml sampai homogen.
Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 1 ml larutan contoh
menggunakan pipet steril dimasukkan ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis dan
diaduk sampai homogen sehingga terbentuk seri pengenceran 10-1. Pengenceran
dilakukan disesuaikan dengan keperluan, biasanya sampai 10-6.

Pemipetan

dilakukan pada tiap tabung pengenceran sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam


cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril.
Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri dan digoyangkan supaya
merata (metode cawan tuang), didiamkan sampai media agar dingin dan padat.
Cawan petri yang berisi agar kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan

posisi terbalik pada suhu 35 0C dan diinkubasi selama 2X24 jam. Dihitung
jumlah koloni bakteri yang ada dalam cawan petri. Jumlah koloni yang dapat
dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300.
3.4.4 Analisis proksimat

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk


mengetahui komposisi kimia yang ada pada suatu bahan. Analisis proksimat
meliputi: analisis kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat.
(a). Analisis kadar air (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau
jumlah kadar air yang terdapat pada suatu bahan.
Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan
cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105 0C selama 10-15 jam. Cawan
tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan dibiarkan
sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga
beratnya konstan, kemudian cawan dan daging ikan gurami seberat 5 gram
ditimbang setelah terlebih dahulu dipotong kecil-kecil.

Selanjutnya cawan

tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 0C selama 3-5 jam.
Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin
kemudian ditimbang.
Perhitungan kadar air pada daging ikan gurami
% Kadar air = B - C x 100%
B-A
Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan dengan daging ikan (gram)
C = Berat cawan dengan daging ikan setelah dikeringkan (gram).
(b). Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang
terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis.
Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar
0

650 C selama 1 jam. Cawan abu porselen tersebut didinginkan selama 30 menit
setelah suhu tungku turun menjadi sekitar 200 0C dan ditimbang. Daging ikan
gurami sebanyak 1-2 gram yang telah dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam

cawan abu porselen.

Cawan tersebut dimasukkan ke dalam tungku secara

bertahap hingga suhu 650 0C. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna
putih. Setelah suhu tungku pengabuan turun menjadi sekitar 200 0C, cawan abu
porselin didinginkan selama 30 menit dan kemudian ditimbang beratnya.
Perhitungan kadar abu pada daging ikan gurami
% Kadar abu = C - A x 100%
B-A
Keterangan : A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)
B = Berat cawan abu porselen dengan daging ikan (gram)
C = Berat cawan abu porselen dengan daging ikan setelah
dikeringkan (gram).
(c). Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein


kasar ( crude protein ) pada suatu bahan.
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap,
yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.
(1). Tahap destruksi
Daging ikan gurami ditimbang seberat 0,5 gram; kemudian dimasukkan ke
dalam tabung kjeltec. Satu butir kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan
ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan
ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses
destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.
(2). Tahap destilasi
Destilasi terdiri dari 2 tahap, yaitu persiapan dan sampel. Tahap persiapan
dilakukan dengan membuka kran air kemudian dilakukan pengecekan alkali dan
air dalam tanki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan pada
tempatnya. Tombol power pada kjeltec sistem ditekan lalu dilanjutkan dengan
menekan tombol steam dan tungku beberapa lama sampai air di dalam tabung
mendidih. Steam dimatikan, tabung kjeltec dan erlenmeyer dikeluarkan dari alat
kjeltec sistem.
Tahap sampel dilakukan dengan meletakkan tabung yang berisi daging ikan
yang sudah didestruksi ke dalam kjeltec sistem beserta erlenmeyer yang diberi

asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer yang
berisi asam borat mencapai 200 ml.
(3). Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan
pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink.
Perhitungan kadar protein pada daging ikan gurami :
% Nitrogen = (ml HCl daging ikan ml HCl blanko)x 0,1 N HCl x 14 x 100 %
mg daging ikan gurami
% Kadar Protein = % Nitrogen x faktor konversi
(d). Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Daging ikan gurami seberat 3 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring
dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam
labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan
tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung
soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat
destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas
listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi
hingga semua pelarut lemak menguap.

Pada saat destilasi pelarut akan

tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke


dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu
105 0C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan
(W3).
Perhitungan kadar lemak pada daging ikan gurami
% Kadar Lemak = W3 W2 x 100 %
W1
Keterangan : W1 = Berat ikan gurami (gram)
W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

3.4.5 Penentuan pH (Apriyantono et al. 1989)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter.

Sampel

sebanyak 10 gram digiling dan dihomogenisasi dengan 90 ml air destilat.


Kemudian pH homogenat diukur dengan pH meter yang sebelumnya telah
dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 dan 7.
3.4.6 Penetapan Total Volatile Base (TVB) (AOAC 1995)

Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawasenyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis
TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan
trimetilamin) pada suhu kamar selama 24 jam. Senyawa tersebut kemudian diikat
oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan 0,1 N HCl.
Sampel sebanyak 25 gram ditambahkan 75 ml larutan TCA 7 % (w/v)
kemudian diblender selama 1 menit, kemudian disaring dengan kertas saring
sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih.

Larutan asam borat 1 ml

dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway lalu diletakkan tutup


cawan dengan posisi hampir menutupi cawan.
Dengan memakai pipet ukuran 1 ml yang lain, filtrat dimasukkan ke dalam
outer chamber disebelah kiri. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan K2CO3 jenuh
ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak
tercampur.

Disamping itu cawan segera ditutup dan digerakkan memutar

sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Kemudian dikerjakan blanko


dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 7 % (w/v).
Kemudian kedua cawan conway tersebut disimpan dalam inkubator pada
suhu 37 0C selama 2 jam. Setelah disimpan, selanjutnya larutan asam borat dalam
inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan
HCl 0,02 N (Vo), menggunakan magnetik stirer sampai berubah warna menjadi
merah muda. Selanjutnya cawan conway dititrasi dengan larutan yang sama
sehingga menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko (V1).
mgN 14(100 + W )x(V0 V1 )x0.01 100
=
x
TVB
5
M
100 g

Keterangan : V0 = Volume titrasi blanko

V1 = Volume NaOH 0,01 M yang dibutuhkan untuk titrasi


M = Berat sampel
W = Jumlah kadar air dalam bahan
3.5 Assay Aktivitas Katepsin (Dinu et al. 2002)

Prinsip dari analisis aktivitas katepsin, yaitu untuk mengetahui seberapa


besar aktivitas enzim katepsin dalam daging ikan terkait dengan laju kemunduran
mutu ikan yang diukur melalui absorbansi pada spektrofotometer.
Ikan dipreparasi untuk mendapat ekstrak kasar katepsin dengan cara ikan
dimatikan, kemudian daging ikan dibedah dengan cepat dan dicuci untuk
menghilangkan darah. Jaringan daging yang diambil dari bagian punggung ikan
disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan daging ikan dan akuades
sebesar 1:1 lalu dihomogenisasi pada suhu 0-4 0C. Selanjutnya ekstrak daging
hasil homogenisasi ini disentrifugasi pada kecepatan 1.000 rpm selama 10 menit.
Supernatan yang diperoleh kemudian disentrifugasi lagi pada kecepatan
10.000 rpm. Pelet yang dihasilkan dari hasil sentrifugasi ini kemudian dilarutkan
dalam 0,1 M buffer Tris-HCl pH 7,4 dengan jumlah yang sama seperti jumlah
akuades tadi dan disentrifugasi pada kecepatan 4.000 rpm selama 10 menit.
Supernatan yang diperoleh

merupakan protein utama dari mitokondria dan

lisosom yang siap untuk diteliti aktivitas nya lebih lanjut.


Aktivitas proteolitik dari katepsin diuji menggunakan hemoglobin
terdenaturasi asam sebagai substratnya. Hemoglobin dilarutkan dalam akuades
dengan perbandingan 1:3. Kemudian pH dibuat menjadi 2,0 dengan HCl 1 N dan
konsentrasi akhir hemoglobin dibuat sebesar 2 % dengan akuades. Selanjutnya
1ml dari larutan substrat diinkubasi dengan 0,2 ml larutan enzim pada 47 0C
selama 10 menit.

Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5 %.

Campuran disaring dan hasil reaksi yang dapat larut ditambah dengan 1 ml
pereaksi folin, serta diukur pada 750 nm. Selain itu dilakukan pula pengukuran
untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama dengan
larutan sampel hanya untuk blanko dan larutan standar, enzimnya digantikan
dengan akuades dan tirosin. Aktivitas enzim katepsin dapat dihitung dengan
rumus berikut :
UA = Absorbansi sampel Absorbansi blanko x P x 1/T

Absorbansi standar Absorbansi blanko


Keterangan : P = Faktor pengenceran ; T = Waktu Inkubasi.
3.6 Pengukuran Konsentrasi Protein Enzim (Bradford 1976)

Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan


bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan
dengan cara melarutkan 25 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam 12,5 ml
etanol 95 %, lalu ditambahkan dengan 25 ml asam fosfat 85 % (w/v). Jika telah
larut dengan sempurna, selanjutnya ditambahkan akuades hingga 0,5 liter dan
disaring dengan kertas saring Whatman #1 sesaat sebelum digunakan.
Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode bradford dengan
cara 0,06 ml enzim dimasukan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan
sebanyak 3 ml pereaksi Bradford, diinkubasi selama lima menit dan diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk
larutan standar dilakukan sama seperti larutan sampel dengan konsentrasi antara
0,1-1,0 mg/ml.

Komposisi volume larutan dalam pembuatan larutan standar

konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml
Konsentrasi BSA

Volume BSA

Volume

(mg/ml)

(ml)

akuades (ml)

0,1

0,025

0,475

0,2

0,050

0,450

0,3

0,075

0,425

0,4

0,10

0,400

0,5

0,125

0,375

0,6

0,150

0,350

0,7

0,175

0,325

0,8

0,20

0,300

0,9

0,225

0,275

1,0

0,250

0,250

3.7 Analisis Data (Walpole 1975)

Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai


organoleptik, pH, TPC, TVB, aktivitas katepsin dan konsentrasi protein enzim
katepsin dicari nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata tersebut dihitung menggunakan
rumus berikut:
n

X=

Xi
i =1

X = Nilai rata-rata
N = Jumlah data
Xi = Nilai X ke-i

Analisis terhadap hubungan tingkat kesegaran ikan (TPC, TVB, pH,


aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin), umur panen dan fase
kemunduran mutu ikan dilakukan melalui uji ragam (ANOVA) berupa rancangan
acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor, yaitu faktor umur panen ikan
gurami dan faktor fase kemunduran mutu ikan dengan uji lanjut duncan
(Steel dan Torrie 1989).
Persamaan umum model rancangan tersebut sebagai berikut:
Yijk = + i + j + ()ij + ijk
Keterangan:
Yijk

= nilai pengamatan pada suatu percobaan ke-k yang memperoleh


kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor dan taraf ke-j dari
faktor )

= nilai tengah populasi

= pengaruh perlakuan (konsentrasi natrium klorida) taraf ke-i

= pengaruh perlakuan (lama penyimpanan) taraf ke-j

()ij = pengaruh interaksi perlakuan taraf ke-i dan perlakuan taraf ke-j
ijk

= galat dari satuan percobaan ke-k dengan kombinasi perlakuan ke-ij

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik ikan


gurami (Osphronemus gouramy) meliputi asal sampel, ukuran, rendemen dan
penentuan fase post mortem (fase pre-rigor, rigor mortis, post-rigor, dan
deteriorasi) pada penyimpanan suhu chilling.
4.1.1

Ukuran dan rendemen ikan gurami (Osphronemus gouramy)

Ikan gurami yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kolam
ikan budidaya di desa Cibereum Petir, Bogor.

