Anda di halaman 1dari 1

S

SKP Picu Egoisme Fakultas

KP awalnya adalah ide untuk meningkatkan kualitas mahasiswa dengan kegiatan soft skil. Kemampuan mengorganisir dan
kemampuan bersosialisasi ada di dalamnya. Universitas punya aturan umum. Tapi belakangan fakultas terlihat egois. Keinginan
untuk membuat acara fakultas ramai menjadikan penilaian SKP tak berimbang. Organisasi mahasiswa tempat mencetak mahasiswa ber-soft skill kuat, gersang. Sebaliknya acara kepanitiaan Fakultas menjadi subur.
SKP (Satuan Kredit Partisipasi, bagi mahasiswa Unud,
tentunya sudah tidak asing lagi.
Bagaimana tidak, ketika baru
menginjakkan kaki di Universitas
Udayana, sejak masa orientasi,
SKP sudah mengiang-ngiang di
telinga. Mulai dari nilai sampai
jumlah yang harus dikumpulkan
pun sudah diwanti-wanti sejak
awal. Dengan sistem kurikulum
sekarang yang berbasis kompetensi, dalam pembelajaran harus
ada acuan standar dari proses
pembelajaran. Di tingkat mahasiswa salah satunya ada penilaian
keaktifan bagi mahasiswa.
Kecenderungan mahasiswa
yang enggan untuk mengasah soft
skill melalui kegiatan organisasi
menjadi latar belakang munculnya
ide dicetuskannya SKP, ungkap
Ananta Wijaya sebagai salah satu
pencetus ide ini. Tadinya tujuan
dari dibentuknya SKP ini untuk
membentuk suatu sistem yang
membuat mahasiswa tertarik untuk aktif dalam kegiatan, tambah
pria bertopi ini. Prof. I Nyoman
Sucipta berpendapat sama.
Adanya SK rektor tentang
SKP karena SKP dijadikan sistem
penghargaan kepada mahasiswa
yang aktif dan pelaksanaannya
sendiri diserahkan untuk diatur
di masing- masing Fakultas, ujar
mantan Pembantu Rektor Bidang
kemahasiswaan Unud ini.
Karakter yang berbeda-beda
di antara fakultas, menjadi alasan
utama kenapa standar minimal
dan maksimum SKP ditentukan
oleh fakultas. Namun Prof.Sucipta
yang ditemui di waktu santai di
kediamannya, enggan mengatakan
bahwa Universitas lepas tangan.
Bukan diserahkan begitu saja,
hanya saja di masing- masing
fakultas punya karakter yang berbeda-beda tergantung dari pimpinan fakultas. Di Universitas hanya
peraturan umum, tandasnya.
SKP, kini menjadi target
utama mahasiswa dalam mengikuti suatu kegiatan. Mulai dari kegiatan seminar, sampai kepanitiaan.
Sehingga tidak heran, dimana ada
kegiatan yang berlebelkan SKP,
mahasiswa berbondong-bondong
untuk mendaftar.
Adji Prakoso, Presiden BEM
PM Unud Periode 2010/2011 juga
sempat mengungkapkan pendapatnya tentang SKP. Menurutnya,
SKP memiliki dua sisi, positif dan
negatif. Hal ini dikarenakan kondisi mahasiswa yang disibukkan
dengan sistem perkuliahan dan
pandangan individual. Di satu sisi
SKP menolong untuk menstimulus mahasiswa untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan kampus dan

organisasi.
Keaktifan yang diharapkan
dengan adanya SKP adalah keaktifan yang mengandung proses belajar, dalam mematangkan mental
dan fisik mahasiswa untuk terjun
kemasyarakat. Karena kurang
pahamnya mahasiswa akan tujuan
dari SKP itu sendiri, mahasiswa
tekun mengikuti kegiatan instan
yang kurang mengembangkan
leadership mahasiswa, dengan
tujuan memenuhi standar SKPnya.
Saya memilih cara yang
paling gampang untuk mendapatkan SKP, melalui seminar-seminar, dan ikut kepanitiaan, karena
kedua kegiatan itu lebih gampang
dan tidak mengikat, papar Odilia
salah seorang mahasiswa Fakultas
Hukum.
Hal senada diungkapkan
Sagung Ari, yang juga mahasiswa
FH Unud. Saya cenderung tertarik
untuk mengikuti seminar-seminar, karena melalui seminar, bisa
mendapatkan informasi dan halhal baru. Karena bagaimanapun
SKP juga penting untuk bisa di
wisuda, kata mahasiswa semester
IV itu.
Kebutuhan akan SKP yang
juga dikarenakan SKP merupakan
prasyarat untuk dapat mengikuti ujian skripsi, membuat SKP
dikatakan malah menciptakan ego
sentris Fakultas. Maka dari itu
menurut Adji, SKP sekarang tidak
berjalan sesuai dengan fungsinya.
SKP mengubah kultur, mahasiswa
hanya bekerja di tingkat teknis,
sedangkan jika di organisasi ada
kaderisasi dan pengembangan
wawasan, tambah mahasiswa
kelahiran 17 Februari 1988 ini.
SKP yang dikatakan mengubah kultur juga disebabkan karena kebijakan dari Fakultas yang
cenderung melaksanakan kegiatan
ad hoc atau kepanitiaan. Cara
yang praktis dan mudah memang.
Sehingga mahasiswa lebih cenderung aktif di fakultasnya. Mana
ada orang yang mau dibuat susah?

Tabloid Akademika Edisi 57/2010

Maka dari itu, banyak wadah yang


disediakan universitas; seperti
UKM-UKM tidak diminati lagi
oleh mahasiswa. Walhasil organisasi-organisasi Universitas kini mati
suri. Wah, kenapa SKP malah menjadi bumerang bagi universitas itu
sendiri? Adji sendiri berpendapat,
Perlu penyeragaman agar bersifat
sinergis antara fakultas dengan
universitas, agar tidak ada kecemburuan.karena akan menimbulkan
perpecahan.
Di Fakultas Kedokteran Hewan, SKP yang harus dikumpulkan
adalah 45 point. 45 point tersebut terdiri dari 75% intern, 25 %
ekstern. Kalau dilihat, skala untuk
kegiatan internnya lebih banyak.
Di satu sisi mahasiswa kurang bisa
mengepakkan sayapnya mencari
pengalaman di luar yang barangkali banyak manfaatnya. Sedangkan disisi lainnya setiap kegiatan
kampusnya pasti akan ramai dan
banyak yang ikut serta, karena mahasiswa akan lebih memilih point
yang lebih besar.
Kebijakan serupa, terdapat
di Fakultas Ekonomi Unud.
Dengan alasan kurangnya minat
mahasiswa, khususnya di Fakultas
Ekonomi akan kegiatan dan organisasi intern kampus, maka dibuatlah kebijakan dengan skala point
75% untuk kegiatan intern dan
25% untuk ekstern. Jumlah yang
dikumpulkan per angkatan pun
berbeda. Angkatan 2007,2008 harus
mengumpulkan sebanyak 20 point,
sedangkan angkatan 2009 sejak di
buatnya Pakem (Panduan Kemahasiswaan) yang berlaku tahun 2010
harus mengumpulkan sebanyak 30
point.
Kami ingin mengembangkan soft skill mahasiswa FE,
dengan mengikuti kegiatan yang
FE adakan. Maka dari itu, kami
menawarkan bobot point yang
lebih besar untuk kegiatan intern.
Sehingga secara tidak langsung,
setiap kegiatan yang kami adakan
akan banyak peminatnya, urai

Hendra ketua BEM FE.


Selain adanya perbedaan
bobot point ekstern dan intern.
Jumlah point untuk kegiatan
tingkat Internasional, Nasional, dan Regional juga berbeda.
Namun tetap melihat pada 75%
persen ekstern dan 25% intern.
Di FE kami juga memberikan syarat-syarat SKP yang harus
dikumpulkan. Pertama, SKP yang
didapat dari kegiatan PKKMB
dan Student Day Fakultas, GET,
KBBM, dan Inisiasi di masingmasing jurusan, dan yang kedua
minimal mempunyai 3 SKP dari
kegiatan seminar nasional, ungkap mahasiswa D3 Perpajakan ini.
Prof. Dr. Komang Gede
Bendesa, M.A.D.E selaku Pembantu Rektor I Unud mengungkapkan,
dengan adanya kebijakan yang
membedakan point ekternal dan
internal secara signifikan, justru
mencerminkan pandangan yang
sempit mengenai SKP.
Apalagi kalau di fakultas
sendiri lebih banyak kegiatan
kepanitiaan dengan jumlah besar,
itu sama sekali tidak efektif bagi
pengembangan soft skill mahasiswa, tambahnya.
Berbeda lagi di Fakultas
Teknik Unud. Kampus yang
bercirikan warna hitam ini memiliki sistem SKP yang cukup rapi.
Target yang harus dicapai memang
terdengar banyak yaitu 250 point
untuk angkatan 2007-2009 yang
semuanya tercantum di dalam
buku pedoman SKP. Kabid V Senat
FT yang mengurusi masalah SKP
mengatakan bahwa sistem pengumpulan SKP di teknik justru lebih
mudah ketimbang fakultas lain.
Selain kegiatan di luar kampus
yang terhitung seperti kegiatan di
Banjar-Banjar, point yang kami berikan juga besar. Misalnya 60 point
untuk kepanitiaan skala internasional, ujar pria yang akrab disapa
Pur ini. Meski begitu FT menetapkan syarat juga untuk dapat
mengklaim SKP di FT yaitu wajib
mengikuti KIM guna mendapatkan
basic point sebesar 50 point.
Setiap kebijakan yang
ada kiranya harus menguntungkan semua pihak, karena pada
dasarnya tak ada fakultas yang
menghancurkan masa depan
mahasiswanya. Namun dari perbedaan penilaian SKP yang ada,
hendaknya tidak memunculkan
egosentris Fakultas yang mencolok.
Atau fakultas kini harus berbenah,
menyediakan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengasah soft skill
dengan matang. Bersedia?(intan resparani, windu, happy, angga, awing)

11

Anda mungkin juga menyukai