Anda di halaman 1dari 37

8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Hukum PLTA/ PLTM
Banyak perusahaan swasta telah memulai usaha di bidang PLTA terutama di
bidang mini hidro saat ini. Hal ini didorong terutama karena adanya Permen ESDM
(Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral) No. 31 tahun 2009 di mana tertulis
pada pasal 1 bahwa, PT. PLN (Persero) wajib membeli tenaga listrik dari energi
yang terbarukan skala kecil sampai menengah hingga 10 MW, dari Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), milik swasta, koperasi ataupun swadaya masyarakat. Energi
terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber daya yang tidak akan habis dan
tidak terbatas, contohnya energi angin, matahari, tenaga air, sampah atau buangan
dari hasil pertanian atau industri, sampah kota, dan sumber panas dari tumbuh
tumbuhan (dendrothermal sources) atau panas bumi.

2.1.1 Kelebihan dan Kekurangan PLTA


Asteriyadi dan Adikesuma (2007) menguraikan kelebihan dari PLTA adalah
sebagai berikut:
1. Mengunakan sumber daya yang terbarukan (renewable energy)
2. Relatif tidak menimbulkan kerusakan lingkungan
3. Tidak memerlukan bahan bakar
4. Operasi dan perawatannya relatif lebih mudah
5. Pengembangan suatu PLTA dengan memanfaatkan aliran sungai akan
memberikan manfaat atau keuntungan dari segi lainnya, seperti pariwisata,
perikanan, persediaan air bersih/minum, irigasi, dan pengendalian banjir.
6. Turbin PLTA dapat dioperasikan atau dihentikan pengoperasiannya setiap
saat. Hal yang tidak dapat dilakukan pada pembangkit lain karena akan
mengakibatkan pemborosan dalam pemakaian bahan bakar.

Universitas Sumatera Utara

7. Dengan kemampuannya untuk melepaskan dan memikul beban, PLTA dapat


difungsikan sebagai cadangan yang dapat diandalkan pada sistem kelistrikan
terpadu antara PLTA, PLTU, PLTN, dan lain-lain.
8. Air yang digunakan tidak hilang, melainkan langsung dikembalikan ke sungai
asalnya, sehingga tidak mengganggu daerah hilir sungai.
Sedangkan kekurangan dari PLTA adalah:
1. Pembangunannya memerlukan dana yang cukup besar dan pengembalian
modal relatif lambat.
2. Persiapannya memerlukan waktu yang relatif lama.
3. PLTA sangat bergantung pada ketersediaan air sungai, sehingga harus tetap
menjaga daerah tangkapan air.
4. PLTA yang menggunakan waduk akan menenggelamkan lahan di sekitar
pembangunan waduk tersebut.
2.2 Klasifikasi PLTA
Pembagian PLTA dapat dikelompokkan menjadi berbagai jenis PLTA yaitu
sebagai berikut:
A. Pembagian Menurut Daya yang Dihasilkan
Menurut Mosonyi (1963) yang dikutip dari Asteriyadi dan Adikesuma (2007),
pembagian PLTA berdasarkan kapasitas pembangkit dibagi menjadi 4, yaitu PLTA
berukuran mikro dengan daya < 100 kW, PLTA dengan daya kapasitas listrik rendah
antara 1001.000 kW, PLTA dengan daya kapasitas listrik menengah antara 1.000
10.000 kW, dan PLTA dengan daya kapasitas listrik tinggi di atas 10.000 kW.
Menurut Harvey (1993), PLTA dibagi menjadi tiga, yaitu mikro hidro antara
0300 kW, mini hidro antara 300-10.000 kW, dan PLTA dengan daya listrik diatas
10.000 kW.

B. Pembagian Menurut Cara Pengambilan Air


Jenis PLTA menurut cara pengambilan air yaitu:

Universitas Sumatera Utara

10

1. PLTA menggunakan run off river

Gambar 2.1: PLTA Parlilitan yang menggunakan sistem run off river dengan
kapasitas daya 10 MW
PLTA ini bersifat mengambil air dari sungai dalam debit tertentu dengan
menggunakan bendung (weir) dengan cara membelokkan air ke dalam intake.
Atau bisa dikatakan hanya meminjam air sungai dalam beberapa waktu untuk
dialirkan menuju turbin air (Gambar 2.1).
2. PLTA menggunakan tampungan
PLTA seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 yang merupakan bendungan
PLTA Three Gorges di Cina menggunakan bendungan pada suatu sungai
hingga ketinggian tertentu yang kemudian mengalirkan air dari bawah
bendungan yang kemudian diteruskan ke power house untuk menghasilkan
listrik. PLTA jenis ini memiliki kelemahan dalam bidang sosial lingkungan,
yaitu adanya relokasi penduduk dalam skala besar dan menghilangkan
ekosistem yang ada pada daerah PLTA.
PLTA Three Gorges memiliki tinggi bendung 185 meter, lebar 2,09 km dan
membentuk tampungan sepanjang 595 km yang dapat menampung lebih dari
5 triliun galon air. PLTA Three Gorges dikerjakan selama 15 tahun dan
menghasilkan daya 20,3 GW.

Universitas Sumatera Utara

11

Gambar 2.2: PLTA Three Gorges di Cina yang menggunakan tampungan dengan
kapasitas daya 20,3 GW (Shalahuddin, 2010)
3. PLTA semi run off river
PLTA tipe ini hampir sama dengan sistem run off river tapi bedanya
menggunakan kolam tando harian (KTH) yang bertujuan untuk menyimpan
air pada saat tertentu. Kolam tando harian ini yang tidak dimiliki oleh PLTA
dengan sistem run off river. Sehingga kolam tando harian tersebut bisa
digunakan untuk menampung debit dua sungai sekaligus. Jadi misal pada
waktu malam hari dibutuhkan daya yang besar maka air yang tersedia bisa
untuk memutar turbin yang ada. Akan tetapi pada waktu siang hari dimana
ratarata kebutuhan listrik lebih sedikit dibanding pada malam hari, maka
KTH ini digunakan untuk menampung debit air dalam jumlah cukup besar.
Contohnya PLTA Kracak yang berada di provinsi Jawa Barat (Gambar 2.3).
PLTA Kracak yang berkapasitas daya 18,9 MW (3 x 6,3 MW) dibangun oleh
Pemerintah Belanda pada tahun 1921 dan mulai beroperasi pada tahun 1926
dengan memanfaatkan dua aliran sungai yaitu Sungai Cianten dan Sungai
Cikuluwung. Kedua aliran sungai tersebut ditampung di suatu KTH yang
kemudian dialirkan menuju rumah turbin melalui pipa pesat.

Universitas Sumatera Utara

12

Gambar 2.3: PLTA Kracak yang menggunakan sistem semi run off river
dengan kapasitas daya 18,9 MW
4. PLTA danau
PLTA jenis ini menggunakan danau sebagai kolam tampungan dan sediment
trap. Sehingga dari hulu sungai bisa langsung digunakan sebagai penstock
menuju power house. Contoh kasus seperti PLTA Tangga yang menggunakan
Danau Toba sebagai tampungan air (Gambar 2.4).

Gambar 2.4: PLTA Tangga yang menggunakan Danau Toba sebagai kolam
tampungan

Universitas Sumatera Utara

13

C. Pembagian Menurut Tinggi Jatuhnya Air


Menurut Dandekar dan Sharma (1991), PLTA dibagi menurut perbedaan
tinggi jatuhnya dibagi atas PLTA dengan tekanan rendah < 15 meter, PLTA dengan
tekanan menengah 1570 meter, PLTA dengan tekanan tinggi 70-250 meter, dan
PLTA dengan tekanan sangat tinggi > 250 meter.
D. Pembagian Menurut Topografi
Pembagian ini adalah menurut letak PLTA yang bersangkutan yaitu di daerah
lembah, daerah berbukit, dan daerah bergununggunung.
E. Pembagian Menurut Bangunan Hidraulik
Menurut Patty (1995), pengelompokan PLTA berdasarkan keadaan hidraulik
yang ditinjau dari aliran air yang digunakan untuk menggerakkan turbin. Berdasarkan
hal tersebut pengelompokan dapat dibagi atas PLTA yang menggunakan air sungai
atau air waduk, PLTA yang menggunakan pasang surut air laut, PLTA yang
menggunakan energi ombak, dan PLTA yang menggunakan air yang telah dipompa
ke suatu reservoar yang letaknya lebih tinggi.
F. Pembagian Menurut Distribusi Jaringan
Menurut Patty (1995), PLTA dapat dibagi menjadi PLTA yang bekerja sendiri
sehingga tidak dihubungkan dengan sentralsentral listrik yang lain, dan PLTA yang
bekerja sama dengan sentral-sentral listrik yang lain dalam pemberian listrik kepada
para pemakai.
2.3 Potensi Tenaga Air di Indonesia
Potensi tenaga air di Indonesia secara teoritis menurut hasil studi yang
dilakukan pemerintah sekitar 77.854,8 MW yang tersebar di seluruh Indonesia (Tabel
2.1), terutama di lima pulau besar, dengan perincian sebagai berikut (Patty, 1995).
Pulau Jawa: 5 % sebesar 4.421,6 MW,
Pulau Sumatra: 20 % sebesar 15.803,5 MW,
Pulau Kalimantan: 30 % sebesar 23.052,8 MW,

