BLOK 23
SAPI DAN SAMPAH
Oleh
ARIA IKA SEPTANA
07/254199/KH/05863
LO:
1. Keracunan logam berat pada sapi. Etiologi-terapi, serta pengaruh residu logam berat
Pb dapat masuk tubuh melalui pernafasan, sampai di alveoli paru-paru menembus dinding
alveoli dan masuk dalam sirkulasi darah. Pb yang masuk tubuh melalui saluran pencernaan akan
dicerna bersama makanan dan diabsorbsi dalam usus halus, kemudian masuk kedalam sirkulasi
darah dan didistribsikan ke berbagai organ tubuh dan membentuk depo dalam tubuh, terutama pada
tulang. Pb setelah melalui hati dan ginjal dapat diekskresikan melalui feses dan urin. Dengan
demikian walau sangat sedikit jumlah Pb yang masuk ke dalam tubuh, suatu saat pada kondisi
tertentu Pb dapat secara tiba-tiba memperlihatkan gejala klinis dan membahayakan tubuh (Rosyid,
2009).
Umumnya keracunan pada anak sapi memperlihatkan gejala: dungu, tidak nafsu makan,
dyspnoe, kolik dan diare yang kadang-kadang diikuti konstipasi. gejala klinis yang muncul pada
anak sapi yang keracunan Pb adalah depresi susunan syaraf pusat, kebutaan, menguak dan berlari
seperti bingung, menekankan kepala dan anorexia (Rosyid, 2009).
Gejala klinis keracunan Pb pada sapi dewasa antara lain akibat gangguan pada syaraf:
dungu, buta, jalan berputar, terdapat gerakan kepala dan leher yang terus menerus, gerakan telinga
dan pengejapan katup mata. Gejala yang timbul akibat gangguan pada gastrointestinal adalah : statis
rumen dan anorexia (Rosyid, 2009).
Pencegahan keracunan Pb pada sapi pada dasarnya menghindarkan sapi dari sumber yang
mengandung Pb, yang memungkinkan sapi kontak dengan Pb. Sapi dijaga dari usaha mendekati dan
memakan buangan sampah, gemuk mesin, bahan bakar minyak, baterai bekas dan tanah yang
mungkin mengandung Pb. Bangunan peternakan dan penggembalaan tidak didirikan di dekat lokasi
pabrik yang menggunakan Pb sehingga tanah dan udara tidak tercemari oleh asap, debu atau bahan
buangan yang mengandung Pb. Makanan hijauan untuk ternak tidak ditanam di dekat jalan besar
yang ramai, karena dapat terkontaminasi Pb yang berasal dari pembakaran bensin motor atau mobil
yang lewat jalan tersebut. Bila kandang, palung dan ember minumnya dicat, dihindarkan dari
penggunaan cat yang mengandung Pb (Rosyid, 2009).
Pada pengobatan keracunan Pb sering digunakan chelating agentsebagai antagonis dari
logam Pb, yang mengikat Pb dan membentuk ikatan kompleks. Chelating agent yang khas bagi
keracunan Pb adalah: Ethylenediamin Tetraacetic Acid (EDTA) atau CA-Versenat. EDTA, tidak
mempunyai selektifitas yang tinggi terhadap Pb, karena itu bisa juga mengikat Ca, Mg sama baik
seperti terhadap Fe, Zn dan Cu. Untuk menghindari terjadinya tetani hypocalcemia akibat
pengikatan NA2EDTA terhadap kalsium dalam darah, maka diberikan dalam bentuk Calsium
Dinatrium Edta atau Ca-Varsenat yang tidak mengikat kalsium darah (Rosyid, 2009).
Keracunan Kronis
Pada manusia, keracunan Cu secara kronis dapat dilihat dengan timbulnya penyakit Wilson
dan kinsky. Gejala dari penyakit Wilson ini terjadinya hepatic cirrhosis, kerusakan pada otak dan
demyelinasi, serta terjadinya penurunan kerja ginjal dan pengendapan Cu dalam kornea mata.
Penyakit kinsky dapat diketahui dengan terbentuknya rambut yang kaku dan berwarna kemerahan
pada penderita. Sementara pada hewan seperti kerang, bila dalam tubuhnya telah terakumulasi
dalam jumlah tinggi, maka bagian otot tubuhnya akan memperlihatkan warna kehijauan. Hal itu
dapat menjadi petunjuk apakah kerang tersebut masih bisa dikonsumsi oleh manusia (Rahman,
2008).
Jeroan
Batas maksimum
0,5 mg/kg
1,0 mg/kg
Batas maksimum
0,3 mg/kg
Jeroan
0,5 mg/kg
Batas maksimum cemaran Merkuri (Hg) dalam pangan
Kategori pangan
Daging dan hasil olahannya
Batas maksimum
0,03 mg/kg
siap konsumsi)
Batas maksimum
1,0 mg/kg
1,0 mg/kg
(SNI, 2009)
Larutan asam cuka dengan baik dengan konsentrasi 12,5% ataupun 25% dapat menurunkan
kadar logam berat dalam kerang batik maupun kerang darah, dengan kandungan protein yang tidak
berbeda (Adriyani, 2011).
