Anda di halaman 1dari 10

Kematian khalifah Utsman ibn Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah

menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya
adalah perang Shiffin, 2 tahun setelah Ali ibn Abi Thalib dibaiat jadi khalifah menggantikan Utsman.
Perang besar antara kubu Ali dengan kubu Muawiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat
Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara
ekstrim selalu bertentangan yaitu Khawarij dan Syiah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan
menghalalkan darah Ali setelah peristiwa, sementara Syiah belakangan mengkultuskan Ali demikian rupa
sehingga seolah-olah Ali adalah manusia tanpa cacat. Lain pula dengan kelompok Murjiah muncul sebagai
reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang
melakukan dosa besar. Sekalipun demikian aliran-aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk
mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama.
Makalah ini membahas secara singkat tentang tiga aliran tersebut. Pembahasannya terfokus pada
pengertian, sejarah munculnya, ajaran serta perkembangannya.
B. Arti dan sejarah timbulnya Khawarij, Syiah dan Murjiah
1. Pengertian
Secara etimologi[1] kata Khawarij berasal dari bahasa Arab yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul,
timbul atau memberontak. Sedangkan menurut terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran
pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan
Ali yang menerima arbitrase, dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648M, dengan kubu Muawiyah bin Abi
Sufyan perihal persengketaan khalifah.[2]
Syiah berasal dari kata Arab Syiah yang secara etimologis berarti pengikut, kelompok, golongan dan
pendukung.[3] Sedangkan secara terminologis, Syiah berarti orang atau kelompok yang mengangkat
kepemimpinan Ali dan Keluarganya.[4] Mereka itu anatara lain adalah : Jabir ibnu Abdillah, Huzaifah ibnul
Yaman, Abu Dzar al Ghiffari dan lainnya.
Nama Murjiah diambil dari kata irja atau arjaa yang bermakna penundaan, penangguhan, pengharapan.[5]
Kata arjaa juga mengandung arti harapan, yakni memberikan harapan kepada pelaku dosa besar untuk
memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.
2. sejarah timbulnya Khawarij, Syiah dan Murjiah
Aliran-aliran ini lahir bersamaan dengan lahirnya Syiah yakni pada masa Ali bin Abi Thalib r.a. Orangorang Khawarij dulunya adalah pendukung Ali, meskipun demikian Syiah datang lebih dahulu dari
pemikiran Khawarij.[6] Timbulnya aliran ini adalah akibat dari peristiwa tahkim (arbitrase), Khawarij
menghukum para peserta tahkim sebagai orang-orang yang telah menjadi kafir.
Pada mulanya kelompok Khawarij memandang Ali bin Abi Thalib dan pasukannya berada di pihak yang
benar karena merupakan khalifah yang sah dan telah dibaiat oleh ummat Islam, sementara Muawiyah
berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
Dalam peperangan Siffin tersebut pihak Muawiyah sudah terdesak, menyadari hal itu maka pihak
Muawiyah minta untuk berdamai, namun pihak Ali juga menyadari bahwa ajakan damai tersebut adalah
strategi licik Muawiyah akan tetapi karena desakan sebagian pengikutnya terutama ahli qurra seperti AlAsyats bin Qais, Masud bin Fudaki At-tamimi dan Zaid bin Husein Ath-Thai, dengan terpaksa Ali
memerintahkan Al-Asytar selaku komandan pasukan untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi untuk
tahkim, namun orang Khawarij menolaknya dan mengusulkan Abu Musa Al-Asyari dengan harapan dapat
memutuskan perkara berdasarkan kitabullah. Tetapi keputusan tahkim bahwa Ali diturunkan dari khalifah
dan Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sehingga orang Khawarij sangat kecewa dengan keputusan
tersebut, maka mereka membelot dengan mengatakan, Mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak

ada hukum selain hukum yang ada disisi Allah. Imam Ali menjawab, Itu adalah ungkapan yang benar,
tetapi mereka artikan dengan keliru. pada saat itulah mereka keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju
Hurura.[7]
Aliran Murjiah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir
mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran
Khawarij.
Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu
dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang
mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.[8]
C. Pemikiran Khawarij, Syiah dan Murjiah
1. Khawarij
Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir,
orang-orang yang terlibat pada perang Jamal (perang antara Aisyah, Thalhah dan Zubair dengan Ali bin Abi
Thalib) dan para pelaku tahkim (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumkan kafir dan
khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
Begitu pula dengan doktrin-doktrin pokok yang ditanamkan antara lain: [9]
1) Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh ummat Islam.
2) Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab, setiap orang muslim berhak menjadi khalifah bila
memenuhi syarat.
3) seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
4) Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh.
5) Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka bila tidak maka ia wajib di
bunuh.
6) Adanya waad dan waid.
7) Amar makruf nahi munkar.
8) Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang mutasyabihat.
9) Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan
Dari doktrin di atas dapat kita simpulkan bahwa doktrin kaum Khawarij dapat dikategorikan dalam tiga
kategori yaitu :
a. Doktrin politik, dimana membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kenegaraan khususnya tentang
kepala negara atau khalifah.
b. Doktrin teologi, dimana membicarakan tentang dosa besar. Doktrin teologi Khawarij yang radikal pada
dasarnya merupakan imbas dari doktrin sentralnya yaitu doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipengaruhi
oleh sisi budaya mereka yang juga radikal serta asal usul mereka yang berasal dari masyarakat badawi dan
pengembara padang pasir yang tandus.
c. Doktrin sosial, dimana doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok Khawarij.

2. Syiah
Sementara kaum Syiah mempunyai 5 (lima ) prinsip utama dalam pemikirannya yaitu : Al Tauhid (ke
Esaan Tuhan), Al adl (keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Imamah (Kepemimpinan) dan Maad (Kiamat).
1) Al Tauhid
Kaum Syiah, khususnya aliran Istna Asyariyyah yang dipelopori Hisyam bin al Hakam memandang bahwa
eksistensi Allah dapat dijelaskan melalui keberadaan manusia beserta sifat yang ada dalam diri manusia itu,
pandangan ini dikenal dengan paham al Tajsim dan Tasybih ( meng antromorfis kan Allah ), namun pada
generasi berikutnya paham tersebut ditinggalkan dan menganut paham al Tanzih wa al Tajrid yaitu me
Maha suci-kan dan me Maha abstrakkan Allah, paham dari generasi ini dipelopori al Syeikh al Mufid.[10]
Paham yang pertama yaitu al Tajsim wa Tasybih digunakan kaum Syiah untuk menentang kaum
Mutazilah yang menentang dan menolak teori imamah versi Syiah, namun akhirnya atas prakarsa Bani
Buwaihi, kedua kaum ini dipersatukan dengan menganut paham kedua yaitu al Tanzih dan al Tajrid.
Berbeda dengan aliran Istna Asyariyyah, aliran Ismailiyyah, filsafat ketuhanannya berlandaskan pada
prinsip bahwa akal manusia tidak mampu mempersepsi zat ilahi, zat ini mempunyai sifat-sifat dan sifatsifat itu hanya dituangkan pada akal pertama yang diciptakan Allah. Artinya kita hanya mengetahui al aql
al-mubtada (akal yang dicipta) tetapi tidak bisa mengetahui al Bari al Mubdi (pencipta yaitu Allah).[11]
Dalam teori emanasi (al Faid wa al Sudur), kaum ini menjelaskan bahwa bermula dari akal beremanasi al
Nafs al kulliyyah (jiwa universal), dari jiwa itu beremanasilah materi ini. Dari persatuan akal, jiwa materi,
waktu dan ruang beremanasilah gerakan segala falak dan alam.[12] Begitu pun dengan wahyu, bahwa ia
tidak terputus karena wahyu merupakan pancaran dari al Natiq kepada al Was-yu dan para imam.
Mengenai masalah yang berhubungan dengan ketuhanan, kaum Zaidiyah pada awalnya lebih dekat kepada
kaum salaf, walaupun imam mereka berguru pada washil bin Atha. Mereka berpandangan bahwa Allah
SWT adalah sesuatu yang tidak seperti sesuatu yang lain, tidak serupa dengan segala sesuatu yang ada. Ia
Maha mengetahui, Maha kuasa, karena sifat Maha mengetahui dan Maha Kuasa bukanlah ia juga bukan
selain ia.[13]
2) Al Adl
Al Adl maksudnya adalah bahwa Allah tidak berbuat dzalim kepada seseorang dan tidak melakukan sesuatu
yang buruk menurut akal sehat. Akal yang mengatakan bahwa buruk bagi Allah itu mustahil maka kaum
Syiah menetapkan sifat Al adl hanya pantas dipunyai atau bagi Allah sedangkan Syara hanya memperkuat
dan memberi tanda-tandanya saja, bahkan akal tanpa bantuan syara tidak dapat menentukan baik buruk.
[14]
3) Nubuwwah
Kaum Syiah meyakini bahwa semua Nabi yang disebutkan dalam Al Quran adalah utusan Allah dan
hamba-hambaNya yang mulia. Mereka ditugaskan untuk mengajak manusia kepada yang Al Haq atau
Allah. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir dan pemimpin para rasul. Hal terpenting dalam
keyakinan mereka tentang kenabian adalah permasalahan Ishamah (mashum). Mereka meyakini tentang
kesempurnaan sifat-sifat Nabi. Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi adalah mukjizat, begitupun
juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kenabian dan al Quran adalah mukjizat Nabi Muhammad dan
kitab suci umat Islam.[15]
4) Imamah
Mengenai masalah ini, kaum Syiah berpandangan bahwa imamah bukanlah masalah kemaslahatan umum,
melainkan merupakan suatu rukun agama dan pokok agama Islam yang tidak boleh dilalaikan oleh Nabi
atau diserahkan oleh rakyat, artinya rakyat tidak mempunyai hak untuk memberikan pertimbangan dan
menunjuk seorang imam melainkan hanya Nabi yang berkewajiban menunjuk imam yang akan memimpin
rakyat sepeninggal beliau. Dan setiap imam wajib pula menunjuk imam yang akan menggantikannya.[16]