Universitas Sumatera Utara

14

Pulau Sulawesi: 15 % sebesar 11.378,5 MW,


Pulau Irian: 28 % sebesar 22.157,4 MW,
Lain-lain: 2 %.
2.4. Infrastruktur Utama yang Ada di PLTM
Infrastruktur utama seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 merupakan
bagian terpenting dalam perencanaan PLTM dengan diperlukannya beberapa
parameter seperti debit banjir, debit andalan dan keadaan geologi tanah. Infrastruktur
utama suatu PLTM terdiri dari tiga bagian besar, yaitu:
Pekerjaan bendung (Weir )
Bangunan yang terdapat pada pekerjaan ini adalah bendung dan bangunan
sadap/ intake. Bendung digunakan sebagai pembelok aliran sungai juga untuk
menaikkan tinggi jatuh air. Sedangkan intake berfungsi sebagai pintu masuk
pengatur jumlah debit air yang masuk ke saluran air. Selain itu, juga berfungsi
sebagai pintu pertama untuk menghalangi sampah sedimen yang masuk.
Pekerjaan saluran air
Pada bagian saluran air terdapat bangunan penangkap pasir/ sand trap, saluran
penghantar/ waterway, bangunan penenang/ head pond, dan pipa pesat/
penstock. Biasanya dalam suatu pekerjaan bagian ini adalah yang paling
panjang dari yang lainnya. Pada bagian waterway, saluran yang didesain dapat
berupa saluran terbuka atau tertutup, tergantung pada topografi, desain dan
kebutuhan PLTM.
Pembangunan Power House
Power house atau rumah turbin merupakan bagian terakhir dari suatu PLTA.
Di bangunan ini terdapat turbin air, generator, panel-panel listrik dan saluran
pembuangan air/ tail race. Tail race berguna sebagai bangunan pembuang air
ke sungai asal yang berasal dari turbin. Selain power house, juga terdapat
bagian transmisi dan gardu induk yang letaknya terpisah dengan rumah turbin.

Universitas Sumatera Utara

15
Tabel 2.1: Potensi tenaga air di Indonesia
PLN WILAYAH

Jumlah
PLTA

Beroperasi
Kapasitas
Terpasang
(MW)

Energi
Setahun
(GWh)

Tahap Pengembangan
Kapasitas
Energi
Jumlah
Terpasang Setahun
PLTA
(MW)
(GWh)
4

Jumlah
PLTA

Studi Peta
Kapasitas
Terpasang
(MW)

Energi
Setahun
(GWh)

Perkiraan
Kapasitas
Energi
Terpasang Setahun
(MW)
(GWh)
10

11

Jumlah
PLTA
1+4+7

Jumlah Potensi
Kapasitas
Energi
Terpasang
Setahun
(MW)
(GWh)
2+5+8+10

3+6+9+11

I. Aceh

141

4980.2

25517.2

141

4980.2

25517.2

II. Sumatera Utara


III. Sumatera
Barat, Riau
IV. Sumatera
Selatan, Jambi,
Lampung, dan
Bengkulu
V. Kalimantan
Barat
VI. Kalimantan
Tengah, Selatan,
dan Timur

286.2

1868

797.2

4913

107

2920.2

15998.7

113

4003.6

22779.7

10.8

22.4

468

1821

97

3159.9

16569.2

104

3638.7

18412.6

1.4

6.2

57

193.5

103

3112.4

17661.3

108

3170.8

17861

30

235

84

5607.5

26240.9

85

5637.5

26475.9

30

136

42

152

91

8314.3

44184.9

9029

44052

93

17415.3

88524.9

VII. Sulawesi
Utara dan Tengah
VIII. Sulawesi
Selatan dan
Tenggara

14.7

59.1

16.6

90

57

2722.1

15474.2

1360

6983

61

4113.4

22606.3

166.7

687.5

262.7

1076.9

55

4843.7

23381.9

2001

10197

60

7274.1

35343.3

IX. Maluku

53

411.6

2162.8

53

411.6

2162.8

X. Irian Jaya
XI. Nusa
Tenggara

0.1

0.5

13.5

61

206

21915.8

130073.7

192

912

208

22121.4

131047.2

XII. Jawa Timur


XIII. Jawa Tengah
XIV. Jawa Barat
TOTAL

0.3

1.4

120

620.4

3226.2

123

620.7

3227.6

10

205.5

843.6

33.5

112.6

32

295.6

1552.9

44

534.6

2509.1

41.7

168.7

445.4

1184.8

35

385.4

1916.9

49

872.5

3270.4

10

241.6

1135.4

1211.3

3355.5

57

1561.6

8525.5

71

3014.5

13016.4

48

999

4928.8

27

3377.2

13195.3

1238

60850.7

332486.3

12582

62144

1313

77808.9

412754.4

Sumber: Patty (1995)

15
Universitas Sumatera Utara

16

AIR SUNGAI
BENDUNGAN / WEIR

PENANGKAP PASIR/ SAND TRAP

SALURAN AIR / WATER WAY

HEADPOND / BAK PENENANG

PIPA PESAT/ PENSTOCK


MENGUBAH ENERGI POTENSIAL
MENJADI LISTRIK

RUMAH TURBIN

TAIL RACE
DISTRIBUSI LEWAT GARDU PLN
TERDEKAT

Gambar 2.5: Diagram uraian kerja PLTM

2.5 Analisa Hidrologi


Tujuan analisa hidrologi adalah mendapatkan debit maksimum sungai pada
lokasi pengukuran pada saat survei lapangan. Biasanya pengukuran debit dilakukan
dekat stasiun AWLR atau staff gauge di mana tinggi muka air sungai diamati dan
dicatat secara teratur. Staff gauge diperlukan untuk menghubungkan debit yang
diukur dengan suatu ketinggian yang diketahui sehingga data debit dapat dipakai
dalam analisa.
Adapun langkah-langkah dalam analisa hidrologi adalah:
1. Menentukan DAS beserta luasnya.
2. Menentukan luas pengaruh daerah stasiun-stasiun penakar hujan sungai.

Universitas Sumatera Utara

17

3. Menentukan curah hujan maksimum tiap tahunnya dari data curah hujan yang
ada.
4. Menganalisa curah hujan rencana dengan periode ulang T tahun.
5. Menghitung debit banjir rencana berdasarkan besarnya curah hujan rencana di
atas pada periode ulang T tahun.
2.5.1 Hujan Wilayah (Area Rainfall)
Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang
terjadi pada satu titik atau satu tempat saja. Mengingat hujan yang bervariasi terhadap
suatu lokasi penelitian, maka untuk kawasan yang luas satu alat penakar hujan
tidaklah cukup untuk menggambarkan curah hujan wilayah tersebut, oleh karena itu
di berbagai tempat pada daerah aliran sungai tersebut dipasang alat penakar hujan.
Beberapa metode untuk mendapatkan curah hujan ratarata daerah adalah
dengan cara ratarata aritmatik, cara poligon Thiessen dan cara Isohyet.
a. Cara rata-rata aljabar
Cara ini adalah yang paling sederhana yaitu dengan menghitung penjumlahan
curah hujan dari semua tempat pengukuran selama satu periode tertentu dan
membaginya dengan banyaknya tempat pengukuran seperti yang tergambar di
Gambar 2.6. Zulfikar (2007) menggunakan cara ini untuk menghitung curah
hujan DAS Meurebo di kabupaten Aceh Barat. Jika dirumuskan adalah
sebagai berikut:

R R 2 R 3 ... R n
R 1
n

(2.1)

di mana, R = curah hujan rata-rata (mm), R1...R n = besar curah hujan pada
masingmasing stasiun (mm), dan n = banyaknya stasiun hujan. Gambar 2.6
menerangkan sketsa metode rata-rata aljabar.

