Anda di halaman 1dari 9

SINOPSIS TUTORIAL

BLOK 23
SAPI DAN SAMPAH

Oleh
ARIA IKA SEPTANA
07/254199/KH/05863

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011

LO:

1. Keracunan logam berat pada sapi. Etiologi-terapi, serta pengaruh residu logam berat

dalam daging jika dikonsumsi manusia.


2. Kajian observasional : lintas seksional, kohort dan kasus control
3. Asosiasi statistic dan epidemiologi

Toksisitas Timbal Pada Hewan


Pengaruh Timbal terhadap Hewan
Pb merupakan salah satu penyebab keracunan yang sering terjadi di peternakan dan
kumpulan ternak di Amerika Serikat. Selama 2 tahun, kurang lebih 24 kejadian keracunan Pb pada
sapi tercatat di laboratorium negara ini. Sapi cenderung menderita keracunan Pb karena kebiasaan
menjilat dan memakan benda asing terutama yang berasal dari bahan bakar minyak dan gemuk
mesin, dimana keduanya mengandung jumlah Pb yang tinggi dan cepat diabsorbsi oleh saluran
pencernaan. Perjalanan penyakit bisa beberapa jam bila Pb berasal dari bahan bakar minyak dan
dapat terjadi sampai beberapa hari atau minggu bila memamah baterai atau potongan papan bercat.
Morbiditas pada keracunan Pb dapat mencapai: 10-15 %, sedang mortalitasnya mencapai: 75-100 %
(Rosyid, 2009).
Pengaruh Pb pada sapi
Sapi dapat menderita keracunan Pb karena memakan makanan yang terkontaminasi atau
melalui inhalasi di lingkungan yang tercemar. dari beberapa pengamatan dapat disimpulkan, bila Pb
diketemukan dalam tumbuhan, hal ini merupakan akibat dari udara sekitar yang mengandung Pb
atau perpindahan Pb dari tanah ke tumbuhan yang tumbuh di atas tanah yang mengandung Pb. Hasil
penelitiannya menunjukkan rumput yang ditanam di tepi jalan besar dan ramai dapat mengandung
225 mg Pb/kg rumput kering dan 165 mg/kg pada jarak 7,6 meter; 99 mg/kg pada jarak 22,8 meter;
67 mg/kg pada jarak 38,1 meter; 55 mg/kg pada jarak 53,3 meter atau 46 mg/kg pada jarak 68,8
meter dari jalan besar. Sehingga semakin dekat jarak antara tanaman rumput dan jalan besar yang
ramai, semakin besar kemungkinan untuk mengalami kontaminasi (Rosyid, 2009).
Logam Pb dan senyawa Pb sebagai penyebab keracunan pada sapi, terdapat pada timbunan
sampah di sekitar kandang. Umumnya berasal dari pecahan pipa, baterai bekas, potongan papan
bercat atau benda-benda lain. Sedang senyawa Pb yang dijumpai sebagi produk dari industri, yang
dapat menyebabkan keracunan Pb pada sapi adalah :
- Plumbum merah (Tri Plumbic Tetraoxide / Pb3O4) pada cat.
- Plumbum putih (Plumbum Carbonat / Pb2CO3Pb(OH)2) pada cat dan linoleum.
- Plumbum Carbonat (PbCrO4) pada cat.
- PbO2 dan PbS dari motor, merupakan bentuk yang dilepas dari bahan bakar.
- Plumbum sulfat (PbSO4) pada cat.

