Rijan Zakari PDF
Rijan Zakari PDF
RIJAN ZAKARIA
RINGKASAN
RIJAN ZAKARIA. C34104021. Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus
gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling. Dibimbing oleh
NURJANAH dan TATI NURHAYATI
Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi dan dapat
dicerna dengan mudah oleh manusia.
Pada umumnya ikan mempunyai
kandungan kolesterol rendah dan asam lemak berantai ganda dengan jumlah yang
besar. Komposisi kimia ikan tergantung dari spesies ikan, umur, habitat, dan
pakan. Salah satu contoh spesies ikan yang memiliki kandungan protein yang
tinggi, yaitu ikan gurami.
Ikan gurami memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan banyak dikonsumsi
oleh masyarakat sebab ikan ini memiliki rasa daging yang enak, mempunyai
kandungan gizi tinggi yang bermanfaat untuk pertumbuhan maupun pembentukan
energi. Biasanya ikan gurami banyak dijual di pasaran dalam keadaan segar baik
dalam kondisi masih hidup ataupun yang sudah mati. Kesegaran ikan gurami
dapat dipertahankan dengan penyimpanan suhu chilling.
Penelitian ini dibagi menjadi 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui
karakteristik dan fase post mortem ikan gurami dengan berbagai umur panen,
yakni umur 2,5 tahun (A); 1,5 tahun (B); dan umur 8 bulan (C) sebagai patokan
untuk uji objektif. Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui tingkat
kesegaran ikan gurami menggunakan uji subjektif (organoleptik) dan objektif
(TVB, TPC, pH, assay aktivitas enzim katepsin dan konsentrasi protein katepsin).
Uji organoleptik dilakukan pada 14 titik dengan selang pengamatan setiap 6 jam
sekali. Uji TVB, TPC, pH, assay aktivitas enzim katepsin dan konsentrasi protein
katepsin dilakukan pada fase pre-rigor, rigor, post rigor dan deteriorasi.
Ikan gurami A, B, dan C memiliki berat total dan panjang total secara
berturut-turut, yakni: 995,45 g 1,85 g , 36-38 cm, 697,65 g 1,24, 32-34 cm;
345,55 g 1,42, 27-29 cm. Rendemen gurami adalah kepala 45-52 %; tulang
30-38 %; jeroan 6-8 %; insang 1-2 %; sirip 3-5 % dan sisik 4 %. Komposisi kimia
ikan gurami adalah kadar air 72,96-75,48 %; abu 0,95-1,03 %; lemak 2,20-2,79 %
dan protein 18,71-20,67 %.
Ikan gurami A mencapai fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan
deteriorasi secara berturut-turut adalah pada jam ke-0, 36, 228, dan 324. Ikan
gurami B pada jam ke 0, 30, 198 dan 268 sedangkan ikan C, yakni jam ke 0, 24,
180, dan 234. Ikan gurami A mengalami kemunduran mutu lebih lambat
dibandingkan dengan ikan gurami B dan C. Nilai organoleptik ikan gurami
selama penyimpanan berselang antara 2-9. Ikan gurami memiliki nilai log TPC
antara 3,079-9,176 CFU/ml, pH antara 5,92-6,87, TVB antara 7,28-32,42 mg
N/100 g, aktivitas enzim katepsin antara 0,233-1,733 U/ml dan konsentrasi
protein enzim katepsin antara 0,457-0,253 mg/ml. Hasil ANOVA =0,05
menunjukkan perbedaan umur panen dari ketiga ikan gurami memberikan
pengaruh yang nyata terhadap laju kemunduran mutu ikan terkait pada uji objektif
yang meliputi uji TPC, pH, TVB, dan aktivitas spesifik enzim katepsin.
Oleh:
RIJAN ZAKARIA
C34104033
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
: Rijan Zakaria
Nomor pokok
: C34104021
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Nurjanah, MS
NIP 131578848
Diketahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Tanggal lulus :
Rijan Zakaria
C34104021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan judul Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Pasca
Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi
ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini,
terutama kepada:
1. Ayah dan ibu tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan,
baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada
penulis.
2. Ibu Ir. Nurjanah M.S dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku komisi
pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada
penulis.
3. Bapak Ir. Dadi R Sukarsa dan Ibu Ir. Wini Trilaksani M.Si selaku dewan
penguji atas segala masukan dan kritikan yang membangun demi
penyempurnaan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Si selaku pembimbing akademik atas
bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis.
5. Bapak Ir Agoes M Jacoeb selaku komisi pendidikan THP atas kesabaran,
saran, dukungan yang telah diberikan pada penulis
6. Keluarga kakakku tercinta Yudi Astuti, Budi Netti, Saefudin Nurmiati, Adi
Nurhidayah dan adikku Ajad atas kasih sayang yang diberikan, baik moril
maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.
6. Ibu Ema (Laboran THP), Ibu Ika dan Ibu Dewi (PAU) serta Pak Wahyu
(FKH) yang telah memberikan banyak sekali pembelajaran kepada penulis.
7. Seluruh staf dosen dan TU THP (Pak Jamhuri, Pak Tatang, Pak Ade, Mba
Heni, Mas Mail, Bu Yati, Mas Zaki, Mas Ipul, dan Umi mamah), terima kasih
atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis
8. Keluarga besar Wiliyanto dan Keluarga besar Malik di Pulau Panggung Enim.
Doa dan dukungannya selama ini sangat berarti buatku, terima kasih
banyak.
9. Sahabat sekaligus saudara terbaik saya Nurman Hidayat dan keluarga besar
Bapak Rachmat Lubis atas doa, semangat, dukungan nya selama ini.
10. Teman-teman satu bimbingan: Theta, Kudil, Opick, Wahyu, Erlangga Terima
kasih atas kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan
penelitian.
11. Teman-teman satu kost-an (Yudha, Gilang, Derry, Opik, Bozonk, Wawan)
Terima kasih sudah bisa menjadi sahabat-sahabat terbaik buat penulis.
12. Sahabat-sahabatku: Pu-Rie, Theta, Alim, Anez, Bang Yayan, Ijal, Afey, Galih,
Dede, Al-Saloon Crew, An-Nur Crew, anak-anak lab Om Benk dan anak-anak
THP 41. Terima kasih atas kebersamaan, bantuan, semangat dan doa nya.
13. Kakak-kakak kelasku (THP 40 dan THP 39) dan adik-adik kelasku (THP 42
dan THP 43) atas semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera
menyelesaikan seminar dan sidang.
14. Ayunda Panda Hilton atas motivasi, doa, senyuman dan canda tawa yang
telah diberikan kepada penulis
15. Kak Deden, Kak Aris Tenjo, Kak Merry Apriyanti, Kak Dian Purbasari, Nina,
Irfan, Rustam, Uu, Idmar dan Idris atas segala bantuan dan semangat nya
16. Kak Dzulkifli Atas semua bantuan baik materil dan moril, waktu, kesabaran,
semangat dan doa nya
17. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, 28 juli 2008
Rijan zakaria
C34104021
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Oktober 1986 di Pulau
Panggung Enim-Palembang. Penulis adalah anak ke-5 dari
enam bersaudara dari pasangan Bapak Hasanulkarim dan Ibu
Umi Habibah.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1992 di SDN 2 Pulau
Panggung Enim dan diselesaikan pada tahun 1998.
Kemudian penulis
penulisan karya ilmiah pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) IXX
di Universitas Muhamaddiyah malang (2006), PIMNAS XX di Universitas
lampung (2007) dan PIMNAS XXI di Universitas Sebelas Maret Semarang
(2008)
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, dengan judul Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus
gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan Suhu Chilling, dibimbing
oleh Ibu Ir. Nurjanah M.S dan Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................................
ix
xi
1. PENDAHULUAN................................................................................
8
9
9
10
11
13
14
16
19
20
3. METODOLOGI ..................................................................................
22
22
22
22
23
24
25
25
25
25
26
26
26
27
27
29
29
30
3.6
31
3.7
32
33
33
40
40
41
42
42
44
45
47
49
51
56
58
60
60
5.2 Saran..............................................................................................
60
61
LAMPIRAN.................................................................................................
65
33
35
DAFTAR TABEL
No
Teks
Halaman
11
17
18
19
31
36
37
38
42
12. Nilai pH terendah berbagai jenis ikan pada fase post mortem .............
52
54
DAFTAR GAMBAR
No
Teks
Halaman
12
23
24
34
34
34
41
42
10. Kadar protein ikan gurami dengan berbagai umur panen .....................
43
11. Kadar lemak ikan gurami dengan berbagai umur panen .......................
44
45
13. Nilai log TPC dari ikan gurami dengan berbagai umur
panen pada penyimpanan suhu chilling. ...............................................
47
49
50
16. Nilai log TVB dari ikan gurami dengan berbagai umur
panen pada penyimpanan suhu chilling. ...............................................
52
17. Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami pada berbagai umur
panen selama penyimpanan suhu chilling...............................................
56
58
58
59
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
65
2.
67
3a
68
3b
69
3c
70
3d
71
4.
72
5.
73
6.
75
7.
76
8.
78
9.
79
5 a. Data mentah nilai pH, TVB, Assay aktivitas katepsin dan konsentrasi
protein katepsin ikan gurami..................................................................
81
5b.
81
1. PENDAHULUAN
berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan
lingkungan dan perlakuan manusia. Faktor luar yang paling berpengaruh terhadap
kemunduran mutu ikan adalah penggunaan alat tangkap dan penanganan pascapanen yang dilakukan oleh para nelayan. Alat tangkap yang baik adalah yang
dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (merontaronta) sebelum mati. Penanganan yang baik adalah menggunakan sistem rantai
dingin serta mengutamakan sanitasi dan higiene untuk mempertahankan mutu
mengingat perairan Indonesia merupakan perairan tropis sebagai tempat yang baik
untuk pertumbuhan mikroba pembusuk. Jika tidak mendapatkan penanganan yang
baik maka akan mengalami kemunduran mutu dengan cepat. Mutu ikan dapat
terus dipertahankan jika ikan tersebut ditangani dengan hati-hati, cepat, bersih,
dan disimpan dalam ruangan dengan suhu yang dingin (C3Q: cool, clean, carefull
n quick).