Universitas Sumatera Utara

18

Posisi stasiun
hujan

2
1

Luas
DAS

Gambar 2.6: Sketsa stasiun curah hujan cara rata-rata hitung


b. Cara poligon Thiessen
Cara poligon Thiessen memperhitungkan luas daerah yang mewakili dari stasiunstasiun hujan yang ada untuk digunakan sebagai faktor bobot dalam perhitungan
curah hujan rata-rata. Stasiun hujan yang digunakan minimal tiga stasiun hujan
yang berada di sekitar DAS dan tidak memperhitungkan topografi. Sutarto
(2008) menggunakan cara poligon Thiessen didasarkan pada kondisi daerah
pengaliran Sungai Bekasi yang berbukit-bukit dan pembagian batas poligonnya
tidak berubah, sehingga setiap stasiun hujan berada dalam garis poligon yang
mewakili daerah pengaruhnya. Sungai Bekasi yang melewati Kota Bekasi
memiliki tiga buah stasiun hujan di sekitar DAS. Gambar 2.7 menerangkan
sketsa untuk Poligon Thiessen.

A 1 R 1 A 2 R 2 A 3 R 3 ... A n R n
A 1 A 2 A 3 ... A n

A1 R 1 A 2 R 2 A 3 R 3 ... A n R n
A
(2.2)

R R 1 W1 R 2 W2 ... R n Wn

di mana, A= luas DAS (km2), R = curah hujan rata-rata (mm) dan R1 = curah
hujan masing-masing stasiun (mm), dan W1...Wn = faktor bobot masing-masing
stasiun yaitu persentase daerah pengaruh terhadap luas keseluruhan.

Universitas Sumatera Utara

19

Posisi stasiun
hujan
Garis yang menghubungkan
stasiun hujan

Luas DAS
3

Garis titik berat

Gambar 2.7: Sketsa untuk cara poligon Thiessen


c. Cara Isohyet
Isohyet adalah garis lengkung yang merupakan harga curah hujan yang sama.
Umumnya sebuah garis lengkung menunjukkan angka yang bulat. Isohyet ini
diperoleh dengan cara interpolasi harga-harga curah hujan yang tercatat pada
penakar hujan lokal (Rnt). Gambar 2.8 menjelaskan pembagian daerah isohyet.

X1

ab
bc
cd
de
; X2
; X3
; X4
2
2
2
2

(2.3)

di mana, X1 = nilai rerata antara dua garis isohyet.

Gambar 2.8: Pembagian daerah isohyet

Universitas Sumatera Utara

20

2.5.2 Uji Konsistensi Data Curah Hujan


Adanya perubahan atau pindah lokasi, penggantian alat serta penggantian
orang (pengamat) dapat menyebabkan data hujan tidak konsisten. Agar data hujan
menjadi konsisten diperlukan pengujian.
Pada dasarnya metode-metode pengujian tersebut merupakan perbandingan
data stasiun yang bersangkutan dengan data stasiun lain di sekitarnya. Bagi stasiun
yang terletak dengan meteorologi homogen, perubahan meteorologi tidak akan
menyebabkan perubahan kemiringan garis hubungan antara data stasiun tersebut
dengan data stasiun disekitarnya, karena stasiun-stasiun lainnya pun akan ikut
terpengaruh kondisi yang sama. Konsistensi data-data hujan bagi masing-masing
stasiun dasar (stasiun yang akan digunakan untuk menguji) harus diuji terlebih dahulu
dan yang menunjukkan catatan yang tidak konsisten tidak bisa digunakan dalam
penelitian.
Jika tidak ada stasiun yang bisa dijadikan stasiun dasar atau tidak terdapat
catatan historis mengenai perubahan data, maka analisa awal terhadap data adalah
menghapus data-data yang dianggap meragukan. Untuk memeriksa konsistensi data
hujan, bisa digunakan metode analisa kurva massa ganda (double mass curve
technique). Analisa kurva massa ganda dilakukan dengan cara membandingkan data
hujan tahunan kumulatif di suatu pos hujan tertentu dengan data hujan tahunan
kumulatif dari pos-pos terdekat. Analisa kurva massa ganda dapat dituliskan sebagai
berikut:
M

PCX PX

c
MA

(2.4)

di mana, PCX = data curah hujan tahunan yang terkoreksi pada tahun t di pos x, PX =
data awal hujan tahunan pada tahun t di pos x, MC = slope terkoreksi kurva, dan MA =
slope awal kurva.

2.5.3 Distribusi Frekuensi


Distribusi frekuensi yang dipakai harus dapat mewakili data histories yang
ada. Berdasarkan karakteristik data hujan, distribusi yang cocok dapat ditentukan.

Universitas Sumatera Utara

21

Jenis distribusi yang sering digunakan di Indonesia dengan persyaratannya adalah


sebagai berikut (Zulfikar, 2007).
Normal

Cs = 0 dan Ck = 3

Log Normal

Cs > 0, Cs 3 Cv

Gumbel Type I

Cs = 1,1396 dan Ck = 5,4002

Log Pearson Type III

tidak ada persyaratan

Cs = koefisien skewness, yang dapat dihitung sebagai :


n
3
n x x
i
C s i 1
n 1 n 2 S 3

(2.5)

Ck = kurtosis, yang dapat dihitung sebagai :


n
4
n2 x x
i1 i
C
k
n 1 n 2 n 3 S 4

(2.6)

Cv = koefisien variation, yang dapat dihitung sebagai :


S
Cv
x

(2.7)

di mana,

= rata-rata dan S = deviasi standar.

2.5.4 Analisa Frekuensi


Tujuan analisa frekuensi adalah memperkirakan besarnya hujan rencana
dengan periode ulang tertentu dari data hujan maksimum harian dengan
menggunakan distribusi frekuensi yang dipilih dari tahap sebelumnya (Sutarto, 2006)
Bila menggunakan distribusi Log Pearson Type III, persamaannya adalah
sebagai berikut:
logX T logX K T S

logx

(2.8)

di mana, XT = hujan rencana dengan periode ulang T tahun, Slogx = deviasi standar
hujan maksimum tahunan, dan KT = faktor frekuensi dari Log Pearson III, sebagai
fungsi dari koefisien Cs.

Universitas Sumatera Utara

22

2.5.5 Uji Kecocokan


Tiap distribusi akan memberikan hasil yang berbeda, karena itu diperlukan uji
kecocokan untuk menetukan distribusi mana yang memiliki deviasi terkecil dari data
yang ada. Terdapat dua metoda yang lazim digunakan yaitu Uji Chi-squared (c2) dan
Uji Kolmogorov-Smirnov.
A. Uji Chi-squared (2)
Statistik 2 dihitung dengan menggunakan persamaan berikut

k Oi Ei
2
E
i 1
i

(2.9)

n
k

(2.10)

di mana, k = jumlah kelas interval data, Oi = frekuensi yang diamati dalam kelas
interval I, dan Ei = frekuensi yang diharapkan dalam kelas interval i.
Derajat kebebasan ditentukan dari
Dk = k - u 1

(2.11)

di mana, u = 2 (distribusi normal). Bila nilai 2 hasil hitungan lebih kecil dari nilai
kritis 2 dalam Tabel 2.2, maka distribusi yang dipilih dapat digunakan.