Budidaya ikan gurami yang

dilakukan di kolam tersebut adalah usaha pembesaran. Pakan yang digunakan,


yaitu berupa pelet dan pakan alami daun talas. Umur panen ikan dibedakan
menjadi tiga kelompok, yaitu ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 2,5
tahun (sampel A), ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 1,5 tahun
(sampel B) dan ikan gurami yang di panen pada saat berumur 8 bulan (sampel C).
Ukuran ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 2,5 tahun berkisar antara
900-1100 g dengan panjang total antara 36-38 cm, untuk umur panen 1,5 tahun
ukuran ikan berkisar antara 600-700 g dan panjang total berkisar antara 32-34 cm;
sedangkan untuk umur panen 8 bulan berkisar antara 300 g hingga 400 g dengan
panjang total antara 27-29 cm. Ukuran ini merupakan ukuran konsumsi.
Besar rendemen dari ikan dipengaruhi oleh pola pertumbuhan ikan
tersebut. Pertumbuhan pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
jenis ikan, jenis kelamin, umur ikan, fishing ground, musim dan jenis makanan
yang tersedia (Hadiwiyoto 1993).
Ikan gurami yang digunakan pada penelitian ini memiliki rendemen yang
berbeda-beda sesuai dengan umur panen dan ukuran. Rendemen bagian tubuh
dari masing-masing ukuran dengan umur panen yang berbeda dapat dilihat pada
Gambar 5, 6 dan 7.

insang
Jeroan
1%
sirip
8%
5%
sisik
4%
daging
52%
tulang
30%

Gambar 5. Persentase rendemen ikan gurami A


Jeroan insang
2%
8%

sirip
3%
sisik
4%

daging
49%
tulang
34%

Gambar 6. Persentase rendemen ikan gurami B


insang
2%

Jeroan
6%

sirip
5% sisik
4%

daging
45%

tulang
38%

Gambar 7. Persentase rendemen ikan gurami C


Gambar 5 menunjukkan bahwa untuk ikan gurami A

mempunyai

rendemen daging sekitar 52 %, ikan gurami B sekitar 49 % dan ikan gurami C


sekitar 45 %. Rendemen tulang pada ikan gurami A sekitar 30 %, ikan gurami B
sekitar 34% dan ikan gurami C sekitar 38 % (Lampiran 2). Berdasarkan data ini
dapat dilihat penurunan rendemen daging yang diperoleh seiring dengan kenaikan
rendemen tulang. Hal ini disebabkan karena pada ketiga umur ikan tersebut
memiliki ukuran yang berbeda. Pada ikan gurami A persentase dagingnya paling

tinggi dan tulang paling rendah, sedangkan ikan gurami C, persentase tulangnya
lebih besar dibandingkan dengan persentase daging. Hal ini dikarenakan pada
ikan gurami C masih dalam fase pertumbuhan sehingga perkembangan tulang
masih dominan. Begitu juga sebaliknya terhadap ikan gurami A yang rendemen
dagingnya paling tinggi dikarenakan ikan gurami pada umur 2,5 tahun mengalami
perkembangan jaringan tulang yang cenderung lambat sehingga nutrisi yang
masuk ke dalam tubuh lebih banyak digunakan untuk pembentukan struktur
daging. Pada masa pertumbuhan ikan muda, asupan nutrisi digunakan untuk
pembentukan jaringan kerangka tubuh, selanjutnya nutrisi yang dimakan akan
beralih fungsi untuk pembentukan jaringan otot ketika ikan telah memasuki usia
dewasa (Jangkaru 1998)
Untuk rendemen bagian tubuh yang lain diantaranya jeroan, insang, sirip,
dan sisik tidak memiliki perbedaan yang cukup besar diantara ketiga jenis ikan
tersebut.

Adapun persentase rendemen bagian tubuh ikan dari ketiga jenis

tersebut, yaitu untuk jeroan berkisar antara 6-8 %, untuk insang 1-2 %, untuk sirip
3-5 %, dan sisik sekitar 4 %.
Ikan gurami memiliki bagian yang belum dimanfaatkan yang cukup besar,
yaitu berkisar antara 48-55 % terdiri dari tulang, jeroan, insang, sirip dan sisik.
Tulang dan sirip merupakan sumber mineral yang memiliki potensi komersial bila
dimanfaatkan misalnya sebagai sumber gelatin.

Sisik ikan dapat dijadikan

asesoris. Jeroan ikan dapat dijadikan pakan ternak. Pemanfaatan hasil perikanan
seperti ikan gurami diharapkan tidak hanya pada bagian yang dapat dimakan saja
(edible portion) tetapi bagian-bagian selain daging juga dapat dimanfaatkan
sebagai sumber bahan baku kimia, industri farmasi dan lain-lain sehingga tidak
ada bagian ikan yang terbuang (zero waste).
4.1.2 Penentuan fase post mortem ikan gurami

Penentuan fase post mortem dilakukan pada penelitian pendahuluan untuk


mengetahui interval dan lama waktu terjadinya kemunduran mutu pada ikan
gurami yang disimpan pada suhu chilling melalui metode penilaian sensori, yakni
secara organoleptik sehingga dapat diketahui kondisi kesegaran ikan terkait
dengan besarnya nilai TPC, TVB, pH, dan aktivitas katepsin setelah ikan
dimatikan sampai proses kemunduran mutu mulai berlangsung. Penetapan

kemunduran mutu ikan secara subjektif (organoleptik) dapat dilakukan


menggunakan score sheet yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi
Nasional dengan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006).

Pengamatan secara

organoleptik ini meliputi beberapa parameter, yaitu keadaan mata, insang, lendir
permukaan badan, daging, bau, dan tekstur.
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan ciri-ciri organoleptik ikan
gurami selama fase post mortem tersebut. Tabel 8 memperlihatkan ciri-ciri
organoleptik ikan gurami A selama fase post mortem pada penyimpanan suhu
chilling.
Tabel 8. Fase post mortem gurami (Osphronemus gouramy) A pada
penyimpanan suhu chilling.
Parameter

Pre-rigor (jam ke-0

Rigor (jam ke-36

Post-rigor (jam

Deteriorasi (mulai

hingga 36)

hingga 228 )

ke-228 hingga

jam ke 324)

324)
Mata

Cerah, bola mata


menonjol, kornea
jernih.

Cerah, bola mata


menonjol, kornea
jernih,pupil berwarna
putih.

Bola mata agak


cekung, pupil
berubah keabuabuan.

Bola mata sangat


cekung, kornea
agak kuning.

Insang

Merah cemerlang,
tanpa lendir

Warna merah kurang


cemerlang, ada
sedikit lendir.

Merah agak
kusam, sedikit
lendir

Warna merah
coklat ada sedikit
putih, lendir tebal

Lendir
Permukaan
Badan

Lapisan lendir
jernih, transparan,
mengkilat cerah.

Mengeluarkan lendir
dalam jumlah
banyak, lapisan
lendir agak keruh,
kurang transaparan.

Mengeluarkan
lendir tapi tidak
terlalu banyak,
keruh, warna putih
kusam, kurang
transparan.

Lendir tebal
menggumpal,
warna kuning
kecoklatan

Daging

Sayatan daging
sangat cemerlang,
spesifik jenis, tidak
ada pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut utuh.

Sayatan daging
cemerlang spesifik
jenis, tidak ada
pemerahan sepanjang
tulang belakang,
dinding perut utuh.

Sayatan daging
sedikit kurang
cemerlang, sedikit
pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut agak lunak.

Sayatan daging
kusam sekali,
warna merah jelas
sekali sepanjang
tulang belakang,
dinding perut
sangat lunak

Bau

Bau sangat segar


spesifik jenis

Segar spesifik jenis

Bau agak segar,


spesifik jenis

Bau deteriorasi
jelas

Tekstur

Padat,elastis bila
ditekan dengan jari,
sulit menyobek
daging dari tulang
belakang. Ikan
dalam keadaan
lemas

Padat, elastis bila


ditekan dengan jari,
sulit menyobek
daging dari tulang
belakang.

Agak lunak,
kurang elastis bila
ditekan dengan
jari, agak mudah
menyobek daging
dari tulang
belakang,

Sangat lunak,
bekas jari tidak
hilang bila
ditekan, mudah
sekali menyobek
daging dari tulang
belakang

Berdasarkan Tabel 8 didapat titik-titik waktu fase post mortem ikan


gurami pada penyimpanan suhu chilling dengan umur panen 2,5 tahun. Kondisi
pre rigor untuk ikan gurami A terjadi pada 0 jam penyimpanan dengan, fase rigor
mortis pada ikan gurami A terjadi pada jam ke-36, sedangkan fase post rigor ikan
gurami A terjadi pada jam ke-228. Fase deteriorasi ikan gurami A terjadi pada
jam ke-324. Fase post mortem ikan gurami B pada penyimpanan suhu chilling
dapat dilihat pada Tabel 9
Tabel 9. Fase post mortem gurami (Osphronemus gouramy) B pada
penyimpanan suhu chilling.
Parameter

Pre-rigor (jam
ke-0 hingga 30)

Rigor (jam ke-30


hingga 198)

Mata

Cerah, bola mata


menonjol, kornea
jernih.

Cerah, bola mata


menonjol, kornea
jernih, pupil
berwarna putih.

Insang

Merah
cemerlang, tanpa
lendir

Lendir
Permukaan
Badan

Lapisan lendir
jernih,
transparan,
mengkilat cerah.

Warna merah
kurang
cemerlang, ada
sedikit lendir.
Mengeluarkan
lendir dalam
jumlah banyak,
lapisan lendir
agak keruh,
kurang
transaparan.

Daging

Sayatan daging
sangat cemerlang,
spesifik jenis, tidak
ada pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut utuh.

Sayatan daging
cemerlang spesifik
jenis, tidak ada
pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut utuh.

Sayatan daging
sedikit kurang
cemerlang, sedikit
pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut agak lunak.