Non eksperimental (Observasi) adalah suatu penelitian dimana pengamatan terhadap fenomena
kesehatan dilakukan dalam keadaan apa adanya tanpa intervensi peneliti.
Studi kohort / follow up / incidence / longitudinal / prospektif studi. Kohort diartikan sebagai
sekelompok orang. Tujuan studi mencari akibat (penyakitnya).
Pada penelitian kohort dilakukan perbandingan antara kelompok terpapar dengan kelompok
tidak terpapar kemudian dilihat akibat yang ditimbulkannya. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan waktu secara longitudinal, atau period time approach. Karena faktor risiko
diidentifikasi lebih dulu dan yang ingin dilihat adalah efeknya, maka penelitian ini desebut
penelitian prospektif, yaitu melihat kedepan kejadian yang berhubungan dengan kesakitan.
Penelitian diawali dengan kelompok yang terpapar faktor resiko dan kelompok yang tak
terpapar faktor resiko selanjutnya diikuti dalam jangka waktu yang ditentukan kemudian dievaluasi
timbulnya penyakit atau tidak timbul penyakit pada kedua kelompok. Penelitian ini disebut juga
incidence study karena dengan penelitian ini diperoleh insiden suatu penyakit (Kuntoro, H.
2006.).
Studi kohort, juga biasa disebut follow up atau studi insidens, bermula dari sejumlah
kelompok orang (kohort) yang bebas dari penyakit, yang diklasifikasikan ke dalam subgrup
berdasarkan tingkat pajanan kepada kejadian potensial penyakit atau outcome. Kelompok-kelompok
studi dengan karakteristik tertentu yang sama (yaitu pada awalnya bebas dari penyakit) tetapi
memiliki tingkat keterpaparan yang berbeda, dan kemudian dibandingkan insidensi penyakit yang
dialaminya selama periode waktu, disebut kohort. Ciri-ciri lainnya dari studi kohort adalah
dimungkinkannya penghitungan laju insidensi dari masing-masing kelompok studi (Kuntoro, H.
2006.).
Ada beberapa kelebihan dalam studi kohort. Pertama, studi kohort dilakukan sesuai dengan
logika eksperimental dalam membuat inferensi kausal, yaitu penelitian dimulai dengan menentukan
faktor penyebab (anteseden) diikuti dengan akibat (konsekuen). Kedua, peneliti dapat menghitung
laju insidensi. Ketiga, studi kohort sesuai untuk meneliti paparan yang langka (misalnya faktorfaktor lingkungan). Keempat, studi kohort memungkinkan peneliti mempelajari sejumlah efek
serentak dari sebuah paparan. Kelima, pada studi kohort prospektif, kemungkinan terjadi bias dalam
menyeleksi subjek dan menentukan status paparan adalah kecil, sebab penyakit yang diteliti belum
terjadi. Keenam, karena bersifat observasional, maka tidak ada subjek yang sengaja dirugikan
karena tidak mendapatkan terapi yang bermanfaat (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kohort juga memiliki berbagai kelemahan. Kelemahan utama, rancangan studi kohort
prospektif lebih mahal dan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada studi kasus kontrol atau
studi kohort retrospektif. Kedua, tidak efisien dan tidak praktis untuk mempelajari penyakit yang
langka, kecuali jika ukuran besar atau prevalensi penyakit pada kelompok terpapar cukup tinggi.
Ketiga, subjek dapat saja hilang atau pergi selama penelitian. Keempat, karena faktor penelitian
sudah ditentukan terlebih dahulu pada awal penelitian, maka studi kohort tidak cocok untuk
merumuskan hipotesis tentang faktor-faktor etiologi lainnya untuk penyakit itu, tatkala penelitian
terlanjur berlangsung (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kasus control / case control study / studi retrospektif. Tujuannya mencari faktor penyebab
penyakit.
Pada penelitian kasus kontrol dilakukan perbandingan antara kelompok populasi yang
menderita penyakit dengan yang tidak menderita penyakit kemudian dicari faktor penyebabnya.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan waktu secara longitudinal, atau period time
approach. Karena yang diketahui adalah efek dan yang ingin dilihat adalah faktor risiko maka sifat
penelitian ini disebut penelitian retrospektif yaitu melihat kembali kebelakang kejadian yang
berhubungan dengan kesakitan.
Penelitian diawali dengan penentuan kelompok disease dan kelompok non disease.
Selanjutnya di lacak kemungkinan adanya faktor resiko di masa lampau yang ada kaitannya dengan
timbulnya disease yang dipelajari. Dalam melacak adanya faktor resiko tentunya ada
kelemahannya yaitu bias karena individu diminta untuk mengingat tentang apa yang pernah
dialaminya dalam terpapar faktor resiko di masa lampau. Bias tersebut dikenal dengan recall bias.
