Anda di halaman 1dari 4

IRWAN ROMADON ( M0212046)

Kisruh DPRD vs Ahok


Belakangan ini, muncul masalah baru di pemerintahan
Indonesia. Pengangkatan mantan wakil Gubernur Jakarta menjadi
Gubernur Jakarta disertai dengan adanya kisruh antara kubu DPRD
dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai
Gubernur DKI Jakarta bisa menjadi masalah karena adanya
penafsiran yang berbeda terhadap pasal-pasal dalam Perpu Nomor 1
Tahun 2014. Di satu sisi Kemendagri menganggap bahwa Ahok bisa
otomatis diangkat menjadi Gubernur berdasarkan ketentuan Pasal
203 Perpu Nomor 1 Tahun 2014.
Namun di sisi lain, menurut Dewan Pembina Partai Gerindra,
Sufmi Dasco Ahmad, bisa disimpulkan berbeda jika kita mengacu
pada pasal 174 ayat (2). Pasal 203 Perpu Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota berbunyi:
Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan
Wakil Wali Kota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
sampai dengan berakhir masa jabatannya.
Sementara Pasal 174 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2014
yang berbunyi:Apabila sisa masa jabatan Gubernur berhenti atau
diberhentikan

berdasarkan

putusan

pengadilan

yang

telah

mempunyai kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan lebih dari

18 (delapan belas) bulan maka dilakukan Pemilihan Gubernur


melalui DPRD Provinsi.
Menurut Sufmi, ada tiga masalah hukum yang membuat pasal
203 ini sulit diterapkan dalam kasus penggantian Jokowi. Masalah
pertama, Jokowi-Ahok tidak diangkat berdasarkan atau setidaktidaknya tidak hanya berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah. Mereka diangkat berdasarkan UU
Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Masalah kedua, Pasal 203 yang merupakan pasal peralihan
sama

sekali

tidak

menyebutkan

bahwa

pasal

tersebut

mengesampingkan ketentuan pasal 174 ayat (2).


Padahal, perkara yang diatur dalam kedua pasal tersebut
adalah sama. Menurut Sufmi, bagaimana mungkin ada dua pasal
berbeda yang mengatur masalah yang sama tanpa adanya penegasan
bahwa dalam kasus tertentu ketentuan salah satu pasal tidak berlaku.
Lazimnya, jika pasal peralihan dimaksudkan untuk membuat
pengecualian, maka pembuat UU secara tegas mengatakan bahwa
pasal yang berlaku umum tidak berlaku atau dikesampingkan untuk
kasus-kasus tertentu. Hal ini bisa dilihat dalam pasal-pasal peralihan
di UU lain seperti UU PTUN Nomor 5 Tahun 1986, UU
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, UU Nomor 23 Tahun 2003
Tentang Perlindungan Anak dan lain-lain.

Masalah ketiga, terang Sufmi, adalah frasa "gubernur


berhenti" yang ada dalam Pasal 174 ayat (2) lebih mengena ke kasus
penggantian Jokowi dibandingkan dengan frasa "kekosongan
gubernur" sebagaimana tercantum dalam Pasal 203. Jokowi secara
tegas menyatakan mundur atau berhenti sebagai Gubernur pada saat
menyampaikan pidato di rapat paripurna DPRD DKI.
Adanya dua penafsiran yang berbeda terhadap Perpu yang
sama ini dapat dikategorikan sebagai konflik hukum. Saya
menyarankan Kemendagri berkonsultasi lebih dahulu dengan MK
dan meminta MK membuat penafsiran Perppu tersebut, ulasnya.
Permintaan pendapat MK, sambung dia, pernah terjadi pada
saat KPU bingung dalam menafsirkan Pasal 149 UU Pilpres. Pada
saat itu ada dua pendapat yang berbeda soal berapa putaran Pilpres
dilaksanakan mengingat pesertanya hanya dua pasangan calon.
Masyarakat merasa prihatin situasi politik di DKI Jakarta,
karena sudah berimbas dalam pelaksanaan pembangunan. Pertama,
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Wakil Gubernur DKI jakarta,
sejatinya

sudah

dilantik

menjadi

Gubernur

DKI

Jakarta

menggantikan Presiden Jokowi, tetapi kisruh politik antara DPRD


Versus Ahok menyebabkan hal itu belum terlaksana. Kisruh tersebut
telah

menghambat

pengesahan

APBD

Perubahan

dan

pelaksanaannya.
Kedua, masyarakat DKI Jakarta yang tergabung dalam
Koalisi Masyarakat Jakarta (KMJ) menolak Ahok dilantik menjadi

Gubernur DKI Jakarta. Untuk mewujudkan penolakan, mereka menggelar


demo besar-besaran di halaman gedung DPRD DKI dan di Balai Kota,
tempat berkantornya PLT Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kisruh politik
diprediksi akan semakin bertambah setelah Koalisi Merah Putih
diresmikan pembentukannya di DKI Jakarta pada 11/11/2014.
Ketiga, anggota DPRD DKI Jakarta dari Koalisi Merah Putih akan
semakin solid menolak pelantikan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Secara yuridis, setelah Jokowi dilantik menjadi Presiden RI otomatis
Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan
Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Akan tetapi, lawan politik Ahok
mencari segala macam alasan untuk menggagalkan pelantikan Ahok
menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Keempat, Ahok secara politik dalam posisi sulit karena tidak
memiliki dukungan politik di DPRD DKI Jakarta, setelah mengundurkan
diri sebagai kader Partai Gerindra. Kondisi ini dimanfaatkan lawan
politik Ahok di DPRD DKI dan di dalam masyarakat untuk melengserkan
Ahok.
Solusi yang dapat dilakukan antara lain: Pertama, DPRD DKI
sebaiknya segera duduk dengan Basuki Tjahaja Purnama, PLT Gubernur
DKI Jakarta untuk membicarakan solusi politik. Kedua, harus segera
mengesahkan APBD Perubahan agar dampak negatif yang ditimbulkan
dari kisruh politik bisa dieliminir. Ketiga, DPRD DKI Jakarta sebaiknya
segera bermusyawarah mencari titik temu. Keempat, DPRD DKI Jakarta
tidak boleh mengulur waktu dalam menyelesaikan masalah Ahok. Dan
yang terakhir, DPRD DKI Jakarta harus berani mengambil resiko dalam
mengambil keputusan, demi kebaikan dan kemajuan DKI Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai