Anda di halaman 1dari 6

Mensejahterakan Petani Melalui Pembiayaan Syariah

Achlita Dewinta Fajrin


STEI TAZKIA
Menurut data BPS pada tahun 2012, jumlah masyarakat yang bermata pencaharian
sebagai petani masih dominan, yakni 39%. Namun, sebenarnya jumlah masyarakat bermata
pencaharian sebagai petani berkurang 7,42% dari tahun sebelumnya. Usia mereka rata-rata 45
tahun, danini mengindikasikan teknologi pertanian seperti jalan ditempat.Sedangkan,
kebutuhan pangan dari hari ke hari kian meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk di Indonesia.
Fakta ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat Indonesia adalah sebuah
negara agraris yang sangat tepat tanahnya digunakan untuk lahan pertanian. Tanahnya yang
subur, curah hujan yang baik untuk pertanian, dan wilayahnya yang tepat di garis ekuator
mendukung Indonesia menjadi negara yang berpotensi besar untuk menjadi kaya akan hasil
pertanian. Tentu semua itu tidak lepas dari peran seorang petani yang menggarap dan
memelihara tanah perntanian.
Namun, pekerjaan seorang petani di Indonesia tidaklah mendapatkan penghargaan
yang cukup. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan petani yang jauh dari cukup. Hal
ini membuat pekerjaan sebagai petani terkesan rendahan, sehingga sedikit orang yang ingin
menjadi seorang petani. Padahal pertanian sangat penting sebagai penyumbang Produk
Domestik Bruto (PDB) nasional sekitar 15% per tahunnya, sumber devisa, bahan baku
industri, penyediaan bahan pangan dan gizi, serta sebagai pendorong sektor-sektor ekonomi
riil lainnya di Indonesia.
Ketidaksejahteraan para petani ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya
banyaknya tengkulak, tidak tercapainya target panen, konversi lahan, pembiayaan dalam
bidang pertanian, kurangnya pengetahuan tentang pertanian secara global ataupun tentang
perekonomian dan lain-lain. Pemerintah sendiri sebenarnya telah memberikan subsidi dan
bantuan lain di bidang pertanian walaupun tidak sebesar sector yang lainnya.
Salah satu faktor penyebab ketidaksejahteraan petani adalah perluasan industri dengan
mendirikan cabang perusahaan mengakibatkan lahan pertanian semakin terkonversi demi
membangun

perusahan-perusahan

baru

dengan

harapan

meningkatkan

keuntungan

perusahaan. Para pemilik modal tidak pernah berpikir dampak dari menyempitnya lahan

pertanian terutama peran strategis dalam penyediaan gizi/nutrisi untuk tenaga kerja agar
meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan. Jika dibiarkan terus-menerus, maka
pangan dalam negeri akan dipenuhi oleh produk pertanian impor, akibatnya Indonesia
menjadi semakin ketergantungan dengan pihak asing.
Kurangnya pembiayaan dalam mengembangkan usaha pertanian menjadi penghalang
untuk mensejahterakan para petani. Mereka kesulitan untuk memiliki alat-alat pendukung
untuk menggarap tanah pertaniannya, karena biaya yang tinggi. Jika petani meminjam ke
bank, mereka akan kesulitan dengan persyaratan, produk-produk bank yang rumit dan petani
harus memiliki jaminan agar dapat diberikan pinjaman. Selain itu, bank juga enggan
memberikan pinjaman karena dianggap rawan menunggak.
Selain bank, petani juga memiliki pilihan lain untuk mendapatkan pembiayaan.
Mereka yang tidak mau meminjam ke bank akan terpaksa meminjam pada rentenir. Hal ini
justru akan semakin mencekik perekonomian petani karena bunga yang diberikan membuat
modal yang dipinjam menjadi berkali-kali lipat dan sering kali tidak dapat dibayarkan.
Akhirnya rentenir akan menyita kekayaan petani atau menjual aset mereka.
Menurut data Kementerian Pertanian, di Indonesia 90% biaya untuk bertani
ditanggung sendiri oleh petani. Hanya 7% yang merupakan pembiayaan sector informal,
termasuk pembiayaan oleh rentenir, dan perbankan hanya mampu menyumbang 1% hingga
2% pembiayaan pertanian. Dari data September 2010 Kementrian Pertanian, jumlah
pembiayaan sector pertanian adalah sebesar Rp 87,63 triliun atau sekitar 5% dari total
pembiayaan yang diberikan bank umum (sekitar Rp 1.750 triliun), sedangkan kredit UKM
sector pertanian hanya Rp 20,13 triliun atau 2,2% dari total kredit UKM yang disalurkan
bank umum dan BPR (Ibrahim Aji, Sharing, Edisi 75, Maret 2013: 41-42).
Pinjaman atau kredit untuk petani dianggap dapat meningkatkan pendapatan dan
kesempatan dalam mengelola usahanya. Ini adalah tugas dari lembaga keuangan seperti bank
dan yang sejenis untuk menyalurkan pinjaman atau kredit. Tetapi lebaga keuangan tersebut
tidak tertarik karena nilai transaksi yang kecil dan beresiko tinggi (Harmi, 2000:2). Selain itu
para petani pun kesulitan karena produk bank yang rumit dan pengetahuan petani yang
kurang terhadap bank, sehingga bank yang telah banyak berdiri ini dirasakan kurang sesuai
untuk petani. Seharusnya, fitur-fitur atau produk perbankan lebih menyesuaikan dengan
petani, bukan sebaliknya.

