Anda di halaman 1dari 5

Siklus Estrus Induk Kambing Peranakan Boer F1 Dengan Perlakuan Penyapihan Dini Pada Masa

Post Partum
1)

Muhammad Rizar Z. , Agung Pramana W.M. 1) , Gatot Ciptadi 3)


1

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya
2)
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penyapihan dini pada masa post partum terhadap
siklus estrus induk kambing peranakan Boer F1 (Crossbreed Boer dan PE). Selama post partum, regulasi
siklus estrus akan dihambat oleh prolaktin dan oksitosin yang dipengaruhi oleh mekanisme suckling.
Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 9 ekor induk kambing dalam 3 kelompok yakni kelompok
penyapihan selang waktu 42 hari post partum (PP), 56 hari post partum (PP), dan 91 hari post partum sebagai
kontrol. Pengamatan siklus estrus dengan menggunakan vaginal smear. Data dianalisis menggunakan uji
Kruskal Wallis dengan pendekatan kualitatif secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa,
interval siklus estrus kedua pasca sapih pada induk kambing kontrol saat fase proestrus adalah 2 hari, fase
estrus selama 2 hari, fase metestrus selama 2 - 3 hari, dan fase diestrus terjadi selama 14 - 15 hari. Selain itu
siklus estrus pertama pasca sapih pada perlakuan penyapihan 42 hari (6 minggu), 56 hari (8 minggu), dan
kontrol pada selang 91 hari (13 minggu) post partum adalah berkisar 16,7 2,65 hari, 17,7 1,53 hari , dan
10,3 3,06 hari. Sedangkan siklus estrus kedua pasca sapih secara berturut turut adalah berkisar 18 1
hari, 19 1,73 hari, dan 20,7 1,58 hari. Hasil uji analisis menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (p>0,05)
antar semua kelompok pada siklus estrus pertama pasca sapih. Kesimpulannya, interval siklus estrus kedua
pasca sapih pada kelompok induk kambing sapih 42 hari PP adalah 18 hari dan sapih 56 hari PP adalah 19
hari dan kontrol rata rata berkisar 20,7 hari.
Kata kunci : Alergi pencernaan, B220+IgE+, Dioscorea alata L., immunomodulator
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the effect of early weaning on postpartum period against to
estrous cycle of the Boer F1 goats (Crossbreed Boer and PE). During the postpartum period, the regulation of
the estrous cycle inhibited by prolactin and oxytocin are influenced by suckling mechanism. This study used a
sample of 9 breeding goats into 3 groups; the groups are weaning interval of 42 days post partum (PP), 56
days post partum (PP) and 91 days post partum as a control. Observation of the estrous cycle using vaginal
smears. Data were analyzed using the Kruskal Wallis test with descriptive qualitative approach. The results
showed that second estrous cycle of post weaning in control at proestrous phase for 2 days, estrous phase for 2
days, metestrous phase for 2-3 days, and diestrous phase occurred during 14-15 days. In addition, the first
estrous cycle at weaning of interval 42 days (6 weeks), 56 days (8 weeks), and control that interval of 91 days
(13 weeks) post partum is the range 16.7 2.65 days, 17.7 1.53 days, and 10.3 3.06 days. While the second
estrous cycle of post weaning, respectively also is the range 18 1 days, 19 1.73 days, and 20.7 1.58 days.
The result showed that there was no significant difference (p> 0.05) among all groups on the first estrous cycle
of post weaning. In conclusion, the interval of second estrous cycle of post weaning in interval of 42 days PP
for 18 days, interval of 56 days PP for 19 days and control has average for 20.7 days.
Keywords : Estrous, Post Partum, Vaginal Smear

PENDAHULUAN
Kambing merupakan salah satu jenis ternak
penghasil daging dan susu yang unggul. Kambing
yang produktif dapat dilihat dari jumlah anak yang
dilahirkan, calving interval dan mortalitas [1].
Peningkatan produktivitas kambing salah satunya
Jurnal Biotropika | Vol. 2 No. 2 | 2014

dapat dilakukan dengan manajemen terhadap induk


kambing post partum. Induk kambing yang telah
beranak (post partum) akan mengalami perubahan
morfologi pada uterus sehingga dapat menghambat
performa reproduksi dan fertilitas induk. Saat post
partum, uterus berkontraksi dan mengalami