Pb dapat masuk tubuh melalui pernafasan, sampai di alveoli paru-paru menembus dinding
alveoli dan masuk dalam sirkulasi darah. Pb yang masuk tubuh melalui saluran pencernaan akan
dicerna bersama makanan dan diabsorbsi dalam usus halus, kemudian masuk kedalam sirkulasi
darah dan didistribsikan ke berbagai organ tubuh dan membentuk depo dalam tubuh, terutama pada
tulang. Pb setelah melalui hati dan ginjal dapat diekskresikan melalui feses dan urin. Dengan
demikian walau sangat sedikit jumlah Pb yang masuk ke dalam tubuh, suatu saat pada kondisi
tertentu Pb dapat secara tiba-tiba memperlihatkan gejala klinis dan membahayakan tubuh (Rosyid,
2009).
Umumnya keracunan pada anak sapi memperlihatkan gejala: dungu, tidak nafsu makan,
dyspnoe, kolik dan diare yang kadang-kadang diikuti konstipasi. gejala klinis yang muncul pada
anak sapi yang keracunan Pb adalah depresi susunan syaraf pusat, kebutaan, menguak dan berlari
seperti bingung, menekankan kepala dan anorexia (Rosyid, 2009).
Gejala klinis keracunan Pb pada sapi dewasa antara lain akibat gangguan pada syaraf:
dungu, buta, jalan berputar, terdapat gerakan kepala dan leher yang terus menerus, gerakan telinga
dan pengejapan katup mata. Gejala yang timbul akibat gangguan pada gastrointestinal adalah : statis
rumen dan anorexia (Rosyid, 2009).
Pencegahan keracunan Pb pada sapi pada dasarnya menghindarkan sapi dari sumber yang
mengandung Pb, yang memungkinkan sapi kontak dengan Pb. Sapi dijaga dari usaha mendekati dan
memakan buangan sampah, gemuk mesin, bahan bakar minyak, baterai bekas dan tanah yang
mungkin mengandung Pb. Bangunan peternakan dan penggembalaan tidak didirikan di dekat lokasi
pabrik yang menggunakan Pb sehingga tanah dan udara tidak tercemari oleh asap, debu atau bahan
buangan yang mengandung Pb. Makanan hijauan untuk ternak tidak ditanam di dekat jalan besar
yang ramai, karena dapat terkontaminasi Pb yang berasal dari pembakaran bensin motor atau mobil
yang lewat jalan tersebut. Bila kandang, palung dan ember minumnya dicat, dihindarkan dari
penggunaan cat yang mengandung Pb (Rosyid, 2009).
Pada pengobatan keracunan Pb sering digunakan chelating agentsebagai antagonis dari
logam Pb, yang mengikat Pb dan membentuk ikatan kompleks. Chelating agent yang khas bagi
keracunan Pb adalah: Ethylenediamin Tetraacetic Acid (EDTA) atau CA-Versenat. EDTA, tidak
mempunyai selektifitas yang tinggi terhadap Pb, karena itu bisa juga mengikat Ca, Mg sama baik
seperti terhadap Fe, Zn dan Cu. Untuk menghindari terjadinya tetani hypocalcemia akibat
pengikatan NA2EDTA terhadap kalsium dalam darah, maka diberikan dalam bentuk Calsium
Dinatrium Edta atau Ca-Varsenat yang tidak mengikat kalsium darah (Rosyid, 2009).

Mekanisme Toksisitas Logam Berat

Keracunan Tembaga (Cu) dan Logam Pb


Sebagai logam berat, Cu (tembaga) berbeda dengan logam-logam berat lainnya seperti Hg,
Cd, dan Cr. Logam berat Cu digolongkan ke dalam logam berat di pentingkan atau logam berat
esensial, artinya meskipun Cu merupakan logam berat beracun, unsur logam ini sangat diperlukan
tubuh meski dalam jumlah yang sedikit. Toksisitas yang dimiliki oleh Cu baru akan bekerja dan
memperlihatkan pengaruhnya bila logam ini telah masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah
besar atau melebihi nilai teloransi organisme terkait. Biota perairan sangat peka terhadap kelebihan
Cu dalam badan perairan tempat hidupnya. Konsentrasi Cu terlarut yang mencapai 0.01 ppm, akan
mengakibatkan kematian bagi fitoplankton. Hal ini disebabkan daya racun Cu telah menghambat
aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton (Rahman, 2008).
Bentuk tembaga yang paling beracun berupa debu-debu Cu yang dapat mengakibatkan
kematian pada dosis 3,5mg/kg. Pada manusia, efek keracunan utama ditimbulkan akibat terpapar
oleh debu atau uap logam Cu. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalur
pernafasan sebelah atas, juga kerusakan atropik pada selaput lendir yang berhubungan dengan
hidung. Kerusakan itu merupakan akibat dari gabungan sifat iritatif yang dimiliki oleh debu atau
uap Cu tersebut (Rahman, 2008).
Sesuai dengan sifatnya sebagai logam berat beracun, Cu dapat mengakibatkan keracunan
akut dan kronis. Terjadinya keracunan akut dan kronis ini ditentukan oleh besarnya dosis yang
masuk dan kemampuan organisme untuk menetralisir dosis tersebut (Rahman, 2008).
Keracunan Akut
Gejala-gejala yang dapat dideteksi sebagai akibat keracunan akut tersebut diantaranya:
1. Adanya rasa logam pada pernafasan penderita
2. Adanya rasa terbakar pada epigastrum dan muntah yang terjadi secara berulang-ulang.

Keracunan Kronis
Pada manusia, keracunan Cu secara kronis dapat dilihat dengan timbulnya penyakit Wilson
dan kinsky. Gejala dari penyakit Wilson ini terjadinya hepatic cirrhosis, kerusakan pada otak dan
demyelinasi, serta terjadinya penurunan kerja ginjal dan pengendapan Cu dalam kornea mata.
Penyakit kinsky dapat diketahui dengan terbentuknya rambut yang kaku dan berwarna kemerahan
pada penderita. Sementara pada hewan seperti kerang, bila dalam tubuhnya telah terakumulasi
dalam jumlah tinggi, maka bagian otot tubuhnya akan memperlihatkan warna kehijauan. Hal itu
dapat menjadi petunjuk apakah kerang tersebut masih bisa dikonsumsi oleh manusia (Rahman,
2008).

Kadar Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam daging

Batas maksimum cemaran arsen (As) dalam pangan


Kategori pangan
Daging dan hasil olahannya

Jeroan

Batas maksimum
0,5 mg/kg

1,0 mg/kg

Batas maksimum cemaran cadmium (Cd) dalam pangan


Kategori pangan
Daging dan hasil olahannya

Batas maksimum
0,3 mg/kg

Jeroan
0,5 mg/kg
Batas maksimum cemaran Merkuri (Hg) dalam pangan
Kategori pangan
Daging dan hasil olahannya

Batas maksimum
0,03 mg/kg

Batas maksimum cemaran timah (Sn) dalam pangan


Kategori pangan
Batas maksimum
Daging dan hasil olahannya dalam 0,03 mg/kg (dihitung terhadap produk
kemasan kaleng

siap konsumsi)

Batas maksimum cemaran timbal (Pb) dalam pangan


Kategori pangan
Daging dan hasil olahannya

Jeroan sapi, babi, kambing, unggas

Batas maksimum
1,0 mg/kg

1,0 mg/kg
(SNI, 2009)

Larutan asam cuka dengan baik dengan konsentrasi 12,5% ataupun 25% dapat menurunkan
kadar logam berat dalam kerang batik maupun kerang darah, dengan kandungan protein yang tidak
berbeda (Adriyani, 2011).
Non eksperimental (Observasi) adalah suatu penelitian dimana pengamatan terhadap fenomena
kesehatan dilakukan dalam keadaan apa adanya tanpa intervensi peneliti.
Studi kohort / follow up / incidence / longitudinal / prospektif studi. Kohort diartikan sebagai
sekelompok orang. Tujuan studi mencari akibat (penyakitnya).
Pada penelitian kohort dilakukan perbandingan antara kelompok terpapar dengan kelompok
tidak terpapar kemudian dilihat akibat yang ditimbulkannya. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan waktu secara longitudinal, atau period time approach. Karena faktor risiko
diidentifikasi lebih dulu dan yang ingin dilihat adalah efeknya, maka penelitian ini desebut
penelitian prospektif, yaitu melihat kedepan kejadian yang berhubungan dengan kesakitan.