Kaum Syiah berpandangan bahwa dalam agama Islam tidak ada sesuatu yang lebih penting dari pada
masalah penunjukan imam, apabila imam tersebut telah menunjuk penggantinya maka ia akan dapat
meninggal dunia dengan perasaan lega dan tidak merasa kuatir atas kepentingan rakyat.
Oleh karena Nabi mempunyai kewajiban untuk menunjuk imam yang akan mengurus kepentingan kaum
muslimin sesudah beliau wafat, maka beliau telah melaksanakan kewajiban itu yaitu telah menunjuk Ali,
dan penunjukannya dilakukan dengan nash yang jelas bukan secara sindiran. Peristiwa ini terjadi di suatu
tempat yang disebut ghadir kham. Sabda Nabi yang dimaksud berbunyi : Ali adalah teman bagi orang
yang saya menjadi temannya. Ya Allah tolonglah siapa yang menolongnya, dan musuhilah siapa yang
memusuhi, menangkanlah siapa yang memenangkannya, dan kalahkanlah siapa yang megalahkannya.
Jadikanlah kebenaran itu besertanya selama-lamanya semoga aku telah menyampaikan apa yang wajib
kusampaikan Dan penunjukan itu terjadi setelah turunnya firman Allah:
. . Hai Rasul sampaikanlah apa
yang telah diturunkan kepada mu dari Tuhanmu, dan jika engkau belum melakukannya berarti engkau tidak
menyampaikan pesanNya, dan Allah akan melindungimu dari kejahatan manusia(Q.S. Al Maidah: 67).[17]
Yang disuruh menyampaikannya dalam ayat itu, menurut tafsiran kaum Syiah adalah penunjukan Ali
sebagai imam. Oleh sebab itu setelah penunjukan itu selesai turunlah firman Allah :