Salah satu faktor internal yang sangat penting dan erat hubungannya dengan
mutu ikan adalah tingkat kesegaran ikan tersebut. Ikan dalam keadaan masih
segar memiliki mutu yang baik sehingga nilai jualnya tinggi, sebaliknya jika ikan
kurang segar memilki mutu yang rendah sehingga harganya rendah (Murniyati
dan Sunarman 2000). Kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan melainkan
dipertahankan. Agar tingkat kesegaran ikan dapat dipertahankan maka diperlukan
teknik-teknik penanganan yang tepat.
Salah satu teknik penanganan ikan yang paling umum dilakukan untuk
menjaga kesegaran ikan adalah penggunaan suhu rendah atau disebut juga teknik
pendinginan ikan. Teknik pendinginan ini biasanya diterapkan pada tahap pasca
panen setelah penangkapan, pengolahan, distribusi, dan konsumsi. Adapun
keuntungan penerapan suhu rendah pada ikan dapat memperpanjang daya awetnya
mencapai satu sampai empat minggu, serta mempertahankan tingkat kesegaran
ikan dan nilai gizinya. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri
pembusuk dan proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang
mengarah pada kemunduran mutu menjadi lebih lambat (FAO 1995). Oleh karena
itulah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses kemunduran mutu ikan
gurami selama penyimpanan suhu chilling agar dapat dijadikan acuan data oleh
masyarakat luas.
1.2 Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui pola
kemunduran mutu ikan gurami dan memiliki tujuan khusus sebagai berikut:
(1). mengetahui tingkat kesegaran ikan gurami pada penyimpanan suhu
chilling secara subjektif dan objektif (TVB, TPC, dan pH) pada beberapa
umur panen;
(2). mengetahui komposisi kimia (proksimat), karakteristik, dan rendemen
ikan gurami pada beberapa umur panen;
(3). mengetahui aktivitas katepsin dan konsentrasi protein enzim katepsin dari
ikan gurami pada beberapa umur panen.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Gurami
Ikan gurami merupakan ikan asli perairan Indonesia yang sudah menyebar
ke wilayah Asia Tenggara dan Cina ( Chakroff 1976). Ikan ini termasuk salah
satu ikan labyrinthici dan secara taksonomi termasuk famili Osphronemidae.
Adapun klasifikasi ikan gurami menurut Saanin (1984)(adalah sebagai berikut:
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Osteichtyes
Ordo
: Teleostei
Subordo
: Labyrinthici
Famili
: Anabantidae
Genus
: Osphronemus
Spesies
akan menjadi tumpul bila sudah besar. Mulutnya kecil dengan bibir bawah sedikit
menonjol dibandingkan bibir atas dan dapat disembulkan. (Jangkaru 1998).
Ikan gurami mempunyai alat pernafasan tambahan berupa labirin yang
berbentuk selaput, berkelok-kelok dan merupakan penonjolan tepi atas insang
pertama (Sitanggang 1992). Pada selaput ini terdapat pembuluh darah kapiler
sehingga memungkinkan gurami untuk mengambil oksigen langsung dari udara
dalam pernafasan nya. Adanya alat ini memungkinkan gurami untuk dapat hidup
dengan
baik
pada
air
yang
tenang
dan
kurang
oksigen
(Stansby 1963):
(a). daging ikan elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya;
(b). aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut;
(c). mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan;
(d). insang berwarna merah cerah;
(e). kulit mengkilat dan berwarna cerah.
Untuk mempertahankan mutu ikan segar, bahan baku harus secepatnya
diolah. Apabila terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus
disimpan dengan es atau air dingin (0 oC sampai dengan 5 oC), saniter dan
higienis (SNI 01-2729.1-2006)
Tingkat kesegaran ikan memberikan kontribusi utama terhadap mutu produk
hasil perikanan. Untuk semua produk, kesegaran ikan sangat penting bagi mutu
dari produk akhir yang dihasilkan. Secara umum ada 2 metode utama yang biasa
digunakan untuk menilai tingkat kesegaran dan mutu ikan, yaitu metode sensori
(subjektif) dan non-sensori (objektif) (Robb 2002).
Mutu mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu
materi, produk atau jasa, seperti hasil pertanian pada umumnya. Hasil perikanan
memiliki paling kurang beberapa aspek mutu antara lain aspek bio-teknis, aspek
sanitasi dan higiene, aspek industrial, dan lain-lain. Mutu ikan merupakan nilainilai tertentu yang diinginkan dari ikan (Ilyas 1983).
Kondisi Segar
Mata
Insang
Tekstur
daging
Keadaan
kulit dan
lendir
Keadaan
perut dan sayatan
daging
Bau
Satuan
Persyaratan Mutu
7
5 x 105
<3
negatif
2.3.1
Perubahan pre-rigor
Perubahan pre-rigor atau sering dikenal dengan istilah hiperaemia
merupakan fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian yang
ditandai dengan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan
kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan
musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003).
Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di
sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi
alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan.
Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga
mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Murniyati dan Sunarman 2000).
2.3.2
kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati,
sirkulasi darah berhenti suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan
glikogen menjadi asam laktat.
menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta
ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah
yang dikenal dengan istilah rigor mortis (Junianto 2003).
Rigor mortis terjadi pada saat-saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin
dan aktin di dalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen.
Rigor mortis dianggap penting dalam industri perikanan, selain dapat
memperlambat pembusukan oleh mikroba juga dikenal oleh konsumen sebagai
petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan masih sangat segar (Eskin 1990).
Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat
ATP mulai mengalami penurunan, rigor mortis pun mulai terjadi dan mencapai
kejang penuh (full-rigor) ketika ATP sekitar 1 mol/g. Energi pada jaringan otot
ikan diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen. Glikolisis (penguraian
glukosa) menghasilkan ATP dan asam laktat.
menurunkan pH otot, juga diikuti oleh peristiwa rigor mortis (Eskin 1990).
Pada fase rigor mortis ini, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari
mula-mula pH 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada
jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging
ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat,
asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir
dan pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral
hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat
keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat
basa. Pada kondisi ini, pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin
banyak senyawa basa purin dan pirimidin yang terbentuk akan semakin
mempercepat kenaikan pH ikan (Junianto 2003).
2.3.3 Proses perubahan karena aktivitas enzim
Enzim merupakan protein yang bertindak sebagai katalisator organik dalam
kegiatan penguraian senyawa dalam jaringan tubuh ikan.
Sarcina,
Vibrio,
Flavobacterium,
Serratia
dan
Bacillus.
Suhu Pertumbuhan
Mikroorganisme
Minimum
Optimum
Maksimum
Psikorofil
-15
10
20
Psikrotrof
-5
25
35
Mesofil
-5-0
30-37
45
Thermofil
40
45-55
60-80
Thermotrof
15
42-46
50
Sirkulasi darah
Ikan mati
Sistem syaraf
dan hormon
terhenti
terhenti
Suplai vitamin,
antioksidan, dll
terhenti
Suplai
oksigen
terhenti
Keseimbangan
osmotik
Potensial redoks
menurun
Penurunan suhu
Respirasi terhenti
(glikogen --- CO2)
Pemadatan
lemak
Akumulasi
bakteri
Penguraian fosfat
Berenergi tinggi
Pemunculan
rigor mortis
Denaturasi
protein
Glikolisis terjadi
(glikogen --- as.
laktat)
Penurunan pH
Pembebasan
dan
pengaktifan
katepsin
Protein
melepaskan Ca2+
dan mengikat K+
Oksidasi
lemak dan
ketengikan
Akumulasi
metabolit,
pemicu flavor,
dll
Perubahan
warna
Penguraian
protein
Pertumbuh
an bakteri
kemunduran mutu dibanding ikan demersal dan ikan air tawar cenderung
lebih cepat mencapai kemunduran mutu dibanding ikan air laut.
(b) Umur dan ukuran ikan. Ikan dewasa dengan ukuran yang besar lebih lama
mengalami kemunduran mutu daripada ikan kecil.
(c) Kandungan lemak. Ikan yang mengandung lemak tinggi cenderung lebih
cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan-ikan berlemak
rendah.
(d) Kondisi fisikal ikan. Kondisi fisik yang lemah sebelum ditangkap karena
kurang bergizi makanannya, baru menelurkan dan sebagainya akan
berpengaruh terhadap waktu memasuki tahap rigor.
(e) Karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Ikan yang memiliki kulit yang tebal
akan cenderung lebih lama laju kemunduran mutunya dibanding ikan yang
memiliki kulit yang tipis, begitu juga dengan ikan yang bentuk tubuhnya
bulat lebih lama kemunduran mutunya dibanding ikan yang bentuknya
pipih.
Faktor-faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu
ikan (Junianto 2003) adalah:
(a) Penggunaan alat tangkap. Jenis da teknik penangkapan akan berpengaruh
pada derajat keletihan ikan. Ikan yang berjuang keras lama menghadapi
kematiannya dalam jaring sebelum ditarik ke kapal akan kehabisan banyak
cadangan tenaga sehingga lebih cepat memasuki masa rigor. Alat tangkap
yang baik adalah yang dapat menekan tingkat stres pada ikan dan
mengurangi gerakan ikan (meronta-ronta) sebelum mati.
(b) Penanganan pasca-panen yang dilakukan oleh para nelayan. Untuk
memperoleh ikan yan bermutu dan daya awet panjang, pokok utama
dalam menangani ikan adalah bekerja cepat, cermat, bersih dan pada suhu
rendah.
(c) Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih
pendek. Daya awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu.
(d) Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga
berpengaruh terhadap daya awet.
(e) Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi apalagi ikan agak
lama tinggal dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses
penurunan mutunya.