Tabel 2.2: Nilai kritis Chi-squared


Dk
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

0.9
0.0158
0.2110
0.5840
1.0640
1.6100
2.2040
2.8330
3.2900
4.1680
6.1790

0.8
0.0642
0.4460
1.0050
1.6490
2.3430
1.0700
3.8220
4.5940
5.3800
6.1790

0.7
0.1480
0.7130
1.4240
2.1950
3.0000
3.8280
4.6710
5.5270
6.3930
7.2670

0.5
0.4550
1.3860
2.3660
3.3570
4.3510
5.3480
6.3460
7.3440
8.3430
9.3420

Nilai
0.3
1.0740
2.4080
3.6550
4.8780
6.0640
7.2310
8.3830
9.5240
10.6560
11.7810

0.2
1.6420
3.2190
4.6420
5.9890
7.2890
8.5590
9.8030
11.0300
12.2420
13.4420

0.1
2.7060
4.6050
6.2510
7.7790
9.2360
10.6450
12.0170
13.3620
14.6840
15.9870

0.05
3.8410
5.9910
7.8150
9.4880
11.0700
12.5920
14.0670
15.5070
16.9190
18.3070

0.01
6.6350
9.2100
11.3450
13.2770
15.0860
16.8120
18.4750
20.0900
21.6660
23.2090

Universitas Sumatera Utara

23

B. Uji Kolmogorov-Smirnov
Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk menghindari masalah kehilangan
informasi data akibat pengelompokan data kedalam kelas interval. Uji ini juga
dikenal sebagai uji non parametris sebab tidak menggunakan fungsi distribusi
tertentu.
Data mula-mula disusun dari besar ke kecil atau sebaliknya. Kemudian
probabilitas tiap data dihitung dengan persamaan Weibull sebagai berikut:

m
n 1

(2.12)

di mana, p = probabilitas (%), m = nomor urut data yang disusun, dan n = jumlah
total data. Nilai teoritis tiap probabilitas dihitung dengan menggunakan persamaan
yang sesuai dengan distribusinya. Dari kedua probabilitasnya, dicari nilai perbedaan
terbesar antara probabilitas yang diamati dan teoritis seperti dalam rumus berikut.
maximum

P teoritis Pemperis

(2.13)

Bila perbedaan terbesar kurang dari nilai kritis seperti pada Tabel 2.3, maka
distribusi yang dipilih dapat digunakan.
Tabel 2.3: Nilai kritis uji Smirnov-Kolmogorov
N

0.20
5
0.45
10
0.32
15
0.27
20
0.23
25
0.21
30
0.19
35
0.18
40
0.17
45
0.16
50
0.15
sumber: Soewarno (1995)

0.10
0.51
0.37
0.30
0.26
0.24
0.22
0.20
0.19
0.18
0.17

0.05
0.56
0.41
0.34
0.29
0.27
0.24
0.23
0.21
0.20
0.19

0.01
0.67
0.49
0.40
0.36
0.32
0.29
0.27
0.25
0.24
0.23

2.6 Debit Banjir


Banjir adalah terjadinya luapan air dari alur sungai. Banjir terjadi karena
volume air yang mengalir di sungai per satuan waktu melebihi kapasitas pengaliran

Universitas Sumatera Utara

24

alur sungai, sehingga menimbulkan luapan. Debit banjir adalah besarnya aliran
sungai yang diukur dalam satuan m3/ detik pada waktu banjir (Zulfikar, 2007). Debit
banjir rencana adalah debit yang dipakai untuk dasar perencanaan pengendalian
banjir, dan dinyatakan menurut kala ulang tertentu. Besarnya kala ulang ditentukan
dengan mempertimbangkan segi keamanan dengan resiko tertentu, serta kelayakan
baik ekonomis, teknis maupun lingkungan.

2.6.1 Metode Hidrograf Satuan


Hidrograf satuan adalah sebuah hidrograf aliran yang berlaku untuk suatu
lokasi pada sungai apabila terjadi hujan efektif sebesar satu satuan kedalaman hujan
selama satu satuan waktu. Analisa dimulai dengan cara melakukan analisis frekuensi
terhadap data curah hujan maksimum harian sehingga didapatkan besarnya curah
hujan dengan berbagai periode ulang. Besaran hujan tersebut kemudian dikurangi
dengan kehilangan akibat infiltrasi sehingga didapatkan hujan efektif. Hujan efektif
kemudian didistribusikan kedalam hujan jam-jaman berdasarkan pola hujan yang ada.
Sebuah hidrograf satuan dapat dibentuk berdasarkan karakteristik DAS. Hujan jamjaman kemudian dikalikan dengan hidrograf satuan untuk mendapatkan hidrograf
banjir rancangan.
Terdapat dua kelompok hidrograf satuan jika ditinjau dari data yang
dipergunakan dalam menurunkan hidrograf satuan yaitu:
1. Hidrograf satuan nyata.
2. Hidrograf satuan sintetis.
Hidrograf satuan nyata adalah hidrograf satuan yang diturunkan berdasarkan
data hujan dan data debit. Contoh metode yang dapat dipergunakan untuk
menurunkan hidrograf satuan nyata suatu DAS, di antaranya metode LK. Sherman
dan model Collins (Kamiana, 2011).
Jika tidak cukup tersedia data hujan dan data debit maka penurunan hidrograf
satuan suatu DAS dilakukan dengan cara sintetis yang kemudian disebut Hidrograf
Satuan Sintetis (HSS). Hidrograf satuan sintetis adalah hidrograf satuan yang
diturunkan berdasarkan data sungai DAS yang sama atau DAS yang berdekatan tetapi

Universitas Sumatera Utara

25

memiliki karakteristik yang sama. Terdapat beberapa model HSS, diantaranya HSS
Snyder, HSS Nakayasu, HSS SCS dan HSS Gama. Sutarto (2008) menggunakan cara
HSS Nakayasu dan HSS Snyder untuk perhitungan debit di Bekasi, Jawa Barat.
2.6.1.1 Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu
Nakayasu pada tahun 1950 telah menyelidiki hidrograf satuan (Gambar 2.9)
pada beberapa sungai di Jepang. Hasil penelitian dirumuskan dengan persamaan dan
tahapan perhitungan sebagai berikut:
a). Data yang ada untuk diproses R24 dalam mm, panjang sungai (L) dalam (km),
DAS (A) dalam km2.
b). Curah hujan efektif tiap jam (hourly of distribution of effective rainfall)
1. Rata-rata hujan dari awal hingga jam ke-T.

R
Rt 24
t

t
T

2/3

(2.14)

di mana, Rt = rerata hujan dari awal sampai jam ke t dalam mm/jam, T =


waktu hujan sampai jam ke t, dan R24 = curah hujan maksimum dalam 24
jam.
2. Distribusi hujan pada jam ke-T.
RT = t.Rt (t-1) . R (t-1)

(2.15)

di mana, RT = intensitas curah hujan pada jam t dalam mm/jam, dan R (t -1)
= rerata curah hujan dari awal sampai jam ke (t-1).
3. Hujan efektif
Re = f . RT

(2.16)

di mana, Re = curah hujan efektif sedangkan f = koefisien pengaliran


sungai. Nilai koefisien pengaliran dicantumkan dalam Tabel 2.4. Harga f
yang berbeda-beda umumnya disebabkan oleh topografi DAS dan
perbedaan penggunaan tanah.

Universitas Sumatera Utara

26

Tabel 2.4: Nilai koefisien limpasan/koefisien pengaliran

sumber: Takeda dan Sosrodarsono (2006)

c). Menentukan tp, t0,3 dan Qp


1. Waktu kelambatan (tg) , rumusnya:
tg = 0,4 + 0,058 . L ; untuk L > 15 km

(2.17)

tg = 0,21 . L 0,7 ; untuk L < 15 km

(2. 18)

2. Waktu puncak dan debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan:


tp = tg + 0,8 . Tr

(2.19)

3. Waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak:


t0,3 = . tg

(2.20)

4. Waktu puncak:
tp = tg + 0,8 . Tr

(2.21)

5. Debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut:


1
1
Q =
.A.R .
p 3,6
0 (0,3.t t
)
p
0,3

(2.22)

di mana, tg = waktu kelambatan (jam), L = panjang sungai (km), t0,3 =


waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak (jam), = koefisien
yang nilainya antara 1,5 3,0, tp = waktu puncak (jam), Qp = debit puncak
(m3/detik), A = luas DAS (km2), Tr = durasi hujan (jam), dan R0 = satuan
kedalaman hujan (mm).