Pada hari ini telah Ku sempurnakan agamamu dan telah Ku lengkapkan nikmat Ku untukmu, dan aku telah
rela agama Islam menjadi agamamu(Q.S. Al Maidah: 3)[18]
Bahwa imamah itu adalah khusus untuk Ali dan anak cucunya dari isterinya yaitu Fatimah. Mereka adalah
ahlulbait, dan pohon rindang yang beroleh berkah, yang karenanya Allah senang kepada seluruh manusia.
Orang selain mereka tidak berhak untuk menduduki jabatan imamah itu sampai Allah mewarisi bumi ini
dan semua orang yang berada diatasnya. Dan selain itu, mereka itu adalah mashum yakni terhindar dari
perbuatan dosa dan tidak pernah salah ataupun lupa.
5) Maad
Dalam pandangan kaum Syiah, Maad yang dimaksud setara dengan doktrin Rajah yaitu keyakinan akan
dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling
durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT di muka bumi bersamaan dengan
munculnya Imam Mahdi.
Keyakinan itu didasarkan pada al Quran surat al Mukmin ayat 11:
Mereka menjawab, Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami
dua kali pula, lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adalah suatu jalan bagi kami untuk keluar [19]
3. Murjiah
Faham aliran Murjiah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam Murjiah dan dalam sikap
netralnya. Pandangan netral tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata arjaa,
yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan. Menangguhkan
berarti menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan
langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya. Istilah memberi
harapan mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya
masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap
keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan
mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka berharap bahwa seorang mukmin yang melakukan
maksiat, ia masih dikatakan mukmin.

Berdasarkan itu, maka inti faham Murjiah adalah Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa
yang tidak mengenal bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, ia mukmin
sekalipun melakukan dosa. Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam
hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah
untuk menentukan hukumnya.
Faham ini menurut al-Asyari identik dengan faham golongan moderat. Faham yang sama juga diberikan
oleh al-Baghdadi ketika ia menerangkan bahwa ada tiga macam iman:
a. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu mengakui
Tuhan, Kitab, Rasul-rasul, kadar baik dan buruk serta sifat-sifat Tuhan
b. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seseorang serta yang
melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar
c. Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa perhitungan,
yaitu mengerjakan yang wajib serta sunnah dan menjauhi segala dosa.[20]
D. Perkembangan aliran Khawarij, Syiah dan Murjiah
1) Khawarij
Semakin lama kelompok yang memisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan
atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah
ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. Ali berusaha berunding dengan mereka tapi
tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah
ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka
berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula
Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita
tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara
yang menjadi korban adalah Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi.
Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. Ali menawarkan kepada mereka
untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing.
Sebagian memenuhi anjuran Ali, ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada
yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka
menyerang pasukan Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang
mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itulah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal
dan kejam. Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang
anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi
fisik Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan Ali tidak pernah
bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan
yang menguras Ali untuk menghadapinya. Muawiyah pun, yang setelah Ali wafat menjabat kedudukan
Amirul Muminin dan terkenal hilm (lemah lembut dan arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu
tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.
Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok, Para sejarawan berbeda
pendapat tentang jumlah kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak
kurang dari dua puluh kelompok, sebagian ushl dan yang lain fur. Yang termasuk ushul menurut Abu
Hasan Al-Asyary adalah : Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdiyah dan ash-Shufriyah. Sementara menurut
Syahrastani yang masuk ushl adalah al-Muhakkimah al-Ula, al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah,
al-Ajaridah, ats-TsaAlibah, al-Ibadhiyah dan ash-Shufriyah. Yang termasuk furu banyak sekali, tidak
relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di antaranya adalah al-Athawiyah, al-Fadikiyah dan
al-Ajaridah.

Harun Nasution mengidentifikasikan beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran
Khawarij, yaitu:[21]
1. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang tersebut Islam
2. Islam yang benar adalah Islam yang mereka fahami dan amalkan sedangkan Islam yang difami oleh
kelompok lainya tidak benar
3. Orang-orang Islam yang tersesat dan kafir perlu dibawa kembali ke Islam yang benar yaitu Islam yang
mereka fahami
4. Pemerintah dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka diangap sesat
5. mereka bersifat fanatik dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mencapai
tujuan mereka.