2.4 Metode Pengukuran Kesegaran Ikan
Tingkat kesegaran adalah tolok ukur untuk membedakan ikan yang bermutu
baik dan buruk. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia,
mikrobiologi, dan fisika yang terjadi belum menyebabkan perubahan sifat-sifat
ikan pada waktu masih hidup. Berdasarkan tingkat kesegarannya ikan dapat
digolongkan menjadi empat kelas, yaitu ikan yang kesegarannya masih baik sekali
(sangat prima), ikan yang kesegarannya masih baik (prima), ikan yang
kesegerannya sudah mulai mundur (sedang), dan ikan yang sudah tidak segar lagi
(busuk) (Hadiwiyoto 1993).
Ikan yang telah busuk bukan saja tidak enak, tetapi juga membahayakan
kesehatan bila dimakan. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan mutu ikan
yang akan dikonsumsi. Pemeriksaan mutu dapat dilakukan dengan tiga cara
(Murniyati dan Sunarman 2000) yaitu:
(a). pemeriksaan organoleptik atau sensorik;
(b). pemeriksaan di laboratorium (secara fisik, kimia, dan mikrobiologis);
(c). menggunakan alat-alat seperti freshness measure, electric freshness tester.
Analisis yang biasa digunakan untuk mengevaluasi kesegaran ikan adalah
analisis organoleptik. Cara ini sangat cepat, murah dan praktis untuk dikerjakan,
tetapi ketelitiannya sangat tergantung pada tingkat kepandaian orang yang
melaksanakannya.
K=
I + Hx
X 100%
ATP + ADP + IMP + I + Hx
Keterangan
= Inosine
Hx = Hipoxantine
Setelah ikan mati (keadaan relaksasi), fosfat berenergi tinggi (ATP)
diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kreatin fosfat menyumbang group
fosfatnya kepada ADP untuk memproduksi ATP (Eskin 1990).
Kreatinfosfotransferase
ADP + Kreatin Fosfat
ATP + Kreatin
Ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai titik yang sama,
adenosine triphosphate (ATP) mulai mengalami penguraian (hidrolisis) menjadi
ADP dan menghasilkan energi. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan
enzim ATPase terjadi berdasarkan reaksi sebagai berikut (Eskin 1990):
ATPase
ATP + H2O
ADP + H3PO4
Degradasi ATP yang terjadi setelah ikan mati dipengaruhi oleh aktivitas
enzim. Degradasi ATP merupakan reaksi autolisis yang disebabkan oleh enzim
yang ada secara alami pada daging ikan. Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah
menjadi AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi
oleh enzim deaminase dan IMP menjadi inosine dipengaruhi oleh enzim fosfatase
(Eskin 1990). Defosforilasi dari IMP menjadi inosin relatif lambat, tetapi inosin
sangat cepat berubah menjadi hipoksantin. Pada tahap awal, hipoksantin terbentuk
secara autolisis, namun pada tahap kemunduran mutu ikan selanjutnya aktivitas
bakteri juga berperan dalam menambah jumlah hipoksantin (Hanna 1992).
2.5 Proses Pendinginan
tujuan utama untuk menghambat proses kemunduran mutu ikan yang disebabkan
oleh aktivitas mikroorganisme dan proses kimia maupun fisis sehingga ikan tetap
dalam kondisi segar sampai jangka waktu yang cukup lama (Gelman et al. 2004).
Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin
rendah suhu yang digunakan, pertumbuhan bakteri semakin dihambat. Bakteri
dapat tumbuh dalam deret suhu yang besar, yaitu dari 0-45 oC.
Proses
pendinginan yang diberikan pada saat proses pembusukan sudah mulai kurang
efektif dalam hubungannya dengan pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dan
akan memberikan hasil yang kurang memuaskan (Ilyas 1983). Hubungan antara
suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri, dan mutu ikan
Suhu
25 C sampai 10 C
Kegiatan Bakteri
Luar biasa cepat
10 C sampai 2 C
Pertumbuhan
kurang cepat
2 C sampai -1 C
-1 C
Kegiatan
ditekan
-2 C sampai -10 C
-18 C
rendah
dan
bakteri
Mutu Ikan
Cepat menurun, daya awet
sangat pendek (3-10 jam)
bakteri Mutu menurun kurang cepat,
daya awet pendek (2-5 hari)
dan proses kemunduran mutu dapat dihambat. Ikan yang disimpan harus dalam
keadaan bersih, terseleksi sehingga mutu awal tinggi. Sistem rantai dingin harus
diterapkan untuk mempertahankan ikan dalam kondisi dingin sampai ikan siap
untuk diolah (Gelman et al. 2004).
Cara termudah, praktis, dan tidak membutuhkan biaya besar adalah
menggunakan es. Es yang digunakan untuk mendinginkan ikan harus terbuat dari
air yang bersih dan disimpan di tempat yang bersih pula. Es untuk mendinginkan
harus berupa hancuran es untuk menghindari luka-luka atau memar pada ikan.
Selain itu dengan menggunakan hancuran es maka kontak langsung antara es
dengan ikan menjadi lebih baik dan proses terjadinya penurunan suhu pun
menjadi lebih cepat (Ilyas 1983). Lamanya penyimpanan ikan dengan es
dijabarkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Potensi lamanya penyimpanan ikan dengan es
Jenis Ikan
Tilapia
22-28
Mas
35
Catfish
12-16
Kakap merah
20
Mackarel
7-9
Herring
2-5
Cod
12-15
memisahkan
karbobenzoksi-L-Glu-L-Tyr,
sekarang
dikenal
dengan
nama
Famili
Sistein
Aktivitas
Endopeptidase
Katepsin H
Katepsin J
Katepsin L
Sistein
Sistein
Sistein
Endopeptidase
Endopeptidase
Endopeptidase
Dipeptidil
peptidase I
(katepsin C)
Dipeptidil
petidase II
Katepsin D
Sistein
Eksopeptidase
Sistein
Eksopeptidase
Aspartat
Endopeptidase
-glutamil
Aspartat Endopeptidase
karboksipeptidase
Karboksipeptidase
Serin
Eksopeptidase Dimurnikan dari berbagai spesies
A (katepsin A dan
ikan dan diidentifikasi pada otot
I)
berbagai spesies
Katepsin S
Sistein
Eksopeptidase Diidentifikasi pada otot mackarel
Sumber: Goll et al. ( 1989) diacu dalam Shahidi dan Botta (1994)
Aktivitas
molekuler dari katepsin L dengan substrat miosin adalah 10 kali lebih besar dari
pada ketepsin B. Katepsin L telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi pada otot
mackarel. Katepsin L dapat mendegradasi miofibril, termasuk aktin, miosin dan
tropomiosin pada pH 6,5 dan secara khusus aktif untuk troponin serta dalam
pemindahan Ca dari ATPase miofibril pada pH netral.
katepsin S yang memiliki sifat sama seperti katepsin L tetapi berbeda pada
kemampuan dalam memisahkan metilcoumarilamide dan diduga terdapat dalam
mackarel (Shahidi dan Botta 1994).
2.7 Peranan Katepsin dalam Kemunduran Mutu Ikan
Katepsin merupakan salah satu enzim yang berperan penting dalam proses
kemunduran mutu ikan selama post mortem. Ketika ikan mati (fase pre rigor),
maka kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim yang terdapat dalam
tubuh ikan dengan melepaskan energi.
yang
terdapat
dalam
jaringan
otot
menjadi
aktif
Hal ini
menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan senyawasenyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan pH dan peningkatan
jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan media yang
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan April 2008
di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium
Bioteknologi 2 Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan,
Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Terpadu Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama,
yaitu ikan gurami yang diperoleh dari kolam pembudidayaan desa Cibereum Petir
sebanyak 18 ekor dengan tiga katagori umur dan ukuran. Umur panen 2,5 tahun
dengan berat 995,45 g 1,85 g (ikan A), umur panen 1,5 tahun dengan berat
697,65 g 1,24 (ikan B), dan umur 8 bulan dengan berat 345,55 g 1,42 (ikan C); Ikan
gurami diangkut dalam keadaan hidup lalu ditampung dalam akuarium dan diberi
aerator. Ikan dipuasakan selama satu malam. Bahan-bahan untuk analisis nilai pH
(larutan buffer standar pH 7, akuades), analisis TPC (larutan garam 0,85 % (w/v) steril,
nutrient agar), analisis TVB (H3BO3, K2CO3, trichloroacetic acid (TCA) 7 %, HCl
0,032 N), assay aktivitas katepsin (buffer tris-HCl pH 7,4, hemoglobin, HCl 1 N,
TCA 5 %, pereaksi folin, tirosin), pengukuran konsentrasi protein katepsin
(bovine serum albumin, coomassie blue G-250, etanol 95 %, asam fosfat 85 %
(w/v)).
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain refrigerator
bersuhu 4 0C, inkubator (Termoline), oven (Yamato), sentrifuse suhu dingin (Kokusan),
spektrofotometer (Yamato), mikropipet (Pipetman), timbangan analitik, homogenizer,
magnetic stirrer, hot plate, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, tabung reaksi, cawan
petri, erlenmeyer, pH meter, kapas, tissue, alumunium foil, bunsen, jarum ose,
beaker glass, dan peralatan gelas lainnya.
3.3 Metode Penelitian
Pengamatan
Metode yang digunakan untuk uji organoleptik ini berdasarkan scoring test
SNI-01-2346-2006. Metode ini menggunakan angka yang berkisar antara
1 sampai 9. Pengukuran organoleptik merupakan cara penilaian mutu ikan yang
bersifat subjektif menggunakan indera manusia. Jumlah panelis yang digunakan
adalah 15 orang dengan kategori panelis semi terlatih dan sampel yang diamati
sebanyak 4 ekor pada masing-masing titik pengamatan.
3.4.3 Uji mikrobilogis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1984)
Prinsip kerja dari uji mikrobiologis ini adalah penghitungan jumlah koloni
bakteri yang ada dalam sampel (daging ikan gurami) dengan pengenceran sesuai
keperluan dan dilakukan secara duplo.
Pemipetan
posisi terbalik pada suhu 35 0C dan diinkubasi selama 2X24 jam. Dihitung
jumlah koloni bakteri yang ada dalam cawan petri. Jumlah koloni yang dapat
dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300.
3.4.4 Analisis proksimat
Prinsip dari analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau
jumlah kadar air yang terdapat pada suatu bahan.
Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan
cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105 0C selama 10-15 jam. Cawan
tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan dibiarkan
sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga
beratnya konstan, kemudian cawan dan daging ikan gurami seberat 5 gram
ditimbang setelah terlebih dahulu dipotong kecil-kecil.
Selanjutnya cawan
tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 0C selama 3-5 jam.
Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin
kemudian ditimbang.
Perhitungan kadar air pada daging ikan gurami
% Kadar air = B - C x 100%
B-A
Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan dengan daging ikan (gram)
C = Berat cawan dengan daging ikan setelah dikeringkan (gram).
(b). Analisis kadar abu (AOAC 1995)
Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang
terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis.
Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar
0
650 C selama 1 jam. Cawan abu porselen tersebut didinginkan selama 30 menit
setelah suhu tungku turun menjadi sekitar 200 0C dan ditimbang. Daging ikan
gurami sebanyak 1-2 gram yang telah dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam
bertahap hingga suhu 650 0C. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna
putih. Setelah suhu tungku pengabuan turun menjadi sekitar 200 0C, cawan abu
porselin didinginkan selama 30 menit dan kemudian ditimbang beratnya.
Perhitungan kadar abu pada daging ikan gurami
% Kadar abu = C - A x 100%
B-A
Keterangan : A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)
B = Berat cawan abu porselen dengan daging ikan (gram)
C = Berat cawan abu porselen dengan daging ikan setelah
dikeringkan (gram).
(c). Analisis kadar protein (AOAC 1995)
asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer yang
berisi asam borat mencapai 200 ml.
(3). Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan
pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink.
Perhitungan kadar protein pada daging ikan gurami :
% Nitrogen = (ml HCl daging ikan ml HCl blanko)x 0,1 N HCl x 14 x 100 %
mg daging ikan gurami
% Kadar Protein = % Nitrogen x faktor konversi
(d). Analisis kadar lemak (AOAC 1995)
Daging ikan gurami seberat 3 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring
dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam
labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan
tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung
soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat
destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas
listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi
hingga semua pelarut lemak menguap.
Sampel
Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawasenyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis
TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan
trimetilamin) pada suhu kamar selama 24 jam. Senyawa tersebut kemudian diikat
oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan 0,1 N HCl.
Sampel sebanyak 25 gram ditambahkan 75 ml larutan TCA 7 % (w/v)
kemudian diblender selama 1 menit, kemudian disaring dengan kertas saring
sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih.
Campuran disaring dan hasil reaksi yang dapat larut ditambah dengan 1 ml
pereaksi folin, serta diukur pada 750 nm. Selain itu dilakukan pula pengukuran
untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama dengan
larutan sampel hanya untuk blanko dan larutan standar, enzimnya digantikan
dengan akuades dan tirosin. Aktivitas enzim katepsin dapat dihitung dengan
rumus berikut :
UA = Absorbansi sampel Absorbansi blanko x P x 1/T
konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml
Konsentrasi BSA
Volume BSA
Volume
(mg/ml)
(ml)
akuades (ml)
0,1
0,025
0,475
0,2
0,050
0,450
0,3
0,075
0,425
0,4
0,10
0,400
0,5
0,125
0,375
0,6
0,150
0,350
0,7
0,175
0,325
0,8
0,20
0,300
0,9
0,225
0,275
1,0
0,250
0,250
X=
Xi
i =1
X = Nilai rata-rata
N = Jumlah data
Xi = Nilai X ke-i
()ij = pengaruh interaksi perlakuan taraf ke-i dan perlakuan taraf ke-j
ijk
Ikan gurami yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kolam
ikan budidaya di desa Cibereum Petir, Bogor.
insang
Jeroan
1%
sirip
8%
5%
sisik
4%
daging
52%
tulang
30%
sirip
3%
sisik
4%
daging
49%
tulang
34%
Jeroan
6%
sirip
5% sisik
4%
daging
45%
tulang
38%
mempunyai
tinggi dan tulang paling rendah, sedangkan ikan gurami C, persentase tulangnya
lebih besar dibandingkan dengan persentase daging. Hal ini dikarenakan pada
ikan gurami C masih dalam fase pertumbuhan sehingga perkembangan tulang
masih dominan. Begitu juga sebaliknya terhadap ikan gurami A yang rendemen
dagingnya paling tinggi dikarenakan ikan gurami pada umur 2,5 tahun mengalami
perkembangan jaringan tulang yang cenderung lambat sehingga nutrisi yang
masuk ke dalam tubuh lebih banyak digunakan untuk pembentukan struktur
daging. Pada masa pertumbuhan ikan muda, asupan nutrisi digunakan untuk
pembentukan jaringan kerangka tubuh, selanjutnya nutrisi yang dimakan akan
beralih fungsi untuk pembentukan jaringan otot ketika ikan telah memasuki usia
dewasa (Jangkaru 1998)
Untuk rendemen bagian tubuh yang lain diantaranya jeroan, insang, sirip,
dan sisik tidak memiliki perbedaan yang cukup besar diantara ketiga jenis ikan
tersebut.
tersebut, yaitu untuk jeroan berkisar antara 6-8 %, untuk insang 1-2 %, untuk sirip
3-5 %, dan sisik sekitar 4 %.
Ikan gurami memiliki bagian yang belum dimanfaatkan yang cukup besar,
yaitu berkisar antara 48-55 % terdiri dari tulang, jeroan, insang, sirip dan sisik.
Tulang dan sirip merupakan sumber mineral yang memiliki potensi komersial bila
dimanfaatkan misalnya sebagai sumber gelatin.
asesoris. Jeroan ikan dapat dijadikan pakan ternak. Pemanfaatan hasil perikanan
seperti ikan gurami diharapkan tidak hanya pada bagian yang dapat dimakan saja
(edible portion) tetapi bagian-bagian selain daging juga dapat dimanfaatkan
sebagai sumber bahan baku kimia, industri farmasi dan lain-lain sehingga tidak
ada bagian ikan yang terbuang (zero waste).
4.1.2 Penentuan fase post mortem ikan gurami
Pengamatan secara
organoleptik ini meliputi beberapa parameter, yaitu keadaan mata, insang, lendir
permukaan badan, daging, bau, dan tekstur.
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan ciri-ciri organoleptik ikan
gurami selama fase post mortem tersebut. Tabel 8 memperlihatkan ciri-ciri
organoleptik ikan gurami A selama fase post mortem pada penyimpanan suhu
chilling.
Tabel 8. Fase post mortem gurami (Osphronemus gouramy) A pada
penyimpanan suhu chilling.
Parameter
Post-rigor (jam
Deteriorasi (mulai
hingga 36)
hingga 228 )
ke-228 hingga
jam ke 324)
324)
Mata
Insang
Merah cemerlang,
tanpa lendir
Merah agak
kusam, sedikit
lendir
Warna merah
coklat ada sedikit
putih, lendir tebal
Lendir
Permukaan
Badan
Lapisan lendir
jernih, transparan,
mengkilat cerah.
Mengeluarkan lendir
dalam jumlah
banyak, lapisan
lendir agak keruh,
kurang transaparan.
Mengeluarkan
lendir tapi tidak
terlalu banyak,
keruh, warna putih
kusam, kurang
transparan.
Lendir tebal
menggumpal,
warna kuning
kecoklatan
Daging
Sayatan daging
sangat cemerlang,
spesifik jenis, tidak
ada pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut utuh.
Sayatan daging
cemerlang spesifik
jenis, tidak ada
pemerahan sepanjang
tulang belakang,
dinding perut utuh.
Sayatan daging
sedikit kurang
cemerlang, sedikit
pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut agak lunak.
Sayatan daging
kusam sekali,
warna merah jelas
sekali sepanjang
tulang belakang,
dinding perut
sangat lunak
Bau
Bau deteriorasi
jelas
Tekstur
Padat,elastis bila
ditekan dengan jari,
sulit menyobek
daging dari tulang
belakang. Ikan
dalam keadaan
lemas
Agak lunak,
kurang elastis bila
ditekan dengan
jari, agak mudah
menyobek daging
dari tulang
belakang,
Sangat lunak,
bekas jari tidak
hilang bila
ditekan, mudah
sekali menyobek
daging dari tulang
belakang
Pre-rigor (jam
ke-0 hingga 30)
Mata
Insang
Merah
cemerlang, tanpa
lendir
Lendir
Permukaan
Badan
Lapisan lendir
jernih,
transparan,
mengkilat cerah.
Warna merah
kurang
cemerlang, ada
sedikit lendir.
Mengeluarkan
lendir dalam
jumlah banyak,
lapisan lendir
agak keruh,
kurang
transaparan.
Daging
Sayatan daging
sangat cemerlang,
spesifik jenis, tidak
ada pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut utuh.
Sayatan daging
cemerlang spesifik
jenis, tidak ada
pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut utuh.
Sayatan daging
sedikit kurang
cemerlang, sedikit
pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut agak lunak.
Sayatan daging
kusam sekali,
warna merah jelas
sekali sepanjang
tulang belakang,
dinding perut
sangat lunak
Bau
Segar spesifik
jenis
Bau deteriorasi
jelas
Tekstur
Padat,elastis bila
ditekan dengan
jari, sulit
menyobek
daging dari
tulang belakang.
Ikan dalam
keadaan lemas
Agak lunak,
kurang elastis
bila ditekan
dengan jari, agak
mudah
menyobek
daging dari
tulang belakang,
kondisi lemas.
Sangat lunak,
bekas jari tidak
hilang bila
ditekan, mudah
sekali menyobek
daging dari
tulang belakang
Post-rigor (jam
ke-198 hingga
264)
Bola mata agak
cekung, pupil
berubah keabuabuan, kornea
agak keruh.
Merah agak
kusam, sedikit
lendir
Mengeluarkan
lendir tapi tidak
terlalu banyak,
keruh, warna
putih kusam,
kurang
transparan.
Deteriorasi(mulai
jam ke 264)
Bola mata sangat
cekung, kornea
agak kuning.
Warna merah
coklat ada sedikit
putih, lendir
tebal
Lendir tebal
menggumpal,
warna kuning
kecoklatan
Tabel 9 menguraikan titik-titik waktu fase post mortem ikan gurami pada
penyimpanan suhu chilling dengan umur panen 1,5 tahun (B). Kondisi pre rigor
ikan gurami B terjadi pada 0 jam penyimpanan, fase rigor mortis pada ikan ikan
gurami B pada jam ke-30, sedangkan fase post rigor ikan gurami B pada jam ke198. Fase deteriorasi ikan gurami B terjadi pada jam ke-264. Fase post mortem
ikan gurami C pada penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Fase post mortem gurami (Osphronemus gouramy) C pada
penyimpanan suhu chilling.
Parameter
Pre-rigor (jam
ke-0 hingga 24)
Post-rigor (jam
ke-180 hingga
234)
Bola mata agak
cekung, pupil
berubah keabuabuan, kornea
agak keruh.
Deteriorasi
(mulai jam ke
234)
Bola mata sangat
cekung, kornea
agak kuning.
Mata
Insang
Merah
cemerlang, tanpa
lendir
Warna merah
kurang
cemerlang, ada
sedikit lendir.
Merah agak
kusam, sedikit
lendir
Warna merah
coklat ada sedikit
putih, lendir
tebal
Lendir
Permukaan
Badan
Lapisan lendir
jernih,
transparan,
mengkilat cerah.
Mengeluarkan
lendir dalam
jumlah banyak,
lapisan lendir
agak keruh,
kurang
transaparan.
Mengeluarkan
lendir tapi tidak
terlalu banyak,
keruh, warna
putih kusam,
kurang
transparan.
Lendir tebal
menggumpal,
warna kuning
kecoklatan
Daging
Sayatan daging
sangat cemerlang,
spesifik jenis, tidak
ada pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut utuh.
Sayatan daging
cemerlang spesifik
jenis, tidak ada
pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut utuh.
Sayatan daging
sedikit kurang
cemerlang, sedikit
pemerahan
sepanjang tulang
belakang, dinding
perut agak lunak.
Sayatan daging
kusam sekali,
warna merah jelas
sekali sepanjang
tulang belakang,
dinding perut
sangat lunak
Bau
Segar spesifik
jenis
Bau deteriorasi
jelas
Tekstur
Padat,elastis bila
ditekan dengan
jari, sulit
menyobek
daging dari
tulang belakang.
Ikan dalam
keadaan lemas
Agak lunak,
kurang elastis
bila ditekan
dengan
jari,mudah
menyobek
daging dari
tulang belakang,
kondisi lemas.
Sangat lunak,
bekas jari tidak
hilang bila
ditekan, mudah
sekali menyobek
daging dari
tulang belakang
relaksasi antara miosin dan aktin di dalam miofibril terhenti dan terbentuknya
aktomiosin yang permanen (Eskin 1990).
Fase post mertem diakhiri dengan fase post rigor yang merupakan
permulaan dari proses deteriorasi. Fase ini ditandai dengan mulai melunaknya
otot ikan secara bertahap yang disebabkan oleh autolisis, pembusukan oleh bakteri
dan ketengikan. Pada tahap ini, peran bakteri dalam kerusakan ikan mulai tampak
Kadar air
72,96
74,62
75,48
Kadar abu
0,90
0,95
1,03
Kadar protein
20,67
18,93
18,71
Kadar lemak
2,79
2,43
2,20
Keterangan
daging ikan gurami pada berbagai umur panen dapat dicantumkan pada Gambar
8.
K a da r a ir (% )
80
70
72,96
74,62
75,48
ikan A
ikan B
ikan C
60
50
40
30
20
10
0
Umur ikan
Gambar 8. Kadar air daging ikan gurami segar pada berbagai umur panen
Berdasarkan histogram kadar air (Gambar 8) dapat diketahui bahwa
kadar air tertinggi terdapat pada ikan C dengan nilai 75,48 %, sedangkan kadar
air terendah terdapat pada ikan gurami A dengan nilai 72,96 %.
Hal ini
menunjukkan bahwa kadar air pada ikan dipengaruhi oleh perbedaan ukuran
ikan yang secara tidak langsung berkaitan dengan umur panen, selain itu kadar
air pada ikan berkaitan dengan kadar lemak ikan. Semakin tinggi kadar air pada
ikan maka makin rendah kadar lemak nya (Suzuki 1981). Nilai kandungan air
pada ikan gurami A, B, dan C termasuk dalam kisaran normal, yaitu 70-85 %
(Okada 1990).
Bahan makanan sekitar 96 % terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri
dari unsur-unsur mineral, yaitu zat anorganik atau disebut juga kadar abu.
Mineral yang ditemukan dalam tubuh makhluk hidup dan dalam bahan pangan
tergabung dalam persenyawaan anorganik, dan ada pula yang ditemukan dalam
bentuk unsur (Sakaguchi 1990). Pada Gambar 9 disajikan kandungan abu daging
ikan gurami dengan umur panen yang berbeda.
1,2
0,9
0,95
1,03
0,8
0,6
0,4
0,2
0
ikan A
ikan B
ikan C
Umur ikan
Gambar 9. Kadar abu daging ikan gurami pada berbagai umur panen
Kandungan abu tertinggi terdapat pada ikan gurami C dengan nilai
1,03 %; sedangkan kadar abu terendah terdapat pada ikan gurami A dengan
nilai 0,90 %.
Semakin muda umur ikan kadar abu semakin besar hal ini
disebabkan karena pada ikan muda, pembentukan jaringan kerangka tubuh masih
berlangsung sehingga mineral-mineral atau zat anorganik yang dibutuhkan lebih
banyak. Kadar abu yang terdapat pada suatu bahan ada hubungannya dengan
mineral bahan tersebut. Komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi
dari segi macam dan jumlahnya (Sudarmadji et al. 1989).
(c) Kadar protein
Ikan pada umumnya memiliki kadar protein yang tinggi serta mudah
dicerna dan diabsorpsi oleh tubuh. Komposisi asam-asam amino dalam bahan
makanan hewani sesuai dengan komposisi jaringan di dalam tubuh manusia itu
sendiri. Protein dalam ikan tersusun dari asam-asam amino yang dibutuhkan oleh
25
K a d a r p r o te in (% )
20,67
20
18,93
18,71
ikan B
ikan C
15
10
5
0
ikan A
umur ikan
Gambar 10. Kadar protein daging ikan gurami dengan berbagai umur panen
Kandungan protein pada Gambar 10 berkisar antara 18,71-20,67 %. Kadar
protein tertinggi terdapat pada ikan A dengan nilai 20,67 % dan yang terendah
pada ikan C dengan nilai 18,71 %. Perbedaan umur panen pada ikan gurami
mempunyai pengaruh terhadap kandungan protein pada ikan tersebut. Tingginya
kandungan protein dipengaruhi oleh spesies, lingkungan, dan makanan. Spesies
ikan air tawar cenderung memiliki kadar protein yang lebih rendah dibanding ikan
air laut. Ikan yang hidup pada lingkungan perairan yang kaya akan makanan dan
unsur hara cenderung memiliki kadar protei yang tinggi.
Mengacu pada penggolongan tipe ikan menurut (Stansby 1963) ikan
gurami dapat dikelompokkan pada kategori protein tinggi (15-20 %) dan lemak
rendah (< 5 %).
Lemak yang terkandung dalam ikan sangat mudah untuk dicerna langsung
oleh tubuh dan sebagian besar terdiri dari asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan dan dapat menurunkan kolesterol dalam darah. Pada Gambar
11 disajikan kandungan lemak daging ikan gurami dengan berbagai umur panen.
3
2,79
2,43
2,5
2,20
2
1,5
1
0,5
0
ikan A
ikan B
ikan C
Umur ikan
Gambar 11. Kadar lemak daging ikan gurami pada berbagai umur panen
Kandungan lemak berkisar antara 2,2-2,79 %, kandungan lemak tertinggi
terdapat pada ikan A dengan persentase 2,79 % dan terendah pada ikan C dengan
persentase 2,20 %. Kisaran kadar lemak ikan gurami tersebut termasuk kedalam
tipe ikan berkadar lemak rendah yaitu dibawah 5% (Stansby 1963). Perbedaan
umur panen pada ikan gurami mempunyai pengaruh terhadap kadar lemak pada
ikan tersebut sebab semakin dewasa umur ikan maka kadar lemak semakin tinggi
(Hadiwiyoto 1993).
Sebagian besar lemak yang terkandung pada ikan adalah terdiri dari asam
lemak tak jenuh yang dibagi menjadi asam lemak tak jenuh tunggal dan asam
lemak tak jenuh jamak (Lehninger 1993).
Lingkungan tempat ikan tersebut tumbuh dan berkembang sangat
berpengaruh terhadap kandungan lemak. Kandungan lemak pada ikan tidak hanya
dipengaruhi oleh jenis ikan tapi juga dipengaruhi oleh kedewasaan, musim,
kebiasaan makan (feeding habit), dan ketersediaan pakan (Gokce et al. 2004).
Nilai organoleptik
6,65
6,1 6,15
5,84
4,25 4,25
2,2 2,35 2,15
24
30
36
rigor
180
198
228
post-rigor
234
264
324
busuk
ikan B
ikan C
Gambar 12 Rata-rata nilai organoleptik dari ikan gurami pada berbagai umur
panen selama penyimpanan suhu chilling
Gambar 12 menunjukkan bahwa nilai organoleptik ikan gurami baik ikan
gurami A, B, dan C semakin menurun dengan semakin lamanya waktu
luas
permukaan
tubuh
yang
besar
sehingga
penyerangan
mikroorganisme lebih lama. Ikan berbentuk pipih dapat disimpan lebih lama dari
pada ikan berbentuk bulat. Ikan berlemak rendah dapat dipertahankan lebih lama
dari ikan berlemak tinggi pada kondisi aerobik (FAO 1995).
Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim dan
mikroorganisme. Kedua hal itu menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun.
Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan kimia,
fisik, dan organoleptik pada ikan. Cepat atau lambatnya kemunduran mutu ikan
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal yang bekaitan dengan ikan itu
sendiri dan eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan penanganan
(FAO 1995).
4.2.3 Nilai total plate count (TPC)
10
9
8
4,960
4,964
7
6 3,079
4,939
5 3,079
4
2,7
3
2
1
0
0
24
30
36
prerigor
9,079 9,079
6,996
6,991
9,176
6,954
180
rigor
198
228
234
post rigor
264
324
deteriorasi
ikan B
ikan C
Gambar 13. Nilai log TPC dari ikan gurami pada berbagai umur panen selama
penyimpanan suhu chilling
Nilai TPC ikan gurami A, B dan C pada Gambar 13 adalah sama, yakni
1,2x103 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 3,079 CFU/g pada fase pre-rigor. Pada
fase rigor, nilai TPC dari ketiga ikan tersebut meningkat pada kisaran 8,7x103
CFU/g 9,2x103 CFU/ ml atau nilai log antara 4,939 CFU/g 4,964 CFU/g.
Semakin lama nilai TPC dari ketiga ikan tersebut semakin meningkat dengan
semakin lamanya waktu penyimpanan dan mencapai nilai tertinggi pada fase
deteriorasi, yaitu ikan A sebesar 1,5x109 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 9,176
CFU/g, sedangkan pada ikan B dan C memiliki nilai TPC yang sama yakni
sebesar 1,2x109 CFU/g atau log TPC sebesar 9,079 CFU/g. Nilai TPC ikan gurami
pada penyimpanan fase post-rigor dan deteriorasi sudah berada di atas batas
maksimum jumlah cemaran mikroba yang ditetapkan dalam SNI 01-2729-1992
dengan nilai maksimum 5x105 CFU/g atau nilai log TPC sebesar 5,70 CFU/g,
sehingga sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
Daging ikan yang baru ditangkap masih steril karena memiliki sistem
kekebalan yang mencegah bakteri tumbuh pada daging ikan. Setelah ikan mati,
sistem kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang biak
dengan bebas. Pada permukaan kulit, bakteri bergerak ke seluruh tubuh dan
selama penyimpanan, bakteri menyerang daging dan bergerak diantara serat otot.
Jumlah mikroorganisme yang menyerang sangat terbatas dan pertumbuhan bakteri
sebagian besar berlangsung di permukaan. Proses deteriorasi terjadi akibat adanya
enzim yang dihasilkan bakteri yang merusak bahan gizi pada daging ikan (FAO
1995).
Proses deteriorasi yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi
sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada akhir fase rigor saat hasil penguraian
makin banyak, kegiatan bakteri pemdeteriorasi mulai meningkat. Bila fase rigor
telah lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan
meningkat (Moeljanto 1992).
Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan
fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang
disebut sebagai deteriorasi (Irawan 1995). Jumlah bakteri yang terdapat pada
tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup.
Perbedaan jenis dan jumlah bakteri yang dijumpai pada ikan disebabkan oleh
makanan, cara penangkapan, penanganan, dan perbedaan suhu yang dipengaruhi
oleh
musim
dan
letak
geografis
(FAO
1995;
Junianto
2003).
Menurut Lan et al. (2007) jumlah bakteri yang terdapat pada ikan tergantung dari
lingkungan tempat ikan tersebut ditangkap. Bakteri yang umumnya ditemukan
pada
ikan
adalah
bakteri
Pseudomonas,
Alcaligenes,
Sarcina,
Vibrio,
Flavobacterium, Serratia, Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri
Aeromonas,
Lactobacillus,
Bevibacterium
dan
Streptococcus
Senyawa-senyawa ini
merupakan sumber nutrien (unsur hara) bagi bakteri untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (Kreuzer 1965).
4.2.4 Nilai pH
menghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat inilah yang dapat
menyebabkan terjadinya penurunan pH daging ikan dan dapat menekan aktivitas
mikroba sehingga memperlambat proses deteriorasi. Besarnya penurunan pH ini
tergantung pada jumlah glikogen awal yang terdapat dalam otot ikan (Jiang 1998).
Perbandingan nilai pH ikan gurami yang disimpan pada suhu chilling dengan
Nilai pH
6,87
6,85
6,85 6,62 6,64 6,67
0
prerigor
24
30
36
rigor
180
198
228
post-rigor
234
264
324
deteriorasi
ikan B
ikan C
Gambar 14. Nilai pH ikan gurami dengan berbagai umur panen selama
penyimpanan suhu chilling
Jenis ikan
Nilai pH pada
fase post rigor
6,26
Sumber
Muldani 1997
1.
Nila
2.
6,46
Swasono 2007
3.
6,51
Swasono 2007
4.
Cod
6,10
FAO 1995
5.
Mackerel
5,80
FAO 1995
6.
Tuna
5,40
FAO 1995
Glukosa-6-fosfat
fosfoglukosa isomerase
Fruktosa-6-fosfat
Fosfofruktokinase
Fruktosa-1,6-difosfat
Aldolase
Dihidroksi asetonfosfat
Asam laktat
D-gliseraldehida-3-fosfat
laktat dehidrogenase
Asam piruvat
Gambar 16.
35
30
25
20
15
10
5
0
32,42
20,72
10,64
7,28
24
prerigor
30
36
180
rigor
198
228
post rigor
234
264
324
deteriorasi
ikan B
ikan C
Gambar 16. Nilai TVB dari ikan gurami berdasarkan perbedaan umur panen
selama penyimpanan suhu chilling
Nilai TVB ikan gurami A, B dan C yang disimpan pada suhu chilling pada
fase pre-rigor adalah sama, yakni sebesar 7,28 mg N/100 g.
Nilai tersebut
menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan sangat segar.
Nilai TVB ini akan semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu
penyimpanan akibat adanya degradasi enzim-enzim dalam tubuh ikan
menghasilkan
senyawa-senyawa
sederhana
yang
merupakan
komponen-
264 jam untuk ikan B dan 234 jam untuk ikan C sudah tidak segar dan tidak
layak untuk dikonsumsi.
Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB.
Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g.
Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk dalam kriteria segar.
Ikan termasuk kriteia masih bisa dikonsumsi dengan apabila nilai TVB antara
20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi apabila nilai TVB lebih dari
30 mg N/100 g (Farber 1965). Berdasarkan batasan tersebut, ikan gurami yang
disimpan pada suhu chilling masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi
sampai waktu penyimpanan 288 jam untuk ikan A, 198 jam untuk ikan B, dan 180
jam untuk ikan C karena memiliki nilai TVB sebesar 20,72 mg N/100 g, yang
berarti ikan gurami tersebut tergolong ikan yang masih dapat dikonsumsi.
Proses penyimpanan pada suhu chilling dapat menghambat proses
kemunduran mutu ikan gurami.
nitrogen yang bersifat volatil berlangsung lebih lambat dibandingkan ikan yang
disimpan pada suhu lingkungan. Aktivitas enzim pada daging ikan berjalan lebih
lambat sehingga ikan tetap segar dalam jangka waktu lama.
Nilai TVB pada ikan gurami A, B, dan C semakin meningkat seiring
dengan fase laju kemunduran mutu ikan. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA
=0,05 ) perbedaan umur panen dari masing-masing ikan gurami memberikan
pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap nilai TVB.
Menurut Ozogul (1999), peningkatan nilai TVB disebabkan oleh aktivitas
autolisis dan kegiatan bakteri pembusuk selama proses penyimpanan. Pada proses
enzimatis, protein akan diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana, seperti peptida, asam amino dan amonia. Di samping itu, hidrolisis
protein membentuk sedikit basa purin dan pirimidin (Kreuzer 1965).
Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP.
Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Ketika
ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan
energi (Jiang 1998). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi ADP oleh enzim
ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase.
Selanjutnya AMP
diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan dari IMP diubah menjadi inosin
Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim
dalam tubuh dengan melepaskan energi. Bersamaan dengan itu, terjadi suatu
proses perubahan biokimiawi yang menyebabkan bagian protein otot (aktin dan
miosin) berkontraksi dan menjadi kaku (rigor mortis). Seiring dengan itu pula,
karbohidrat dalam daging ikan yang berbentuk glikogen terurai menghasilkan
asam laktat pada akhir proses glikolisis. Asam laktat ini dapat menurunkan pH
dan menekan aktivitas mikroba sehingga memperlambat proses pembusukan.
Laju penurunan pH ini besarnya tergantung pada jumlah glikogen awal yang
terdapat dalam otot ikan (Jiang 1998).
Adanya penurunan pH menyebabkan enzim-enzim dalam jaringan otot
yang aktivitasnya berlangsung pada pH rendah menjadi aktif. Salah satu enzim
tersebut adalah enzim proteolitik, seperti katepsin. Katepsin yang terdapat di
dalam jaringan otot ikan memiliki aktivitas optimal pada pH rendah
(Dinu et al. 2002). Nilai aktivitas katepsin, konsentrasi protein katepsin, dan
aktivitas spesifik katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen selama
penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Aktivitas katepsin, konsentrasi protein katepsin, dan aktivitas spesifik
katepsin ikan gurami pada berbagai umur panen selama penyimpanan
suhu chilling
Ikan
Ikan gurami A
Ikan gurami B
Ikan gurami C
Fase post
mortem
pre rigor
rigor
post rigor
deteriorasi
pre rigor
rigor
post rigor
deteriorasi
pre rigor
rigor
post rigor
deteriorasi
Aktivitas
katepsin
(U/ml)
0,333
0,533
1,733
0,933
0,3
0,433
1,533
0,833
0,233
0,367
1,333
0,7
Konsentrasi
protein katepsin
(mg/ml)
0,462
0,494
0,523
0,492
0,459
0,485
0,512
0,48
0,457
0,481
0,503
0,477
Aktivitas spesifik
katepsin (U/mg)
0,721
1,079
3,314
1,896
0,654
0,893
2,994
1,735
0,510
0,763
2,650
1,468
Pada penelitian ini, aktivitas katepsin yang paling tinggi dari ikan A, ikan
B dan ikan C terdapat pada fase post rigor dengan aktivitas masing-masing yaitu
1,733 U/ml ; 1,533 U/ml dan 1,333 U/ml. Hal itu disebabkan pada fase tersebut
pH daging ikan paling rendah, yakni sebesar 5,92-5,94 sehingga sangat cocok
untuk berlangsungnya aktivitas enzim katepsin yang akan menguraikan protein
dalam jaringan tubuh ikan. Hasil penelitian ini menunjukkan pH terendah untuk
berlangsungnya aktivitas enzim katepsin pada ikan gurami tersebut sebesar
5,92-5,94.
dimurnikan dari otot ikan tilapia sebesar 5,5 - 6,0. Katepsin D ini memiliki berat
molekul 38 K Da dan dapat mendegradasi protein aktin dan miosin (Doke et al.
