Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit Jantung Bawaan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Epidemiologi
Penyakit Jantung Bawaan ini terjadi pada sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup.
Insiden lebih tinggi pada lahir mati (2%), abortus (10-25%), dan bayi premature
(2%) (Tank, 2000).
Penelitian di Taiwan menunjukkan prevalensi yang sedikit berbeda, yaitu
sekitar 13,08 dari 1000 kelahiran hidup, dimana sekitar 12,05 pada bayi berjenis
kelamin laki-laki, dan 14,21 pada bayi perempuan. Penyakit Jantung Bawaan
yang paling sering ditemukan adalah Ventricular Septal Defect (Wu, 2009).
Diabetes, bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang menderita diabetes
tidak terkontrol mempunyai risiko sekitar 3-5% untuk mengalami penyakit
jantung bawaan
2.1.4. Jenis
Secara garis besar, PJB ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yaitu
PJB asianotik dan sianotik (Widyantoro, 2006).
Penyakit jantung bawaan asianotik dapat dibagi lagi menjadi beberapa
bagian berdasarkan beban fisiologis yang diberikannya kepada jantung. Salah
satunya yaitu lesi shunt dari kiri ke kanan. Penyakit jantung bawaan yang
termasuk ke dalamnya adalah Atrial Septal Defect, Ostium Secundum Defect,
Sinus Venosus Atrial Septal Defect, Partial Anomalous Pulmonary Venous
Return, Atrioventricular Septal Defects (Ostium Primum and Atrioventricular
Canal or Endocardial Cushion Defects), Ventricular Septal Defect, Supracristal
Ventricular Septal Defect with Aortic Insufficiency, Patent Ductus Arteriosus,
Aorticopulmonary Window Defect, Coronary-Arteriovenous Fistula (CoronaryCameral Fistula), Ruptured Sinus of Valsalva Aneurysm.
Pada lesi obstruktif termasuk Pulmonary Valve Stenosis with Intact
Ventricular Septum, Infundibular Pulmonary Stenosis and Double-Chamber Right
Ventricle, Pulmonary Stenosis in Combination with an Intracardiac Shunt,
Peripheral Pulmonary Stenosis, Aortic Stenosis, Coarctation of the Aorta,
Coarctation with Ventricular Septal Defect, Coarctation with Other Cardiac
2.2.2. Sejarah
Konsep mengenai penyakit jantung didasarkan pada pengetahuan fisiologi dan
anatomi yang didapat dari percobaan-percobaan dengan kateterisasi jantung
sekitar 70 tahun yang lalu. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Andre
Cournand pada saat penerimaan Nobel pada 11 Desember 1956, kateterisasi
jantung adalah kunci jawaban dari konsep penyakit
jantung. Dengan
menggunakan kunci tersebut, Cournand dan koleganya telah membawa kita ke era
baru untuk memahami fungsi normal dan penyakit jantung pada manusia.
Menurut Cournand, kateterisasi jantung pertama kali dilakukan oleh Claude
Bernard pada tahun 1844. Subjeknya berupa kuda dimana kedua ventrikel dari
kuda tersebut dimasuki dengan pendekatan retrograde dari vena jugularis dan
arteri carotis (Olade, 2008). Aplikasi yang dilakukan oleh Bernard ini, memberi
suatu nilai yang sangat besar dalam inovasi teknik ini. Suatu era investigasi pada
hewan kemudian berujung pada suatu perkembangan penting pada teknik dan
prinsip teknik kateterisasi jantung yang diterapkan pada manusia.
Werner Frossmann selalu dipuji sebagai orang pertama yang melakukan
kateterisasi jantung pada manusia, yaitu pada dirinya sendiri. Pada usia 25 tahun,
setelah menerima instruksi medis bedah di Jerman, ia memasukkan kateter
berukuran 65 cm melalui salah satu vena antecubiti kiri, dibantu dengan
fluoroscopy, sampai kateter tersebut memasuki atrium kanan, kemudian ia
berjalan ke departemen radiologi untuk mendokumentasikannya dengan
roentgenogram. Dua tahun berikutnya, Frossmann melanjutkan melakukan studi
kateterisasi, termasuk enam percobaan tambahan untuk mengkateterisasi dirinya
sendiri. Untuk kontribusi yang diberikan Frossmann tersebut, ia bersama dengan
Andre Cournand dan Dickinson Richards memperoleh Nobel pada tahun 1956.
Tujuan utama dari studi kateterisasi jantung yang dilakukan oleh Frossmann
adalah untuk mengembangkan teknik terapi yang dapat memasukkan obat secara
langsung ke jantung (Baim, 2006).
2.2.3. Indikasi
Kateterisasi jantung ini merupakan suatu tindakan invasif. Mengingat risikonya
yang cukup tinggi, maka harus dipertimbangkan secara selektif untuk
menggunakan teknik tersebut (Roebiono, 1996). Kateterisasi jantung bertujuan
untuk mendapat gambaran dan data objektif secara pasti tentang perubahan
anatomis dan fisiologis akibat berbagai kelainan pada jantung dan pembuluh
darah. Pasien dengan PJB termasuk pasien yang memerlukan kateterisasi jantung.
Dengan kateterisasi jantung dapat diketahui ada tidaknya kelainan jantung, jenis
kelainan jantung, derajat kelainan tersebut, cara pengobatan yang tepat, dan
menilai hasil pengobatan. Selain itu, kateterisasi jantung juga dapat digunakan
untuk mengetahui tekanan pada ruang-ruang di jantung, melihat bagaimana darah
melewati jantung, mengambil sampel darah, menginjeksikan zat kontras untuk
melihat adanya hambatan pada pembuluh darah, atau abnormalitas dari ruang
jantung, serta melakukan koreksi pada kelainan jantung tersebut (Parks, 2007).