Penelitian diawali dengan kelompok yang terpapar faktor resiko dan kelompok yang tak
terpapar faktor resiko selanjutnya diikuti dalam jangka waktu yang ditentukan kemudian dievaluasi
timbulnya penyakit atau tidak timbul penyakit pada kedua kelompok. Penelitian ini disebut juga
incidence study karena dengan penelitian ini diperoleh insiden suatu penyakit (Kuntoro, H.
2006.).
Studi kohort, juga biasa disebut follow up atau studi insidens, bermula dari sejumlah
kelompok orang (kohort) yang bebas dari penyakit, yang diklasifikasikan ke dalam subgrup
berdasarkan tingkat pajanan kepada kejadian potensial penyakit atau outcome. Kelompok-kelompok
studi dengan karakteristik tertentu yang sama (yaitu pada awalnya bebas dari penyakit) tetapi
memiliki tingkat keterpaparan yang berbeda, dan kemudian dibandingkan insidensi penyakit yang
dialaminya selama periode waktu, disebut kohort. Ciri-ciri lainnya dari studi kohort adalah
dimungkinkannya penghitungan laju insidensi dari masing-masing kelompok studi (Kuntoro, H.
2006.).
Ada beberapa kelebihan dalam studi kohort. Pertama, studi kohort dilakukan sesuai dengan
logika eksperimental dalam membuat inferensi kausal, yaitu penelitian dimulai dengan menentukan
faktor penyebab (anteseden) diikuti dengan akibat (konsekuen). Kedua, peneliti dapat menghitung
laju insidensi. Ketiga, studi kohort sesuai untuk meneliti paparan yang langka (misalnya faktorfaktor lingkungan). Keempat, studi kohort memungkinkan peneliti mempelajari sejumlah efek
serentak dari sebuah paparan. Kelima, pada studi kohort prospektif, kemungkinan terjadi bias dalam
menyeleksi subjek dan menentukan status paparan adalah kecil, sebab penyakit yang diteliti belum
terjadi. Keenam, karena bersifat observasional, maka tidak ada subjek yang sengaja dirugikan
karena tidak mendapatkan terapi yang bermanfaat (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kohort juga memiliki berbagai kelemahan. Kelemahan utama, rancangan studi kohort
prospektif lebih mahal dan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada studi kasus kontrol atau
studi kohort retrospektif. Kedua, tidak efisien dan tidak praktis untuk mempelajari penyakit yang
langka, kecuali jika ukuran besar atau prevalensi penyakit pada kelompok terpapar cukup tinggi.
Ketiga, subjek dapat saja hilang atau pergi selama penelitian. Keempat, karena faktor penelitian
sudah ditentukan terlebih dahulu pada awal penelitian, maka studi kohort tidak cocok untuk
merumuskan hipotesis tentang faktor-faktor etiologi lainnya untuk penyakit itu, tatkala penelitian
terlanjur berlangsung (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kasus control / case control study / studi retrospektif. Tujuannya mencari faktor penyebab
penyakit.
Pada penelitian kasus kontrol dilakukan perbandingan antara kelompok populasi yang
menderita penyakit dengan yang tidak menderita penyakit kemudian dicari faktor penyebabnya.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan waktu secara longitudinal, atau period time

approach. Karena yang diketahui adalah efek dan yang ingin dilihat adalah faktor risiko maka sifat
penelitian ini disebut penelitian retrospektif yaitu melihat kembali kebelakang kejadian yang
berhubungan dengan kesakitan.
Penelitian diawali dengan penentuan kelompok disease dan kelompok non disease.
Selanjutnya di lacak kemungkinan adanya faktor resiko di masa lampau yang ada kaitannya dengan
timbulnya disease yang dipelajari. Dalam melacak adanya faktor resiko tentunya ada
kelemahannya yaitu bias karena individu diminta untuk mengingat tentang apa yang pernah
dialaminya dalam terpapar faktor resiko di masa lampau. Bias tersebut dikenal dengan recall bias.
Peluang bias lebih besar pada kelompok non disease dibandingkan kelompok disease (Kuntoro,
H. 2006.).
Studi kasus kontrol mengikuti paradigma yang menelusuri dari efek ke penyebab. Di dalam
studi kasus kontrol, individual dengan kondisi khusus atau berpenyakit (kasus) dipilih untuk
dibandingkan dengan sejumlah indivual yang tak memiliki penyakit (kontrol). Kasus dan kontrol
dibandingkan dalam hal sesuatu yang telah ada atau atribut masa lalu atau pajanan menjadi sesuatu
yang relevan dengan perkembangan atau kondisi penyakit yang sedang dipelajari (Kuntoro, H.
2006.).
Studi kasus kontrol merupakan salah satu rancangan riset epidemiologi yang paling popular
belakangan ini karena kekuatan yang dimilikinya. Kelebihan studi kasus kontrol anatara lain, relatif
murah, relatif cepat, hanya membutuhkan perbandingan subjek yang sedikit, tak menciptakan
subjek yang berisiko, cocok untuk studi dari penyakit yang aneh ataupun penyakit yang memiliki
periode laten lama, dan sebagainya (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kasus kontrol memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertama adalah studi kasus
kontrol memiliki metodologi kausal yang bertentangan dengan logika eksperimen klasik. Logika
normal penelitian hubungan kausal paparan dan penyakit lazimnya diawali dengan identifikasi
paparan (sebagai penyebab) kemudian diikuti selama periode tertentu untuk melihat perkembangan
penyakit (sebagai akibat). Studi kasus kontrol melakukan hal yang sebalikanya : melihat akibatnya
dulu, baru menyelidiki apa penyebabnya. Kelemahan-kelemahan yang lain adalah studi kasus
kontrol tidak efisien untuk mempelajari paparan-paparan yang langka, peneliti tak dapat
menghitung laju insidensi penyakit baik populasi yang terpapar maupun yang tak terpapar karena
subjeknya dipilih berdasarkan status penyakit, tidak mudah untuk memastikan hubungan temporal
antara paparan dan penyakit (Kuntoro, H. 2006.).
Studi Cross Sectional Study / studi potong lintang / studi prevalensi atau survey yaitu merupakan
penelitian untuk mempelajari hubungan antara faktor-faktor risiko dengan efek dengan pendekatan
atau observasi sekaligus pada suatu waktu tertentu. Disebut juga penelitian transversal karena