Universitas Sumatera Utara

27

Gambar 2.9: Kurva yang digunakan dalam HSS Nakayasu (Soemarto, 1996)

2.6.2 Metode Mean Annual Flood (MAF)


Menurut Suwarno (1995), perkiraan debit puncak banjir tahunan ratarata,
berdasarkan ketersediaan data dari suatu DAS ditentukan dengan ketentuan:
1. Apabila tersedia data debit, minimal 10 tahun data runtut waktu, maka MAF
dihitung berdasarkan data serial debit puncak banjir tahunan.
2. Apabila tersedia data debit, kurang dari 10 tahun data runtut waktu, maka
MAF dihitung berdasarkan metode puncak banjir di atas ambang.
3. Apabila data DAS tersebut, belum tersedia data debit, maka MAF ditentukan
dengan persamaan regresi, berdasarkan data luas DAS , ratarata tahunan dari
curah hujan terbesar dalam satu hari, kemiringan sungai dan indeks dari luas
genangan seperti luas danau, genangan air, dan waduk.
Dari nilai MAF tersebut, berdasarkan nilai faktor pembesar (GF), maka dapat
diperhitungkan debit puncak banjir terbesar yang dapat diharapkan dapat terjadi.
Apabila data serial debit puncak banjir kurang dari 20 tahun, maka untuk menentukan
MAF dari suatu DAS diperlukan minimal dua metode tergantung data yang tersedia.
Hal ini dimaksudkan untuk menentukan nilai MAF yang logis terhadap suatu DAS.
Kalau perlu dilakukan pengukuran dan pengecekan lapangan untuk menentukan luas
penampang sungai, kecepatan aliran, batas ketinggian aliran melimpah, frekuensi

Universitas Sumatera Utara

28

kejadiannya, dan informasi lainnya yang dapat menentukan ketelitian perhitungan


MAF. Perhitungan debit puncak banjir tahunan ratarata (MAF) dapat dilakukan
dengan tiga metode, yaitu:
1. Serial data (data series)
Dalam penerapan metode serial data, untuk memperkirakan debit puncak
banjir tahunan ratarata, dilaksanakan dengan mengumpulkan data debit
puncak banjir terbesar setiap satu tahun, dari data runtut waktu dari pos
pengukuran sungai suatu DAS, dimana penelitian dilaksanakan minimal 10
tahun data. Dalam satu tahun data, maka datanya harus lengkap tanpa periode
kosong terutama pada musim penghujan.
2. Peaks Over a Threshold series (POT)
Apabila pengamatan data debit kurang dari 10 tahun data, maka umumnya
kurang teliti untuk memperkirakan nilai MAF oleh karena itu disarankan
memperkirakan MAF dengan metode puncak banjir di atas ambang (POT).
Metode POT tidak disarankan digunakan apabila lama pengamatan data debit
kurang dari 2 tahun.Setiap tahun data dipilih puncak banjir sebanyak 2 sampai
5 buah. Data debit selama tahun pengamatan ditentukan nilai batas
ambangnya (qo) dan selanjutnya ditentukan nilai debit puncak banjir yang
lebih besar dari qo.
3. Persamaan regresi (Regression Equation)
Metode ini digunakan jika pada DAS atau sub DAS nya tidak terdapat pos
pengukuran atau data aliran sungai. Metode ini dapat digunakan untuk
disembarang tempat di pulau Jawa dan Sumatera dan tidak dianjurkan untuk
diterapkan untuk memperkirakan debit puncak banjir tahunan ratarata pada
DAS atau sub DAS yang dominan terdiri dari daerah perkotaan.
Untuk memperkirakan besarnya debir puncak banjir yang diharapkan terjadi
pada tingkat peluang atau periode ulang tertentu, maka dapat mengalikan nilai MAF
dengan besarnya faktor pembesar yang merupakan fungsi dari besarnya periode ulang

Universitas Sumatera Utara

29

(T) dan luas DAS. Besarnya debit puncak banjir pada periode ulang tertentu dapat
dihitung dengan model matematik (Soewarno, 1995).

X X 0 B(0,5772 lnA)

(2.23)

1 m
(X i X o )
m i 1

(2.24)

m
n

(2.25)

S X 1,1

(2.26)

B
n

X T (C).(X)

S XT

(2.27)

S C S X

XT
C
X

1/2

(2.28)

Sc = 0,16 (log T). (C)

(2.29)

di mana, nilai XT = debit puncak banjir pada periode ulang ke T, C = faktor pembesar
(Tabel 2.5),

= debit puncak banjir tahunan rata-rata, SC = deviasi standar C, dan S X

= deviasi standar dari

. Langkah-langkah perhitungan bisa dilihat pada Gambar

2.10.
Tabel 2.5: Nilai faktor pembesar (C)
Periode
Ulang (T)

Variasi
Reduksi (Y)

5
10
20
50
100

1,5
2,25
2,97
3,9
4,6

LUAS DAS (km2)


< 180

300

600

900

1200

>1500

1,28
1,56
1,88
2,35
2,78

1,27
1,54
1,84
2,3
2,72

1,24
1,48
1,75
2,18
2,57

1,22
1,44
1,75
2,18
2,57

1,19
1,41
1,64
2,03
2,37

1,17
1,37
1,59
1,96
2,27

sumber: Soewarno (1995)

Universitas Sumatera Utara

30

Gambar 2.10: Diagram model MAF (Soewarno, 1995)


2.6.3 Metode Weduwen
Metode Weduwen dapat digunakan untuk menghitung debit maksimum
dengan luas DAS dibawah 100 km2 (Kamiana, 2011).
Q= x x I x A

(2.30)

Universitas Sumatera Utara

31

1 4,1
.I 7

(2.31)

120 t 1/t 9.A


120 A

(2.32)

Rn
67,65
x
240 t 1,45

(2.33)

t = 0,25 x L x Q-0,25 x I-0,25

(2.34)

di mana, Q = debit banjir (m3/detik), = koefisien pelimpasan air hujan/ run off, =
koefisien reduksi luasan untuk curah hujan di DAS, I = intensitas hujan
(m3/detik/km2), dan A = luas daerah pengaliran (km2).
2.7 Evapotranspirasi
Evaporasi atau penguapan adalah suatu proses perubahan dari molekul air
dalam fisik cair ke fisik gas. Evaporasi terjadi apabila terdapat tekanan uap air antara
permukaan dan udara di atasnya. Transpirasi adalah suatu proses ketika air di dalam
tumbuhan dilimpahkan ke atmosfer dalam bentuk uap air. Pada saat transpirasi tanah
tempat tumbuhan berada juga mengalami kehilangan kelembaban akibat evaporasi.
Transpirasi terjadi jika tekanan uap air di dalam sel daun lebih tinggi dari pada
tekanan uap air di udara. Dalam istilah hidrologi, proses evaporasi + transpirasi =
evapotranspirasi.
Air di dalam tanah juga dapat naik ke udara melalui tumbuhtumbuhan.
Peristiwa ini disebut evapotranspirasi. Banyaknya berbedabeda, tergantung dari
kadar kelembaban tanah dan jenis tumbuhtumbuhan. Umumnya banyaknya
transpirasi yang diperlukan untuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju
transpirasi dan dinyatakan dalam gram. Di daerah yang lembab, banyaknya adalah
kirakira 200 sampai 600 gram dan untuk daerah kering kirakira dua kali sebanyak
itu. Datadata yang diperlukan dalam perhitungan evaporasi/ evapotranspirasi adalah
data penyinaran matahari, temperatur udara, data kecepatan angin, data kelembaban
udara, dan data evaporasi.

Universitas Sumatera Utara

32

Pada penelitian ini digunakan metode Penman Modifikasi. Metode Penman


Modifikasi merupakan metode perhitungan evapotranspirasi yang cukup banyak
digunakan. Dibandingkan dengan metode lainnya cara ini relatif lebih mudah dengan
tingkat akurasi yang cukup. Metode Penman Modifikasi dalam perkembangannya
telah banyak mengalami modifikasi. Metode Penman Modifikasi digunakan Jailani
(2005) untuk menghitung evapotranspirasi di sungai Laay, Lampung Barat.
e = c x (W x Rn + (1 W) x f(u) x (ea ed))

(2.35)

di mana, e adalah evapotranspirasi potensial harian (mm/ hari), c = faktor koreksi


iklim, W = faktor bobot, Rn = radiasi netto (mm/ hari), f(u) = fungsi dari kecepatan
angin, ea = tekanan uap jenuh, dan ed = tekanan uap aktual.
2.8 Debit Andalan
Debit andalan adalah debit dengan periode ulang tertentu yang diperkirakan
akan melalui suatu sungai atau bangunan air. Periode ulang adalah waktu hipotetik
dimana suatu kejadian dengan nilai tertentu, debit rencana misalnya, akan disamai
atau dilampaui 1 kali dalam jangka waktu hipotetik tersebut. Hal ini tidak berarti
bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap periode ulang tertentu
(Kamiana, 2011). Prawirakusuma (2008) menggunakan metode NRECA dan Mock
pada penelitiannya untuk menghitung ketersediaan air sungai Cipunagara di Jawa
Barat. Pada penulisan ini, akan digunakan metode NRECA dan metode Mock.
2.8.1 Ketersediaan Air
Tujuan analisa ketersediaan air adalah untuk memperkirakan ketersediaan air
di sungai, yang diketahui sebagai dependable flow. Ketersediaan air biasanya
diperlukan dalam studi pendahuluan proyek-proyek yang akan memanfaatkan air dari
sungai. Analisa ketersediaan air memerlukan data debit harian atau bulanan dengan
panjang lebih dari 10 tahun. Untuk ketepatan yang lebih baik diperlukan data yang
lebih panjang. Data harus berupa data pengukuran pada stasiun AWLR di atau dekat
lokasi pengukuran. Namun data debit sangat jarang tersedia, dan juga lokasi AWLR
terletak jauh dari lokasi pengukuran, seperti yang terjadi dalam studi ini. Bila data
yang panjang tidak tersedia, maka bergantung kepada tersedianya data hujan, data