Teori dua faktor Herzberg mengasumsikan bahwa ada beberapa ciri pekerjaan dan
karakteristik dapat menghasilkan motivasi. Herzberg memandang bahwa kepuasan kerja
berasal dari keberadaan motivator. Faktor-faktor itu meliputi upah, kondisi kerja, keamanan
kerja, status, prosedur perusahaan, mutu penyeliaan, mutu hubungan interpersonal
antarsesama

rekan

kerja,

atasan,

dan

bawahan

(Edy

Muspriyanto,

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/11/179899/, akses 18 Juni


2013). Dari teori tersebut, jika upah petani dapat ditingkatkan maka akan memunculkan
kembali kepercayaan diri petani dan akan membuat status petani tidak lagi dipandang sebelah
mata.
Sekarang ini mulai terlihat berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah yang
diharapkan dapat membantu petani dan masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke
bawah dalam membantu pembiayaan usaha mereka. Kemudian bagaimanakah lembagalembaga pembiayaan syariah dapat membantu petani?
Peran Lembaga Zakat
Yang pertama, pembiayaan pertanian dapat memanfaatkan jalur zakat-sedekah-wakaf
melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang bekerja sama dengan Kementrian
Pertanian. Dengan demikian, dapat terdata petani-petani yang benar-benar memerlukan
bantuan dan dapat dibina serta diberi penyuluhan untuk mengembangkan usahanya, selain itu
dapat diberikan penyuluhan untuk menjauhi hal-hal yang dianggap dapat mengganggu
kesejahteraan mereka. Dalam hal ini diperlukan adanya pengawasan untuk memastikan
perputaran zakat dikembangkan menjadi zakat produktif.
Koperasi Syariah
Melalui koperasi, para petani akan lebih ringan dalam membiayai keperluan dalam
usahanya, seperti harga jual yang lebih tinggi untuk produk anggota dan harga beli barang
pendukung produksi menjadi lebih murah, dapat menghemat atau menekan biaya operasi
usaha, kenaikan produktifitas usaha, karena memperoleh informasi pasar, teknologi yang
lebih tepat dari koperasi dan memperoleh peningkatan pengetahuan, keterampilan,
tumbuhnya manfaat kekeluargaan, tanggung jawab dan harga diri (Kusumah, 1987).
Maanfaat ekonomi yang diperoleh anggota dapat berasal dari pembelian barang atau
pengadaan jasa bersama serta pemasaran dan pengolahan bersama (Rusidi dan Suratman,
2002).

Dari pernyataan di atas, koperasi seperti membentuk paguyuban petani yang dapat
membantu mereka agar tidak ketergantungan kepada tengkulak dan dapat meminimalisasi
praktek tengkulak yang dilarang oleh agama. Petani juga bisa menjual hasil pertaniannya
dengan harga yang pantas. Hal tersebut juga membantu negara agar terhindar dari inflasi
yang berlebihan pada harga bahan pokok.Koperasi syariah atau biasa dikenal BMT,
merupakan koperasi yang berdasarkan pada prinsip syariah atau prinsip agama Islam. Pada
prinsip ini melarang adanya sistem bunga (riba) yang memberatkan nasabah, maka koperasi
syariah berdiri berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas atas dasar kesetaraan dan
keadilan.
Pada koperasi konvensional, mereka memberikan bunga pada setiap nasabah sebagai
keuntungan koperasi. Ini akan memberatkan petani jika pengembalian pinjaman dilakukan
dalam waktu yang lama, karena bunga akan terus bertambah seiring bertambahnya waktu
untuk pelunasan pinjaman. Hal tersebut sama dengan meminjam pada rentenir. Koperasi
konvensinal juga memberlakukan system kredit barang atau uang pada penyaluran
produknya, maksudnya adalah koperasi konvensional tidak mengetahui apakah uang atau
barang yang digunakan para nasabah untuk melakukan usaha mengalami rugi atau tidak.
Nasabah harus tetap mengembalikan uang sebesar yang dipinjam ditambah bunga yang telah
ditetapkan.
Sedangkan pada koperasi syariah, bagi hasil adalah cara yang diambil untuk melayani
para nasabahnya. Bagi hasil ditentukan diawal sebagai perjanjian dan biaya yang akan
dibayarkan