model yang digunakan adalah Point time Approach. Pendekatan suatu saat bukan dimaksudkan
semua subyek diamati pada saat yang sama melainkan tiap subyek hanya diamati satu kali saja dan
pengukuran dilakukan terhadap suatu karakter atau variabel pada saat pemeriksaan.
Penelitian ini disebut juga prevalence study karena dari penelitian ini diperoleh prevalensi
suatu penyakit. Penelitian ini disebut juga correlational study karena bisa digunakan untuk
mengukur kuatnya hubungan antara faktor resiko dengan penyakit. Dikatakan cross-sectional
study karena faktor resiko dan penyakit diamati pada waktu yang bersamaan. Penelitian ini tidak
bisa digunakan untuk membuktikan hubungan sebab akibat (Kuntoro, H. 2006.).
Cross-sectional studi ini adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan
penyakit dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit
serentak pada individu-individu dari populasi tunggal pada satu saat atau satu periode. Tujuan studi
ini adalah untuk memperoleh gambaran pola penyakit dan determinan-dterminannya pada populasi
sasaran (Kuntoro, H. 2006.).
Kelebihan studi belah lintang ialah mudah untuk dilakukan dan murah, sebab tidak
memerlukan follow-up. Jika tujuan penelitian sekadar mendeskripsikan distribusi penyakit
dihubungkan dengan faktor-faktor penelitian, maka studi potong lintang adalah rancangan studi
yang cocok, efisien, dan cukup kuat di segi metodologik. Selain itu, studi belah-lintang tak
memaksa subjek untuk mengalami faktor yang diperkirakan bersifat merugikan kesehatan faktor
resiko (Kuntoro, H. 2006.).
Kelemahan studi belah-lintang adalah tidak tepat digunakan untuk menganalisis hubungan
kausal paparan dan penyakit. Hal ini disebabkan karena validitas penilaian hubungan kausal yang
menuntut sekuensi waktu yang jelas antara paparan dan penyakit (yaitu, paparan harus mendahului
penyakit) sulit untuk dipenuhi pada studi ini (Kuntoro, H. 2006.).

DAFTAR PUSTAKA

Adriyani, R. 2011. Kadar Logam Berat Cadmium, Protein dan Organoleptik pada Daging Bivalvia
dan Efektivitas Perendaman Larutan Asam Cuka. Fakultas Pascasarjana. Universitas
Airlangga.
Kuntoro, H. 2006. Konsep Desain Penelitian. Guru Besar Ilmu Biostatistika dan Kependudukan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Surabaya.

Rahman, A. 2008. Mekanisme Toksisitas Logam Berat.


SNI. 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan. 7387:2009. Badan
Standardisasi Nasional.

Anda mungkin juga menyukai