Universitas Sumatera Utara

33

debit dapat diperpanjang dengan suatu model yang menghubungkan hujan dan
limpasan (run off). Dalam study ini tidak terdapat AWLR di atau dekat lokasi
pengukuran. Dalam hal ini data debit yang telah diperpanjang dapat di transfer ke
lokasi sudi dengan menggunakan perbandingan DAS. Dengan demikian ketersediaan
air dapat diperkirakan.
2.8.2 Model NRECA
Banyak model hidrologi untuk mensimulasikan hujan-limpasan yang
tujuannya adalah untuk pengisian atau memperpanjang data debit, antara lain model
Tank, model Mock, model SSARR dan model NRECA. Model NRECA yang
dikembangkan oleh Norman H. Crawfort yang merupakan penyederhanaan dari
Stanford Watershed Model IV yang memiliki 34 parameter. Model ini juga
digunakan Rumere (2008) yang menghitung potensi sumber daya air di Danau
Sentani di Provinsi Papua. Model ini telah banyak diterapkan oleh Puslitbang
Pengairan pada berbagai daerah pengaliran di Indonesia, selain parameter model
relatif sedikit dan mudah dalam pelaksanaannya serta memberikan hasil yang cukup
handal. Secara umum persamaan dasar dari model ini dirumuskan sebagai berikut.
Q=P-E+S

(2.36)

di mana, Q = limpasan (mm), P = hujan rata-rata DAS (mm), E = evapotranspirasi


aktual (mm), dan S = perubahan kandungan (simpanan) air dalam tanah (mm).
Persamaan keseimbangan air diatas merupakan dasar dari model NRECA
untuk suatu daerah aliran sungai pada setiap langkah waktu, dimana hujan, aktual
evapotranspirasi dan limpasan adalah volume yang masuk kedalam dan keluar pada
suatu DAS untuk setiap langkah waktu tertentu. Dalam model NRECA terdapat dua
tampungan yaitu simpanan kelengasan (moisture storage) dan simpanan air tanah
(groundwater storage). Simpanan kelengasan ditentukan oleh hujan dan actual
evapotranspirasi. Simpanan air tanah ditentukan oleh kelebihan kelengasan (excess
moisture). Secara skematis struktur dari model NRECA dapat dilihat pada Gambar
2.11.

Universitas Sumatera Utara

34

Hujan

Evapotranspirasi

Simpanan
kelengasan
(nominal)

Excess Moisture

Direct flow

Lengas lebih
(PSUB)

Imbuhan ke
air tanah
Simpanan
air tanah

Aliran air tanah


(GWF)

Debit Total

Gambar 2.11: Diagram model NRECA (Prawirakusuma, 2008)


2.8.2.1 Parameter Karakteristik DAS
Pada model NRECA ini ada tiga parameter yang menggambarkan karateristik
DAS yang besar pengaruhnya terhadap keluaran sistem, yaitu :
Nominal: indeks kapasitas kelengasan tanah (mm) dapat didekati dengan
persamaan :
NOMINAL = 100 + C RA
di mana, C = 0,2 dan RA = hujan tahunan (mm). Nilai Nominal dapat
berkurang sampai 25 % pada DAS yang vegetasinya terbatas.
PSUB: persentase dari limpasan yang bergerak keluar dari DAS melalui
limpasan permukaan. PSUB merupakan parameter karakteristik lapisan tanah
pada kedalaman 0 ~ 2 m. Nilai PSUB berkisar 0,3 ~ 0,9 bergantung kepada
sifat lulus air tanah.
PSUB = 0,3, bila tanah bersifat kedap air
PSUB = 0,9, bila tanah bersifat lulus air
GWF: persentase dari tampungan air tanah yang mengalir ke sungai sebagai
aliran dasar. GWF merupakan parameter karakteristik lapisan tanah pada
kedalaman 2 ~ 10 m.
GWF = 0,2, bila tanah bersifat lulus air
GWF = 0,8, bila tanah bersifat kedap air

Universitas Sumatera Utara

35

Selain ketiga parameter tersebut, ada dua parameter lagi yang pengaruhnya
kecil terhadap keluaran sistem (low effect parameter), yaitu :
SM stor : simpanan kelengasan tanah (soil moisture storage)
GW stor : simpanan air tanah (ground water storage)

2.8.2.2 Simpanan Kelengasan Tanah


Simpanan kelengasan tanah adalah cadangan air yang besarnya ditentukan
oleh selisih dari tampungan akhir dan tampungan awal. Besar tampungan ini
ditentukan oleh hujan, evapotranspirasi dan kelebihan kelengasan yang menjadi
limpasan langsung dan imbuhan air tanah. Simpanan kelengasan tanah bulanan
selanjutnya ditentukan dengan persamaan :

SM SM
Stor
i
i 1
i 1

(2.37)

di mana, SMi = simpanan kelengasan tanah bulan ke 1, SMi-1 = simpanan kelengasan


tanah bulan ke i-1, SM0 = simpanan kelengasan awal yang ditentukan dengan cara
coba-coba, i = indeks 1, 2, 3, dan Stori-1 = perubahan simpanan kelengasan bulan
ke i-1.
2.8.2.3 Simpanan Air Tanah (Ground Water Storage/GWstor)
Kelebihan kelengasan tanah yang masuk kedalam tanah dan mengalami
perkolasi akan masuk ke dalam tampungan air tanah, yang biasa disebut akuifer.
Akibat proses hidrologi sebelumnya, akuifer ini biasanya tidak kosong. Simpanan air
tanah dalam akuifer akibat proses hidrologi sebelumnya disebut tampungan awal air
tanah (begin storage groundwater). Sementara itu tampungan yang telah mendapat
air perkolasi disebut sebagai tampungan akhir air tanah (end storage groundwater).
Sementara itu tampungan awal bulan selanjutnya ditentukan dengan persamaan
berikut.

BSG i 1 ESG i GWFlow i

(2.38)

Universitas Sumatera Utara

36

di mana, BSGi+1 = tampungan awal bulan ke i+1, ESGi = tampungan akhir bulan ke
1, dan GW Flowi = aliran air tanah bulan ke i.
Dalam model ini tampungan akhir dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
ESGi = BSGi + RECHi

(2.39)

di mana, RECHi = kelebihan kelengasan tanah yang masuk ke dalam tanah pada
bulan ke i.
Urutan langkah perhitungan untuk limpasan bulanan adalah sebagai berikut.
a. Perhitungan hujan wilayah dan evapotranspirasi potensial standar di daerah
pengaliran (P dan ET0)
b. Menentukan parameter model : Nominal, PSUB, GWF dan nilai awal
tampungan kelengasan tanah (SMstor) dan tampungan air tanah (GWstor)
yang akan digunakan dalam proses kalibrasi
c. Perhitungan angka tampungan tiap bulan (storage ratio) : Sr = SMstor/
Nominal, dimana untuk bulan ke 1 Smstor = angka awal tampungan dan untuk
bulan selanjutnya adalah SMstor (i) = SMstor (i-1) + S(i-1), dimana S(i-1) =
perubahan tampungan pada bulan sebelumnya
d. Perhitungan angka perbandingan antara hujan dan evapotranspirasi potensial:
R = P/PET
e. Perhitungan evapotranspirasi aktual (AET), dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut ini : AET = k1 PET, dimana k1 = koefisien evapotranpirasi
yang bergantung kepada nilai R dan Sr, dengan persamaan regresi sebagai
berikut : k1 = P/PET (1 - 0,5 Sr) + 0,5 Sr, bila R < 1 dan Sr < 2 ; k1 = 1
bila P/PET 1 atau Sr 2
f. Menghitung ratio kelebihan kelengasan (extrat) :
x

=(Sr - 1)/0.52

(2.40)

tanh ={exp (x) - exp(-x)} / {exp (x) + exp (-x)}

(2.41)

Jika Sr 0 , maka extrat = 0


Jika Sr > 0 , maka extrat = 0.5 ( 1 + tanh (x))

Universitas Sumatera Utara

37

g. Perhitungan kelebihan kelengasan (excm), perubahan tampungan (S) dan


perkolasi (rech) dengan rumus sebagai berikut :
excm =

exrat ( P - AET)

P - AET - excm

rech

PSUB excm

.(2.42)

h. Perhitungan angka awal dan akhir tampungan air tanah (BSG dan ESG):
Untuk bulan ke-1

BSG = GWSTOR

Untuk bulan berikutnya

BSG(n)= ESG(n-1) - GF(n-1)

ESG

rech + BSG

GF

limpasan air tanah

i. Perhitungan limpasan
Limpasan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu limpasan langsung (DRF) dan
limpasan air tanah (GF) :
DRF

excm rech

(2.43)

GF

GWF ESG

(2.44)

Total limpasan tiap bulan adalah: Q = GF + DRF (mm).


