perusahan-perusahan
baru
dengan
harapan
meningkatkan
keuntungan
perusahaan. Para pemilik modal tidak pernah berpikir dampak dari menyempitnya lahan
pertanian terutama peran strategis dalam penyediaan gizi/nutrisi untuk tenaga kerja agar
meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan. Jika dibiarkan terus-menerus, maka
pangan dalam negeri akan dipenuhi oleh produk pertanian impor, akibatnya Indonesia
menjadi semakin ketergantungan dengan pihak asing.
Kurangnya pembiayaan dalam mengembangkan usaha pertanian menjadi penghalang
untuk mensejahterakan para petani. Mereka kesulitan untuk memiliki alat-alat pendukung
untuk menggarap tanah pertaniannya, karena biaya yang tinggi. Jika petani meminjam ke
bank, mereka akan kesulitan dengan persyaratan, produk-produk bank yang rumit dan petani
harus memiliki jaminan agar dapat diberikan pinjaman. Selain itu, bank juga enggan
memberikan pinjaman karena dianggap rawan menunggak.
Selain bank, petani juga memiliki pilihan lain untuk mendapatkan pembiayaan.
Mereka yang tidak mau meminjam ke bank akan terpaksa meminjam pada rentenir. Hal ini
justru akan semakin mencekik perekonomian petani karena bunga yang diberikan membuat
modal yang dipinjam menjadi berkali-kali lipat dan sering kali tidak dapat dibayarkan.
Akhirnya rentenir akan menyita kekayaan petani atau menjual aset mereka.
Menurut data Kementerian Pertanian, di Indonesia 90% biaya untuk bertani
ditanggung sendiri oleh petani. Hanya 7% yang merupakan pembiayaan sector informal,
termasuk pembiayaan oleh rentenir, dan perbankan hanya mampu menyumbang 1% hingga
2% pembiayaan pertanian. Dari data September 2010 Kementrian Pertanian, jumlah
pembiayaan sector pertanian adalah sebesar Rp 87,63 triliun atau sekitar 5% dari total
pembiayaan yang diberikan bank umum (sekitar Rp 1.750 triliun), sedangkan kredit UKM
sector pertanian hanya Rp 20,13 triliun atau 2,2% dari total kredit UKM yang disalurkan
bank umum dan BPR (Ibrahim Aji, Sharing, Edisi 75, Maret 2013: 41-42).
Pinjaman atau kredit untuk petani dianggap dapat meningkatkan pendapatan dan
kesempatan dalam mengelola usahanya. Ini adalah tugas dari lembaga keuangan seperti bank
dan yang sejenis untuk menyalurkan pinjaman atau kredit. Tetapi lebaga keuangan tersebut
tidak tertarik karena nilai transaksi yang kecil dan beresiko tinggi (Harmi, 2000:2). Selain itu
para petani pun kesulitan karena produk bank yang rumit dan pengetahuan petani yang
kurang terhadap bank, sehingga bank yang telah banyak berdiri ini dirasakan kurang sesuai
untuk petani. Seharusnya, fitur-fitur atau produk perbankan lebih menyesuaikan dengan
petani, bukan sebaliknya.
Teori dua faktor Herzberg mengasumsikan bahwa ada beberapa ciri pekerjaan dan
karakteristik dapat menghasilkan motivasi. Herzberg memandang bahwa kepuasan kerja
berasal dari keberadaan motivator. Faktor-faktor itu meliputi upah, kondisi kerja, keamanan
kerja, status, prosedur perusahaan, mutu penyeliaan, mutu hubungan interpersonal
antarsesama
rekan
kerja,
atasan,
dan
bawahan
(Edy
Muspriyanto,
Dari pernyataan di atas, koperasi seperti membentuk paguyuban petani yang dapat
membantu mereka agar tidak ketergantungan kepada tengkulak dan dapat meminimalisasi
praktek tengkulak yang dilarang oleh agama. Petani juga bisa menjual hasil pertaniannya
dengan harga yang pantas. Hal tersebut juga membantu negara agar terhindar dari inflasi
yang berlebihan pada harga bahan pokok.Koperasi syariah atau biasa dikenal BMT,
merupakan koperasi yang berdasarkan pada prinsip syariah atau prinsip agama Islam. Pada
prinsip ini melarang adanya sistem bunga (riba) yang memberatkan nasabah, maka koperasi
syariah berdiri berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas atas dasar kesetaraan dan
keadilan.
