BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Hukum PLTA/ PLTM
Banyak perusahaan swasta telah memulai usaha di bidang PLTA terutama di
bidang mini hidro saat ini. Hal ini didorong terutama karena adanya Permen ESDM
(Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral) No. 31 tahun 2009 di mana tertulis
pada pasal 1 bahwa, PT. PLN (Persero) wajib membeli tenaga listrik dari energi
yang terbarukan skala kecil sampai menengah hingga 10 MW, dari Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), milik swasta, koperasi ataupun swadaya masyarakat. Energi
terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber daya yang tidak akan habis dan
tidak terbatas, contohnya energi angin, matahari, tenaga air, sampah atau buangan
dari hasil pertanian atau industri, sampah kota, dan sumber panas dari tumbuh
tumbuhan (dendrothermal sources) atau panas bumi.
10
Gambar 2.1: PLTA Parlilitan yang menggunakan sistem run off river dengan
kapasitas daya 10 MW
PLTA ini bersifat mengambil air dari sungai dalam debit tertentu dengan
menggunakan bendung (weir) dengan cara membelokkan air ke dalam intake.
Atau bisa dikatakan hanya meminjam air sungai dalam beberapa waktu untuk
dialirkan menuju turbin air (Gambar 2.1).
2. PLTA menggunakan tampungan
PLTA seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 yang merupakan bendungan
PLTA Three Gorges di Cina menggunakan bendungan pada suatu sungai
hingga ketinggian tertentu yang kemudian mengalirkan air dari bawah
bendungan yang kemudian diteruskan ke power house untuk menghasilkan
listrik. PLTA jenis ini memiliki kelemahan dalam bidang sosial lingkungan,
yaitu adanya relokasi penduduk dalam skala besar dan menghilangkan
ekosistem yang ada pada daerah PLTA.
PLTA Three Gorges memiliki tinggi bendung 185 meter, lebar 2,09 km dan
membentuk tampungan sepanjang 595 km yang dapat menampung lebih dari
5 triliun galon air. PLTA Three Gorges dikerjakan selama 15 tahun dan
menghasilkan daya 20,3 GW.
11
Gambar 2.2: PLTA Three Gorges di Cina yang menggunakan tampungan dengan
kapasitas daya 20,3 GW (Shalahuddin, 2010)
3. PLTA semi run off river
PLTA tipe ini hampir sama dengan sistem run off river tapi bedanya
menggunakan kolam tando harian (KTH) yang bertujuan untuk menyimpan
air pada saat tertentu. Kolam tando harian ini yang tidak dimiliki oleh PLTA
dengan sistem run off river. Sehingga kolam tando harian tersebut bisa
digunakan untuk menampung debit dua sungai sekaligus. Jadi misal pada
waktu malam hari dibutuhkan daya yang besar maka air yang tersedia bisa
untuk memutar turbin yang ada. Akan tetapi pada waktu siang hari dimana
ratarata kebutuhan listrik lebih sedikit dibanding pada malam hari, maka
KTH ini digunakan untuk menampung debit air dalam jumlah cukup besar.
Contohnya PLTA Kracak yang berada di provinsi Jawa Barat (Gambar 2.3).
PLTA Kracak yang berkapasitas daya 18,9 MW (3 x 6,3 MW) dibangun oleh
Pemerintah Belanda pada tahun 1921 dan mulai beroperasi pada tahun 1926
dengan memanfaatkan dua aliran sungai yaitu Sungai Cianten dan Sungai
Cikuluwung. Kedua aliran sungai tersebut ditampung di suatu KTH yang
kemudian dialirkan menuju rumah turbin melalui pipa pesat.
12
Gambar 2.3: PLTA Kracak yang menggunakan sistem semi run off river
dengan kapasitas daya 18,9 MW
4. PLTA danau
PLTA jenis ini menggunakan danau sebagai kolam tampungan dan sediment
trap. Sehingga dari hulu sungai bisa langsung digunakan sebagai penstock
menuju power house. Contoh kasus seperti PLTA Tangga yang menggunakan
Danau Toba sebagai tampungan air (Gambar 2.4).