dari

pihak

peminjam akan

tetapi,

tidak

akan

bertambah

walaupun

pengembaliannya dalam jangka waktu yang lama. Bagi hasil juga hanya berlaku sekali
sehingga dirasakan akan meringankan petani atau nasabah yang lain.Inti dari system ini
adalah menghapuskan praktek rentenir/lintah darat yang membebani masyarakat.
Koperasi syariah tidak mengkreditkan barang-barangnya, melainkan menjualnya
secara tunai maka transaksi jual beli atau yang dikenal dengan murabahah terjadi pada
koperasi syariah. Uang atau barang yang dipinjamkan kepada para nasabah pun tidak
dikenakan bunga, melainkan bagi hasil (mudharabah). Jika nasabah mengalami kerugian,
koperasi pun mendapatkan pengurangan pengembalian uang, dan sebaliknya. Koperasi tidak
diperbolehkan meminta keuntungan jika nasabahnya mengalami kerugian, jika ada
keuntungan pun yang dimaksud bagi hasil adalah setelah diketahui keuntungan bersihnya,
jadi profit sharing bukan revenue sharing.
1

Dalam praktek pada baitul mal watamwil (BMT) juga terdapat akad as-salam dan
penggunaannya diperuntukan bagi petani, dimana BMT menyalurkan pembiayaan dan
berposisi sebagai pemesan barang yang diproduksi petani. Ketika masa panen tiba, petani
menyerahkan produksi pertanian kepada bank sesuai dengan yang telah disepakati. Produk
lainnya yang dimiliki oleh koperasi syariah atau BMT ini masih banyak, tidak sekedar
murabahah, mudharabah atau akad salam saja dan semua produk dirasakan sangat suitable
dengan petani maupun masyarakat ekonomi menengah ke bawah lainnya. Berbeda dengan
koperasi konvensional, koperasi syariah dapat juga berfungsi sebagai institusi Ziswaf.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan hadirnya beberapa lembaga
syariah seperti lembaga zakat dan koperasi syariah mampu untuk membantu dan
mensejahterakan para petani dalam mengembangkan usahanya. Pembiayaan tersebut
disesuaikan dengan keadaan mereka, yaitu memenuhi prinsip kebutuhan, fleksibel, bersifat
partisipatif sehingga dapat menyerap aspirasi petani, akomodatif, adanya penguatan agar
jangan sampai menciptakan ketergantungan, kemitraan dengan penyedia sarana produksi atau
stakeholder, dan keberlanjutan untuk tetap terus berjalan, meskipun sudah tidak ada campur
tangan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta yang mendukungnya.
Namun, yang terpenting adalah bagaimana pemerintah dapat lebih memperhatikan
dan melindungi petani, dimana hal ini terkait dengan program Kementerian Pertanian. Sudah
saatnya sebagian dana program, seperti kredit usaha rakyat, disalurkan dalam bentuk
pembiayaan syariah. Karena itu, penulis berharap mulai dari APBN 2013, Kementan bisa
mengalokasikan dananya, misalnya 30 persen dari dana program yang ada, untuk disalurkan
dalam bentuk pembiayaan syariah. Ini adalah bentuk kebijakan yang secara kongkrit akan
mendongkrak pembiayaan syariah untuk pertanian.

Daftar Pustaka
Aji, Ibrahim. 2013. Pembiayaan Syariah Untuk Petani. Sharing Edisi 75 Thn VII
Muspriyanto, Edy. (11 Maret 2012). Petani Menipis di Negeri Agraris. Diperoleh 18 Juni
2013, dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/11/179899/

Anda mungkin juga menyukai