Pada koperasi konvensional, mereka memberikan bunga pada setiap nasabah sebagai
keuntungan koperasi. Ini akan memberatkan petani jika pengembalian pinjaman dilakukan
dalam waktu yang lama, karena bunga akan terus bertambah seiring bertambahnya waktu
untuk pelunasan pinjaman. Hal tersebut sama dengan meminjam pada rentenir. Koperasi
konvensinal juga memberlakukan system kredit barang atau uang pada penyaluran
produknya, maksudnya adalah koperasi konvensional tidak mengetahui apakah uang atau
barang yang digunakan para nasabah untuk melakukan usaha mengalami rugi atau tidak.
Nasabah harus tetap mengembalikan uang sebesar yang dipinjam ditambah bunga yang telah
ditetapkan.
Sedangkan pada koperasi syariah, bagi hasil adalah cara yang diambil untuk melayani
para nasabahnya. Bagi hasil ditentukan diawal sebagai perjanjian dan biaya yang akan
dibayarkan
dari
pihak
peminjam akan
tetapi,
tidak
akan
bertambah
walaupun
pengembaliannya dalam jangka waktu yang lama. Bagi hasil juga hanya berlaku sekali
sehingga dirasakan akan meringankan petani atau nasabah yang lain.Inti dari system ini
adalah menghapuskan praktek rentenir/lintah darat yang membebani masyarakat.
Koperasi syariah tidak mengkreditkan barang-barangnya, melainkan menjualnya
secara tunai maka transaksi jual beli atau yang dikenal dengan murabahah terjadi pada
koperasi syariah. Uang atau barang yang dipinjamkan kepada para nasabah pun tidak
dikenakan bunga, melainkan bagi hasil (mudharabah). Jika nasabah mengalami kerugian,
koperasi pun mendapatkan pengurangan pengembalian uang, dan sebaliknya. Koperasi tidak
diperbolehkan meminta keuntungan jika nasabahnya mengalami kerugian, jika ada
keuntungan pun yang dimaksud bagi hasil adalah setelah diketahui keuntungan bersihnya,
jadi profit sharing bukan revenue sharing.
1
Dalam praktek pada baitul mal watamwil (BMT) juga terdapat akad as-salam dan
penggunaannya diperuntukan bagi petani, dimana BMT menyalurkan pembiayaan dan
berposisi sebagai pemesan barang yang diproduksi petani. Ketika masa panen tiba, petani
menyerahkan produksi pertanian kepada bank sesuai dengan yang telah disepakati. Produk
lainnya yang dimiliki oleh koperasi syariah atau BMT ini masih banyak, tidak sekedar
murabahah, mudharabah atau akad salam saja dan semua produk dirasakan sangat suitable
dengan petani maupun masyarakat ekonomi menengah ke bawah lainnya. Berbeda dengan
koperasi konvensional, koperasi syariah dapat juga berfungsi sebagai institusi Ziswaf.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan hadirnya beberapa lembaga
syariah seperti lembaga zakat dan koperasi syariah mampu untuk membantu dan
mensejahterakan para petani dalam mengembangkan usahanya. Pembiayaan tersebut
disesuaikan dengan keadaan mereka, yaitu memenuhi prinsip kebutuhan, fleksibel, bersifat
partisipatif sehingga dapat menyerap aspirasi petani, akomodatif, adanya penguatan agar
jangan sampai menciptakan ketergantungan, kemitraan dengan penyedia sarana produksi atau
stakeholder, dan keberlanjutan untuk tetap terus berjalan, meskipun sudah tidak ada campur
tangan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta yang mendukungnya.
Namun, yang terpenting adalah bagaimana pemerintah dapat lebih memperhatikan
dan melindungi petani, dimana hal ini terkait dengan program Kementerian Pertanian. Sudah
saatnya sebagian dana program, seperti kredit usaha rakyat, disalurkan dalam bentuk
pembiayaan syariah. Karena itu, penulis berharap mulai dari APBN 2013, Kementan bisa
mengalokasikan dananya, misalnya 30 persen dari dana program yang ada, untuk disalurkan
dalam bentuk pembiayaan syariah. Ini adalah bentuk kebijakan yang secara kongkrit akan
mendongkrak pembiayaan syariah untuk pertanian.
Daftar Pustaka
Aji, Ibrahim. 2013. Pembiayaan Syariah Untuk Petani. Sharing Edisi 75 Thn VII
Muspriyanto, Edy. (11 Maret 2012). Petani Menipis di Negeri Agraris. Diperoleh 18 Juni
2013, dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/11/179899/