120

regenerasi pada lapisan epitel yang sering disebut


dengan proses involusi uterus [2]. Involusi uterus
tersebut akan mempengaruhi lamanya periode
calving
interval.
Berdasarkan
penelitian
sebelumnya, memisahkan antara induk kambing
dengan anaknya sejak awal melahirkan,
menunjukkan bahwa induk kambing akan
mengalami involusi uterus sempurna sekitar pada
hari ke 26 - 28 [3].
Selama masa laktasi saat post partum,
proses involusi uterus berlangsung sebagai upaya
mempersiapkan endometrium untuk beregenerasi
normal agar dapat bunting kembali. Proses involusi
uterus ini dikendalikan dan dipengaruhi oleh
berbagai hormonal, seperti estradiol yang
produksinya terhambat selama masa laktasi akibat
pengaruh aktifitas hormon oksitosin dan prolaktin.
Hormon prolaktin berfungsi untuk memproduksi
susu, serta penting dalam menghambat ovulasi. Di
samping itu, oksitosin diproduksi oleh hipofisa
posterior yang dipengaruhi oleh mekanisme
suckling. Mekanisme suckling akan mempengaruhi
pituitari untuk tetap mensekresikan prolaktin.
Hormon oksitosin juga dapat menyebabkan
kontraksi uterus dan involusi uterus saat partum.
Proses involusi uterus dapat diamati salah
satunya dari perubahan morfologi sel epitel
skuamosa vagina dengan metode vaginal smear.
Hal tersebut dapat dijadikan sebagai penanda
apabila induk kambing siap untuk dikawinkan
setelah melewati periode anestrus post partum.
Sehingga, apabila dilakukan penyapihan lebih dini,
diasumsikan bahwa siklus estrus dapat terjadi
karena pengaruh intensitas suckling terhadap
perubahan aktifitas hormon induk masa laktasi.
Oleh karena itu, penelitian ini mempelajari
pengaruh penyapihan dini pada masa post partum.
METODE PENELITIAN
Penelitian berlangsung pada bulan Januari
Juni 2014 di Kelompok Tani Bersama Bululawang,
Malang dan Balai Besar Pelatihan Peternakan
(BBPP) Batu, Jawa Timur.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada
penelitian ini antara lain mikroskop cahaya, gelas
obyek, gelas penutup, pipet, Giemsa 10%, cotton
bud, larutan alkohol fiksatif 70%, dan etanol
absolut.

Jurnal Biotropika | Vol. 2 No. 2 | 2014

Persiapan Awal
Sampel sejumlah 9 ekor induk kambing
Boer F1 dari hasil persilangan Boer dan PE dengan
kriteria kondisi sehat, umur 1,5 2 tahun, bobot
tubuh berkisar 35 45 kg, tidak adanya gangguan
reproduksi dan tidak adanya sinkronisasi estrus.
Setelah itu, dilakukan pengelompokan sebanyak 3
kelompok yakni penyapihan dini selang waktu 42
hari post partum (Sapih 6 minggu PP), 56 hari post
partum (Sapih 8 minggu PP), dan kontrol dengan
selang waktu 91 h ari post partum (Sapih 13
minggu PP). Sumber makanan pokok bagi induk
adalah hijauan yang diambil dari lapang dalam
bentuk hijauan segar (sekitar 10% dari bobot
hidup). Pakan hijauan diberikan pagi dan siang
hari dan air minum dalam jumlah yang selalu
tersedia (ad libitum). Pakan tambahan berupa
konsentrat (1% bobot hidup), juga diberikan pada
waktu pagi dan siang hari.
Penyapihan Dini
Penyapihan dini dilakukan dengan selang
waktu 42 hari post partum (Sapih 42 hari PP), 56
hari post partum (Sapih 56 hari PP), dan kontrol.
Pada penelitian ini, induk kambing dibiasakan jauh
dengan anak kambing 7 hari sebelum disapih. Hal
ini, dilakukan dengan cara memisahkan induk
kambing dengan anak saat pagi hari dan
dikembalikan dalam satu kandang yang sama saat
petang hari. Setelah penyapihan dilakukan, induk
kambing tetap diperah susunya setiap hari pada
pagi hari selama 7 hari, lalu 2 3 hari sekali
hingga berumur 2 bulan post partum. Pemerahan
pasca penyapihan hanya dilakukan pada perlakuan
penyapihan dini selang waktu 42 hari post partum,
untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan
anak. Pemilihan waktu penyapihan juga berkaitan
terhadap anestrus post partum dan lamanya
involusi uterus yang dialami oleh induk kambing
setelah melahirkan.
Uji Vaginal Smear
Pengujian dengan vaginal smear untuk
melihat perubahan fase saat terjadinya proses

121

perubahan siklus estrus. Preparat vaginal smear


diamati
menggunakan
mikroskop
dengan
perbesaran 200x dan perbesaran 400x. Pengujian
vaginal smear dilakukan setiap hari mulai sejak
pemisahan dilakukan hingga fase estrus muncul.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Data diperoleh melalui pengamatan
langsung dengan pengambilan sampel secara
intensif. Data yang diperoleh ditabulasi dengan
menggunakan Microsoft Excel dan dianalisis
dengan uji Kruskal Wallis dengan taraf nyata 5%
secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus Estrus
Induk kambing yang partum, akan
mengalami involusi uterus sekaligus periode
anestrus post partum (APP) terlebih dahulu
sebelum siklus estrus awal terjadi. Panjang
pendeknya APP dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti pengaruh suckling oleh anak kambing. Hal
tersebut akan berpengaruh besar terhadap siklus
estrus post partum pada induk kambing.
B

Pc

Sc

Lc

D
Ic

Pc
c

Lc

Keterangan :
Pc : Parabasal cell
Ic : Intermediet cell

Sc : Superficial cell
Lc : Leucosyte cell

Gambar 1. Vaginal Smear Siklus Estrus pada


peranakan Kambing Boer F1 (A) Proestrus, (B)
Estrus, (C) Metestrus, (D) Diestrus

Jurnal Biotropika | Vol. 2 No. 2 | 2014

Secara urut, pengamatan saat fase proestrus


(Gambar 1A), dapat dilihat dari ditemukannya sel
epitel berbentuk oval, besar dan berinti, sehingga
dipenuhi oleh sel parabasal yang berjumlah banyak
dan berkelompok. sel parabasal tersebut dari hari
ke hari akan menurun dan atau sedikit ditemukan,
karena bertransformasi menjadi sel superfisial
yang jumlahnya semakin meningkat, yang
memiliki ciri sel yang berkornifikasi dan tidak
berinti menunjukkan fase estrus (Gambar 1B).
Pengamatan saat fase metestrus ditandai dengan
ditemukannya sel leukosit yang cukup banyak
pada pengamatan preparat serta jumlah sel
superfisial yang terkornifikasi menjadi sedikit
(Gambar 1C), namun beberapa preparat masih
disertai dengan adanya sel - sel intermediet yang
mulai muncul. Pengamatan saat fase diestrus, sel
parabasal berinti akan lebih dominan, sel
terkornifikasi jarang ditemukan saat fase diestrus
awal dan tidak ditemukan saat fase diestrus akhir
serta sel leukosit jarang ditemui (Gambar 1D).
Interval Siklus Estrus Pasca Sapih
Penentuan umur penyapihan pada penelitian
ini mengacu pada hasil penelitian sebelumnya
yang didasarkan pada interval involusi uterus yang
dialami oleh induk kambing Boer yakni berkisar
26 28 hari post partum dan periode anestrus post
partum yakni berkisar 55 61 hari, bergantung
pada jumlah anak yang dilahirkan [3]. Umur sapih
tersebut masih dikatakan normal, seperti yang
diterangkan oleh Blakey dan Bade, bahwa anak
kambing dapat disapih dari susu induk pada umur
6 12 minggu [4].
Penyapihan dilakukan agar perilaku suckling
anak terhadap induk kambing tidak menghambat
siklus estrus yang dikendalikan oleh regulasi
hormon. Aktivitas suckling atau menyusui dapat
menyebabkan periode anestrus post partum lebih
panjang atau lebih pendek bergantung pada kadar
prolaktin. Selama masa laktasi, regulasi estrus
akan dihambat oleh faktor hormonal seperti
prolaktin dan oksitosin. Selama penyapihan, anak
kambing tetap harus memperoleh susu induk
kambing hingga umur 2 bulan (8 minggu) post
partum.
Di samping itu, interval siklus estrus
kambing peranakan Boer F1 pada penelitian ini,
dihitung sejak hari penyapihan hingga siklus estrus
yang muncul. Interval siklus estrus pertama pasca
sapih yang dialami pada penyapihan selang 42 hari

122

(Sapih 6 minggu PP ) post partum yakni berkisar


16 2,65 hari dan panjang siklus estrus kedua
pasca sapih yakni 18 1 hari. Umur penyapihan
selang 56 hari (Sapih 8 minggu PP) post partum,
panjang siklus estrus pertama pasca sapih yang
diperoleh berkisar 17,7 1,53 hari dan panjang
siklus kedua pasca sapih berkisar 19 1,73 hari.
Interval pada selang 91 hari (Sapih 13 minggu PP)
post partum, sebagai kontrol, panjang siklus estrus
pertama pasca sapih yang terjadi berkisar 10,3
3,06 hari dan panjang siklus estrus kedua pasca
sapih berkisar 20,3 2,08 hari. Sebagai
pembanding, siklus estrus dan lamanya estrus
pada kambing Boer masing-masing sekitar 20,7
0,7 hari dan 37,4 8,6 jam [3].
Pengamatan melalui uji vaginal smear perlu
dilakukan selain untuk pengamatan siklus estrus
secara visual, karena dapat dikhawatirkan apabila
terjadinya silent heat yang tidak dapat terdeteksi
pada
kambing
betina.
Praktisi
dapat
mengaplikasikan uji vaginal smear sebagai uji
konfirmasi untuk mengetahui berlangsungnya
siklus estrus kambing betina terutama pada induk
kambing post partum.
Tabel 1. Siklus Estrus Awal dan Estrus Kedua
Pasca Sapih
Umur
Penyapihan
42 Hari PP
56 Hari PP
91 Hari PP
(Kontrol)

Siklus Estrus
Pertama
Pasca Sapih
(Rata Rata)
16 2,65 hari
17,7 1,53 hari

Siklus Estrus
Kedua
Pasca Sapih
(Rata Rata)
18 1
hari
19 1,73 hari

10,3 3,06 hari

20,7 1,58 hari

Nampak perbedaaan antara kontrol dengan


perlakuan, terhadap interval nilai panjang siklus
estrus. Hasilnya, terdapat beda interval yang cukup
signifikan, yakni siklus estrus pertama pasca sapih
pada kontrol hanya memiliki rata - rata interval
berkisar 10,3 3,06 hari dibandingkan dua
kelompok perlakuan lainnya, yakni berkisar 16
2,65 hari dan 17,7 1,53 hari. Kemungkinan
adanya pengaruh penyapihan terhadap siklus estrus
post partum. Namun, berdasarkan nilai hasil uji
analisis menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata
(p>0,05) antara semua kelompok perlakuan dan
kontrol pada siklus estrus pertama pasca sapih. Hal
tersebut dapat terjadi, karena regulasi siklus estrus
telah dialami oleh induk kambing sebelum

Jurnal Biotropika | Vol. 2 No. 2 | 2014

penyapihan dilakukan. Saat penyapihan, siklus


estrus sedang berada dalam fase diestrus, sehingga
penyapihan dini pada selang waktu 42 hari (Sapih
6 minggu PP) atau bahkan 56 hari (Sapih 8 minggu
PP) post partum sudah dapat diimplementasikan.
Hal tersebut dapat dikaitkan dengan periode
involusi uterus dan anestrus post partum pada
induk kambing.
Interval rata rata siklus estrus kedua pasca
sapih pada penyapihan dini selang waktu 42 hari,
56 hari post partum dan kontrol secara berturut
yakni 18 1 hari, 19 1,73 hari dan 20,7 1,58
hari. Interval tersebut tidak memiliki beda jarak
yang jauh antara perlakuan dan kontrol, sehingga
siklus estrus pada induk kambing tersebut telah
teregulasi normal. Kondisi regulasi siklus estrus
tersebut dapat dipengaruhi oleh beragam faktor,
seperti frekuensi pemerahan yang dilakukan
sebelum dan sesudah penyapihan selama penelitian
mampu mempengaruhi regulasi hormonal.
Hal tersebut disebabkan karena pemerahan
dapat menyebabkan respon rangsang terhadap
produksi hormon prolaktin. Prolaktin dapat
menghambat regulasi progesteron dan estrogen ke
hipotalamus dan menghambat sekresi GnRH.
Hormon GnRH tersebut akan mempengaruhi
hormon FSH dan LH terhadap perkembangan
folikel yang berperan dalam mengatur kemunculan
estrus. Suckling maupun pemerahan saat masa
laktasi memiliki peran untuk menghambat regulasi
siklus estrus tersebut melalui hipotalamus.
Dijelaskan oleh Hafez, bahwa lama periode APP
bergantung pada tingkat rangsangan pada kelenjar
mammae yang diterima oleh induk dan status
nutrisi induk selama masa akhir kebuntingan dan
awal laktasi [5].
Panjang pendeknya regulasi siklus estrus
setelah partum umumnya juga dipengaruhi oleh
periode anestrus post partum yang dialami oleh
induk kambing. Berdasarkan Greyling bahwa
lamanya periode anestrus post partum pada
kambing Boer sekitar 55,5 24,9 hari dengan
rincian 53,2 14,3 hari pada induk dengan satu
anak dan 58,5 30 hari pada induk dengan dua
anak dan 61,7 30,7 hari pada induk dengan tiga
anak [3]. Lamanya periode APP ini akan
mempengaruhi panjang pendeknya calving
interval. Berdasarkan Riera, interval tersebut
bervariasi bergantung pada induk kambing
silangan yang diamati, status laktasi dan nutrisi [6].

123

KESIMPULAN
Interval siklus estrus kedua pasca sapih pada
kelompok induk kambing sapih 42 hari PP adalah
18 hari dan sapih 56 hari PP adalah 19 hari dan
kontrol rata rata berkisar 20,7 hari. Hal tersebut
berdasarkan interval siklus estrus pertama pasca
sapih dapat disebabkan oleh pemerahan pasca
penyapihan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada
Bapak Dr. Agung Pramana W.M., M.Si serta
Bapak Dr. Ir. Gatot Ciptadi, DESS selaku dosen
pembimbing penelitian penulis. Penulis juga
berterimakasih kepada Kepala Balai Besar
Pelatihan Peternakan Batu dan Ketua Kelompok
Tani Bululawang yang memfasilitasi penelitian
penulis serta semua pihak yang membantu dalam
menyelesaikan jurnal ini. Semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat bagi siapa saja..
DAFTAR PUSTAKA
[1]

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

Hardjosubroto,
W.
1994.
Aplikasi
Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Hunter, R.H.F. 1980. Physiology And
Technology Of Reproduction Infemale
Domestic Animal. Academic Ress. London.
348 351.
Greyling, J.P.C. 2000. Reproduction Traits
In The Boer Goat Doe. Elvesier Science
Publisher. Small Ruminant Research 36.
Blakely, J Dan D.H Bade. 1992. Ilmu
Perternakan. Edisi IV. Terjemahan. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta
Hafez,
E.S.E.
1993.
Artificial
Insemination.Reproduction
In
Farm
Animals. 6th Ed. Lea & Febiger.
Philadelphia.
Riera, S., 1982. Reproductive Effenciency
And Management In Goats. Proc. 3rd
International. Conference on Goat Prod. And
Disease. Tuscon, Arizona USA

Jurnal Biotropika | Vol. 2 No. 2 | 2014

124

Anda mungkin juga menyukai