Gambar 2.4: PLTA Tangga yang menggunakan Danau Toba sebagai kolam
tampungan
13
14
15
Tabel 2.1: Potensi tenaga air di Indonesia
PLN WILAYAH
Jumlah
PLTA
Beroperasi
Kapasitas
Terpasang
(MW)
Energi
Setahun
(GWh)
Tahap Pengembangan
Kapasitas
Energi
Jumlah
Terpasang Setahun
PLTA
(MW)
(GWh)
4
Jumlah
PLTA
Studi Peta
Kapasitas
Terpasang
(MW)
Energi
Setahun
(GWh)
Perkiraan
Kapasitas
Energi
Terpasang Setahun
(MW)
(GWh)
10
11
Jumlah
PLTA
1+4+7
Jumlah Potensi
Kapasitas
Energi
Terpasang
Setahun
(MW)
(GWh)
2+5+8+10
3+6+9+11
I. Aceh
141
4980.2
25517.2
141
4980.2
25517.2
286.2
1868
797.2
4913
107
2920.2
15998.7
113
4003.6
22779.7
10.8
22.4
468
1821
97
3159.9
16569.2
104
3638.7
18412.6
1.4
6.2
57
193.5
103
3112.4
17661.3
108
3170.8
17861
30
235
84
5607.5
26240.9
85
5637.5
26475.9
30
136
42
152
91
8314.3
44184.9
9029
44052
93
17415.3
88524.9
VII. Sulawesi
Utara dan Tengah
VIII. Sulawesi
Selatan dan
Tenggara
14.7
59.1
16.6
90
57
2722.1
15474.2
1360
6983
61
4113.4
22606.3
166.7
687.5
262.7
1076.9
55
4843.7
23381.9
2001
10197
60
7274.1
35343.3
IX. Maluku
53
411.6
2162.8
53
411.6
2162.8
X. Irian Jaya
XI. Nusa
Tenggara
0.1
0.5
13.5
61
206
21915.8
130073.7
192
912
208
22121.4
131047.2
0.3
1.4
120
620.4
3226.2
123
620.7
3227.6
10
205.5
843.6
33.5
112.6
32
295.6
1552.9
44
534.6
2509.1
41.7
168.7
445.4
1184.8
35
385.4
1916.9
49
872.5
3270.4
10
241.6
1135.4
1211.3
3355.5
57
1561.6
8525.5
71
3014.5
13016.4
48
999
4928.8
27
3377.2
13195.3
1238
60850.7
332486.3
12582
62144
1313
77808.9
412754.4
15
Universitas Sumatera Utara
16
AIR SUNGAI
BENDUNGAN / WEIR
RUMAH TURBIN
TAIL RACE
DISTRIBUSI LEWAT GARDU PLN
TERDEKAT
17
3. Menentukan curah hujan maksimum tiap tahunnya dari data curah hujan yang
ada.
4. Menganalisa curah hujan rencana dengan periode ulang T tahun.
5. Menghitung debit banjir rencana berdasarkan besarnya curah hujan rencana di
atas pada periode ulang T tahun.
2.5.1 Hujan Wilayah (Area Rainfall)
Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang
terjadi pada satu titik atau satu tempat saja. Mengingat hujan yang bervariasi terhadap
suatu lokasi penelitian, maka untuk kawasan yang luas satu alat penakar hujan
tidaklah cukup untuk menggambarkan curah hujan wilayah tersebut, oleh karena itu
di berbagai tempat pada daerah aliran sungai tersebut dipasang alat penakar hujan.
Beberapa metode untuk mendapatkan curah hujan ratarata daerah adalah
dengan cara ratarata aritmatik, cara poligon Thiessen dan cara Isohyet.
a. Cara rata-rata aljabar
Cara ini adalah yang paling sederhana yaitu dengan menghitung penjumlahan
curah hujan dari semua tempat pengukuran selama satu periode tertentu dan
membaginya dengan banyaknya tempat pengukuran seperti yang tergambar di
Gambar 2.6. Zulfikar (2007) menggunakan cara ini untuk menghitung curah
hujan DAS Meurebo di kabupaten Aceh Barat. Jika dirumuskan adalah
sebagai berikut:
R R 2 R 3 ... R n
R 1
n
(2.1)
di mana, R = curah hujan rata-rata (mm), R1...R n = besar curah hujan pada
masingmasing stasiun (mm), dan n = banyaknya stasiun hujan. Gambar 2.6
menerangkan sketsa metode rata-rata aljabar.
18
Posisi stasiun
hujan
2
1
Luas
DAS
A 1 R 1 A 2 R 2 A 3 R 3 ... A n R n
A 1 A 2 A 3 ... A n
A1 R 1 A 2 R 2 A 3 R 3 ... A n R n
A
(2.2)
R R 1 W1 R 2 W2 ... R n Wn
di mana, A= luas DAS (km2), R = curah hujan rata-rata (mm) dan R1 = curah
hujan masing-masing stasiun (mm), dan W1...Wn = faktor bobot masing-masing
stasiun yaitu persentase daerah pengaruh terhadap luas keseluruhan.
19
Posisi stasiun
hujan
Garis yang menghubungkan
stasiun hujan
Luas DAS
3
X1
ab
bc
cd
de
; X2
; X3
; X4
2
2
2
2
(2.3)
20
PCX PX
c
MA
(2.4)
di mana, PCX = data curah hujan tahunan yang terkoreksi pada tahun t di pos x, PX =
data awal hujan tahunan pada tahun t di pos x, MC = slope terkoreksi kurva, dan MA =
slope awal kurva.
21
Cs = 0 dan Ck = 3
Log Normal
Cs > 0, Cs 3 Cv
Gumbel Type I
(2.5)
(2.6)
(2.7)
di mana,
logx
(2.8)
di mana, XT = hujan rencana dengan periode ulang T tahun, Slogx = deviasi standar
hujan maksimum tahunan, dan KT = faktor frekuensi dari Log Pearson III, sebagai
fungsi dari koefisien Cs.
22
k Oi Ei
2
E
i 1
i
(2.9)
n
k
(2.10)
di mana, k = jumlah kelas interval data, Oi = frekuensi yang diamati dalam kelas
interval I, dan Ei = frekuensi yang diharapkan dalam kelas interval i.
Derajat kebebasan ditentukan dari
Dk = k - u 1
(2.11)
di mana, u = 2 (distribusi normal). Bila nilai 2 hasil hitungan lebih kecil dari nilai
kritis 2 dalam Tabel 2.2, maka distribusi yang dipilih dapat digunakan.
0.9
0.0158
0.2110
0.5840
1.0640
1.6100
2.2040
2.8330
3.2900
4.1680
6.1790
0.8
0.0642
0.4460
1.0050
1.6490
2.3430
1.0700
3.8220
4.5940
5.3800
6.1790
0.7
0.1480
0.7130
1.4240
2.1950
3.0000
3.8280
4.6710
5.5270
6.3930
7.2670
0.5
0.4550
1.3860
2.3660
3.3570
4.3510
5.3480
6.3460
7.3440
8.3430
9.3420
Nilai
0.3
1.0740
2.4080
3.6550
4.8780
6.0640
7.2310
8.3830
9.5240
10.6560
11.7810
0.2
1.6420
3.2190
4.6420
5.9890
7.2890
8.5590
9.8030
11.0300
12.2420
13.4420
0.1
2.7060
4.6050
6.2510
7.7790
9.2360
10.6450
12.0170
13.3620
14.6840
15.9870
0.05
3.8410
5.9910
7.8150
9.4880
11.0700
12.5920
14.0670
15.5070
16.9190
18.3070
0.01
6.6350
9.2100
11.3450
13.2770
15.0860
16.8120
18.4750
20.0900
21.6660
23.2090
23
B. Uji Kolmogorov-Smirnov
Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk menghindari masalah kehilangan
informasi data akibat pengelompokan data kedalam kelas interval. Uji ini juga
dikenal sebagai uji non parametris sebab tidak menggunakan fungsi distribusi
tertentu.
Data mula-mula disusun dari besar ke kecil atau sebaliknya. Kemudian
probabilitas tiap data dihitung dengan persamaan Weibull sebagai berikut:
m
n 1
(2.12)
di mana, p = probabilitas (%), m = nomor urut data yang disusun, dan n = jumlah
total data. Nilai teoritis tiap probabilitas dihitung dengan menggunakan persamaan
yang sesuai dengan distribusinya. Dari kedua probabilitasnya, dicari nilai perbedaan
terbesar antara probabilitas yang diamati dan teoritis seperti dalam rumus berikut.
maximum
P teoritis Pemperis
(2.13)
Bila perbedaan terbesar kurang dari nilai kritis seperti pada Tabel 2.3, maka
distribusi yang dipilih dapat digunakan.
Tabel 2.3: Nilai kritis uji Smirnov-Kolmogorov
N
0.20
5
0.45
10
0.32
15
0.27
20
0.23
25
0.21
30
0.19
35
0.18
40
0.17
45
0.16
50
0.15
sumber: Soewarno (1995)
0.10
0.51
0.37
0.30
0.26
0.24
0.22
0.20
0.19
0.18
0.17
0.05
0.56
0.41
0.34
0.29
0.27
0.24
0.23
0.21
0.20
0.19
0.01
0.67
0.49
0.40
0.36
0.32
0.29
0.27
0.25
0.24
0.23
24
alur sungai, sehingga menimbulkan luapan. Debit banjir adalah besarnya aliran
sungai yang diukur dalam satuan m3/ detik pada waktu banjir (Zulfikar, 2007). Debit
banjir rencana adalah debit yang dipakai untuk dasar perencanaan pengendalian
banjir, dan dinyatakan menurut kala ulang tertentu. Besarnya kala ulang ditentukan
dengan mempertimbangkan segi keamanan dengan resiko tertentu, serta kelayakan
baik ekonomis, teknis maupun lingkungan.
25
memiliki karakteristik yang sama. Terdapat beberapa model HSS, diantaranya HSS
Snyder, HSS Nakayasu, HSS SCS dan HSS Gama. Sutarto (2008) menggunakan cara
HSS Nakayasu dan HSS Snyder untuk perhitungan debit di Bekasi, Jawa Barat.
2.6.1.1 Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu
Nakayasu pada tahun 1950 telah menyelidiki hidrograf satuan (Gambar 2.9)
pada beberapa sungai di Jepang. Hasil penelitian dirumuskan dengan persamaan dan
tahapan perhitungan sebagai berikut:
a). Data yang ada untuk diproses R24 dalam mm, panjang sungai (L) dalam (km),
DAS (A) dalam km2.
b). Curah hujan efektif tiap jam (hourly of distribution of effective rainfall)
1. Rata-rata hujan dari awal hingga jam ke-T.
R
Rt 24
t
t
T
2/3
(2.14)
(2.15)
di mana, RT = intensitas curah hujan pada jam t dalam mm/jam, dan R (t -1)
= rerata curah hujan dari awal sampai jam ke (t-1).
3. Hujan efektif
Re = f . RT
(2.16)
26
(2.17)
(2. 18)
(2.19)
(2.20)
4. Waktu puncak:
tp = tg + 0,8 . Tr
(2.21)
(2.22)
27
Gambar 2.9: Kurva yang digunakan dalam HSS Nakayasu (Soemarto, 1996)
28
29
(T) dan luas DAS. Besarnya debit puncak banjir pada periode ulang tertentu dapat
dihitung dengan model matematik (Soewarno, 1995).
X X 0 B(0,5772 lnA)
(2.23)
1 m
(X i X o )
m i 1
(2.24)
m
n
(2.25)
S X 1,1
(2.26)
B
n
X T (C).(X)
S XT
(2.27)
S C S X
XT
C
X
1/2
(2.28)
(2.29)
di mana, nilai XT = debit puncak banjir pada periode ulang ke T, C = faktor pembesar
(Tabel 2.5),
2.10.
Tabel 2.5: Nilai faktor pembesar (C)
Periode
Ulang (T)
Variasi
Reduksi (Y)
5
10
20
50
100
1,5
2,25
2,97
3,9
4,6
300
600
900
1200
>1500
1,28
1,56
1,88
2,35
2,78
1,27
1,54
1,84
2,3
2,72
1,24
1,48
1,75
2,18
2,57
1,22
1,44
1,75
2,18
2,57
1,19
1,41
1,64
2,03
2,37
1,17
1,37
1,59
1,96
2,27
30
(2.30)
31
1 4,1
.I 7
(2.31)
(2.32)
Rn
67,65
x
240 t 1,45
(2.33)
(2.34)
di mana, Q = debit banjir (m3/detik), = koefisien pelimpasan air hujan/ run off, =
koefisien reduksi luasan untuk curah hujan di DAS, I = intensitas hujan
(m3/detik/km2), dan A = luas daerah pengaliran (km2).
2.7 Evapotranspirasi
Evaporasi atau penguapan adalah suatu proses perubahan dari molekul air
dalam fisik cair ke fisik gas. Evaporasi terjadi apabila terdapat tekanan uap air antara
permukaan dan udara di atasnya. Transpirasi adalah suatu proses ketika air di dalam
tumbuhan dilimpahkan ke atmosfer dalam bentuk uap air. Pada saat transpirasi tanah
tempat tumbuhan berada juga mengalami kehilangan kelembaban akibat evaporasi.
Transpirasi terjadi jika tekanan uap air di dalam sel daun lebih tinggi dari pada
tekanan uap air di udara. Dalam istilah hidrologi, proses evaporasi + transpirasi =
evapotranspirasi.
Air di dalam tanah juga dapat naik ke udara melalui tumbuhtumbuhan.
Peristiwa ini disebut evapotranspirasi. Banyaknya berbedabeda, tergantung dari
kadar kelembaban tanah dan jenis tumbuhtumbuhan. Umumnya banyaknya
transpirasi yang diperlukan untuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju
transpirasi dan dinyatakan dalam gram. Di daerah yang lembab, banyaknya adalah
kirakira 200 sampai 600 gram dan untuk daerah kering kirakira dua kali sebanyak
itu. Datadata yang diperlukan dalam perhitungan evaporasi/ evapotranspirasi adalah
data penyinaran matahari, temperatur udara, data kecepatan angin, data kelembaban
udara, dan data evaporasi.
32
(2.35)
33
debit dapat diperpanjang dengan suatu model yang menghubungkan hujan dan
limpasan (run off). Dalam study ini tidak terdapat AWLR di atau dekat lokasi
pengukuran. Dalam hal ini data debit yang telah diperpanjang dapat di transfer ke
lokasi sudi dengan menggunakan perbandingan DAS. Dengan demikian ketersediaan
air dapat diperkirakan.
2.8.2 Model NRECA
Banyak model hidrologi untuk mensimulasikan hujan-limpasan yang
tujuannya adalah untuk pengisian atau memperpanjang data debit, antara lain model
Tank, model Mock, model SSARR dan model NRECA. Model NRECA yang
dikembangkan oleh Norman H. Crawfort yang merupakan penyederhanaan dari
Stanford Watershed Model IV yang memiliki 34 parameter. Model ini juga
digunakan Rumere (2008) yang menghitung potensi sumber daya air di Danau
Sentani di Provinsi Papua. Model ini telah banyak diterapkan oleh Puslitbang
Pengairan pada berbagai daerah pengaliran di Indonesia, selain parameter model
relatif sedikit dan mudah dalam pelaksanaannya serta memberikan hasil yang cukup
handal. Secara umum persamaan dasar dari model ini dirumuskan sebagai berikut.
Q=P-E+S
(2.36)
34
Hujan
Evapotranspirasi
Simpanan
kelengasan
(nominal)
Excess Moisture
Direct flow
Lengas lebih
(PSUB)
Imbuhan ke
air tanah
Simpanan
air tanah
Debit Total
35
Selain ketiga parameter tersebut, ada dua parameter lagi yang pengaruhnya
kecil terhadap keluaran sistem (low effect parameter), yaitu :
SM stor : simpanan kelengasan tanah (soil moisture storage)
GW stor : simpanan air tanah (ground water storage)
SM SM
Stor
i
i 1
i 1
(2.37)
(2.38)
36
di mana, BSGi+1 = tampungan awal bulan ke i+1, ESGi = tampungan akhir bulan ke
1, dan GW Flowi = aliran air tanah bulan ke i.
Dalam model ini tampungan akhir dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
ESGi = BSGi + RECHi
(2.39)
di mana, RECHi = kelebihan kelengasan tanah yang masuk ke dalam tanah pada
bulan ke i.
Urutan langkah perhitungan untuk limpasan bulanan adalah sebagai berikut.
a. Perhitungan hujan wilayah dan evapotranspirasi potensial standar di daerah
pengaliran (P dan ET0)
b. Menentukan parameter model : Nominal, PSUB, GWF dan nilai awal
tampungan kelengasan tanah (SMstor) dan tampungan air tanah (GWstor)
yang akan digunakan dalam proses kalibrasi
c. Perhitungan angka tampungan tiap bulan (storage ratio) : Sr = SMstor/
Nominal, dimana untuk bulan ke 1 Smstor = angka awal tampungan dan untuk
bulan selanjutnya adalah SMstor (i) = SMstor (i-1) + S(i-1), dimana S(i-1) =
perubahan tampungan pada bulan sebelumnya
d. Perhitungan angka perbandingan antara hujan dan evapotranspirasi potensial:
R = P/PET
e. Perhitungan evapotranspirasi aktual (AET), dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut ini : AET = k1 PET, dimana k1 = koefisien evapotranpirasi
yang bergantung kepada nilai R dan Sr, dengan persamaan regresi sebagai
berikut : k1 = P/PET (1 - 0,5 Sr) + 0,5 Sr, bila R < 1 dan Sr < 2 ; k1 = 1
bila P/PET 1 atau Sr 2
f. Menghitung ratio kelebihan kelengasan (extrat) :
x
=(Sr - 1)/0.52
(2.40)
(2.41)
37
exrat ( P - AET)
P - AET - excm
rech
PSUB excm
.(2.42)
h. Perhitungan angka awal dan akhir tampungan air tanah (BSG dan ESG):
Untuk bulan ke-1
BSG = GWSTOR
ESG
rech + BSG
GF
i. Perhitungan limpasan
Limpasan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu limpasan langsung (DRF) dan
limpasan air tanah (GF) :
DRF
excm rech
(2.43)
GF
GWF ESG
(2.44)
38
dilampaui untuk beberapa persen waktu yang diinginkan. Untuk bentuk tabel, data
debit harian diurutkan dari nilai terbesar sampai terkecil, persen keandalan diperoleh
dari nilai m/n yang dinyatakan dalam % di mana m adalah nomor urut dan n adalah
jumlah data. Kurva massa debit dapat juga digambarkan dengan menggunakan nilai
debit rerata dua mingguan atau rerata bulanan yang diperoeh dari debit harian runtut
waktu.
2.8.3 Metode F. J. Mock
Untuk mengetahui besarnya limpasan permukaan (surface run off) akibat
curah hujan andalan digunakan metode model F. J. Mock. Dari analisa model ini akan
diperoleh informasi besarnya aliran debit andalan pada setiap sumber air.
(Prawirakusuma, 2008)
Dasar asumsi dari analisa ketersediaan air dengan metode F. J. Mock yaitu
bahwa curah hujan yang jatuh pada watershed sebagian akan jatuh pada permukaan
tanah dan sebagian lagi akan mengalami evapotranspirasi. Surplus hujan terjadi bila
kelembaban tanah telah mencapai harga maksimum. Dari air surplus, sebagian akan
menjadi direct run off dan sebagian lagi akan meresap ke dalam tanah sebagai
infiltrasi. Dari air yang mengalami proses infiltrasi sebagian akan mengalir sebagai
aliran dasar (base flow) dan sebagian lagi akan mengubah tampungan air tanah
sehingga menaikkan penampungan air tanah. Selanjutnya air tanah yang mengalir
sebagai base flow akan bergabung dengan direct run off.
Parameter yang digunakan dalam metode F. J. Mock ini, antara lain:
Koefisien infiltrasi
Parameter ini ditentukan berdasarkan kondisi porositas dan kemiringan daerah
pengaliran. Lahan yang bersifat porous umumnya mempunyai koefisien yang
cenderung besar. Namun jika kemiringan tanahnya terjal dimana air tidak
sempat mengalami proses infiltrasi sampai perkolasi ke dalam tanah maka
koefisien infiltrasinya bernilai kecil. Nilai maksimum koefisien ini adalah 1.