2.8.2.4 Debit Andalan Berdasarkan Data Debit
Prosedur analisa debit andalan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data.
Apabila terdapat data debit dalam jumlah cukup panjang, maka analisa ketersediaan
air dapat dilakukan dengan melakukan analisa frekuensi terhadap data debit tersebut.
Untuk mendapatkan ketersediaan air di suatu stasiun diperlukan debit aliran
yang bersifat runtut waktu (time series), misalnya data debit harian sepanjang tahun
selama beberapa tahun. Data tersebut menjadi masukan utama dalam model simulasi
wilayah sungai, yang menggambarkan secara lengkap variabilitas data debit aliran.
Debit andalan dapat ditentukan dengan menggunakan kurva massa debit yang
dibentuk dengan menyusun data debit, dari debit maksimum sampai debit minimum.
Susunan data dapat dinyatakan dalam bentuk gambar kurva massa atau dalam bentuk
tabel. Pada kurva massa debit, ordinat adalah debit aliran sedang waktu (hari) atau
persentase waktu sebagai absis. Kurva menunjukkan besarnya debit disamai atau

Universitas Sumatera Utara

38

dilampaui untuk beberapa persen waktu yang diinginkan. Untuk bentuk tabel, data
debit harian diurutkan dari nilai terbesar sampai terkecil, persen keandalan diperoleh
dari nilai m/n yang dinyatakan dalam % di mana m adalah nomor urut dan n adalah
jumlah data. Kurva massa debit dapat juga digambarkan dengan menggunakan nilai
debit rerata dua mingguan atau rerata bulanan yang diperoeh dari debit harian runtut
waktu.
2.8.3 Metode F. J. Mock
Untuk mengetahui besarnya limpasan permukaan (surface run off) akibat
curah hujan andalan digunakan metode model F. J. Mock. Dari analisa model ini akan
diperoleh informasi besarnya aliran debit andalan pada setiap sumber air.
(Prawirakusuma, 2008)
Dasar asumsi dari analisa ketersediaan air dengan metode F. J. Mock yaitu
bahwa curah hujan yang jatuh pada watershed sebagian akan jatuh pada permukaan
tanah dan sebagian lagi akan mengalami evapotranspirasi. Surplus hujan terjadi bila
kelembaban tanah telah mencapai harga maksimum. Dari air surplus, sebagian akan
menjadi direct run off dan sebagian lagi akan meresap ke dalam tanah sebagai
infiltrasi. Dari air yang mengalami proses infiltrasi sebagian akan mengalir sebagai
aliran dasar (base flow) dan sebagian lagi akan mengubah tampungan air tanah
sehingga menaikkan penampungan air tanah. Selanjutnya air tanah yang mengalir
sebagai base flow akan bergabung dengan direct run off.
Parameter yang digunakan dalam metode F. J. Mock ini, antara lain:

Koefisien infiltrasi
Parameter ini ditentukan berdasarkan kondisi porositas dan kemiringan daerah
pengaliran. Lahan yang bersifat porous umumnya mempunyai koefisien yang
cenderung besar. Namun jika kemiringan tanahnya terjal dimana air tidak
sempat mengalami proses infiltrasi sampai perkolasi ke dalam tanah maka
koefisien infiltrasinya bernilai kecil. Nilai maksimum koefisien ini adalah 1.
Nilai ini bevariasi untuk setiap bulan. Untuk setiap jenis dan topografi yang

Universitas Sumatera Utara

39

sama, bulan kering mempunyai infiltrasi yang relative lebih besar dibanding
bulan basah.

Konstanta resesi aliran


Adalah proporsi dari air tanah bulan lalu yang masih ada bulan sekarang,
artinya tidak mengalir menuju stream flow. Nilai K cenderung besar pada
bulan dimana bulan sebelumnya merupakan bulan basah dan cenderung lebih
kecil apabila bulan sebelumnya merupakan bulan kering.

Faktor persentase (PF)


PF merupakan persentase hujan yang mengalami limpasan. Digunakan dalam
perhitungan storm run off pada perhitungan total run off. Storm run off hanya
dimasukkan ke dalam total run off, bila P < 200 mm/bulan. F. J. Mock
menyarankan besarnya nilai PF berkisar antara 5% sampai dengan 10%
namun tidak mencukupi kemungkinan nilai ini meningkat secara tidak
beraturan sampai harga 37,3%.

2.8.4 Kurva Durasi Debit


Debit andalan adalah besarnya aliran sungai maksimum yang akan digunakan
sebagai acuan untuk membangkitkan energi dan merencanakan bangunan-bangunan
utama. Penentuan besarnya debit andalan ini yang menggunakan data AWLR,
ditentukan menggunakan dua cara, yaitu metode resesi dan kurva durasi debit
(duration curve).
Metode resesi digunakan untuk melihat kecenderungan penurunan debit air
sungai, sehingga debit minimum bisa ditentukan. Untuk analisa debit sungai dengan
metode resesi ini digunakan model regresi eksponensial karena lebih dapat mewakili
penurunan debit yang terjadi.
Metode Kurva Durasi Debit merupakan penggambaran besarnya aliran
dengan kemungkinan kejadiannya. Kurva durasi juga menunjukkan karakteristik
aliran suatu sungai yang diperoleh dari rangkaian data pada periode yang panjang.
Untuk membentuk kurva durasi debit dapat digunakan 2 cara yaitu dengan
mengurutkan langsung dan dengan membuat kelas interval.

Universitas Sumatera Utara

40

2.9 Perhitungan Daya yang Dihasilkan


PLTM yang menghasilkan daya listrik bergantung sekali pada jumlah debit air
sungai yang digunakan serta tinggi jatuh air yang didapatkan. Dalam perhitungan
daya, nilai H dapat ditaksir dari peta topografi yang ada atau untuk secara lebih akurat
dapat diukur dengan alat ukur survei langsung ke lapangan. Alat ukur survei tersebut
dapat berupa Total Station atau GPS Geodetik. H adalah perbedaan muka air, yang
pada keadaan banjir muka airnya dapat lebih tinggi. Tetapi perbedaan tinggi dapat
diambil tidak berubah karena pada daerah yang lebih rendah muka air juga naik
(Patty, 1995).
Perbedaan tinggi dalam PLTA yang menggunakan run off river adalah selisih
dari tinggi bendung yang direncanakan dengan elevasi power house. Tinggi bendung
biasanya direncanakan dengan tinggi 2 hingga 3 meter dari permukaan air sungai.
Daya yang dihasilkan oleh turbin diperoleh dengan persamaan berikut:
(2.45)

Pt = g H Q

di mana, Pt = daya turbin (kW), g = percepatan gravitasi (m/detik2), H = jatuh efektif


(m), Q = debit (m3/detik), dan = efisiensi.
Daya keluaran turbin yang merupakan daya mekanik selanjutnya diubah
menjadi daya listrik oleh generator pada tegangan rendah. Pada perubahan tersebut
terjadi kehilangan daya sehingga generator juga memiliki efisiensi, yaitu g.
Tegangan yang keluar dari generator perlu diubah menjadi tegangan transmisi
melalui trafo. Perubahan tegangan ini juga terjadi kehilangan daya sehingga trafo
memiliki efisiensi juga, yaitu s.
Daya keluaran PLTM, Pp, dengan demikian menjadi:
(2.46)