2) Syiah
Setiap mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan bergulirnya masa,
akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus
dan gemuknya. Sebagai contoh, satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan
oleh pembawa Syariat sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAW. Ini adalah sebuah
ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat
di antara para pemeluknya dalam menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya.
Dengan demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu. Mayoritas agama
langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam mengalami realita tersebut di atas.
Mazhab Syiah pun tidak terkecualikan dari realita ini. Pada masa hidupnya Imam Ali, Imam Hasan dan
Imam Husein tidak terjadi perpecahan dalam tubuh mazhab Syiah. Setelah Imam Husein syahid, mayoritas
pengikut Syiah menjadikan Imam Ali As-Sajjad sebagai imam keempat dan kelompok minoritas yang
dikenal dengan sebutan Kaisaniyah menjadikan putra ketiga Imam Ali yang bernama Muhammad bin
Hanafiah sebagai imam keempat dan mereka meyakini bahwa ia adalah Imam Mahdi yang ghaib di gunung
Ridhawi. Di akhir zaman ia akan muncul kembali.
Kitab Yanabiul Mawaddah juga mengakui bahawa Imam Mahdi mereka adalah imam yang ghaib kerana
terdapat sebuah hadis yang menyebutkan demikian. Hadis tersebut terjemahannya berbunyi kira-kira
begini:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, beliau bertanya, Wahai Rasulullah, adakah Al-Qaim dari anak
cucumu akan ghaib? Rasulullah SAW menjawab, Ya. Lalu baginda SAW bersabda, Wahai Jabir, ini
adalah salah satu urusan dari urusan Allah, dan salah satu rahsia dari rahsia-rahsia Allah. Engkau jauhilah
daripada syak kerana syak pada urusan Allah adalah kufur. (Yanabiul Mawaddah, hal. 489)[22]
Ahlus Sunnah juga mempercayai bahawa Imam Mahdi adalah iman yang ghaib, tetapi tidak semua yang
mempercayainya. Konsep imam yang ghaib ini hanya dipercayai oleh kalangan ahli tasawuf dan para
pengikut mereka sahaja, tidak dibawa kepada orang awam. Ahli-ahli tasawuf ini mendasarkan kepercayaan
mereka itu kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Konsep imam ghaib Ahlus Sunnah ini nyata jauh berbeda daripada konsep imam ghaib bagi golongan
Syiah, yang secara jelas menyatakan bahwa siapa yang tidak mempercayai keghaiban imam mereka,
dihukumkan kufur. Ini jelas diambil dari maksud zahir hadis yang diriwayatkan oleh mereka. Maknanya,
mempercayai Imam Mahdi sebagai ghaib adalah merupakan salah satu cabang rukun iman yang wajib
diketahui, diyakini dan disampaikan bagi sekalian pengikut mazhab Syiah.

Setelah Imam Sajjad syahid, mayoritas pengikut Syiah mengakui Imam Baqir, putranya sebagai imam
Syiah dan kelompok minoritas meyakini Zaid, putranya yang lain sebagai penggantinya. Kelompok ini
akhirnya dikenal dengan nama Syiah Zaidiyah.
Pasca syahadah Imam Baqir, para pengikut Syiah menjadikan Imam Jafar Ash-Shadiq, putranya sebagai
imam keenam Syiah. Dan setelah Imam Shadiq syahid, para pengikut Syiah terpecah menjadi lima
golongan:[23]
a. Mayoritas pengikut Syiah yang meyakini Imam Musa Al-Kazhim, putranya sebagai imam Syiah yang
ketujuh.
b. Kelompok kedua menjadikan putra sulungnya yang bernama Ismail sebagai imam Syiah yang ketujuh.
Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama Syiah Ismailiyah.
c. Kelompok ketiga menjadikan putranya yang bernama Abdullah Al-Afthah sebagai imam Syiah yang
ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama Syiah Fathahiyah.
d. Kelompok keempat menjadikan putranya yang bernama Muhammad sebagai imam Syiah yang ketujuh.
e. Kelompok kelima menganggap bahwa Imam Shadiq adalah imam Syiah terakhir dan tidak ada imam
lagi sepeningalnya.