Nilai ini bevariasi untuk setiap bulan. Untuk setiap jenis dan topografi yang
39
sama, bulan kering mempunyai infiltrasi yang relative lebih besar dibanding
bulan basah.
40
Pt = g H Q
Pp = t g s Pt
Efisiensi yang disebutkan di atas maksudnya adalah pemilihan tipe turbin dan
desain generator yang tepat, pemilihan manufaktur turbin dengan efisiensi yang lebih
tinggi, menambah jumlah unit pembangkit, pengoperasian pembangkit yang tepat,
dan perawatan peralatan. Umumnya nilai efisiensi yang digunakan adalah :
Efisiensi turbin : t = 93 %
41
Efisiensi generator : g = 98 %
Energi yang dihasilkan selama waktu tertentu adalah penjumlahan terhadap tenaga
kali waktu:
E (kWh) = P (kW) t (h)
(2.47)
di mana, E = Energi yang dihasilkan (kWh), P = daya listrik (kW), dan t = waktu (h).
2.10 Optimisasi Skala Pembangkit
Optimisasi skala dimaksudkan untuk menentukan skala pembangkit yang
berupa besarnya kapasitas terpasang untuk tata letak yang telah ditentukan.
Optimisasi ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Menyiapkan kurva durasi aliran (flow duration curve) untuk aliran di lokasi
PLTM. Dalam hal ini, kurva durasi debit diperoleh dari analisa hidrologi.
2. Melakukan desain awal untuk menentukan ukuran komponen-komponen
pembangkit untuk setiap tingkat kehandalan berdasarkan debit primer, tinggi
jatuh dan kehilangan tinggi jatuh, termasuk penentuan kapasitas terpasangnya.
3. Melakukan analisis perkiraan pembangkitan tenaga untuk setiap tingkat
kehandalan berdasarkan kurva durasi debit. Dalam hal ini dianggap PLTM
akan berfungsi sebagai penyedia beban dasar.
analisa ini adalah jumlah energi yang dikeluarkan oleh pembangkit selama
rangkaian waktu tersebut.
4. Menghitung perkiraan biaya proyek untuk masing-masing tingkat kehandalah,
termasuk biaya engineering, administrasi, pajak pertambahan nilai dan
kontingensi.
5. Menghitung nilai indeks energi dalam US$/ KWh untuk setiap tingkat
kehandalan.
Tingkat kehandalan yang memiliki indeks energi terendah adalah tingkat
kehandalan yang paling optimum dan akan merupakan tingkat kehandalan yang
terpilih dan skalanya ditetapkan sebagai skala proyek.
42
(2.48)
volume
beton (m3).
b. Intake
CIN = 100000 (D Qp/2)0.51
(2.49)
(2.50)
(2.51)
43
(2.52)
di mana, CSP = biaya pipa pesat (US$), DIAP = diameter pipa pesat (m), H2 =
tekanan air (m), UCS = harga satuan baja (US$/ton) diambil sebesar US$
10,000 per ton, Lp = panjang pipa pesat (m), dan N = jumlah pipa pesat.
f. Bangunan sentral
CHP1 = 2,300 [P/HEF1/2]0.71
(2.53)
(2.54)
(2.55)
Jalan akses
Biaya jalan akses dihitung dengan mengalikan panjang jalan akses dengan
harga satuan jalan per kilometer. Harga satuan jalan dalam hal ini diambil
sebesar US$ 125.000 per kilometer.
j.
Jalur transmisi
Biaya jalur transmisi untuk tegangan 70 kV dengan double circuit diambil
sebesar US$ 25.000 per kilometer.
k. Gardu induk
Biaya gardu induk dengan tegangan 150 kV diambil sebesar US$ 100.000.
44
l.
(2.56)
H = 0.90 Q0.375
(2.57)
(2.58)
H = 1.194 Q0.375
(2.59)
di mana, B = lebar dasar (m), H = tinggi saluran (m), dan Q = debit andalan
(m3/ detik).
Pipa pesat permukaan
D = 0.560 Q0.430
(2.60)