Anda di halaman 1dari 6

Papua Jadi Korban Penerapan Sistim e-Catalog Pengadaan

Obat
Wamena,-Elektronik Catalog atau e-Catalog yang merupakan sistem pengadaan obat sudah
berjalan di setiap daerah, namun khusus untuk rumah sakit yang berada di Papua sangat kesulitan
memakai mekanisme ini, sehingga Papua menjadi korban, hal tersebut disampaikan Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi Papua, drg. Aloysius Giay saat melakukan kunjungan kerja di RSUD
Wamena, Senin 13 Oktober 2014.
Giay menjelaskan, kunjungannya ke RSUD Wamena yaitu ingin mengecek langsung persediaan
obat, karena pihaknya mendapat laporan dari masyarakat bahwa di Wamena mayarakat masih
membeli obat di apotek luar, namun setelah pihaknya menelusuri, bukan dari petugas RSUD
Wamena yang melakukan kesalahan, namun letak kesalahannya akibat imbas dari kebijakan
sistim pengadaan obat e-Catalog yang merupakan sistim nasional.
e-Catalog tujuannya agar meminimalisir terjadinya permainan dalam proses tender, namun hal
ini yang membuat pendistribusiannya mengalami kendala.
Ini membuat Papua jadi korban, bukan hanya di Jayawijaya saja, tapi semua rumah sakit yang
ada di Papua karena sistem pengadaan e-Catalog, itu adalah harga prangko Kabupaten sehingga
mau distribusi kedaerah-daerah ini menjadi kesulitan,katanya.
Ini juga membuat ada keengganan oleh PBF untuk pengadaan obat itu. Dampaknya menjadi
penghambat penyaluran distribusi obat kedaerah-daerah apalagi ke wilayah Pegunungan Tengah
Papua,lanjutnya.
Giay berharap agar Papua tidak disamakan dengan daerah lain dalam penerapannya, oleh sebab
itu beberapa waktu yang lalu pihak Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Kesehatan Papua
telah bertemu Mentri Kesehatan RI, dan juga Dirjen Obat dan Farmasi Kementrian Kesehatan
guna membicarakan sistim e-Catalog di Papua.
Saya mengatakan tidak boleh lagi pakai e-Catalog di Provinsi Papua, untuk Papua harus ada
mekanisme lain yang diterapkan oleh Kemenkes RI, dan juga Papua tidak bisa disamakan
dengan daerah di Jawa, Sulawesi atau daerah lain untuk penerapan sistem tersebut, tegasnya.
Giay menambahkan semoga dengan pertemuan tersebut Pemerintah Pusat dalam hal ini
Kementrian Kesehatan benar-benar menindaklanjuti permasalahan ini sehingga kedepannya
khusus untuk Papua sistem pengadaan obatnya tidak mengalami kesulitan.
Mudah-mudahan ada tindaklanjut dari Kementerian Kesehatan dan Ibu Menteri berjanji itu
mulai 2015 Papua ada kekhususan dalam sistim pengadaan obat, pungkasnya.

Sementara itu Plh Direktur RSUD Wamena, dr. Charles C Ratulangi Sp.OG mengatakan RSUD
Wamena mengalami kesulitan dengan sistim e-Catalog imbasnya pasien harus membeli obat di
apotik luar.
Memang pihak rumah sakit tidak mau kalau pasien itu beli obat diluar tetapi masalanya ketika
obat-obat tertentu tidak ada sementara obat itu dibutuhkan sekarang hal ini tidak mungkin
ditunggu obatnya datang, imbasnya pasien harus beli diluar, memang ini berkaitan dengan
masalah aturan regulasi dari atas dan ini memang membuat kami jadi kesullitan tadi pak Kepala
Dinas singgung masalah e-Catalog ya kita kesulitannya disitu, katanya.
(Boby/worldpapuanews.com)

Kebutuhan Kesehatan di Rumah Sakit Wamena Masih Jauh


Dari Harapan
Wamena, Jubi Komisi IX DPR RI yang membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja
dan transmigrasi, Selasa (9/12) mengunjungi Wamena guna melihat langsung kondisi Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Wamena, serta melakukan pertemuan dengan pemerintah daerah
setempat.
Kunjungan Komisi IX DPR RI beserta rombongan ke Wamena, didampingi Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Papua, drg. Aloysius Giay dan juga Bupati Jayawijaya, Wempi Wetipo serta
Wakil Bupati, Jhon R Banua.
Ketua tim rombongan Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf kepada wartawan di sela-sela
kunjungannya menjelaskan, sesuai undang-undang bahwa negara wajib memberikan pelayanan
kesehatan bagi warga, namun khusus di Papua ada daerah-daerah yang sangat jauh dari pada
pelayanan-pelayanan yang mendasar tersebut.
Konteksnya adalah geografis, seperti di Wamena ini yang merupakan jantung di wilayah Papua,
untuk ke sini segala sesuatu harus menggunakan pesawat, mulai dari barang-barang kebutuhan
rumah tangga, bahan bangunan apalagi obat-obatan dan alat kesehatan.
Maka dari itu, dalam kunjungan Komisi IX ke Wamena ini ingin melihat sarana dan prasarana
di rumah sakit, dan ternyata masih sangat jauh dari harapan, seperti fasilitas yang ada belum
memadai khususnya di wilayah Papua tengah, di mana Jayawijaya ini harus menampung
beberapa kabupaten di sekitarnya yang memang secara geografis sulit didatangi, ujar Dede
Yusuf.
Selain itu, dalam kunjungan kerjanya dewan melihat fasilitas-fasilitas yang ada di rumah sakit
Wamena juga belum memadai, seperti halnya ruang bedah menurut hemat komisi IX belum bisa
dikatakan sebagai ruang bedah sehingga harus ada dukungan.
Kita berharap kedepan dari kementerian kesehatan, Komisi IX juga bisa mendorong agar
pelayanan-pelayanan kesehatan ini yang sifat sarana prasarana termasuk juga tenaga kesehatan
seperti dokter, bidan mendapat prioritas, kata politisi partai demokrat tersebut.
Selain masalah sarana dan prasarana, hal lain yang menjadi sorotan ialah bagaimana
mendatangkan obat-obatan atau tenaga kesehatan dengan kondisi harga yang sesuai.
Di mana, ketika sekarang ada sistem E-Katalog, maka otomatis harga obat-obatan disamaratakan
di seluruh Indonesia. Maka, di Wamena hal tersebut tidak bisa sama seperti wilayah lain di
Indonesia.

Oleh karena itu dari Kementerian Kesehatan sudah mengatakan pengadaan obat dan alat
kesehatan bisa melalui lelang yang dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri sesuai dengan
harga kesetaraan yang ada di wilayah masing-masing.
Kalau harga semen saja bisa sampai 500 ribu per sak, obat pun akan sama seperti barang lainya.
Oleh karena itu, selama ini kan biaya perawatan rumah sakit ini tercover oleh BPJS, namun
BPJS di sini belum bisa maksimal karena pendataan penduduk. Oleh karena itu kami
mengapresiasi apa yang telah dilakukan Bupati, di mana pendataan penduduk dilakukan di
kantor-kantor Puskesmas atau rumah sakit itu sendiri yang nanti bisa disetarakan dengan BPJS,
katanya.
Ini menjadi suatu masukan-masukan yang sangat berharga, baik kepada teman-teman di DPR
maupun kementerian terkait untuk melihat kondisi yang terjadi, tambah Dede Yusuf yang juga
sebagai mantan wakil gubernur Jawa Barat ini.
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, drg. Aloysius Giay menjelaskan,
permasalahan di daerah selain masalah fisik yaitu sarana prasarana, tetapi ada juga beberapa
mekanisme di dalam pelayanan kesehatan.
Contohnya masalah mekanisme pengadaan obat, di mana diwajibkan melalui E-Katalog, namun
pemerintah provinsi telah berdiskusi dengan kementerian kesehatan dan juga komisi IX DPR RI
bahwa ada mekanisme lain yang dilakukan di tahun 2015 nanti sehingga tidak lagi menggunakan
E-Katalog.
Sebenarnya E-Katalog itu tujuannya baik, yaitu efisiensi atau penghematan keuangan negara,
namun itu semua tidak cocok dengan lokal spesifik provinsi Papua apalagi dengan daerah-daerah
pedalaman seperti di Wamena. Kami pun menyampaikan terima kasih ke Kemenkes dan Komisi
IX DPR RI yang membidangi kesehatan, sehingga Papua bisa dilakukan secara aturan daerah
untuk pengadaan barang dan jasa, kata Aloysius. (Islami)

