Armen Yasir2
____________________________________________________
ABSTRAK: UU NO. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintaha Daerah, menentukan
bahwa Gubernur dalam menjalankan kekuasaan desentralisasi dan tugas
dekonsentrasi di daerah dibantu oleh seorang Wakil Gubenur. Wakil Gubernur tidak
termasuk unsur pemerintah daerah. Tugas Wakil Gubernur tampa wewenang,
wewenang Wakil Gubernur timbul apabila ada delegasi kewenangan dari Gubernur.
Hubungan Gubernur dengan Wakil Gubernur di dasarkan pada pembagian tugas
yang ditentukan oleh Gubernur. Surat Wakil Gubernur Propinsi Lampung Nomor
135/051/01/2006 dan 161/0773/301/2006 Nomor 135/051/01/2006 tidak sah, batal
demi hukum dan tidak mempuyai kekuatan mengikat apapun. Disharmonis
berimplikasi terhadap hubungan kepala daerah dengan Wakil kepala daerah, antar
lembaga pemerintahan daerah, dan wibawa pemerintah daerah.
______________________________________________________
A. PENDAHULUAN
Disharmoni hubungan yang bersifat konflik antara Gubernur Lampung dengan Wakil
Gubernur Lampung terbuka kepublik karena adanya Surat Wakil Gubernur Propinsi
Lampung Nomor 135/051/01/2006 tertanggal 24 Februari 2006 tentang Persetujuan
Pembentukan Kabupaten Pesawaran dan Surat Wakil Gubernur tertanggal 14 Maret
Nomor 161/0773/301/2006 Tentang Permohonan Penerbitan Surat Keputusan
Pengusulan Pengganti Antar Waktu (PAW) Anggota DPRD Propinsi Lampung
Kepada Menteri Dalam Negeri. Surat Wakil Gubernur ini dianulir dan dinyatakan
tidak berlaku oleh Gubernur melalui surat Gubernur Nomor 135/0622/01/2006 dan
Nomor 161/0788/01/2006 tertangggal 7 Maret dan 22 maret 2006 kepada Menteri
Dalam Negeri.
1 Hasil Penelitian
2 Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung
Perang opini antara Gubernur Lampung dengan Wakil Gubernur Lampung melalui
media massa lokal tidak terhindarkan, Wakil Gubernur merasa ia memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan surat tersebut (Lampung Post 12 April dan 2006
Radar Lampung 8 Juni 2006) Menanggapi statement Wakil Gubernur di atas, di
media masa yang sama Gubernur Propinsi Lampung menegaskan bahwa surat
Wakil Gubernur telah menyalahi tata naskah pengambilan kebijakan di lingkungan
pemerintahan oleh karenanya perlu ditinjau kembali. Sekretariat daerah dalam
konprensi pers yang dilakukannya (Radar Lampung 18 April 2006) menyatakan
bahwa Gubernur Lampung tidak pernah menerima surat dari DPRD Propinsi
Lampung mengenai usulan PAW kepada Menteri Dalam Negeri
Persoalan menjadi berkepanjangan ketiga mengundang tanggapan berbagai pihak
pengamat baik yang berasal dari akademisi maupun praktisi yang melihat persoalan
tersebut dari sudut pandangan, kepentingan dan keberpihakan masing-masing.
Menurut DR. Yuswanto, S.H. (radar Lampung, 12 April 2006) bahwa PAW terkait
dengan kebijakan kepala daerah, maka kebijakan itu harus satu pintu. Kebijakan
PAW berhubungan dengan administrasi, politik dan hukum. Oleh karena itu jika
harus dikeluarkan selain Gubernur, kebijakan itu harus melalui garis koordinasi dan
sepengetahuan Gubernur. Berbeda dengan yang ditanggapi oleh Ari Darmastuti.
M.A. bahwa sikap Wakil Gubernur sudah tepat karena kapasitas dan fungsi yang
dijalankan Wakil Gubernur adalah fungsi administrastif.
Bambang Eka Wijaya (Pimpinan umum Lampung Post), dalam tulisannya nampak
memberikan pembelaan terhadap Surat Wakil Gubernur (Buras, Komunikasi,
Lampung Post 12 April 2006) mendasarkan Keputusan Gubernur Lampung Nomor
24 Tahun 2004 bahwa Wakil Gubernur bisa bersurat kepada Menteri bahkan
Presiden. Surat PAW soal teknis, didasarkan pada asumsi bila komunikasi politik
Gubernur dan Wakil Gubernur tidak buruk; tindakan Wakil Gubernur sebenarnya
mambantu Gubernur, karena bisa mencairkan hubungan dengan DPRD, menjaga
komitmen pemerintah dalam pembangunan politik dan demokrasi. Drs. Nanang
Trenggono, Msi. (Kearifan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Lampung Post
18 April 2006) dengan mendasarkan pada tiori ; sistem mempunyai fungsi dan aktor
memiliki kebebasan; di mana di dalam penyelenggaraan pemerintahan aspek-aspek
kehendak spirit atau nilai individu yang positif, obyektif, jujur, manusiawi, adil dan
demokratis harus dimasukkan menjadi faktor penting untuk mencapai tujuan sistem
pemerintahan secara keseluruhan menjadi dasar pembenaran penanda tangani
Surat PAW oleh Wakil Gubernur walau harus menafikkan aturan/melanggar
ketentuan UU atau salahi tata naskah, tidak ada pendelegasian dan sebagainya.
Berdasarkan polemik diatas, penulis ingin melihat secara proporsional persoalan
tersebut dari aspek hukum dan politik. Permasalahan yang mendasar diajukan
adalah; apakah Wakil Gubernur mempunyai kewenangan mengeluarkan surat yang
berimplikasi administratif, politik dan hukum. Kalau seandainya proses pengajuan
pemekaran daerah dan PAW hanya dilihat semata-mata sebagai fungsi administratif,
pertanyaan yang timbul adalah apa dasar fungsi administrasi yang dijalankan oleh
Wakil Gubernur dalam mengeluarkan surat Wakil Gubernur Propinsi Lampung
Nomor 135/051/01/2006 dan Nomor 161/0773/301/2006. Apabila tidak didasarkan
mandat Gubernur dan dilaksanakan atas inisiatif Wakil Gubernur sendiri; pertanyaan
selanjutnya apakah Wakil Gubernur mempunyai posisi sebagai pejabat administratif
dalam struktur pemerintah daerah dan sekaligus mempunyai kekuasaan
Henk Van Maar seveen (dalam Suwoto Mulyosudarmo, 1987; 42) mengatakan bahwa suatu subyek
hukum yang memiliki kewenangan dapat melimpahkan wewenangnya kepada subyek hukum yang
lain. Bentuk pelimpahan itu dapat berupa delegatie dan mandaat.
politik. Pasal 76 ayat (2) UU.NO. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur wajib menyampaikan visi, misi dan program lisan
maupun tertulis kepada masyarakat. Visi, misi dan program Gubernur yang
dijabarkan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (Pasal 150
ayat (3) hurub b). Berdasarkan ketentuan ini, maka hubungan Gubernur dan Wakil
Gubernur dapat dilihat berdasarkan pandangan politik dan managerial, artinya sejak
awal pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur sudah harus memiliki pandangan
politik dan managerial yang sama, untuk menghindarkan perselisihan faham antara
Gubernur dan Wakil Gubernur sebab apabila perselisihan faham itu terjadi akan
menganggu jalannya pemerintahan dan meluas ke Partai Politik dan pendukung
masing-masing, lebih-lebih apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berasal dari partai
politik yang berbeda.
Dilihat dari Pandangan politik; Gubernur dan Wakil Gubernur mempunyai kewajiban
untuk melaksanakan kehidupan demokrasi, mentaati dan menegakkan peraturan
perundang-undangan serta melaksanakan prinsif tata pemerintahan yang bersih dan
baik, sedangankan dalam hubungan managerial Gubernur dan Wakil Gubernur
mempunyai kewajiban untuk meningkakan kesejahteraan masyarakat, memelihara
ketentraman dan ketertiban masyarakat, menjaga etika dan norma dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, memajukan dan mengembangkan daya
saing daerah, menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah
dan semua perangkat daerah serta membuat rencana strategis penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Aspek lain dalam tata hubungan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah hubungan
formal. Berdasarkan UU.NO. 32 Tahun Tahun 2004; dapat dikatakan bahwa antara
Gubernur dan Wakil Gubernur tidak terdapat pembagian kekuasaan yang ada
adalah pembagian tugas yang ditentukan oleh Gubernur. Hubungan kerja Gubernur
dan Wakil Gubernur diatur dan ditentukan oleh Gubernur, disini syarat kerja sama
dalam melaksanakan tugas mempunyai arti penting untuk tetap terjaga sehingga
dalam melaksanakan tugas yang digaris Undang-undang antara Gubernur dan Wakil
Gubernur tetap harmonis. Untuk mencapai keharmonisan dalam melaksanakan
tugasnya tidak hanya terbatas pada hubungan formal, namun hubungan informal
yang ditentukan oleh hubungan antar manusia (human Relation) cukup memegang
peranan agar kedua belah fihak tidak berhadap-hadapan sebagai lawan.
Hubungan kerja Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana ditentukan dalam
tugas umum Wakil Gubernur yaitu membantu kepala daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah, mengkoordinasikan kegiatan instansi
vertikal di daerah dan melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya
yang diberikan oleh kepala daerah. Kata membantu kepala daerah mempunyai arti
Wakil Gubernur hanya melaksanakan tugas-tugas Gubernur di bidang Pemerintahan
Daerah, koordinasi instansi vertikal di daerah dan melaksanakan tugas lainnya yang
diberikan Gubernur. Dengan demikian apa yang menjadi tugas Wakil Gubernur
adalah atas dasar tugas yang diberikan oleh Gubernur, untuk itu Wakil Gubernur
harus melaksanakan tugas-tugas yang diberikan Gubernur dan memperhatikan
petunjuk dan arahan dari Gubernur.
Tugas Wakil Gubernur membantu Gubernur yang lainnya adalah menindak lanjuti
laporan dan atau temuan hasil pengawasan aparat pengawas, melaksanakan
pemberdayaan perempuan dan pemuda serta mengupayakan pengembangan dan
pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup. Ini berarti seorang wakil gubernur
harus melakukan koordinasi dengan aparat pengawas dan berdasarkan hasil
pengawas aparat pengawas, Wakil Gubernur menindak lanjuti laporan dan/atau
temuan hasil pengawasan untuk diselesaikan baik secara internal pemerintah
daerah dan apabila ada indikasi tindak pidana menyampaikannya kepada aparat
penegak hukum. Sedangkan untuk untuk tugas pemberdayaan perempuan dan
pemuda serta pengembangan pelesatarian sosial budaya dan lingkungan hidup
Wakil Gubernur harus memiliki perencanaan dan program untuk melaksanakan
tugas-tugas tersebut. Perencanaan dan program kegiatan Wakil Gubernur haruslah
mengacu kepada rencana dan program pemerintah daerah.
Dalam melaksanakan tugas memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan
pemerintahan kabupaten dan kota, Wakil Gubernur melaksanakan tugas Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah untuk melakukan pengawasan. Hasil
pantauan dan evaluasi tersebut harus dilaporkan kepada Gubernur agar dapat
digunakan untuk pembinaan terhadap kabupaten dan kota serta memperpendek
rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan. Begitu juga dalam
melaksanakan tugas memberikan saran dan pertimbangan dalam penyelenggaraan
kegiatan pemerintah daerah berarti Wakil Gubernur harus lebih dekat kepada
masyarakat dan melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
kegiatan pemerintah daerah, sehingga tugas memberi saran dan pertimbangan lebih
memberi arti dan makna.
Di dalam UU.NO. 32 Tahun 2004 hanya menentukan Wakil Gubernur dapat
menggantikan Gubernur apabila Gubernur meninggal dunia, berhenti, diberhentikan
atau tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya selama 6 (enam) bulan
secara terus menerus dalam masa jabatannya dan melaksanakan tugas dan
wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan. Dengan demikian
Wakil Gubernur tidak dapat menggantikan posisi Gubernur apabila Gubernur tidak
meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan tugas dan
kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus. Wakil Gubernur tidak
dapat menjalankan tugas dan kewenangan Gubernur apabila tidak adanya kondisi
yang menyebabkan Gubernur berhalangan, kecuali atas penugasan dari Gubernur
dan atau yang telah ditentukan Undang-undang. Apabila Wakil Gubernur
melaksanakan tugas dan kewenangan Gubernur tanpa penugasan dari Gubernur
atau Gubernur berhalangan, maka tugas-tugas yang dilaksanakan itu dapat dianulir
atau dibatalkan oleh Gubernur atau pelaksanaan tugas itu menjadi tidak sah karena
bukan merupakan tugas dan atau kewenangan dari Wakil Gubernur dan apabila
pelaksanaan tugas-tugas itu mempunyai dampak negatif baik dari sisi politik dan
hukum maka menjadi tanggungjawab pribadi Wakil Gubernur, dan tidak dapat
dibebankan tanggunggugatnya kepada Gubernur.
Pada saat Gubernur berhalangan sementara, maka pelaksanaan tugas Gubernur
dapat saja didelegasikan oleh Gubernur kepada Wakil Gubernur, dalam poisisi
seperti ini berarti Wakil Gubernur baru dapat melaksanakan tugas dan wewenang
Gubernur apabila ada pendelegasian
Gubernur dan dapat pula tidak
mendelegasikan kepada Wakil Gubernur atau dengan kata lain Gubernur tetap
memegang kendali penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan tugas-tugas
Gubernur. Dengan demikian Wakil Gubernur tidak dapat melakukan sesuatu
kebijakan atas nama dan jabatannya sendiri yang dapat berakibat keluar, sebab
Pippa Norris (dalam Alimn seregar 1997, Hal 5) menyatakan bahwa rekruitmen candidat melalui
empat level analisiis yaitu: Pertama: sistem hukum, khususnya aturan-aturan legal, sistem
kepartaian dan sistem pemilihan membuka peluang kesempatan bagi para kandidat dalam
percaturan politik. Kedua; proses rekruitmen politik yang secara khusus terkait dengan derajat
internal demokrasi di dalam organisasi partai dan ketentuan yang mengatur seleksi kandidat. Ketiga;
penawaran menduduki jabatan tertentu sebagai konsekuensi dan motivasi dan modal politik mereka.
Keempat; adalah tuntutan pendukung atau pimpinan politik yang ikut melakukan seleksi dari sumber
kandidat.
Adanya komplik Gubernur dengan Wakil Gubernur yang tidak berasal dari politik
yang sama atau kader partai politik dapat menimbulkan perluasan konflik ke
10
Partai politik atau pimpinan partai. Apabila konflik terus berlanjut partai politik
dapat menggunakan para kadernya yang duduk DPRD untuk menggunakan
hak-haknya yang mengarah kepada penjatuhan Gubernur atau Wibawa
Gubernur, apabila DPRD terpengaruh maka berarti konflik akan meluas menjadi
konflik antar lembaga DPRD dan Gubernur.
Konflik antara Gubernur dengan Wakil Gubernur dan ini berlaku untuk semua
kepala daerah dan wakil kepala daerah baik dikabupaten dan kota berimplikasi
dikemudian hari dalam pencalonan selanjutnya di mana kedua belah pihak akan
menjadi pihak yang berlawanan (terjadi di Kota Metro, Kabupaten Lampung
Timur, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Selatan, Kota Bandar
Lampung dan Kabupaten Lampung Tengah yang telah melaksanakan Pilihan
Kepala Daerah dan akan terjadi lagi di Kabupaten Lampun Barat, Kabupaten
Tulang Bawang, dan Kabupaten Tanggamus).
Apabila konflik kedua belah pihak mengarah kepada kekuatan fisik dan
melibatkan kader partai politik, maka citra partai politik semakin merosot di mata
masyarakat.
Timbulnya perpecahan dalam partai politik dan pindahnya kader partai kepartai
politik lain atau menciptakan partai poltik baru. Hal ini akan terjadi apabila konflik
kepala daerah dan wakil kepala daerah berasal dari kader partai yang tidak
memiliki nilai folkways, more dan institusi yang baku dalam menentukan calon.
Timbulnya konflik antar partai politik apabila Gubernur dan Wakil Gubernur
berasal dari gabungan partai politik, hal ini kemungkinan terjadi karena adanya
saling tuding antar partai, dan apabila koflik ini meluas akan menimbulkan konflik
yang bersifat fisik.
11
4. Disharmoni hubungan kepala daerah dengan wakil kepala daerah yang bersifat
Konflik sudah dapat timbul sejak dari pencalonannya. Implikasi konflik antara
Gubernur dengan Wakil Gubernur dapat menimbulkan: perluasan konflik yang
mengarah kepada penjatuhan atau wibawa Gubernur, atau menjadi konflik antar
lembaga pemerintahan daerah. Gubernur dan Wakil Gubernur menjadi pihak
yang berlawanan dalam pemilihan berikutnya. Konflik Gubernur dan Wakil
Gubernur dapat mengarah kepada kekuatan fisik dan merosotnya citra partai
politik atau perpecahan dalam partai politik. Konflik dapat menghilangkan
wibawa pemerintah daerah dan atau Wakil Gubernur.
DAFTAR PUSTAKA
HR. Syaukani, dkk; 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Latief, Abdul, 2005, Hukum dan
Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta
Peraturan
Kebijaksanaan
Pada
12
13