Berdasarkan data-data di atas, indikasi untuk tindakan kateterisasi jantung
dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar, yaitu:
1. Untuk menegakkan diagnosis, yaitu dengan menganalisis semua data hasil
kateterisasi sehingga diperoleh gambaran anatomi dan fisiologi secara
pasti
2. Untuk melakukan terapi, yaitu kateterisasi intervensi sebagai tindak lanjut
dari diagnosis yang diperoleh
Beberapa jenis zat anestesi yang digunakan pada kateterisasi jantung terdapat
pada tabel berikut:
Tabel 2.1. Jenis Zat Anestesi pada Kateterisasi Jantung (Arnold dan Holtby,
2005).
2.2.5. Kontraindikasi
Kontraindikasi dari kateterisasi jantung ini sangat bervariasi. Hal ini bergantung
pada
kemajuan
teknik,
peralatan
serta
ketrampilan
operator.
Seiring
ruang jantung dapat diukur, sampel darah dapat diambil, dan zat kontras dapat
diinjeksikan untuk dilihat dengan x-ray.
Hasil dari diagnostik dengan menggunakan kateterisasi sangat membantu
dalam evaluasi pasien dengan kelainan jantung. Teknik kateterisasi ini dapat
mengkonfirmasi dugaan yang kita dapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan/atau evaluasi dari metode noninvasive, seperti EKG, ekokardiogram, dan
sebagainya.
Pada pelaksanaannya, kateter dapat dimasukkan melalui vena atau arteri.
Hal ini didasarkan pada kondisi yang ingin dievaluasi. Untuk mengakses bagian
kanan dari ruang maupun pembuluh darah, kateterisasi dilakukan melalui vena.
Sedangkan untuk mengakses bagian kiri jantung, kateterisasi dilakukan melalui
arteri. Kateterisasi melalui arteri dan vena ini dapat dilakukan secara
percutaneous atau via cutdown.
Pada prosedur kateterisasi terdapat beberapa komplikasi, seperti terjadinya
luka pada arteri dan vena pada tempat dilakukannya kateterisasi. Hal ini terjadi
pada 0,5-1,5% pasien. Lebam disertai perubahan warna kulit pada tempat punksi
pembuluh darah terjadi pada 1-5% pasien. Komplikasi yang paling jarang terjadi
adalah infeksi pada lokasi pemasangan kateter. Injeksi dari zat kontras dapat
menyebabkan mual dan muntah pada 3-15% pasien, rasa gatal pada 1-3% pasien,
reaksi alergi pada 0,2% pasien. Pada pasien yang mempunyai fungsi ginjal yang
abnormal, injeksi zat kontras ini dapat memperburuk kondisi penyakit tersebut.
Komplikasi mayor, seperti kematian, serangan jantung, dan stroke, yang terjadi
dalam 24 jam setelah prosedur dilakukan, ditemui pada 0,2-0,3% pasien.
Kematian dapat dikarenakan perforasi dari jantung maupun pembuluh darah,
abnormalitas irama jantung, serangan jantung, dan reaksi alergi yang parah akibat
injeksi kontras.
Diagnosis dengan kateterisasi pada PJB sangat penting, karena setengah
dari anak dengan PJB meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun. Maka
diperlukan prosedur yang dengan cepat mampu mendeteksi kelainan tersebut agar
segera dapat ditindaklanjuti. Pada kateterisasi, ada 3 informasi penting yang dapat
diperoleh, yaitu tekanan pada ruang dan pembuluh darah jantung, saturasi oksigen
pada darah, dan hubungan abnormal dapat ditunjukkan secara langsung dengan
penggunaan kateter.
Berbicara mengenai pengukuran tekanan pada PJB, hal ini diperlukan
untuk mendiagnosis stenosis. Namun, adanya peningkatan tekanan tanpa disertai
adanya stenosis juga merupakan hal yang menarik dan perlu dicari penyebabnya.
Saturasi oksigen dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi shunt dari kiri
ke kanan, khususnya Atrial Septal Defect. Sedangkan hubungan abnormal yang
dapat dideteksi dengan kateterisasi sangat berguna untuk menentukan diagnosis
yang melibatkan dua sirkulasi (Lange and Hillis, 2003).
beberapa
pengetahuan,
dekade.
diagnosis
Namun,
tersebut
seiring
dapat
dengan
dilakukan
perkembangan
dengan
ilmu
menggunakan
menjadi
berkurang.
Sekarang,
kateterisasi
jantung
semakin
2. Closure Devices
-
4. Ballon Angioplasty
-
5. Stenting Procedures
Beberapa tahun belakangan ini, penggunaan ballon yang diperluas dengan
stent telah memberi suatu peningkatan yang penting pada perkembangan
teknik kateterisasi.
-
6. Coil Occlusion
Percutaneous transcatheter occlusion pada hubungan vaskular yang tidak
diinginkan telah memainkan peranan penting pada intervensi kardiologi anak
sejak diungkapkan pertama kali oleh Gianturco dan kolega lebih dari 20 tahun
yang lalu. Teknik dari prosedur ini bervariasi, bergantung pada tipe dari
kelainan vaskular yang terjadi dan patofisiologi kelainan tersebut.
-
Aortapulmonary Collaterals
Arteriovenous Fistula
Arteriovenous Fistula sangat efektif diobati dengan teknik coil occlusion ini.
Teknik ini membutuhkan keahlian tingkat tinggi dan juga pengetahuan
mengenai anatomi arteri dan teknik kateterisasi (Allen, 1998)