Setelah Imam Musa Al-Kazhim syahid, mayoritas pengikut Syiah meyakini Imam Ridha, putranya sebagai
imam Syiah yang kedelapan dan kelompok minoritas dari mereka mengingkari imamahnya dan
menjadikan Imam Kazhim sebagai imam Syiah terakhir. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama
Syiah Waqifiyah.
Setelah Imam Ridha syahid hingga lahirnya Imam Mahdi, di dalam tubuh Syiah tidak terjadi perpecahan
yang berarti. Jika terjadi perpecahan pun, itu hanya berlangsung beberapa hari dan setelah itu sirna dengan
sendirinya. Seperti peristiwa Jafar bin Imam Ali Al-Hadi, saudara Imam Hasan Al-Askari yang mengaku
dirinya sebagai imam Syiah setelah saudaranya syahid.
Semua kelompok dan aliran cabang di atas telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali tiga aliran yang
hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga aliran Syiah tersebut adalah Syiah Itsna
Asyariyah, Syiah Ismailiyah dan Syiah Zaidiyah.
1.Syiah Itsna Asyariyyah :
Kaum Syiah aliran ini mendominasi Iran dan menjadi mayoritas pada masyarakat Syiah di Irak, Azerbeijan,
Bahrain dan pada masyarakat Muslim Lebanon.[24] Aliran ini meyakini bahwa silsilah Imam berlanjut dari
keturunan Imam yang ke empat yaitu Zainal Al Abidin Al Sajjad kepada puteranya Muhammad Al Baqir
sebagai Imam ke lima dan Jafar Al Shadiq yang merupakan Imam ke enam sampai kepada Imam ke dua
belas yaitu Muhammad Al Muntazar ( Al Mahdi ), yang dipercaya oleh aliran ini diberikan Tuhan sebuah
kehidupan panjang sampai akhir dunia tetapi berada dalam alam ghaib. Imam Mahdi tetap menjadi
pemimpin di dunia yang tersembunyi dan dapat muncul atau memperlihatkan diri kepada orang-orang yang
memiliki kondisi spiritual tertentu. Dan akan muncul secara terbuka sebelum akhir waktu, yaitu ketika
ketidak adilan dan penindasan telah menyeluruh dan akan membangun kembali keadilan dan perdamaian di
muka bumi serta akan mempersiapkan dan mengkondisikan kedatangan Isa dari surga.
Selain dari pada itu kaum Syiah aliran ini mempercayai ke dua belas Imam tersebut sebagai pemberi
petunjuk yang menggantikan Rasulullah Muhammad sebagai pemimpin umat dalam maslah-masalah
agama dan kemasyarakatan. Skema Imam dua belas adalah sebagai berikut :