PBF DAPAT TAMBAHKAN BIAYA DISTRIBUSI


Ketentuan pemerintah yang baru memperbolehkan Pedagang Besar Farmasi (PBF)
menambahkan biaya distribusi ke dalam harga jual obat generik yang disalurkan ke pemerintah,
rumah sakit, apotek dan sarana kesehatan lain.
"PBF dapat menambahkan biaya distribusi antara lima persen sampai 20 persen dari harga netto
apotek dan pajak pertambahan nilai sesuai regionalnya. Tapi harga jual ke konsumen tetap tidak
boleh melebihi harga eceran tertinggi," kata Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty di Jakarta, Jumat.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tentang harga obat
generik yang ditetapkan tanggal 27 Januari 2010, plafon biaya distribusi ditetapkan pemerintah
berdasarkan wilayah.
PBF tidak boleh menambahkan biaya distribusi untuk penyaluran obat generik ke daerah
regional I termasuk DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, Lampung dan Banten.
"Sedang untuk daerah di regional II yang mencakup Pulau Sumatera, Kepulauan Riau,
Kepulauan Bangka Belitung dan Nusa Tenggara Barat mereka dapat menambahkan biaya
distribusi maksimum lima persen," kata Sri.
Menurut ketentuan itu, PBF yang menyalurkan obat generik ke daerah di regional III seperti
Nanggroe Aceh Darussalam, Kalimantan, dan Sulawesi dapat menambahkan biaya distribusi
maksimal 10 persen.
Sementara untuk distribusi ke daerah di regional IV yang meliputi provinsi Nusa Tenggara
Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, PBF dapat menambahkan biaya
maksimal 20 persen dari harga netto apotek dan pajak pertambahan nilai.
"Kebijakan ini diambil untuk menjamin ketersediaan obat di seluruh wilayah, supaya tidak ada
lagi yang tidak mau mendistribusikan obat generik ke wilayah tertentu dengan alasan biaya
distribusinya terlalu mahal," kata Sri.
Ia menjelaskan, dalam peraturan yang ada sebelumnya pemerintah tidak mengatur penambahan
biaya distribusi untuk penyaluran obat generik ke wilayah tertentu.
Hal itu, menurut dia, membuat pedagang besar farmasi hanya memasarkan produk obat generik
yang marjin keuntungannya dianggap kecil ke wilayah Jawa-Bali dan sekitarnya.
"Akibatnya jenis obat generik tertentu sudah didapat di wilayah yang jauh dari Jawa seperti
Kalimantan, Aceh dan Papua," katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, pemerintah akan mengawasi pelaksanaan peraturan baru tentang
harga obat generik tersebut untuk memastikan semua jenis obat generik essensial tersedia di
seluruh wilayah. "Kita akan awasi, apakah mereka benar-benar mendistribusikannya ke seluruh
wilayah Indonesia," katanya.

Anda mungkin juga menyukai