Peluang bias lebih besar pada kelompok non disease dibandingkan kelompok disease (Kuntoro,
H. 2006.).
Studi kasus kontrol mengikuti paradigma yang menelusuri dari efek ke penyebab. Di dalam
studi kasus kontrol, individual dengan kondisi khusus atau berpenyakit (kasus) dipilih untuk
dibandingkan dengan sejumlah indivual yang tak memiliki penyakit (kontrol). Kasus dan kontrol
dibandingkan dalam hal sesuatu yang telah ada atau atribut masa lalu atau pajanan menjadi sesuatu
yang relevan dengan perkembangan atau kondisi penyakit yang sedang dipelajari (Kuntoro, H.
2006.).
Studi kasus kontrol merupakan salah satu rancangan riset epidemiologi yang paling popular
belakangan ini karena kekuatan yang dimilikinya. Kelebihan studi kasus kontrol anatara lain, relatif
murah, relatif cepat, hanya membutuhkan perbandingan subjek yang sedikit, tak menciptakan
subjek yang berisiko, cocok untuk studi dari penyakit yang aneh ataupun penyakit yang memiliki
periode laten lama, dan sebagainya (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kasus kontrol memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertama adalah studi kasus
kontrol memiliki metodologi kausal yang bertentangan dengan logika eksperimen klasik. Logika
normal penelitian hubungan kausal paparan dan penyakit lazimnya diawali dengan identifikasi
paparan (sebagai penyebab) kemudian diikuti selama periode tertentu untuk melihat perkembangan
penyakit (sebagai akibat). Studi kasus kontrol melakukan hal yang sebalikanya : melihat akibatnya
dulu, baru menyelidiki apa penyebabnya. Kelemahan-kelemahan yang lain adalah studi kasus
kontrol tidak efisien untuk mempelajari paparan-paparan yang langka, peneliti tak dapat
menghitung laju insidensi penyakit baik populasi yang terpapar maupun yang tak terpapar karena
subjeknya dipilih berdasarkan status penyakit, tidak mudah untuk memastikan hubungan temporal
antara paparan dan penyakit (Kuntoro, H. 2006.).
Studi Cross Sectional Study / studi potong lintang / studi prevalensi atau survey yaitu merupakan
penelitian untuk mempelajari hubungan antara faktor-faktor risiko dengan efek dengan pendekatan
atau observasi sekaligus pada suatu waktu tertentu. Disebut juga penelitian transversal karena
model yang digunakan adalah Point time Approach. Pendekatan suatu saat bukan dimaksudkan
semua subyek diamati pada saat yang sama melainkan tiap subyek hanya diamati satu kali saja dan
pengukuran dilakukan terhadap suatu karakter atau variabel pada saat pemeriksaan.
Penelitian ini disebut juga prevalence study karena dari penelitian ini diperoleh prevalensi
suatu penyakit. Penelitian ini disebut juga correlational study karena bisa digunakan untuk
mengukur kuatnya hubungan antara faktor resiko dengan penyakit. Dikatakan cross-sectional
study karena faktor resiko dan penyakit diamati pada waktu yang bersamaan. Penelitian ini tidak
bisa digunakan untuk membuktikan hubungan sebab akibat (Kuntoro, H. 2006.).
Cross-sectional studi ini adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan
penyakit dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit
serentak pada individu-individu dari populasi tunggal pada satu saat atau satu periode. Tujuan studi
ini adalah untuk memperoleh gambaran pola penyakit dan determinan-dterminannya pada populasi
sasaran (Kuntoro, H. 2006.).
Kelebihan studi belah lintang ialah mudah untuk dilakukan dan murah, sebab tidak
memerlukan follow-up. Jika tujuan penelitian sekadar mendeskripsikan distribusi penyakit
dihubungkan dengan faktor-faktor penelitian, maka studi potong lintang adalah rancangan studi
yang cocok, efisien, dan cukup kuat di segi metodologik. Selain itu, studi belah-lintang tak
memaksa subjek untuk mengalami faktor yang diperkirakan bersifat merugikan kesehatan faktor
resiko (Kuntoro, H. 2006.).
Kelemahan studi belah-lintang adalah tidak tepat digunakan untuk menganalisis hubungan
kausal paparan dan penyakit. Hal ini disebabkan karena validitas penilaian hubungan kausal yang
menuntut sekuensi waktu yang jelas antara paparan dan penyakit (yaitu, paparan harus mendahului
penyakit) sulit untuk dipenuhi pada studi ini (Kuntoro, H. 2006.).
DAFTAR PUSTAKA
Adriyani, R. 2011. Kadar Logam Berat Cadmium, Protein dan Organoleptik pada Daging Bivalvia
dan Efektivitas Perendaman Larutan Asam Cuka. Fakultas Pascasarjana. Universitas
Airlangga.
Kuntoro, H. 2006. Konsep Desain Penelitian. Guru Besar Ilmu Biostatistika dan Kependudukan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Surabaya.