1.Ali Ibn Abi Thalib


2. Al Hasan
5. Muhammad Al Baqir
6. Jafar Al Shadiq
7. Musa Al Kazhim
8. Ali Al Ridha
9. Muhammad Al Jawwad
10. Ali Al Hadi
111. Al Hasan Al Askari
12. Muhammad Al Muntazar (Al Mahdi )
Zaid
3. Al Husein
4. Al Zain Al Abidin
Ismail
Pada Muhammad Al Muntazar terhenti rangkaian Imam-imam nyata, karena ia tidak meninggalkan
keturunan. Dan sewaktu kecil, ia hilang dalam gua yang terletak di Masjid Samarra Irak sehingga diyakini
oleh kaum Syiah bahwa Imam ke dua belas ini menghilang untuk sementara waktu dan akan kembali lagi
sebagai Al Mahdi (yang dinanti)[25]untuk langsung memimpin umat manusia.
2. Syiah Ismailliyah :
Aliran ini memisahkan dari mayoritas kaum Syiah karena perdebatan disekitar identitas Imam ketujuh.
Seperti diketahui bahwa menurut keyakinan kaum Syiah , Imam ke enam, Jafar Al Shadiq telah memilih
puteranya , Ismail berdasarkan ilham dari Tuhan menjadi Imam ketujuh. Akan tetapi, Ismail meninggal
dunia ketika bapaknya masih hidup. Berikutnya Imam Al Kazim dipilih sebagai Imam ke tujuh, tetapi
sejumlah orang di dalam
masyarakat Syiah menolak untuk menerima penganugerahan itu dan tetap berpandangan bahwa Ismail
yang dikenal dengan sebutan Muhammad al Maktum adalah Imam ke tujuh bagi mereka, sehingga mereka
dinamakan aliran Ismailliyah.
Selama beberapa waktu , Imam-imam mereka tidak muncul secara terbuka sampai tiba-tiba pada abad ke
10, penganut aliran ini , di Tunisia menyatakan diri sebagai penguasa dan memperluas kekuasaannya
sampai ke Mesir dan hampir ke seluruh Negara Afrika Utara dan Suriah. Dan bahkan mereka mampu
mendirikan kekhalifahan Fatimiyyah yang menyaingi dan menantang kekhalifahan Sunni Abbasiyyah yang
ber ibukota di Baghdad.Kekhalifahan Fatimiyyah menjadikan Kairo sebagai ibu kota dan membangun kota
itu sehingga menjadi pusat ilmu dan seni, yaitu dengan telah didirikan Universitas Al Azhar dan sekarang
menjadi institusi pendidikan paling penting bagi umat Islam dunia.Walaupun jumlah mereka jelas lebih
kecil disbanding dengan pengikut Itsna Asyariyah tapi sumbangannya sangat besar dalam keseluruhan
sejarah Islam secara intelektual, seni dan politik sehingga mereka telah mengambil tempat yang sangat
penting dalam spectrum Islam.

3. Syiah Zaidiyyah :
Syiah Zaidiyyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Husein bin Ali bin Abi Thalib. Aliran kelompok Syiah
ini menginginkan bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah Husein bin Ali adalah puteranya yaitu Zaid
bin Husein. Dalam masalah Imamah mereka menyatakan bahwa Imam tidaklah ditentukan oleh Nabi SAW,
siapa orangnya tetapi hanya sifat-sifatnya. Tegasnya Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Ali lah yang akan
menjadi imam setelah beliau wafat, namun Nabi hanya menyebut sifat-sifat imam yang akan menggantikan
beliau, Ali ditetapkan sebagai imam , karena sifat itu terdapat dalam diri Ali, sifat-sifat yang dimaksud
adalah Takwa, berilmu, kemurahan hati, dan keberanian, sedangkan untuk imam sesudah Ali ditambah sifat
keturunan Fatimah.
Aliran Syiah Zaidiyyah pada abad ke 10 memiliki banyak pengikut di Persia dan Arab bagian timur tapi
berangsur-angsur mereka mereka pindah ke Yaman, yang akhirnya mereka mengisi setengah dari jumlah
penduduk negara tersebut dan menjadi penguasa selama ribuan tahun sampai pada 1962.[26]
Aliran Syiah ini mempunyai pendiria bahwa siapa saja yang taat beragama, berilmu pengetahuan akan
dapat mempertahankan negara dan memelihara perdamaian keamanan maka siapa saja yang mempunyai
kualifikasi tersebut dapat diangkat menjadi imam dan memimpin, sehingga dapat dikatakan bahwa Syiah
Zaidiyyah ini lebih moderat dibanding dengan Syiah Ismailiyyah. Walaupun jumlah pengikut aliran ini
hanya beberapa juta, namun sejarah penyebarannya selalu terkait dengan aktivitas dan institusi politik, hal
ini lah yang menyebabkan aliran Syiah ini berkuasa selama ribuan tahun.
3) Murjiah
Kaum Murjiah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murjiah terbagi
kepada dua golongan besar, yakni golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan Murjiah moderat
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di
hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murjiah ekstrim, yaitu pengikut
Jaham Ibn Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan
kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang
yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir.
Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna
imannya.
Ada beberapa kelompok Murjiah lainnya yang ekstrim yaitu:[27]
1. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan,
sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut
ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahu Tuhan.
2. Yunusiah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan meksiat atau perbuatan jahat
tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam man, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang
dkerjakan tidaklah merugikan orang yan bersangkutan.
Jadi dapat kita sampaikan bahwa aliran Khawarij adalah salah satu dari tiga aliran awal dalam pemikiran
Islam yang muncul pada saat terjadinya pertentangan politik (imamah) antara pengikut Muawiyah dan
pengikut Ali, yang kemudian berujung dengan digelarnya upaya perdamaian (Majlis Tahkim). Yang
dipertentangkan itu adalah tentang siapakah yang berhak menggantikan khalifah setelah khalifah Utsman
bin Affan meninggal. Dua aliran lainnya adalah aliran Murjiah dan Syiah. Aliran Syiah adalah gerakan
politik dan pemikiran yang setia terhadap Ali bin Abi Thalib, yang memiliki pandangan teologis bahwa
yang berhak menggantikan kursi kekhalifahan setelah Rasul wafat adalah Ali bin Abi Thalib beserta
keturunannya. Sedangkan, aliran Murjiah adalah gerakan pemikiran dan politik yang memiliki sikap dan
pandangan yang moderat. Yang dimaksud kemoderatan di sini adalah bahwa mereka tidak memihak kepada
kelompok Ali maupun Muawiyah, sehingga tidak memutuskan siapa yang benar dan salah, semuanya
diserahkan kepada keputusan Allah. Adapun aliran Khawarij adalah gerakan pemikiran dan politik yang
menentang adanya majlis tahkim termasuk semua hasil yang diputuskannya. Mereka menganggap, bahwa

orang-orang yang mengikuti bahkan menyepakati hasil majlis tahkim itu telah menyimpamg dari ajaran
Islam (dosa besar), dan bahkan dihukumkan kafir. Sebenarnya, para pengikut Khawarij adalah pengikut
setia Ali bin Abi thalib. Mereka keluar (Khawarij) dari barisan Ali, karena persoalan majlis tahkim itu.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kemunculan aliran Khawarij dengan segala gerakan, sikap, dan
pandangannya menjadi tanda atau indikasi kemunculan radikalisme pemikiran dalam Islam yang
diakibatkan oleh faktor politik, fanatisme, dan pemahaman yang literal terhadap ajaran Islam.
Jika dihubungkan dengan pemikiran Islam dewasa ini, maka ciri-ciri radikalisme, ternyata telah muncul dan
berkembang disebagian umat Islam, dengan indikasi:
Pertama; dalam memahami ajaran Islam (Alquran dan As-Sunnah) berdasarkan kepentingan kelompok atau
golongannya. Sehingga, simbol-simbol agama dijadikan sebagai alat politik untuk mendapatkan dukungan
dan simpati masyarakat. Tidak menutup kemungkinan pula, akibat dari pemahaman yang liberal,
mementingkan kelompoknya sendiri, dan sikap-sikap yang radikal itu, menyebabkan mereka menjadi
kelompok Muslim yang marjinal (eksklusif), dan bahkan bisa memunculkan aliran-aliran sesat.
Kedua; faktor Barat. Kemunculan radikalisme dalam pemikiran Islam pada masa modern dan
kontemporer sekarang ini tidak lepas dari faktor Barat pada umumnya. Faktor inilah yang ikut
mendorong bagi upaya-upaya pembaharuan di kalangan kaum muslimin, yang pada gilirannya muncul
dalam bentuk modernisme dan reformisme. Bagi kaum reformis dan modernis, bahwa untuk
mengangkat kaum muslimin dari kemunduran dan keterbelakangan, dalam segi-segi tertentu, perlu
dilakukan adopsi pemikiran dan kelembagaan Barat. Namun sebaliknya, bagi kaum radikal dan ekstrim,
justru Barat menjadi faktor kemunduran umat Islam. Bagi mereka, Barat tidak hanya menjajah wilayah
muslim (dar-al-Islam), tetapi juga telah merusak dan menghancurkan sistem nilai, budaya, sosial, ekonomi,
dan intelektualitas Islam. Mana mungkin mengikuti kaum Barat yang secara keimanan dan moral telah
mengalami kebobrokan.

Anda mungkin juga menyukai