Sayatan daging
kusam sekali,
warna merah jelas
sekali sepanjang
tulang belakang,
dinding perut
sangat lunak

Bau

Bau sangat segar


spesifik jenis

Segar spesifik
jenis

Bau agak segar,


spesifik jenis

Bau deteriorasi
jelas

Tekstur

Padat,elastis bila
ditekan dengan
jari, sulit
menyobek
daging dari
tulang belakang.
Ikan dalam
keadaan lemas

Padat, elastis bila


ditekan dengan
jari, sulit
menyobek
daging dari
tulang belakang.
Kondisi ikan
kaku, ekor
mengejang dan
sulit
dibengkokkan

Agak lunak,
kurang elastis
bila ditekan
dengan jari, agak
mudah
menyobek
daging dari
tulang belakang,
kondisi lemas.

Sangat lunak,
bekas jari tidak
hilang bila
ditekan, mudah
sekali menyobek
daging dari
tulang belakang

Post-rigor (jam
ke-198 hingga
264)
Bola mata agak
cekung, pupil
berubah keabuabuan, kornea
agak keruh.
Merah agak
kusam, sedikit
lendir
Mengeluarkan
lendir tapi tidak
terlalu banyak,
keruh, warna
putih kusam,
kurang
transparan.

Deteriorasi(mulai
jam ke 264)
Bola mata sangat
cekung, kornea
agak kuning.
Warna merah
coklat ada sedikit
putih, lendir
tebal
Lendir tebal
menggumpal,
warna kuning
kecoklatan

Tabel 9 menguraikan titik-titik waktu fase post mortem ikan gurami pada
penyimpanan suhu chilling dengan umur panen 1,5 tahun (B). Kondisi pre rigor
ikan gurami B terjadi pada 0 jam penyimpanan, fase rigor mortis pada ikan ikan
gurami B pada jam ke-30, sedangkan fase post rigor ikan gurami B pada jam ke198. Fase deteriorasi ikan gurami B terjadi pada jam ke-264. Fase post mortem
ikan gurami C pada penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Fase post mortem gurami (Osphronemus gouramy) C pada
penyimpanan suhu chilling.
Parameter

Pre-rigor (jam
ke-0 hingga 24)

Rigor (jam ke-24


hingga 180)

Post-rigor (jam
ke-180 hingga
234)
Bola mata agak
cekung, pupil
berubah keabuabuan, kornea
agak keruh.

Deteriorasi
(mulai jam ke
234)
Bola mata sangat
cekung, kornea
agak kuning.

Mata

Cerah, bola mata


menonjol, kornea
jernih.

Cerah, bola mata


menonjol, kornea
jernih, pupil
berwarna putih.

Insang

Merah
cemerlang, tanpa
lendir

Warna merah
kurang
cemerlang, ada
sedikit lendir.

Merah agak
kusam, sedikit
lendir

Warna merah
coklat ada sedikit
putih, lendir
tebal

Lendir
Permukaan
Badan

Lapisan lendir
jernih,
transparan,
mengkilat cerah.

Mengeluarkan
lendir dalam
jumlah banyak,
lapisan lendir
agak keruh,
kurang
transaparan.

Mengeluarkan
lendir tapi tidak
terlalu banyak,
keruh, warna
putih kusam,
kurang
transparan.

Lendir tebal
menggumpal,
warna kuning
kecoklatan

Daging

Sayatan daging
sangat cemerlang,
spesifik jenis, tidak
ada pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut utuh.

Sayatan daging
cemerlang spesifik
jenis, tidak ada
pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut utuh.

Sayatan daging
sedikit kurang
cemerlang, sedikit
pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut agak lunak.

Sayatan daging
kusam sekali,
warna merah jelas
sekali sepanjang
tulang belakang,
dinding perut
sangat lunak

Bau

Bau sangat segar


spesifik jenis

Segar spesifik
jenis

Bau agak segar,


spesifik jenis

Bau deteriorasi
jelas

Tekstur

Padat,elastis bila
ditekan dengan
jari, sulit
menyobek
daging dari
tulang belakang.
Ikan dalam
keadaan lemas

Padat, elastis bila


ditekan dengan
jari, sulit
menyobek
daging dari
tulang belakang.
Kondisi ikan
kaku, ekor
mengejang

Agak lunak,
kurang elastis
bila ditekan
dengan
jari,mudah
menyobek
daging dari
tulang belakang,
kondisi lemas.

Sangat lunak,
bekas jari tidak
hilang bila
ditekan, mudah
sekali menyobek
daging dari
tulang belakang

Berdasarkan Tabel 10 didapat titik-titik waktu fase post mortem ikan


gurami pada penyimpanan suhu chilling dengan umur panen 8 bulan (C). Kondisi
pre rigor untuk ikan gurami C terjadi pada 0 jam penyimpanan, fase rigor mortis
pada ikan gurami C pada jam ke-24, sedangkan fase post rigor ikan gurami C
masuk pada jam ke-180. Fase deteriorasi ikan gurami C terjadi pada jam ke-234
Diantara ketiga ikan gurami tersebut masa simpan paling panjang, yaitu pada ikan
gurami dengan umur panen 2,5 tahun (A) dan yang paling cepat mengalami
kemunduran mutu pada ikan gurami dengan umur panen 8 bulan (C) (data
lengkap tersaji pada Lampiran 3a, 3b, 3c, dan 3d). Hal ini terjadi karena selain
dipengaruhi oleh umur panen itu sendiri, laju kemunduran pada ikan dapat
disebabkan karena ukuran tubuh ikan.

Semakin besar ukuran ikan maka

kecenderungan untuk mengalami kemunduran mutu semakin lama, begitupun


sebaliknya. Selain itu cadangan glikogen pada ikan juga mempengaruhi laju
kemunduran mutu ikan.
Fase pre rigor merupakan perubahan pertama yang terjadi ketika ikan
mati, yang ditandai melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga
ikan mudah dilenturkan dan secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar
ATP dan kreatin fosfat. Perubahan ini terjadi karena terhentinya peredaran darah
yang membawa oksigen untuk kegiatan metabolismenya. Meskipun telah mati, di
dalam tubuh ikan masih berlangsung proses enzimatis. Proses ini berjalan tanpa
kendali sehingga mengakibatkan perubahan bioakimia yang luar biasa
( Yunizal dan Wibowo 1998).
Fase rigor mortis ditandai dengan keadaan otot yang kaku dan keras.
Hilangnya kelenturan ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang
berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap
selanjutnya.

Fase rigor mortis terjadi pada saat-saat siklus kontraksi antara

relaksasi antara miosin dan aktin di dalam miofibril terhenti dan terbentuknya
aktomiosin yang permanen (Eskin 1990).
Fase post mertem diakhiri dengan fase post rigor yang merupakan
permulaan dari proses deteriorasi. Fase ini ditandai dengan mulai melunaknya
otot ikan secara bertahap yang disebabkan oleh autolisis, pembusukan oleh bakteri
dan ketengikan. Pada tahap ini, peran bakteri dalam kerusakan ikan mulai tampak

menonjol setelah dihasilkan senyawa-senyawa sederhana hasil autolisis yang


berfungsi sebagai media pertumbuhannya (Roth et al. 2002).
4.2. Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui perbedaan mutu ikan gurami


pada penyimpanan suhu chilling secara subjektif, yaitu uji organoleptik dan
objektif, yaitu analisis proksimat, uji TPC, TVB, pH, aktivitas katepsin dan
konsentrasi protein katepsin. Uji objektif dilakukan pada 4 titik, yaitu pada fase
pre rigor, rigor mortis, post rigor dan deteriorasi dari masing-masing umur ikan.
4.2.1 Hasil analisis proksimat ikan gurami (Osphronemus gouramy)

Komposisi kimia daging ikan gurami secara kasar (proksimat) yang


teridiri dari kadar air, protein, lemak dan abu yang diukur pada penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil analisis proksimat ikan gurami pada berbagai umur panen
Parameter

Persentase kandungan kimia ikan gurami dengan


berbagai umur panen (%)
Ikan gurami A
Ikan gurami B
Ikan gurami C

Kadar air

72,96

74,62

75,48

Kadar abu

0,90

0,95

1,03

Kadar protein

20,67

18,93

18,71

Kadar lemak

2,79

2,43

2,20

Keterangan

: A = umur panen 2,5


B = umur penen 1,5
C = umur panen 8 bulan

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa komposisi kimia daging ikan


gurami pada penelitian ini berbeda-beda tergantung dari ukuran dan umur panen.
Ikan memiliki komposisi kimia yang bervariasi antar jenis ikan, antar individu
dalam spesies, dan antar bagian tubuh dari satu individu ikan. Variasi ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu umur, laju metabolisme, pergerakan ikan,
makanan, serta masa memijah. Komposisi kimia daging juga dapat berbeda-beda
tergantung dari umur, habitat, dan kebiasaan makan. Komposisi kimia daging
ikan umumnya terdiri dari 70-85 % kadar air, 15-25 % protein, 1-10 % kadar
lemak, 0,1-1 % karbohidrat, dan 1-15 % mineral (Okada 1990).

(a) Kadar air


Air merupakan komponen penyusun terbesar pada tubuh ikan.
Kandungan air pada ikan terdapat dalam dua bentuk yaitu air bebas dan air
terikat. Air bebas yang terdapat dalam ruang antar sel dan plasma, dapat
melarutkan berbagai vitamin, garam mineral dan senyawa-senyawa nitrogen
tertentu. Air terikat terdapat dalam beberapa macam yaitu terikat secara
kimiawi, terikat secara fisikokimia, dan terikat oleh daya kapiler. Kadar air

daging ikan gurami pada berbagai umur panen dapat dicantumkan pada Gambar
8.

K a da r a ir (% )

80
70

72,96

74,62

75,48

ikan A

ikan B

ikan C

60
50
40
30
20
10
0

Umur ikan

Gambar 8. Kadar air daging ikan gurami segar pada berbagai umur panen
Berdasarkan histogram kadar air (Gambar 8) dapat diketahui bahwa
kadar air tertinggi terdapat pada ikan C dengan nilai 75,48 %, sedangkan kadar
air terendah terdapat pada ikan gurami A dengan nilai 72,96 %.

Hal ini

menunjukkan bahwa kadar air pada ikan dipengaruhi oleh perbedaan ukuran
ikan yang secara tidak langsung berkaitan dengan umur panen, selain itu kadar
air pada ikan berkaitan dengan kadar lemak ikan. Semakin tinggi kadar air pada
ikan maka makin rendah kadar lemak nya (Suzuki 1981). Nilai kandungan air
pada ikan gurami A, B, dan C termasuk dalam kisaran normal, yaitu 70-85 %
(Okada 1990).

(b) Kadar abu

Bahan makanan sekitar 96 % terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri
dari unsur-unsur mineral, yaitu zat anorganik atau disebut juga kadar abu.
Mineral yang ditemukan dalam tubuh makhluk hidup dan dalam bahan pangan
tergabung dalam persenyawaan anorganik, dan ada pula yang ditemukan dalam
bentuk unsur (Sakaguchi 1990). Pada Gambar 9 disajikan kandungan abu daging
ikan gurami dengan umur panen yang berbeda.
1,2

Kadar abu (%)

0,9

0,95

1,03

0,8
0,6
0,4
0,2
0
ikan A

ikan B

ikan C

Umur ikan

Gambar 9. Kadar abu daging ikan gurami pada berbagai umur panen
Kandungan abu tertinggi terdapat pada ikan gurami C dengan nilai
1,03 %; sedangkan kadar abu terendah terdapat pada ikan gurami A dengan
nilai 0,90 %.

Semakin muda umur ikan kadar abu semakin besar hal ini

disebabkan karena pada ikan muda, pembentukan jaringan kerangka tubuh masih
berlangsung sehingga mineral-mineral atau zat anorganik yang dibutuhkan lebih
banyak. Kadar abu yang terdapat pada suatu bahan ada hubungannya dengan
mineral bahan tersebut. Komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi
dari segi macam dan jumlahnya (Sudarmadji et al. 1989).
(c) Kadar protein

Ikan pada umumnya memiliki kadar protein yang tinggi serta mudah
dicerna dan diabsorpsi oleh tubuh. Komposisi asam-asam amino dalam bahan
makanan hewani sesuai dengan komposisi jaringan di dalam tubuh manusia itu
sendiri. Protein dalam ikan tersusun dari asam-asam amino yang dibutuhkan oleh

tubuh untuk pertumbuhan.

Kadar protein yang terukur berupa protein kasar

(crude protein) sehingga termasuk didalamnya, yaitu non-protein nitrogen (NPN).


Kandungan NPN pada ikan teleostoi antara 9-18 % dari jumlah nitrogennya.
Komponen utama dari NPN, yakni basa volatil (asam amino dan TMAO),
kretain, asam amino bebas, nukleotida dan basa purin, serta urea pada ikan
Elasmobranchi (Ozogul et al. 2004). Pada Gambar 10 disajikan kandungan
protein dari daging ikan gurami dengan berbagai umur panen.

25
K a d a r p r o te in (% )

20,67
20

18,93

18,71

ikan B

ikan C

15
10
5
0
ikan A

umur ikan
Gambar 10. Kadar protein daging ikan gurami dengan berbagai umur panen
Kandungan protein pada Gambar 10 berkisar antara 18,71-20,67 %. Kadar
protein tertinggi terdapat pada ikan A dengan nilai 20,67 % dan yang terendah
pada ikan C dengan nilai 18,71 %. Perbedaan umur panen pada ikan gurami
mempunyai pengaruh terhadap kandungan protein pada ikan tersebut. Tingginya
kandungan protein dipengaruhi oleh spesies, lingkungan, dan makanan. Spesies
ikan air tawar cenderung memiliki kadar protein yang lebih rendah dibanding ikan
air laut. Ikan yang hidup pada lingkungan perairan yang kaya akan makanan dan
unsur hara cenderung memiliki kadar protei yang tinggi.
Mengacu pada penggolongan tipe ikan menurut (Stansby 1963) ikan
gurami dapat dikelompokkan pada kategori protein tinggi (15-20 %) dan lemak
rendah (< 5 %).

(d) Kadar lemak

Lemak yang terkandung dalam ikan sangat mudah untuk dicerna langsung
oleh tubuh dan sebagian besar terdiri dari asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan dan dapat menurunkan kolesterol dalam darah. Pada Gambar
11 disajikan kandungan lemak daging ikan gurami dengan berbagai umur panen.
3

2,79
2,43

Kadar lemak (%)

2,5

2,20

2
1,5
1
0,5
0
ikan A

ikan B

ikan C

Umur ikan

Gambar 11. Kadar lemak daging ikan gurami pada berbagai umur panen
Kandungan lemak berkisar antara 2,2-2,79 %, kandungan lemak tertinggi
terdapat pada ikan A dengan persentase 2,79 % dan terendah pada ikan C dengan
persentase 2,20 %. Kisaran kadar lemak ikan gurami tersebut termasuk kedalam
tipe ikan berkadar lemak rendah yaitu dibawah 5% (Stansby 1963). Perbedaan
umur panen pada ikan gurami mempunyai pengaruh terhadap kadar lemak pada
ikan tersebut sebab semakin dewasa umur ikan maka kadar lemak semakin tinggi
(Hadiwiyoto 1993).
Sebagian besar lemak yang terkandung pada ikan adalah terdiri dari asam
lemak tak jenuh yang dibagi menjadi asam lemak tak jenuh tunggal dan asam
lemak tak jenuh jamak (Lehninger 1993).
Lingkungan tempat ikan tersebut tumbuh dan berkembang sangat
berpengaruh terhadap kandungan lemak. Kandungan lemak pada ikan tidak hanya
dipengaruhi oleh jenis ikan tapi juga dipengaruhi oleh kedewasaan, musim,
kebiasaan makan (feeding habit), dan ketersediaan pakan (Gokce et al. 2004).

4.2.2 Nilai organoleptik

Penilaian organoleptik merupakan cara yang paling banyak dilakukan


dalam menentukan tanda-tanda kesegaran ikan karena lebih mudah dan lebih
cepat dikerjakan, tidak memerlukan banyak peralatan, serta tidak memerlukan
laboratorium (Hadiwiyoto 1993).

Penetapan kemunduran mutu ikan secara

subjektif (organoleptik) dilakukan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan


oleh Badan Standardisasi Nasional SNI 01-2346-2006 (BSN 2006) serta
menggunakan 15 orang panelis. Parameter yang diamati, yakni keadaan mata,
insang, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur. Pengamatan
organoleptik untuk keadaan mata, insang, lendir permukaan badan, bau, dan
tekstur dilakukan terhadap ikan gurami utuh, tetapi khusus untuk pengamatan
terhadap daging dilakukan pada ikan gurami yang telah disayat dagingnya. Hasil
uji organoleptik terhadap ikan gurami dengan berbagai macam umur panen dapat
dilihat dari data di lampiran 3a, 3b, 3c, dan 3d. Perbandingan rata-rata nilai
organoleptik antara ikan gurami pada masing-masing umur panen saat

Nilai organoleptik

penyimpanan suhu chilling dapat dilihat dari Gambar 12.


10 9 9 9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
0
prerigor

6,65
6,1 6,15

5,84
4,25 4,25
2,2 2,35 2,15

24

30

36

rigor

180

198

228

post-rigor

234

264

324

busuk

Waktu tiap fase pada penyimpanan (jam)


ikan A

ikan B

ikan C

Gambar 12 Rata-rata nilai organoleptik dari ikan gurami pada berbagai umur
panen selama penyimpanan suhu chilling
Gambar 12 menunjukkan bahwa nilai organoleptik ikan gurami baik ikan
gurami A, B, dan C semakin menurun dengan semakin lamanya waktu

penyimpanan. Namun ikan gurami A memiliki waktu kemunduran mutu yang


lebih panjang dibandingkan dengan ikan gurami B dan C. Hal ini disebabkan
adanya pengaruh perbedaan ukuran tubuh ikan dan perbedaan umur panen dari
ikan sehingga kemunduran mutu ikan gurami A menjadi lambat, ditandai dengan
nilai organoleptik yang menurun lebih lama.
Ikan berukuran besar secara umum mengalami penurunan mutu yang lebih
lambat dibandingkan dengan ikan kecil sebab kandungan glikogen pada ikan yang
berukuran besar lebih banyak dibanding ikan kecil, selain itu pada ikan yang besar
memiliki

luas

permukaan

tubuh

yang

besar

sehingga

penyerangan

mikroorganisme lebih lama. Ikan berbentuk pipih dapat disimpan lebih lama dari
pada ikan berbentuk bulat. Ikan berlemak rendah dapat dipertahankan lebih lama
dari ikan berlemak tinggi pada kondisi aerobik (FAO 1995).
Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim dan
mikroorganisme. Kedua hal itu menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun.
Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan kimia,
fisik, dan organoleptik pada ikan. Cepat atau lambatnya kemunduran mutu ikan
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal yang bekaitan dengan ikan itu
sendiri dan eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan penanganan
(FAO 1995).
4.2.3 Nilai total plate count (TPC)

Pengukuran tingkat kesegaran ikan dapat dilihat dari banyaknya bakteri


yang berkembang pada ikan (Sakaguchi 1990). Pengukuran ini menggunakan
metode TPC yang dilakukan dengan cara menghitung jumlah bakteri yang
ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama
24 jam (Fardiaz 1984). Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa jumlah
koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah
mikroorganisme yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel (Hadiwiyoto
1993). Pada penelitian ini, perbandingan nilai log TPC ikan gurami dengan
berbagai umur panen pada penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada
Gambar 13.

Nilai TPC (CFU/ml)

10
9
8
4,960
4,964
7
6 3,079
4,939
5 3,079
4
2,7
3
2
1
0
0
24
30
36
prerigor

9,079 9,079
6,996

6,991

9,176

6,954

180

rigor

198

228

234

post rigor

264

324

deteriorasi

waktu per fase pada penyimpanan (jam)


ikan A

ikan B

ikan C

Gambar 13. Nilai log TPC dari ikan gurami pada berbagai umur panen selama
penyimpanan suhu chilling
Nilai TPC ikan gurami A, B dan C pada Gambar 13 adalah sama, yakni
1,2x103 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 3,079 CFU/g pada fase pre-rigor. Pada
fase rigor, nilai TPC dari ketiga ikan tersebut meningkat pada kisaran 8,7x103
CFU/g 9,2x103 CFU/ ml atau nilai log antara 4,939 CFU/g 4,964 CFU/g.
Semakin lama nilai TPC dari ketiga ikan tersebut semakin meningkat dengan
semakin lamanya waktu penyimpanan dan mencapai nilai tertinggi pada fase
deteriorasi, yaitu ikan A sebesar 1,5x109 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 9,176
CFU/g, sedangkan pada ikan B dan C memiliki nilai TPC yang sama yakni
sebesar 1,2x109 CFU/g atau log TPC sebesar 9,079 CFU/g. Nilai TPC ikan gurami
pada penyimpanan fase post-rigor dan deteriorasi sudah berada di atas batas
maksimum jumlah cemaran mikroba yang ditetapkan dalam SNI 01-2729-1992
dengan nilai maksimum 5x105 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 5,70 CFU/g,
sehingga sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
Daging ikan yang baru ditangkap masih steril karena memiliki sistem
kekebalan yang mencegah bakteri tumbuh pada daging ikan. Setelah ikan mati,
sistem kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang biak
dengan bebas. Pada permukaan kulit, bakteri bergerak ke seluruh tubuh dan
selama penyimpanan, bakteri menyerang daging dan bergerak diantara serat otot.
Jumlah mikroorganisme yang menyerang sangat terbatas dan pertumbuhan bakteri
sebagian besar berlangsung di permukaan. Proses deteriorasi terjadi akibat adanya

enzim yang dihasilkan bakteri yang merusak bahan gizi pada daging ikan (FAO
1995).
Proses deteriorasi yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi
sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada akhir fase rigor saat hasil penguraian
makin banyak, kegiatan bakteri pemdeteriorasi mulai meningkat. Bila fase rigor
telah lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan
meningkat (Moeljanto 1992).
Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan
fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang
disebut sebagai deteriorasi (Irawan 1995). Jumlah bakteri yang terdapat pada
tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup.
Perbedaan jenis dan jumlah bakteri yang dijumpai pada ikan disebabkan oleh
makanan, cara penangkapan, penanganan, dan perbedaan suhu yang dipengaruhi
oleh

musim

dan

letak

geografis

(FAO

1995;

Junianto

2003).

Menurut Lan et al. (2007) jumlah bakteri yang terdapat pada ikan tergantung dari
lingkungan tempat ikan tersebut ditangkap. Bakteri yang umumnya ditemukan
pada

ikan

adalah

bakteri

Pseudomonas,

Alcaligenes,

Sarcina,

Vibrio,

Flavobacterium, Serratia, Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri
Aeromonas,

Lactobacillus,

Bevibacterium

dan

Streptococcus

(Jeyasekaran et al. 2004).


Nilai TPC pada ikan gurami A, B, dan C pada penelitian ini mengalami
kenaikan pada tiap fase kemunduran mutu. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA
=0,05 ) pada analisis TPC dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan umur panen
dari masing-masing ikan gurami memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada
tingkat kepercayaan 95 %. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan
luas permukaan tubuh. Ikan berukuran besar memiliki permukaan tubuh yang
lebih luas dibanding ikan kecil sehingga penyerangan mikroorganisme cenderung
memerlukan waktu yang lama untuk merombak jaringan pada daging ikan. Selain
itu, aktivasi enzim katepsin terjadi lebih cepat pada ikan berukuran kecil
dibandingkan dengan ikan berukuran besar sehingga proses pembongkaran
senyawa-senyawa makromolekul, seperti protein menjadi senyawa-senyawa
mikromolekul seperti asam amino, peptida, dan amonia terjadi lebih cepat dan

pada akhirnya terakumulasi dalam jumlah yang besar.

Senyawa-senyawa ini

merupakan sumber nutrien (unsur hara) bagi bakteri untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (Kreuzer 1965).
4.2.4 Nilai pH

Kesegaran ikan juga dapat ditentukan dengan mengukur pH daging ikan.


Produksi asam laktat dari hasil proses glikolisis secara anaerob setelah ikan mati
akan menentukan perubahan pH pada daging ikan. Perubahan nilai pH pada ikan
bergantung pada berbagai faktor seperti jenis ikan, cara menangkap, pemberian
pakan dan kondisi lainnya (Sakaguchi 1990).
Pada dasarnya energi pada jaringan otot ikan setelah mati diperoleh secara
anaerobik dari pemecahan glikogen menjadi glukosa dan produk-produk
turunannya.

Selanjutnya penguraian glukosa melalui proses glikolisis akan

menghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat inilah yang dapat
menyebabkan terjadinya penurunan pH daging ikan dan dapat menekan aktivitas
mikroba sehingga memperlambat proses deteriorasi. Besarnya penurunan pH ini
tergantung pada jumlah glikogen awal yang terdapat dalam otot ikan (Jiang 1998).
Perbandingan nilai pH ikan gurami yang disimpan pada suhu chilling dengan

Nilai pH

berbagai umur panen disajikan pada Gambar 14.


8
7
6
5
4
3
2
1
0

6,87
6,85
6,85 6,62 6,64 6,67

0
prerigor

24

30

36

rigor

6,7 6,68 6,72


5,92 5,92 5,94

180

198

228

post-rigor

234

264

324

deteriorasi

Waktu tiap fase pada penyimpanan (jam)


ikan A

ikan B

ikan C

Gambar 14. Nilai pH ikan gurami dengan berbagai umur panen selama
penyimpanan suhu chilling

Ikan gurami A, B dan C pada fase pre-rigor memiliki nilai pH secara


berturut-turut yakni 6,87 ; 6,85 ; dan 6,85. Nilai ini akan semakin menurun
seiring semakin banyak asam laktat yang terbentuk dan penurunan ATP. Pada
akhirnya pH akan semakin asam, yaitu pada fase post rigor awal. Nilai pH dari
ikan gurami pada fase post rigor yakni 5,98 untuk ikan A; 5, 92 untuk ikan B dan
ikan C. Nilai-nilai itu akan meningkat lagi pada fase deteriorasi karena pada fase
ini terjadi akumulasi basa-basa volatil.

Tabel 12 memperlihatkan nilai pH

terendah berbagai jenis ikan pada fase post rigor.


Tabel 12. Nilai pH terendah berbagai jenis ikan pada fase post rigor
No.

Jenis ikan

Nilai pH pada
fase post rigor
6,26

Sumber
Muldani 1997

1.

Nila

2.

Patin (mati menggelepar)

6,46

Swasono 2007

3.

Patin (mati ditusuk)

6,51

Swasono 2007

4.

Cod

6,10

FAO 1995

5.

Mackerel

5,80

FAO 1995

6.

Tuna

5,40

FAO 1995

Terjadinya perubahan glikogen menjadi asam laktat disebut proses


glikolisis (Eskin 1990). Proses glikolisis yang menguraikan glukosa menjadi
asam laktat disajikan sehingga terjadi penurunan pH terdapat pada Gambar 15.
Glukosa
Heksokinase

Glukosa-6-fosfat
fosfoglukosa isomerase

Fruktosa-6-fosfat
Fosfofruktokinase

Fruktosa-1,6-difosfat
Aldolase

Dihidroksi asetonfosfat
Asam laktat

D-gliseraldehida-3-fosfat
laktat dehidrogenase

Asam piruvat

Gambar 15. Proses glikolisis pada daging ikan (Eskin 1990)

Kecepatan perubahan nilai pH dipengaruhi oleh banyaknya kandungan


glikogen dalam daging. Kondisi stres menjelang kematian akan menyebabkan
peningkatan aktivitas otot sehingga cadangan glikogen pada daging berkurang
(Robb 2002).

Pernyataan ini didukung penelitian Marx et al. (1997) yang

menyebutkan ikan yang ditusuk seketika akan mengalami perubahan nilai pH


yang lebih lambat dibandingkan dengan ikan yang dimatikan menggunakan aliran
listrik atau CO2. Ikan yang dimatikan dengan aliran listrik atau CO2 akan
menghabiskan lebih banyak energi dibandingkan dengan ikan yang dimatikan
secara seketika. Kecepatan penurunan pH juga dipengaruhi suhu yang digunakan
untuk penyimpanan. Kecepatan penurunan pH akan semakin cepat jika suhu yang
digunakan tinggi. Penurunan pH akan semakin lambat jika suhu yang digunakan
rendah (Price 1971).
Nilai pH ikan gurami A, B, dan C yang didapat pada penelitian ini
mengalami penurunan dari fase pre-rigor sampai fase post-rigor, lalu nilai pH
akan meningkat kembali ketika ikan memasuki fase deteriorasi. Berdasarkan hasil
uji ragam (ANOVA =0,05) dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan umur panen
dari masing-masing ikan gurami memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada
tingkat kepercayaan 95 % terhadap nilai pH. Hal ini dapat disebabkan karena
adanya perbedaan kandungan glikogen pada masing-masing ukuran ikan. Ikan
berukuran besar memiliki cadangan glikogen yang lebih banyak dibanding ikan
berukuran kecil sehingga kecenderungan terjadinya proses glikolisis menjadi lebih
lambat. Selain itu, terjadinya penurunan nilai pH pada ikan disebabkan proses
aktivasi enzim katepsin dalam menguraikan protein daging ikan. Pada proses
enzimatis, protein akan diuraikan menjadi pepton, polipeptida, dan asam-asam
amino. Selain itu juga, aksi enzimatis tersebut akan menyebabkan perubahanperubahan dalam komponen-komponen flavor, perubahan warna daging
(diskolorisasi) dari warna asli menjadi coklat serta timbulnya akumulasi metabolit
(Ilyas 1983).
4.2.5 Nilai total volatile base (TVB)

Penentuan kesegaran ikan secara kimiawi dapat dilakukan menggunakan


prinsip penetapan TVB. Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawasenyawa yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada

daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Berbagai komponen, seperti basa volatil,


terakumulasi pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi
biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Pada penelitian ini,
perbandingan nilai TVB ikan gurami pada berbagai umur panen dapat dilihat pada

Nilai TVB (mg N/100 g)

Gambar 16.
35
30
25
20
15
10
5
0

32,42
20,72
10,64
7,28

24

prerigor

30

36

180

rigor

198

228

post rigor

234

264

324

deteriorasi

Waktu tiap fase pada penyimpanan (jam)


ikan A

ikan B

ikan C

Gambar 16. Nilai TVB dari ikan gurami berdasarkan perbedaan umur panen
selama penyimpanan suhu chilling
Nilai TVB ikan gurami A, B dan C yang disimpan pada suhu chilling pada
fase pre-rigor adalah sama, yakni sebesar 7,28 mg N/100 g.

Nilai tersebut

menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan sangat segar.
Nilai TVB ini akan semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu
penyimpanan akibat adanya degradasi enzim-enzim dalam tubuh ikan
menghasilkan

senyawa-senyawa

sederhana

komponen penyusun senyawa basa volatil.

yang

merupakan

komponen-

Menurut Karungi et al. (2003)

peningkatan nilai TVB selama penyimpanan akibat degradasi protein dan


derivatnya menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti amoniak,
histamin, H2S, trimetilamin yang berbau busuk.
Pada penelitian ini, nilai TVB ikan gurami tertinggi dicapai pada fase
deteriorasi, yakni 32,42 mg N/100 g . Nilai tersebut menujukkan bahwa ikan
gurami setelah penyimpanan pada suhu chilling selama 324 jam untuk ikan A,

264 jam untuk ikan B dan 234 jam untuk ikan C sudah tidak segar dan tidak
layak untuk dikonsumsi.
Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB.
Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g.
Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk dalam kriteria segar.
Ikan termasuk kriteia masih bisa dikonsumsi dengan apabila nilai TVB antara
20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi apabila nilai TVB lebih dari
30 mg N/100 g (Farber 1965). Berdasarkan batasan tersebut, ikan gurami yang
disimpan pada suhu chilling masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi
sampai waktu penyimpanan 288 jam untuk ikan A, 198 jam untuk ikan B, dan 180
jam untuk ikan C karena memiliki nilai TVB sebesar 20,72 mg N/100 g, yang
berarti ikan gurami tersebut tergolong ikan yang masih dapat dikonsumsi.
Proses penyimpanan pada suhu chilling dapat menghambat proses
kemunduran mutu ikan gurami.

Karungi et al. (2003) menyatakan akumulasi

nitrogen yang bersifat volatil berlangsung lebih lambat dibandingkan ikan yang
disimpan pada suhu lingkungan. Aktivitas enzim pada daging ikan berjalan lebih
lambat sehingga ikan tetap segar dalam jangka waktu lama.
Nilai TVB pada ikan gurami A, B, dan C semakin meningkat seiring
dengan fase laju kemunduran mutu ikan. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA
=0,05 ) perbedaan umur panen dari masing-masing ikan gurami memberikan
pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap nilai TVB.
Menurut Ozogul (1999), peningkatan nilai TVB disebabkan oleh aktivitas
autolisis dan kegiatan bakteri pembusuk selama proses penyimpanan. Pada proses
enzimatis, protein akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana, seperti peptida, asam amino dan amonia. Di samping itu, hidrolisis
protein membentuk sedikit basa purin dan pirimidin (Kreuzer 1965).
Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP.
Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Ketika
ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan
energi (Jiang 1998). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi ADP oleh enzim
ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase.

Selanjutnya AMP

diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan dari IMP diubah menjadi inosin

oleh enzim fosfatase. Kemudian inosin dengan cepat berubah menjadi


hipoksantin. Deaminasi AMP menjadi IMP telah melepaskan molekul amonia
(NH3) dari gugusan basa purin adenin (Eskin 1990).
4.2.6

Aktivitas spesifik enzim katepsin

Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim
dalam tubuh dengan melepaskan energi. Bersamaan dengan itu, terjadi suatu
proses perubahan biokimiawi yang menyebabkan bagian protein otot (aktin dan
miosin) berkontraksi dan menjadi kaku (rigor mortis). Seiring dengan itu pula,
karbohidrat dalam daging ikan yang berbentuk glikogen terurai menghasilkan
asam laktat pada akhir proses glikolisis. Asam laktat ini dapat menurunkan pH
dan menekan aktivitas mikroba sehingga memperlambat proses pembusukan.
Laju penurunan pH ini besarnya tergantung pada jumlah glikogen awal yang
terdapat dalam otot ikan (Jiang 1998).
Adanya penurunan pH menyebabkan enzim-enzim dalam jaringan otot
yang aktivitasnya berlangsung pada pH rendah menjadi aktif. Salah satu enzim
tersebut adalah enzim proteolitik, seperti katepsin. Katepsin yang terdapat di
dalam jaringan otot ikan memiliki aktivitas optimal pada pH rendah
(Dinu et al. 2002). Nilai aktivitas katepsin, konsentrasi protein katepsin, dan
aktivitas spesifik katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen selama
penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Aktivitas katepsin, konsentrasi protein katepsin, dan aktivitas spesifik
katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen selama penyimpanan
suhu chilling
Ikan

Ikan gurami A

Ikan gurami B

Ikan gurami C

Fase post
mortem
pre rigor
rigor
post rigor
deteriorasi
pre rigor
rigor
post rigor
deteriorasi
pre rigor
rigor
post rigor
deteriorasi

Aktivitas
katepsin
(U/ml)
0,333
0,533
1,733
0,933
0,3
0,433
1,533
0,833
0,233
0,367
1,333
0,7

Konsentrasi
protein katepsin
(mg/ml)
0,462
0,494
0,523
0,492
0,459
0,485
0,512
0,48
0,457
0,481
0,503
0,477

Aktivitas spesifik
katepsin (U/mg)
0,721
1,079
3,314
1,896
0,654
0,893
2,994
1,735
0,510
0,763
2,650
1,468

Pada penelitian ini, aktivitas katepsin yang paling tinggi dari ikan A, ikan
B dan ikan C terdapat pada fase post rigor dengan aktivitas masing-masing yaitu
1,733 U/ml ; 1,533 U/ml dan 1,333 U/ml. Hal itu disebabkan pada fase tersebut
pH daging ikan paling rendah, yakni sebesar 5,92-5,94 sehingga sangat cocok
untuk berlangsungnya aktivitas enzim katepsin yang akan menguraikan protein
dalam jaringan tubuh ikan. Hasil penelitian ini menunjukkan pH terendah untuk
berlangsungnya aktivitas enzim katepsin pada ikan gurami tersebut sebesar
5,92-5,94.

Sementara itu, pH optimal enzim katepsin D yang telah berhasil

dimurnikan dari otot ikan tilapia sebesar 5,5 - 6,0. Katepsin D ini memiliki berat
molekul 38 K Da dan dapat mendegradasi protein aktin dan miosin (Doke et al.
1980 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Selain itu, pada kelompok ikan tilapia
juga telah diketahui terdapat aktivitas enzim katepsin A (karboksipeptidase A)
yang memiliki aktivitas eksopeptidase dengan pH optimum 5-6. Katepsin ini
memisahkan karbobenzoksi-L-Glu-L-Tyr dan mampu memisahkan residu secara
sekuen dari karboksil terminal peptida, seperti glukagon (Sherekar et al. 1986
diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Pengukuran aktivitas katepsin sangat erat
kaitannya dengan konsentrasi protein enzim katepsin.
Aktivitas enzim katepsin yang tinggi pada fase post rigor ini tentunya
berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi protein enzim katepsin dari masingmasing ikan, yakni ikan A sebesar 0,523 mg/ml, ikan B sebesar 0,512 mg/ml dan
ikan C sebesar 0,503 mg/ml. Hal itu karena pada dasarnya enzim tersusun dari
komponen-komponen protein.

Salah satu jenis protein yang berperan dalam

proses autolisis adalah protein sarkoplasma yang membantu terjadinya peristiwa


glikolisis, yaitu pemecahan karbohidrat menjadi asam laktat sehingga
menyebabkan pH daging ikan menjadi turun. Rendahnya pH daging ikan tersebut
akan menyebabkan aktivitas enzim katepsin meningkat (Dinu et al. 2002).
Sebagian besar protein sarkoplasma berpartisipasi dalam metabolisme sel, seperti
konversi energi dari glikogen menjadi ATP pada kondisi anaerob. Jika organel sel
otot rusak, fraksi protein ini dapat juga mengandung enzim metabolik yang
terdapat di dalam retikulum endoplasma, mitokondria, dan lisosom (FAO 1995).
Keterkaitan antara aktivitas katepsin dan konsentrasi protein katepsin
dapat dilihat berdasarkan aktivitas spesifik enzim katepsin. Aktivitas spesifik

enzim katepsin didapat dengan membagi aktivitas enzim katepsin terhadap


konsentrasi protein katepsin. Adapun aktivitas spesifik enzim katepsin dapat

Aktivitas katepsin spesifik


(U/mg)

dilihat pada Gambar 17.


3,314
3,500
2,994
2,650
3,000
2,500
2,000
1,079
0,721
1,500
0,893
0,654 0,763
1,000
0,510
0,500
0,000
0
24
30
36
180 198 228
prerigor

rigor

post rigor

1,896
1,735
1,468

234

264

324

deteriorasi

Waktu penyimpanan tiap fase (jam)


ikan A

ikan B

ikan C

Gambar 17. Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami pada berbagai umur
panen selama penyimpanan suhu chilling
Proses perombakan protein oleh enzim katepsin merupakan salah satu
peristiwa autolisis.

Proses autolisis pada hasil perikanan dimulai bersamaan

dengan menurunnya pH. Penguraian protein dan lemak dalam proses autolisis
menyebabkan perubahan cita rasa, tekstur, dan penampakan ikan. Pada tahap ini
proses pemdeteriorasian berlangsung cepat karena hasil-hasil penguraian tersebut
merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba
lainnya.
Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami A, B, dan C pada penelitian
ini mengalami aktivitas tertinggi pada fase post-rigor, sebab pada fase tersebut
ikan memiliki pH terendah. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA =0,05) faktor
perbedaan umur panen dari masing-masing ikan gurami memberikan pengaruh
yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap analisis obyektif
yang dilakukan yakni, aktivitas katepsin dan konsentrasi protein. Hal ini dapat
disebabkan karena nilai pH dari masing-masing ukuran ikan berbeda, sehingga
aktivasi enzim katepsin berbeda. Pada proses enzimatis, katepsin akan
menguraikan protein menjadi polipeptida dan senyawa-senyawa yang lebih

sederhana.

Pada pH yang rendah, aktivitas enzim katepsin akan meningkat.

Selain nilai pH, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja enzim katepsin,
antara lain konsentrasi enzim, konsentrasi substrat dan suhu. Kecepatan suatu
reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut.
Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi bertambah dengan
bertambahnya konsentrasi enzim. Demikian pula dengan konsentrasi enzim yang
tetap, maka pertambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi.
Namun pada batas konsentrasi tertentu tidak terjadi kenaikan kecepatan reaksi
walaupun konsentrasi substrat diperbesar. Suhu juga turut mempengaruhi reaksi
enzimatis. Pada suhu rendah reaksi berlangsung lambat, sedangkan pada suhu
yang lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat (Lehninger 1993).
4.2.7 Hubungan antar parameter kesegaran ikan

Mutu ikan dapat diketahui dengan melakukan uji subjektif (organoleptik)


dan uji objektif (TVB, TPC dan pH). Parameter-parameter tersebut memiliki
keterkaitan selama proses kemunduran mutu ikan gurami berlangsung. Berbagai
proses perubahan fisik, kimia, dan organoleptik berlangsung dengan cepat selama
penyimpanan. Nilai TVB dan TPC akan semakin meningkat seiring makin lama
penyimpanan. Nilai organoleptik mengalami penurunan sedangkan nilai pH akan
menurun dari fase pre rigor sampai post rigor dan akan meningkat lagi pada saat
fase deteriorasi selama penyimpanan. Meningkatnya nilai TVB dan TPC terjadi
akibat adanya degradasi enzim-enzim dalam tubuh ikan yang menghasilkan
senyawa-senyawa sederhana dan merupakan komponen-komponen penyusun
senyawa basa volatil. Menurut Karungi et al. (2003) peningkatan nilai TVB
selama penyimpanan akibat degradasi protein dan derivatnya menghasilkan
sejumlah basa yang mudah menguap seperti amoniak, histamin, H2S, trimetilamin
yang berbau busuk. Hasil degradasi protein tersebut merupakan media yang
sangat cocok untuk pertumbuhan mikroba pembusuk sehingga mengakibatkan
peningkatan nilai TPC dan peningkatan nilai pH.
Sirkulasi darah dan suplai oksigen terhenti setelah ikan mati. Terjadi
perubahan glikogen menjadi asam laktat. Penumpukan asam laktat pada daging
ikan akan menyebabkan pH menjadi turun. Enzim katepsin selanjutnya menjadi
aktif karena pH daging yang rendah. Enzim tersebut mampu menguraikan protein

menjadi senyawa yang lebih sederhana yang bersifat basa sehingga nilai pH naik
(Eskin 1990). Hubungan antar parameter kesegaran ikan untuk setiap

Nilai parameter

perlakuannya dapat dilihat pada Gambar 18, 19, dan 20


35
30
25

324; 32,42
228; 20,72

20
15

36; 10,64

0; 9
10
36; 6,67
0; 7,28
36; 6,65
5
36;
4,960
0; 6,87
0; 3,079 0
36; 1,079
0; 0,721 0
50
100

228; 6,996
228; 5,94

324; 9,176

324; 6,72
324; 2,15
228; 5,84
228; 3,314
324; 1,896
200
250
300
350

150

Waktu penyimpanan (jam)


Nilai organoleptik
Nilai TVB ( mg N/100 g)
Nilai TPC (CFU/g)
Nilai pH
Nilai aktivitas spesifik enzim katepsin (U/mg)

Nilai parameter

Gambar 18. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami A


35

264; 32,42

30
25
198; 20,72

20
15

10
0; 7,28
0; 6,85 5
0; 3,079
0
0; 0,654

0; 9

30; 10,64

198; 6,954
198; 5,92

30; 6,64
30; 6,15
30; 4,939
0

30; 0,893
50

264; 9,079
264; 6,68
264; 2,35
264; 1,735

198; 4,25
198; 2,994
100

150

200

250

Waktu penyimpanan (jam)


Nilai organoleptik
Nilai TVB ( mg N/100 g)
Nilai TPC (CFU/g)
Nilai pH
Nilai aktivitas spesifik enzim katepsin (U/mg)
Gambar 19. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami B

300

Nilai parameter

35

234; 32,42

30
25
180; 20,72

20

24; 10,64
15
0; 9
10
24; 6,62
0; 7,28
24; 6,1
5
0; 6,85
24; 4,964
0; 2,70 24; 0,76
24
48
72
0; 0,51 0

96

120

180; 6,991 234; 9,079


180; 5,92
180; 4,25 234; 6,7
234; 2,2
180; 2,65
234; 1,47
144 168 192 216 240 264

Waktu penyimpanan (jam)


Nilai organoleptik
Nilai TVB ( mg N/100 g)
Nilai TPC (CFU/g)
Nilai pH
Nilai aktivitas spesifik enzim katepsin (U/mg)

Gambar 20. Hubungan antar parameter kesegaran ikan gurami C


Enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif setelah
ikan mati, namun sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ
pengontrol tidak berfungsi lagi. Enzim tersebut bekerja hanya satu arah, yaitu
hanya memecah protein. Peristiwa ini disebut autolisis dan berlangsung setelah
ikan melewati fase rigor mortis (Murniyati dan Sunarman 2000). Senyawasenyawa hasil penguraian secara enzimatis dari ikan gurami menjadi meningkat.
Senyawa tersebut juga akan mengakibatkan kenaikan nilai pH. Nilai pH daging
akan naik mendekati netral ketika memasuki fase post rigor akhir akibat proses
autolisis dan pertumbuhan bakteri (Junianto 2003).

5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

Ukuran ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 2,5 tahun (ikan A),
1,5 tahun (ikan B), dan 8 bulan (ikan C) memiliki rata-rata berat total dan panjang
toal secara berturut-turut, yaitu 995,45 g 1,85 g ;36-38 cm, 697,65 g 1,24 ; 3234 cm 345,55 g 1,42 ; 27-29 cm Ukuran ini merupakan ukuran konsumsi.
Kisaran rendemen ikan gurami A, B, dan C, yakni daging 45-52 %, jeroan 6-8 %,
insang 1-2 %, sirip 3-5 %, sisik 4 %,dan tulang 30-38%). Rendemen daging
paling tinggi terdapat pada ikan gurami A dan yang paling rendah pada ikan B,
sedangkan untuk tulang, nilai rendemen yang paling tinggi terdapat pada ikan C
dan yang paling rendah pada ikan A.
Kondisi pre rigor untuk ikan A, ikan B dan ikan C terjadi pada 0 jam
penyimpanan, fase rigor mortis terjadi secara berturut-turut pada jam ke-36, 30
dan 24. Fase post rigor masing-masing umur ikan terjadi pada jam ke-228, 198,
dan 180.

Untuk fase deteriorasi terjadi pada jam ke-324, 264, dan 234.

Komposisi kimia daging ikan gurami pada berbagai umur panen berkisar antara:
kadar air 72,96-75,48 %; abu 0,90-0,95 %; protein 18,71-20,67 %;
lemak 2,20-2,79 %. Kadar protein dan lemak tertinggi terdapat pada ikan A
sedangkan kadar air dan kadar abu tertinggi terdapat pada ikan C.
Pola kemunduran mutu ikan gurami dari fase pre rigor awal hingga ketika
pembusukan berlangsung cepat dapat dilihat dari kisaran nilai organoleptik 1-9;
pH 6,85-6,87; log TPC 1,2x103-1,5x109 CFU/g; TVB 7,28-32,42 mg N/100 g;
aktivitas katepsin 0,233-1,733 U/ml dan konsentrasi protein enzim katepsin
0,457-0,523 mg/ml.
5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan untuk dilakukan


penelitian lanjut mengenai kemunduran mutu ikan gurami dalam bentuk fillet
pada penyimpanan suhu chilling dan ruang dan karakteristik yang lebih spesifik
seperti kandungan glikogen, jenis katepsin, indeks rigor ikan, analisis kandungan
asam-asam amino, asam lemak bebas, penyusun mineral, dan biogenik amin.

Lampiran 1. Score sheet uji orgoneltik ikan segar (SNI-01-2345-2006)


Nama Panelis : ..
Tanggal:
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian
Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai dengan kode sampel yang diuji.
KODE
SPESIFIKASI

Nilai

CONTOH

1
1. MATA

* Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih

* Cerah, bola mata rata, kornea jernih

* Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh

* Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh

* Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh

* Bola mata cekung, pupil putih susu, kornea keruh

* Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning.

2. INSANG
* Warna cerah cemerlang, tanpa lendir

* Warna merah kurang cemerlang tanpa lendir

* Warna agak kusam, tanpa lendir

* Merah agak kusam, sedikit lendir

* Mulai ada perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa


lendir

* warna merah coklat lendir tebal

* Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal

3. LENDIR PERMUKAAN BADAN

* Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah.

* Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada perubahan warna.

* Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan.

* Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan

* Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh

* Lendir tebal menggumpal, berwarna putih kuning

* Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan

4. DAGING ( WARNA DAN KENAMPAKAN)

* Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan


sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh
* Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang
tulang belakang, dinding perut utuh
*

Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada


pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh.

* Sayatan daging masih

cemerlang, agak kemerahan pada tulang

belakang, dinding perut agak lembek, sedikit bau susu


* Sayatan daging mulai pudar, banyak kemerahan pada tulang belakang,
dinding perut lembek, bau segar seperti susu
*

Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang


belakang, dinding perut lunak

* Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang
belakang, dinding perut sangat lunak

9
8
7
5
4
3
1

5. BAU

* Bau sangat segar, spesifik jenis

* Segar, spesifik jenis

* Netral

* Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam

* Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk

* Bau busuk jelas

6. TEKSTUR

* Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang
belakang
* Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari
tulang belakang
* Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging
dari tulang belakang
*

Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah

menyobek daging dari tulang belakang


* Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah menyobek daging dari
tulang belakang
*

Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali

menyobek daging dari tulang belakang

9
8
7
5
3
1

Lampiran 2. Data mentah panjang, berat dan rendemen ikan gurami


Sampel
A
B
C

Umur
panen
2,5-3thn
1,5-2thn
7bln-1thn

Berat total
900-1100g
600-700g
300-400g

Panjang
total
36-38cm
32-34cm
27-29cm

Panjang
baku
29-31cm
27-28cm
24-26cm

Rendemen
jeroan
8%
8%
6%

insang
1%
2%
2%

sisrip
5%
3%
5%

sisik
4%
4%
4%

tulang
30%
30%
38%

daging
52%
49%
45%

67

Lampiran 3 a Data mentah nilai organoleptik ikan gurami pre-rigor


No

mata
A

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

insang
B

9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

C
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

a
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

daging
B

9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

C
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

A
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

tekstur
b

9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

C
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

A
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

bau
B

9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

C
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

A
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

B
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

Lendir permukaan
badan
A
B
C

C
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9

68

Lampiran 3b Data mentah nilai organoleptik ikan gurami fase rigor


No

mata
A

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

insang
B

8
8
7
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
7
8

C
8
7
8
7
8
8
7
7
8
7
7
8
7
8
7

a
7
7
8
7
7
7
7
8
7
7
8
7
7
8
7

daging
B

8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8

C
7
7
8
7
7
7
7
8
7
7
8
7
7
8
7

A
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8

tekstur
b

8
8
7
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
7
8

C
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8

A
8
7
8
7
8
8
7
7
8
7
7
8
7
8
7

bau
B

8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8

C
8
8
7
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
7
8

A
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8

B
8
7
8
7
8
8
7
7
8
7
7
8
7
8
7

Lendir permukaan
badan
A
B
C

C
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8

7
7
8
7
7
7
7
8
7
7
8
7
7
8
7

8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8

8
8
7
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
7
8

8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8

69

Lampiran 3 c Data mentah nilai organoleptik ikan guarmi fase post rigor
No

mata
A

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

insang
B

6
7
6
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7
6
6

C
6
7
6
6
7
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7

A
6
6
6
6
5
6
6
6
5
6
5
6
6
6
6

daging
B

6
7
6
6
7
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7

C
6
7
6
6
6
7
6
6
6
6
5
6
6
5
6

A
5
6
6
7
6
6
6
7
6
6
5
6
6
7
6

tekstur
B

5
5
7
5
5
6
5
5
7
6
7
5
5
7
5

C
6
7
6
6
7
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7

A
6
7
6
6
5
6
6
6
6
5
6
6
7
6
6

bau
B

6
7
6
6
7
6
6
5
6
6
6
5
5
6
6

C
6
7
6
6
7
5
7
6
6
6
6
6
6
5
7

A
6
7
6
6
5
6
7
6
5
6
6
7
6
6
7

B
6
6
6
6
6
6
6
6
6
5
6
6
6
6
6

Lendir permukaan
badan
A
B
C

C
6
7
6
6
7
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7

6
7
6
6
7
6
7
6
6
6
5
6
5
6
5

6
6
6
7
6
6
6
7
6
6
5
6
6
6
6

7
5
5
5
5
6
5
5
7
5
7
5
6
6
5

6
7
6
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7
6
6

70

Lampiran 3d Data mentah nilai organoleptik ikan guarmi fase busuk


No

mata
A

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

insang
B

3
3
3
1
3
5
1
5
3
3
3
5
1
3
1

C
3
3
1
3
3
3
1
5
3
1
3
5
3
1
5

A
3
1
3
3
1
3
3
3
3
1
3
3
3
3
3

daging
B

3
5
3
1
3
3
3
1
3
1
3
1
3
3
1

C
1
1
3
3
1
3
3
3
1
3
3
1
1
1
3

A
3
3
3
1
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1
1

tekstur
B

3
3
3
1
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1
1

C
3
3
5
1
3
1
5
5
3
3
1
5
3
5
3

A
5
3
1
3
5
3
3
1
3
3
5
1
5
3
1

bau
B

1
1
3
3
1
3
3
3
1
3
3
1
1
1
3

C
3
3
3
1
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1
1

A
3
3
3
1
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1
1

B
3
1
3
3
1
3
3
5
3
3
3
5
3
1
5

Lendir permukaan
badan
A
B
C

C
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
3
3
3
3
3

3
5
1
3
5
3
3
1
3
3
3
1
3
3
3

1
3
1
3
5
3
5
3
5
3
1
5
1
3
5

1
1
3
3
1
3
3
3
1
3
3
1
1
1
3

3
3
3
1
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1
1

71

Lampiran 4 data mentah nilai TPC ikan gurami pada tiap fase
fase post
mortem

sampel
A

pre-rigor

B
C
A

rigor

B
C
A

post-rigor

B
C
A

busuk

B
C

ulangan
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2

10-1 10-2
107
34
126
30
113
43
124
32
115
30
117
33

10-3

96
84
101
72
94
89

penegenceran
10-4 10-5
10-6

10-7

10-8

31
36
35
42
30
30
104
93
96
84
110
85

54
39
35
37
41
56
154
146
132
97
119
124

53
72
66
50
45
43

nilai TPC

log TPC

1,2X103

3,079

1,2X103

3,079

1,2X103

3,079

9,0X104

4,954

8,7X104

4,939

9,2X104

4,964

9,9X106

6,996

9,0X106

6,954

9,8X106

6,991

1,5X109

9,176

1,2X109

9,079

1,2X109

9,079

Lampiran 5. Tabel uji ragam ANOVA TPC


Value Label
umur

umur panen
7bulan1tahun

umur panen
1,5-2tahun

umur panen
2,5-3tahun

prerigor

rigor

postrigor

busuk

fase

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: TPC
Source
Corrected Model

Type III Sum


of Squares
121,772(a)

11

Mean Square
11,070

868,410

868,410

,025

,013

F
3173,606
248955,77
6
3,647

121,713

40,571

11630,909

,000

,034

,006

1,608

,228

Error

,042

12

,003

Total

990,224

24

Intercept
umur
fase
umur * fase

df

Sig.
,000
,000
,058

Corrected Total

121,814
23
a R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)
Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 3,647>0,58)
Artinya
TPC
Duncan
umur

Subset
1

umur panen 1,5-2tahun

5,98038

umur panen 2,5-3tahun

6,00675

umur panen 7bulan1tahun

Sig.

6,00675
6,05875

,389

,104

TPC
Duncan
fase

Subset

prerigor

rigor

postrigor

busuk

Sig.

1
3,08133

4,92950
6,92533
9,12500
1,000

1,000

1,000

1,000

Alpha = ,05.
ANOVA
TPC
Sum of
Squares
121,772

Between Groups
Within Groups
Total

df
11

Mean Square
11,070

,042

12

,003

121,814

23

F
3173,606

Sig.
,000

TPC
Duncan
Subset for alpha = .05
interaksi
u3f1

1
3,04950

u2f1

3,06400

u1f1

3,13050

u1f2

4,89750

u2f2

4,92900

u3f2

4,96200

u2f3

6,85400

u3f3

6,94100

u1f3

6,98100

u2f4

9,07450

u3f4

9,07450

u1f3

Sig.

9,22600
,216

,319

,063

1,000

1,000

Lampiran 6. Tabel uji ragam ANOVA pH


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pH
Type III Sum
of Squares
2,938(a)

Source
Corrected Model

11

Mean Square
,267

1020,250

1020,250

umur

,016

fase

2,903

Intercept

df

Sig.
,000

,008

F
66,487
254004,05
0
1,954

,968

240,874

,000

,804

,586

umur * fase

,019

,003

Error

,048

12

,004

Total

1023,235

24

,000
,184

Corrected Total

2,986
23
a R Squared = ,984 (Adjusted R Squared = ,969)
Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 1,954>0,184)
pH
Duncan
Subset
umur
umur panen 1,5-2tahun

N
8

1
6,48750

umur panen 2,5-3tahun

6,52250

umur panen 7bulan1tahun

6,55000

Sig.

,084

Alpha = ,05.

fase
pH
Duncan
fase

Subset
1

postrigor

rigor

6,64333

busuk

6,70000

prerigor

Sig.

5,92667

6,81000
1,000

,147

1,000

Alpha = ,05.

ANOVA
pH
Sum of
Squares
2,938

Between Groups
Within Groups
Total

df
11

Mean Square
,267

,048

12

,004

2,986

23

F
66,487

Sig.
,000

pH
Duncan
Interaksi2

Subset for alpha = .05

1
5,92000

11

5,92000

5,94000

10

6,62000

6,64000

6,67000

6,68000

12

6,70000

6,71000

6,71000

6,72000

6,72000

Sig.

6,85000

6,85000
6,87000

,769

,181

,057

,758

Lampiran 7. Tabel uji ragam ANOVA TVB


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: TVB
Source
Corrected Model

Type III Sum


of Squares
1423,800(a)

11

Mean Square
129,436

6360,922

6360,922

4201,771

,000

2,941

1,471

,971

,406

1411,795

470,598

310,859

,000

9,064

1,511

,998

,469

Error

18,166

12

1,514

Total

7802,888

24

Intercept
umur
fase
umur * fase

df

F
85,501

Sig.
,000

Corrected Total

1441,966
23
a R Squared = ,987 (Adjusted R Squared = ,976)
Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 0,971>0,406)

TVB
Duncan
Subset
umur
umur panen 2,5-3tahun

N
8

1
15,78500

umur panen 7bulan1tahun

16,52000

umur panen 1,5-2tahun

16,53500

Sig.

,269

Alpha = ,05.
TVB
Duncan
fase

Subset

prerigor

rigor

postrigor

busuk

Sig.

1
7,28000

10,68000
20,72000
26,44000
1,000

1,000

1,000

1,000

Alpha = ,05.
TVB
Duncan
Subset for alpha = .05
interaksi3
u1f1

1
7,28000

u2f1

7,28000

u3f1

7,28000

u1f2

10,64000

u2f2

10,70000

u3f2

10,70000

u1f3

20,72000

u2f3

20,72000

u3f3

20,72000

u3f4

u1f4

u2f4

Sig.

24,44000
27,44000
27,44000
1,000

,964

1,000

1,000

1,000

Lampiran 8. Tabel uji ragam ANOVA Enzim katepsin


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Katepsin
Type III Sum
of Squares
6,031(a)

Source
Corrected Model
Intercept
umur
fase

df
11

Mean Square
,548

14,614

14,614

,160

,080

5,845

1,948

umur * fase

,026

,004

Error

,000

12

1,32E-005

Total

20,646

24

F
41643,020
1109930,3
29
6074,975
147974,31
2
333,388

Sig.
,000
,000
,000
,000
,000

Corrected Total

6,031
23
a R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)
Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel)

Katepsin
Duncan
umur

Subset

umur panen 2,5-3tahun

umur panen 1,5-2tahun

umur panen 7bulan1tahun

1
,68325

,77475
,88300

Sig.

1,000

1,000

1,000

Alpha = ,05.
Katepsin
Duncan
fase

Subset

prerigor

rigor

busuk

postrigor

Sig.

1
,28867

,44433
,82200
1,56633
1,000

1,000

1,000

1,000

Alpha = ,05.

Lampiran 9. Tabel uji ragam ANOVA Konsentrasi protein katepsin

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: KonsProt
Type III Sum
of Squares
,010(a)

Source
Corrected Model

11

Mean Square
,001

5,648

5,648

umur

,001

,000

F
75,270
485876,16
1
32,591

fase

,009

,003

250,814

,100

umur * fase

,000

2,00E-005

1,724

,119

Error

,000

12

1,16E-005

Total

5,658

24

Intercept

df

Sig.
,000
,000
,405

Corrected Total

,010
23
a R Squared = ,986 (Adjusted R Squared = ,973) Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 32,591>0,405)

KonsProt
Duncan
umur

Subset

umur panen 2,5-3tahun

umur panen 1,5-2tahun

umur panen 7bulan1tahun

1
,47938

,48325
,49275

Sig.

1,000

1,000

1,000

Alpha = ,05.
KonsProt
Duncan
fase

Subset
1
,45867

prerigor

busuk

,48267

rigor

,48667

postrigor

Sig.

,51250
1,000

,065

1,000

Alpha = ,05.

ANOVA
KonsProt
Sum of
Squares
,010

Between Groups

df
11

Mean Square
,001
,000

Within Groups

,000

12

Total

,010

23

F
75,270

Sig.
,000

KonsProt
Duncan
interaksi
5
u3f1
u2f1
u1f1
u3f4
u2f4
u3f2
u2f2
u1f4
u1f2
u3f3
u2f3
u1f3
Sig.

Subset for alpha = .05


N
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2

1
,45650
,45750
,46200

,47650
,47950
,48150

,47950
,48150
,48450

,150
,188
,188
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

,49200
,49400
,50300
,51150
,568

1,000

1,000

,52300
1,000

Lampiran 10 a. Data mentah nilai pH, TVB, Assay aktivitas katepsin dan
konsentrasi protein katepsin ikan gurami

Sampel

TVB

pH

A
B
C
A
B
C
A
B
C
A
B
C

7,28
7,28
7,28
10,64
10,64
10,64
20,72
20,72
20,72
27,44
27,44
27,44

6,87
6,85
6,85
6,67
6,64
6,62
5,94
5,92
5,92
6,72
6,68
6,70

Aktivitas
Katepsin
0,333
0,300
0,233
0,533
0,433
0,367
1,733
1,533
1,333
0,933
0,833
0,700

Konsentrasi
Protein
0.462
0.459
0.457
0.494
0.485
0.481
0.523
0.512
0.503
0.492
0.48
0.477

Lampiran10b. Persamaan linear konsentrasi protein enzim katepsin


Konsentrasi
BSA
0.025
0.05
0.075
0.1
0.125
0.15
0.175
0.2
0.225
0.25

OD
0.317
0.324
0.326
0.327
0.331
0.334
0.336
0.34
0.343
0.345

0.35
y = 0.1176x + 0.3161
R2 = 0.9844

0.345
0.34
0.335
0.33
0.325
0.32
0.315
0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

Anda mungkin juga menyukai