1980 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Selain itu, pada kelompok ikan tilapia
juga telah diketahui terdapat aktivitas enzim katepsin A (karboksipeptidase A)
yang memiliki aktivitas eksopeptidase dengan pH optimum 5-6. Katepsin ini
memisahkan karbobenzoksi-L-Glu-L-Tyr dan mampu memisahkan residu secara
sekuen dari karboksil terminal peptida, seperti glukagon (Sherekar et al. 1986
diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Pengukuran aktivitas katepsin sangat erat
kaitannya dengan konsentrasi protein enzim katepsin.
Aktivitas enzim katepsin yang tinggi pada fase post rigor ini tentunya
berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi protein enzim katepsin dari masingmasing ikan, yakni ikan A sebesar 0,523 mg/ml, ikan B sebesar 0,512 mg/ml dan
ikan C sebesar 0,503 mg/ml. Hal itu karena pada dasarnya enzim tersusun dari
komponen-komponen protein.
rigor
post rigor
1,896
1,735
1,468
234
264
324
deteriorasi
ikan B
ikan C
Gambar 17. Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami pada berbagai umur
panen selama penyimpanan suhu chilling
Proses perombakan protein oleh enzim katepsin merupakan salah satu
peristiwa autolisis.
dengan menurunnya pH. Penguraian protein dan lemak dalam proses autolisis
menyebabkan perubahan cita rasa, tekstur, dan penampakan ikan. Pada tahap ini
proses pemdeteriorasian berlangsung cepat karena hasil-hasil penguraian tersebut
merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba
lainnya.
Aktivitas spesifik enzim katepsin ikan gurami A, B, dan C pada penelitian
ini mengalami aktivitas tertinggi pada fase post-rigor, sebab pada fase tersebut
ikan memiliki pH terendah. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA =0,05) faktor
perbedaan umur panen dari masing-masing ikan gurami memberikan pengaruh
yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap analisis obyektif
yang dilakukan yakni, aktivitas katepsin dan konsentrasi protein. Hal ini dapat
disebabkan karena nilai pH dari masing-masing ukuran ikan berbeda, sehingga
aktivasi enzim katepsin berbeda. Pada proses enzimatis, katepsin akan
menguraikan protein menjadi polipeptida dan senyawa-senyawa yang lebih
sederhana.
Selain nilai pH, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja enzim katepsin,
antara lain konsentrasi enzim, konsentrasi substrat dan suhu. Kecepatan suatu
reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut.
Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi bertambah dengan
bertambahnya konsentrasi enzim. Demikian pula dengan konsentrasi enzim yang
tetap, maka pertambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi.
Namun pada batas konsentrasi tertentu tidak terjadi kenaikan kecepatan reaksi
walaupun konsentrasi substrat diperbesar. Suhu juga turut mempengaruhi reaksi
enzimatis. Pada suhu rendah reaksi berlangsung lambat, sedangkan pada suhu
yang lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat (Lehninger 1993).
4.2.7 Hubungan antar parameter kesegaran ikan
menjadi senyawa yang lebih sederhana yang bersifat basa sehingga nilai pH naik
(Eskin 1990). Hubungan antar parameter kesegaran ikan untuk setiap
Nilai parameter
324; 32,42
228; 20,72
20
15
36; 10,64
0; 9
10
36; 6,67
0; 7,28
36; 6,65
5
36;
4,960
0; 6,87
0; 3,079 0
36; 1,079
0; 0,721 0
50
100
228; 6,996
228; 5,94
324; 9,176
324; 6,72
324; 2,15
228; 5,84
228; 3,314
324; 1,896
200
250
300
350
150
Nilai parameter
264; 32,42
30
25
198; 20,72
20
15
10
0; 7,28
0; 6,85 5
0; 3,079
0
0; 0,654
0; 9
30; 10,64
198; 6,954
198; 5,92
30; 6,64
30; 6,15
30; 4,939
0
30; 0,893
50
264; 9,079
264; 6,68
264; 2,35
264; 1,735
198; 4,25
198; 2,994
100
150
200
250
300
Nilai parameter
35
234; 32,42
30
25
180; 20,72
20
24; 10,64
15
0; 9
10
24; 6,62
0; 7,28
24; 6,1
5
0; 6,85
24; 4,964
0; 2,70 24; 0,76
24
48
72
0; 0,51 0
96
120
Ukuran ikan gurami yang dipanen pada saat berumur 2,5 tahun (ikan A),
1,5 tahun (ikan B), dan 8 bulan (ikan C) memiliki rata-rata berat total dan panjang
toal secara berturut-turut, yaitu 995,45 g 1,85 g ;36-38 cm, 697,65 g 1,24 ; 3234 cm 345,55 g 1,42 ; 27-29 cm Ukuran ini merupakan ukuran konsumsi.
Kisaran rendemen ikan gurami A, B, dan C, yakni daging 45-52 %, jeroan 6-8 %,
insang 1-2 %, sirip 3-5 %, sisik 4 %,dan tulang 30-38%). Rendemen daging
paling tinggi terdapat pada ikan gurami A dan yang paling rendah pada ikan B,
sedangkan untuk tulang, nilai rendemen yang paling tinggi terdapat pada ikan C
dan yang paling rendah pada ikan A.
Kondisi pre rigor untuk ikan A, ikan B dan ikan C terjadi pada 0 jam
penyimpanan, fase rigor mortis terjadi secara berturut-turut pada jam ke-36, 30
dan 24. Fase post rigor masing-masing umur ikan terjadi pada jam ke-228, 198,
dan 180.
Untuk fase deteriorasi terjadi pada jam ke-324, 264, dan 234.
Komposisi kimia daging ikan gurami pada berbagai umur panen berkisar antara:
kadar air 72,96-75,48 %; abu 0,90-0,95 %; protein 18,71-20,67 %;
lemak 2,20-2,79 %. Kadar protein dan lemak tertinggi terdapat pada ikan A
sedangkan kadar air dan kadar abu tertinggi terdapat pada ikan C.
Pola kemunduran mutu ikan gurami dari fase pre rigor awal hingga ketika
pembusukan berlangsung cepat dapat dilihat dari kisaran nilai organoleptik 1-9;
pH 6,85-6,87; log TPC 1,2x103-1,5x109 CFU/g; TVB 7,28-32,42 mg N/100 g;
aktivitas katepsin 0,233-1,733 U/ml dan konsentrasi protein enzim katepsin
0,457-0,523 mg/ml.
5.2 Saran
Nilai
CONTOH
1
1. MATA
* Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh
* Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh
2. INSANG
* Warna cerah cemerlang, tanpa lendir
* Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan.
* Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan
* Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang
belakang, dinding perut sangat lunak
9
8
7
5
4
3
1
5. BAU
* Netral
* Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk
6. TEKSTUR
* Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang
belakang
* Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari
tulang belakang
* Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging
dari tulang belakang
*
Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah
Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali
9
8
7
5
3
1
Umur
panen
2,5-3thn
1,5-2thn
7bln-1thn
Berat total
900-1100g
600-700g
300-400g
Panjang
total
36-38cm
32-34cm
27-29cm
Panjang
baku
29-31cm
27-28cm
24-26cm
Rendemen
jeroan
8%
8%
6%
insang
1%
2%
2%
sisrip
5%
3%
5%
sisik
4%
4%
4%
tulang
30%
30%
38%
daging
52%
49%
45%
67
mata
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
insang
B
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
C
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
a
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
daging
B
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
C
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
A
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
tekstur
b
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
C
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
A
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
bau
B
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
C
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
A
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
B
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
Lendir permukaan
badan
A
B
C
C
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
68
mata
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
insang
B
8
8
7
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
7
8
C
8
7
8
7
8
8
7
7
8
7
7
8
7
8
7
a
7
7
8
7
7
7
7
8
7
7
8
7
7
8
7
daging
B
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8
C
7
7
8
7
7
7
7
8
7
7
8
7
7
8
7
A
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8
tekstur
b
8
8
7
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
7
8
C
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8
A
8
7
8
7
8
8
7
7
8
7
7
8
7
8
7
bau
B
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8
C
8
8
7
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
7
8
A
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8
B
8
7
8
7
8
8
7
7
8
7
7
8
7
8
7
Lendir permukaan
badan
A
B
C
C
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8
7
7
8
7
7
7
7
8
7
7
8
7
7
8
7
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8
8
8
7
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
7
7
7
8
8
7
8
8
7
8
7
7
8
8
69
Lampiran 3 c Data mentah nilai organoleptik ikan guarmi fase post rigor
No
mata
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
insang
B
6
7
6
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7
6
6
C
6
7
6
6
7
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7
A
6
6
6
6
5
6
6
6
5
6
5
6
6
6
6
daging
B
6
7
6
6
7
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7
C
6
7
6
6
6
7
6
6
6
6
5
6
6
5
6
A
5
6
6
7
6
6
6
7
6
6
5
6
6
7
6
tekstur
B
5
5
7
5
5
6
5
5
7
6
7
5
5
7
5
C
6
7
6
6
7
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7
A
6
7
6
6
5
6
6
6
6
5
6
6
7
6
6
bau
B
6
7
6
6
7
6
6
5
6
6
6
5
5
6
6
C
6
7
6
6
7
5
7
6
6
6
6
6
6
5
7
A
6
7
6
6
5
6
7
6
5
6
6
7
6
6
7
B
6
6
6
6
6
6
6
6
6
5
6
6
6
6
6
Lendir permukaan
badan
A
B
C
C
6
7
6
6
7
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7
6
7
6
6
7
6
7
6
6
6
5
6
5
6
5
6
6
6
7
6
6
6
7
6
6
5
6
6
6
6
7
5
5
5
5
6
5
5
7
5
7
5
6
6
5
6
7
6
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7
6
6
70
mata
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
insang
B
3
3
3
1
3
5
1
5
3
3
3
5
1
3
1
C
3
3
1
3
3
3
1
5
3
1
3
5
3
1
5
A
3
1
3
3
1
3
3
3
3
1
3
3
3
3
3
daging
B
3
5
3
1
3
3
3
1
3
1
3
1
3
3
1
C
1
1
3
3
1
3
3
3
1
3
3
1
1
1
3
A
3
3
3
1
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1
1
tekstur
B
3
3
3
1
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1
1
C
3
3
5
1
3
1
5
5
3
3
1
5
3
5
3
A
5
3
1
3
5
3
3
1
3
3
5
1
5
3
1
bau
B
1
1
3
3
1
3
3
3
1
3
3
1
1
1
3
C
3
3
3
1
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1
1
A
3
3
3
1
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1
1
B
3
1
3
3
1
3
3
5
3
3
3
5
3
1
5
Lendir permukaan
badan
A
B
C
C
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
3
3
3
3
3
3
5
1
3
5
3
3
1
3
3
3
1
3
3
3
1
3
1
3
5
3
5
3
5
3
1
5
1
3
5
1
1
3
3
1
3
3
3
1
3
3
1
1
1
3
3
3
3
1
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1
1
71
Lampiran 4 data mentah nilai TPC ikan gurami pada tiap fase
fase post
mortem
sampel
A
pre-rigor
B
C
A
rigor
B
C
A
post-rigor
B
C
A
busuk
B
C
ulangan
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
10-1 10-2
107
34
126
30
113
43
124
32
115
30
117
33
10-3
96
84
101
72
94
89
penegenceran
10-4 10-5
10-6
10-7
10-8
31
36
35
42
30
30
104
93
96
84
110
85
54
39
35
37
41
56
154
146
132
97
119
124
53
72
66
50
45
43
nilai TPC
log TPC
1,2X103
3,079
1,2X103
3,079
1,2X103
3,079
9,0X104
4,954
8,7X104
4,939
9,2X104
4,964
9,9X106
6,996
9,0X106
6,954
9,8X106
6,991
1,5X109
9,176
1,2X109
9,079
1,2X109
9,079
umur panen
7bulan1tahun
umur panen
1,5-2tahun
umur panen
2,5-3tahun
prerigor
rigor
postrigor
busuk
fase
11
Mean Square
11,070
868,410
868,410
,025
,013
F
3173,606
248955,77
6
3,647
121,713
40,571
11630,909
,000
,034
,006
1,608
,228
Error
,042
12
,003
Total
990,224
24
Intercept
umur
fase
umur * fase
df
Sig.
,000
,000
,058
Corrected Total
121,814
23
a R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)
Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 3,647>0,58)
Artinya
TPC
Duncan
umur
Subset
1
5,98038
6,00675
Sig.
6,00675
6,05875
,389
,104
TPC
Duncan
fase
Subset
prerigor
rigor
postrigor
busuk
Sig.
1
3,08133
4,92950
6,92533
9,12500
1,000
1,000
1,000
1,000
Alpha = ,05.
ANOVA
TPC
Sum of
Squares
121,772
Between Groups
Within Groups
Total
df
11
Mean Square
11,070
,042
12
,003
121,814
23
F
3173,606
Sig.
,000
TPC
Duncan
Subset for alpha = .05
interaksi
u3f1
1
3,04950
u2f1
3,06400
u1f1
3,13050
u1f2
4,89750
u2f2
4,92900
u3f2
4,96200
u2f3
6,85400
u3f3
6,94100
u1f3
6,98100
u2f4
9,07450
u3f4
9,07450
u1f3
Sig.
9,22600
,216
,319
,063
1,000
1,000
Source
Corrected Model
11
Mean Square
,267
1020,250
1020,250
umur
,016
fase
2,903
Intercept
df
Sig.
,000
,008
F
66,487
254004,05
0
1,954
,968
240,874
,000
,804
,586
umur * fase
,019
,003
Error
,048
12
,004
Total
1023,235
24
,000
,184
Corrected Total
2,986
23
a R Squared = ,984 (Adjusted R Squared = ,969)
Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 1,954>0,184)
pH
Duncan
Subset
umur
umur panen 1,5-2tahun
N
8
1
6,48750
6,52250
6,55000
Sig.
,084
Alpha = ,05.
fase
pH
Duncan
fase
Subset
1
postrigor
rigor
6,64333
busuk
6,70000
prerigor
Sig.
5,92667
6,81000
1,000
,147
1,000
Alpha = ,05.
ANOVA
pH
Sum of
Squares
2,938
Between Groups
Within Groups
Total
df
11
Mean Square
,267
,048
12
,004
2,986
23
F
66,487
Sig.
,000
pH
Duncan
Interaksi2
1
5,92000
11
5,92000
5,94000
10
6,62000
6,64000
6,67000
6,68000
12
6,70000
6,71000
6,71000
6,72000
6,72000
Sig.
6,85000
6,85000
6,87000
,769
,181
,057
,758
11
Mean Square
129,436
6360,922
6360,922
4201,771
,000
2,941
1,471
,971
,406
1411,795
470,598
310,859
,000
9,064
1,511
,998
,469
Error
18,166
12
1,514
Total
7802,888
24
Intercept
umur
fase
umur * fase
df
F
85,501
Sig.
,000
Corrected Total
1441,966
23
a R Squared = ,987 (Adjusted R Squared = ,976)
Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 0,971>0,406)
TVB
Duncan
Subset
umur
umur panen 2,5-3tahun
N
8
1
15,78500
16,52000
16,53500
Sig.
,269
Alpha = ,05.
TVB
Duncan
fase
Subset
prerigor
rigor
postrigor
busuk
Sig.
1
7,28000
10,68000
20,72000
26,44000
1,000
1,000
1,000
1,000
Alpha = ,05.
TVB
Duncan
Subset for alpha = .05
interaksi3
u1f1
1
7,28000
u2f1
7,28000
u3f1
7,28000
u1f2
10,64000
u2f2
10,70000
u3f2
10,70000
u1f3
20,72000
u2f3
20,72000
u3f3
20,72000
u3f4
u1f4
u2f4
Sig.
24,44000
27,44000
27,44000
1,000
,964
1,000
1,000
1,000
Source
Corrected Model
Intercept
umur
fase
df
11
Mean Square
,548
14,614
14,614
,160
,080
5,845
1,948
umur * fase
,026
,004
Error
,000
12
1,32E-005
Total
20,646
24
F
41643,020
1109930,3
29
6074,975
147974,31
2
333,388
Sig.
,000
,000
,000
,000
,000
Corrected Total
6,031
23
a R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)
Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel)
Katepsin
Duncan
umur
Subset
1
,68325
,77475
,88300
Sig.
1,000
1,000
1,000
Alpha = ,05.
Katepsin
Duncan
fase
Subset
prerigor
rigor
busuk
postrigor
Sig.
1
,28867
,44433
,82200
1,56633
1,000
1,000
1,000
1,000
Alpha = ,05.
Source
Corrected Model
11
Mean Square
,001
5,648
5,648
umur
,001
,000
F
75,270
485876,16
1
32,591
fase
,009
,003
250,814
,100
umur * fase
,000
2,00E-005
1,724
,119
Error
,000
12
1,16E-005
Total
5,658
24
Intercept
df
Sig.
,000
,000
,405
Corrected Total
,010
23
a R Squared = ,986 (Adjusted R Squared = ,973) Hipotesa
Ho= Paling tidak sedikitnya ada satu perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
H1= Tidak ada satupun perlakuan yang mempengaruhi hasil analisis ragam
Kesimpulan : Gagal tolak Ho (Fhit > F tabel, 32,591>0,405)
KonsProt
Duncan
umur
Subset
1
,47938
,48325
,49275
Sig.
1,000
1,000
1,000
Alpha = ,05.
KonsProt
Duncan
fase
Subset
1
,45867
prerigor
busuk
,48267
rigor
,48667
postrigor
Sig.
,51250
1,000
,065
1,000
Alpha = ,05.
ANOVA
KonsProt
Sum of
Squares
,010
Between Groups
df
11
Mean Square
,001
,000
Within Groups
,000
12
Total
,010
23
F
75,270
Sig.
,000
KonsProt
Duncan
interaksi
5
u3f1
u2f1
u1f1
u3f4
u2f4
u3f2
u2f2
u1f4
u1f2
u3f3
u2f3
u1f3
Sig.
1
,45650
,45750
,46200
,47650
,47950
,48150
,47950
,48150
,48450
,150
,188
,188
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
,49200
,49400
,50300
,51150
,568
1,000
1,000
,52300
1,000
Lampiran 10 a. Data mentah nilai pH, TVB, Assay aktivitas katepsin dan
konsentrasi protein katepsin ikan gurami
Sampel
TVB
pH
A
B
C
A
B
C
A
B
C
A
B
C
7,28
7,28
7,28
10,64
10,64
10,64
20,72
20,72
20,72
27,44
27,44
27,44
6,87
6,85
6,85
6,67
6,64
6,62
5,94
5,92
5,92
6,72
6,68
6,70
Aktivitas
Katepsin
0,333
0,300
0,233
0,533
0,433
0,367
1,733
1,533
1,333
0,933
0,833
0,700
Konsentrasi
Protein
0.462
0.459
0.457
0.494
0.485
0.481
0.523
0.512
0.503
0.492
0.48
0.477
OD
0.317
0.324
0.326
0.327
0.331
0.334
0.336
0.34
0.343
0.345
0.35
y = 0.1176x + 0.3161
R2 = 0.9844
0.345
0.34
0.335
0.33
0.325
0.32
0.315
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3