Pp = t g s Pt

Efisiensi yang disebutkan di atas maksudnya adalah pemilihan tipe turbin dan
desain generator yang tepat, pemilihan manufaktur turbin dengan efisiensi yang lebih
tinggi, menambah jumlah unit pembangkit, pengoperasian pembangkit yang tepat,
dan perawatan peralatan. Umumnya nilai efisiensi yang digunakan adalah :

Efisiensi turbin : t = 93 %

Universitas Sumatera Utara

41

Efisiensi generator : g = 98 %

Energi yang dihasilkan selama waktu tertentu adalah penjumlahan terhadap tenaga
kali waktu:
E (kWh) = P (kW) t (h)

(2.47)

di mana, E = Energi yang dihasilkan (kWh), P = daya listrik (kW), dan t = waktu (h).
2.10 Optimisasi Skala Pembangkit
Optimisasi skala dimaksudkan untuk menentukan skala pembangkit yang
berupa besarnya kapasitas terpasang untuk tata letak yang telah ditentukan.
Optimisasi ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Menyiapkan kurva durasi aliran (flow duration curve) untuk aliran di lokasi
PLTM. Dalam hal ini, kurva durasi debit diperoleh dari analisa hidrologi.
2. Melakukan desain awal untuk menentukan ukuran komponen-komponen
pembangkit untuk setiap tingkat kehandalan berdasarkan debit primer, tinggi
jatuh dan kehilangan tinggi jatuh, termasuk penentuan kapasitas terpasangnya.
3. Melakukan analisis perkiraan pembangkitan tenaga untuk setiap tingkat
kehandalan berdasarkan kurva durasi debit. Dalam hal ini dianggap PLTM
akan berfungsi sebagai penyedia beban dasar.

Hasil yang diperoleh dari

analisa ini adalah jumlah energi yang dikeluarkan oleh pembangkit selama
rangkaian waktu tersebut.
4. Menghitung perkiraan biaya proyek untuk masing-masing tingkat kehandalah,
termasuk biaya engineering, administrasi, pajak pertambahan nilai dan
kontingensi.
5. Menghitung nilai indeks energi dalam US$/ KWh untuk setiap tingkat
kehandalan.
Tingkat kehandalan yang memiliki indeks energi terendah adalah tingkat
kehandalan yang paling optimum dan akan merupakan tingkat kehandalan yang
terpilih dan skalanya ditetapkan sebagai skala proyek.

Universitas Sumatera Utara

42

2.10.1 Perkiraan Biaya Komponen


Untuk keperluan optimisasi skala pembangkit, diperlukan perkiraan biaya
proyek untuk berbagai macam skala proyek. Perkiraan biaya pada tahap optimisasi
ini menggunakan formula biaya yang ditentukan berdasarkan data biaya komponen
pembangkit di seluruh dunia, yang diambil dari pekerjaan Hydropower Inventory,
yang berbasis pada tahun 1996, dengan beberapa penyesuaian seperlunya.
Biaya proyek yang dihasilkan berupa biaya yang masih awal dikarenakan
tidak memperhitungkan kondisi yang spesifik pada masing-masing komponen proyek
yang ditinjau, sehingga tidak dapat digunakan sebagai acuan biaya proyek yang riil.
Perkiraan biaya yang lebih teliti akan dilakukan pada tahap selanjutnya. Namun
demikian, perkiraan biaya ini sudah mencukupi apabila digunakan untuk
membandingkan alternatif skala pembangkit untuk memperoleh skala pembangkit
yang paling optimum. Untuk melakukan perkiraan biaya setiap komponen,
sebelumnya ditentukan ukuran masing-masing komponen tersebut. Berikut ini adalah
formula perkiraan biaya komponen proyek yang digunakan pada studi optimisasi ini.
a. Bendung
CDD = 350 VDD0.95

(2.48)

di mana, CDD = biaya bendung pengambilan (US$) dan VDD =

volume

beton (m3).
b. Intake
CIN = 100000 (D Qp/2)0.51

(2.49)

di mana, CIN = biaya intake termasuk kolam penangkap pasir (US$), D =


diameter terowongan (m) dan Qp = debit puncak (m3/ detik).
c. Saluran pembawa
COC = a Bb

(2.50)

di mana, COC = biaya saluran pembawa (US$), a, b = koefisien yang


ditentukan berdasarkan kemiringan tebing, kedalaman batuan dasar dan
banyaknya persilangan dengan sungai dan B = lebar saluran (m).
d. Kolam penenang
CST = 200,000 Qt0.96

(2.51)

Universitas Sumatera Utara

43

di mana, CST = biaya kolam penenang (US$), Qt = debit maksimum(m3/s),


dan LT = panjang saluran hantar (m).
e. Pipa pesat
CSP = (0.0015 DIAP2 H2 UCS + 0.05 DIAP) Lp N

(2.52)

di mana, CSP = biaya pipa pesat (US$), DIAP = diameter pipa pesat (m), H2 =
tekanan air (m), UCS = harga satuan baja (US$/ton) diambil sebesar US$
10,000 per ton, Lp = panjang pipa pesat (m), dan N = jumlah pipa pesat.
f. Bangunan sentral
CHP1 = 2,300 [P/HEF1/2]0.71

(2.53)

CHP2 = 3,500 [Qp HEF2/3 N1.2]0.85

(2.54)

di mana, CHP1 = biaya bangunan sentral (superstructures) (US$), CHP2 =


Biaya fondasi (substructures) termasuk peralatannya (US$), P = kapasitas
terpasang (kW), HEF = tinggi jatuh efektif (m), dan N = jumlah unit
pembangkit.
g. Peralatan mekanikal dan elektrikal
CPE = 2,200 [P/HEF1/2]0.90

(2.55)

di mana, CPE = biaya peralatan mekanikal termasuk peralatan serandang


hubung (US$).
h. Bangunan sipil lain-lain
Biaya bangunan sipil lain-lain diambil suatu persentase yaitu 5% terhadap
keseluruhan biaya pekerjaan sipil yang ditentukan dengan rumus di atas.
i.

Jalan akses
Biaya jalan akses dihitung dengan mengalikan panjang jalan akses dengan
harga satuan jalan per kilometer. Harga satuan jalan dalam hal ini diambil
sebesar US$ 125.000 per kilometer.

j.

Jalur transmisi
Biaya jalur transmisi untuk tegangan 70 kV dengan double circuit diambil
sebesar US$ 25.000 per kilometer.

k. Gardu induk
Biaya gardu induk dengan tegangan 150 kV diambil sebesar US$ 100.000.

Universitas Sumatera Utara

44

l.

Engineering dan administrasi


Biaya engineering dan administrasi diambil sebesar 12,5% terhadap seluruh
biaya langsung.

2.10.2 Dimensi Bangunan Utama


Dimensi bangunan utama, yaitu bendung, saluran hantar dan pipa pesat
diperkirakan berdasarkan formula yang diperoleh dari pekerjaan Hydropower
Inventory, perhitungan sendiri dan dari beberapa publikasi. Formula tersebut adalah
sebagai berikut.
Saluran terbuka trapesium dengan kemiringan lereng 1v : 1h
B = 1.13 Q0.375

(2.56)

H = 0.90 Q0.375

(2.57)

Saluran terbuka segiempat


B = 1.492 Q0.375

(2.58)

H = 1.194 Q0.375

(2.59)

di mana, B = lebar dasar (m), H = tinggi saluran (m), dan Q = debit andalan
(m3/ detik).
Pipa pesat permukaan
D = 0.560 Q0.430

(2.60)

di mana, D = diameter pipa pesat (m).


2.10.2.1 Optimisasi Skala Pembangkit
Metode yang digunakan pada penelitian ini sudah digunakan pada beberapa
PLTM di Pulau Jawa. Debit banjir, debit andalan, elevasi rencana, dan panjang
saluran air merupakan data utama yang dibutuhkan pada metode ini. Dan output dari
metode ini adalah kapasitas daya yang dapat dihasilkan, modal investasi yang
dibutuhkan, dan tarif minimum listrik yang bisa diterapkan kepada pengguna listrik.
Optimisasi skala pembangkit dilakukan dengan melakukan simulasi terhadap tata
letak yang telah ditentukan, dengan berbagai tingkat kehandalan yaitu 50%, 60%,
70%, 80% dan 90%.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai