Anda di halaman 1dari 10

Efektivitas Teknik Kultur menggunakan Sistem Kultur Statis, Semi-kontinyu, dan Kontinyu

terhadap Produktivitas dan Kualitas Kultur Spirulina sp.


Gede Suantika dan Deri Hendrawandi
Kelompok Keilmuan Ekologi dan Biosistematika, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,
Institut Teknologi Bandung, Bandung
e-mail: gsuantika@sith.itb.ac.id
Diterima 16 Desember 2008, disetujui untuk dipublikasikan 18 Februari 2009
Abstrak
Spirulina sp. merupakan jenis sianobakteri yang banyak digunakan dalam berbagai industri seperti akuakultur,
kesehatan, dan makanan karena memiliki kandungan nutrisi seperti protein, asam lemak, vitamin, dan antioksidan yang
tinggi. Pada penelitian ini tiga teknik kultur yang meliputi kultur statis, semi-kontinyu, dan kontinyu diujikan untuk
melihat pengaruhnya terhadap produktivitas kultur Spirulina sp. Berdasarkan penelitian selama 24 hari periode kultur,
biomassa yang dihasilkan dari kultur statis sebanyak 6,530,16 g, sedangkan kultur semi-kontinyu sebesar 7,510,22 g,
dan pada kultur kontinyu 5,420,02 g. Selama periode kultur jumlah kontaminan tertinggi dijumpai pada kultur
kontinyu, nilai pH tertinggi pada kultur semi-kontinyu, konsentrasi nitrat, nitrit, amonium, dan amonium tertinggi pada
kultur kontinyu. Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa teknik kultur semi-kontinyu merupakan
sistem kultur yang mampu menghasilkan biomassa tertinggi selama 24 hari periode kultur dengan total produksi
biomassa sebanyak 7,510,22 g dan dapat memelihara stabilitas kondisi kualitas air kultur.
Kata kunci: Spirulina sp., Kultur statis, Kultur semi-kontinyu, Kultur kontinyu, Produksi, biomassa
Abstract
Cyanobacteria, Spirulina sp., is used in many industries such as aquaculture, medical, and food industry due to its high
nutrient level such as protein, fatty acid, vitamin, and antioxidant. In this experiment, three different culture techniques
of batch culture, semi-continuous culture, and continuous culture were tested and developed in order to evaluate their
effects on Arthrospiras culture production. During 24 days of culture period, batch culture biomass produced was
6.530.16 g, semi-continuous culture was 7.510.22 g, and continuous culture was 5.420.02 g. The highest
contaminant presence was obtained in continuous culture, the highest pH level was found in semi-continuous culture.
The highest concentration of nitrate, nitrite, ammonium, and orthophosphate was measured in continuous culture. Based
on the result, it can be concluded that semi-continuous culture can produce highest biomass for 24 days culture period
with a total production of biomass was 7.510.22 g and can maintain the stability of water quality.
Keywords : Spirulina sp., Batch culture, Semi-continuous culture, Continuous culture, Production, Biomass
kualitas dan kuantitas yang tidak dapat dijamin,
sehingga upaya pengembangan teknik kultur perlu
dilakukan agar produktivitas dan kualitas kultur
Spirulina sp. dapat ditingkatkan.
Oleh karena itu, berbagai penelitian dan
pengembangan telah dilakukan untuk memproduksi
biomassa Spirulina sp. yang meliputi teknik kultur
dalam berbagai skala produksi, optimasi kondisi
lingkungan kultur, dan uji galur Spirulina sp. (Reinehr
dan Costa, 2006; Vonshak dan Tomaselli, 2000).
Sampai saat ini, pengembangan teknik kultur Spirulina
sp. masih sangat terbatas dan teknik kultur yang umum
digunakan adalah kultur statis karena teknik ini relatif
sederhana dan reliable. Berdasarkan kondisi di atas
beberapa teknik kultur yang meliputi teknik kultur
statis, kultur semi-kontinyu, dan kultur kontinyu perlu
diujikan dan dikembangkan untuk melihat pengaruhnya
terhadap produktivitas dan kualitas kultur Spirulina sp.
yang ditentukan berdasarkan biomassa, kepadatan sel,
ukuran trikom, adanya kontaminan, dan kualitas air
kultur.

1. Pendahuluan
Pada satu dekade terakhir, mikroalga merupakan
mikroorganisme yang sangat banyak digunakan dalam
industri akuakultur, kesehatan, pakan, maupun
makanan. Satu di antara mikroalga yang banyak
digunakan di dunia industri adalah Spirulina sp. karena
memiliki kandungan nutrisi seperti protein, asam
lemak, vitamin, dan antioksidan yang tinggi. Selain
digunakan dalam dunia industri, Spirulina sp. juga
dapat dikonsumsi langsung oleh manusia, seperti oleh
orang-orang yang tinggal di Danau Chad, Republik
Chad, Afrika dan di Danau Texcoco, Meksiko yang
menjadikannya sebagai makanan tambahan/suplemen
dan makanan tradisional (Belay, 2008).
Peningkatan penggunaan Spirulina sp. dalam
berbagai bidang industri mengakibatkan tingkat
konsumsi Spirulina sp. dari tahun ke tahun semakin
besar, akan tetapi hal itu tidak diimbangi dengan
produksi Spirulina sp. karena hingga saat ini masih
mengandalkan produksi dari habitat alami dengan
41

42 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, JUNI 2009, VOL. 14 NO. 2

2. Metode
2.1 Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah peralatan tempat kultur beserta kelengkapannya
(aerator, filter, pipa PVC, selang silikon, regulator,
pipa kaca, batu aerasi, botol 1 L, tanki 19 L, tabung
infus, selang infus, dan lampu TL 40 W), mikroskop
cahaya (American Optical), Sedgewick Rafter, counter,
pH-meter (Cyberscan PC 300), Lux-meter (Extech
Model 407026), spektrofotometer (Spectronic 20),
autoklaf, timbangan digital (Ohauss), dan oven
(Precision).
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain medium Schlosser, larutan pemutih,
Na2S2O3, KH2PO4, NaNO2, NH4Cl, KNO3, reagen
Nessler, larutan garam Seignette, larutan asam
sulfanilat, larutan naftil, larutan NaCl, larutan H2SO4,
larutan brusin sulfanilat, larutan HCl, larutan amonium
molibdat, dan larutan SnCl2. Bahan medium Schlosser
memiliki kualitas komersial sedangkan bahan lainnya
memiliki kualitas pro analisis.

Sedangkan pemanenan total dilakukan pada hari ke-24.


Ketika melakukan pemanenan sebagian volume kultur,
dilakukan pula renewing, yaitu penambahan medium
baru sesuai dengan volume kultur yang dipanen. Pada
kultur kontinyu dimasukkan inokulum sebanyak 1,2 L
dengan KAI 104 sel/mL pada tanki berisi 10,8 L air
steril. Penambahan medium Schlosser dilakukan
dengan laju 0,35 mL/menit selama delapan hari
sehingga volume kultur mencapai 16 L. Pemanenan
total dilakukan pada hari ke-8. Setelah itu dilakukan
pembilasan dan reinokulasi, dan pemanenan pada hari
ke-16 dan ke-24 (Gambar 1). Semua perlakuan
menggunakan enam ulangan dan inokulum yang
digunakan berada pada fase eksponensial.
2.4 Kualitas air
Selama uji perlakuan jumlah sel, ukuran sel, dan
jumlah kontaminan diukur dengan Sedgewick Rafter,
pH ditentukan menggunakan pH meter, konsentrasi
amonium, nitrit, nitrat, dan orthofosfat ditentukan
menggunakan spektrofotometer, dan biomassa dengan
menggunakan timbangan.

2.2 Uji pendahuluan kurva pertumbuhan

2.5 Analisa data

Pembuatan kurva pertumbuhan Spirulina sp.


dilakukan dalam sistem kultur statis dengan
memasukan 80 mL kultur aktif Spirulina sp. dengan
Kepadatan Awal Inokulum (KAI) 104 sel/mL (dihitung
menggunakan Sedgewick Rafter counting chamber) ke
dalam lima botol kultur 1 L yang berisi 720 mL
medium Schlosser steril secara aseptis. Kultur disimpan
dalam rak dengan intensitas cahaya 4000 lux,
fotoperioda terang/gelap (24 jam : 0 jam), dan laju
aerasi 1000 mL/menit. Kurva pertumbuhan tersebut
dibuat dengan menghitung jumlah sel setiap harinya
sampai sel memasuki fase kematian di mana jumlah sel
mengalami penurunan.

Laju
pertumbuhan
eksponensial
atau
exponential growth rate () Spirulina sp. dihitung
ln( N n ) ln( Ni )
dengan menggunakan rumus: =
(tn ti )
dengan:

= laju pertumbuhan eksponensial


Nn = kepadatan kultur pada awal fase eksponensial
Nt = kepadatan kultur pada akhir fase eksponensial
ti, tn = waktu awal dan akhir fase eksponensial
(Nahdiah, 2004).

2.3 Uji efektivitas teknik kultur


Pada kultur statis dimasukkan inokulum
sebanyak 1,6 L dengan KAI 104 sel/mL pada tanki
berisi 15,4 L medium Schlosser. Pemanenan total
dilakukan pada hari ke-8. Setelah itu dilakukan
pembilasan, yaitu pembersihan dan sterilisasi tanki
kultur. Kemudian dilakukan reinokulasi, yaitu
penambahan inokulum sebanyak 1,6 L dengan KAI 104
sel/mL pada tanki berisi 15,4 L medium Schlosser
sehingga dilakukan pemanenan kembali pada hari ke16. Proses pembilasan dan reinokulasi dilakukan
kembali pada hari ke-16 dan pemanenan total pada hari
ke-24. Pada kultur semi-kontinyu dimasukkan
inokulum sebanyak 1,6 L dengan KAI 104 sel/mL pada
tanki berisi 15,4 L medium Schlosser. Pemanenan
sebagian volume kultur (ditentukan dari pengenceran
kepadatan sel dalam tanki menjadi 20 x 103 sel/mL)
dilakukan pada hari ke-8, 10, 12, 14, 16, 18, 20, dan 22.

Analisis statistik terhadap data hasil penelitian


dilakukan dengan melakukan uji statistik analisis
variansi (One-way ANOVA) untuk mengetahui derajat
signifikansi perbedaan dari setiap perlakuan selama
penelitian, sedangkan untuk mengetahui signifikansi
perbedaan rata-rata dengan tingkat kepercayaan 95%
digunakan Duncan.

3. Hasil dan Diskusi


3.1 Kurva pertumbuhan
Pembuatan kurva pertumbuhan Spirulina sp.
bertujuan untuk mengetahui umur atau waktu
penggandaan sel tercepat yang akan digunakan sebagai
inokulum aktif pada kultur selanjutnya. Kurva
pertumbuhan Spirulina sp. dibuat berdasarkan pada
peningkatan jumlah sel dengan KAI 104 sel/mL selama
19 hari pengamatan (Gambar 2).

Suantika dkk., Efektivitas Teknik Kultur menggunakan Sistem Kultur Statis, Semi-kontinyu 43

Gambar 1. Skema penelitian efektivitas teknik kultur Arthospira sp.(a) High Blow, (b ) PVC (d=0,1 m, t=1 m) berisi
kapas lemak steril, (c) Tanki (1,4,7=kultur statis; 2,5,8=kultur semi-kontinyu; 3,6,9=kultur kontinyu), (d) PVC 0, 02 m
(e) Regulator, (f) Tabung infus, (g) Rak, (h) Keran, (i) Lampu TL. Semua tanki disimpan dalam rak. Udara yang berasal
dari High Blow disaring melewati filter untuk mengurangi kontaminan dan dialirkan melalui pipa steril hingga mencapai
tanki dengan laju aerasi 8000 mL/menit yang diatur menggunakan regulator. Intensitas cahaya sebesar 4000 lux
berasal dari lampu TL 36 Watt dengan fotoperiodisme terang/gelap (24 : 0 jam).

Jumlah sel/mL

Berdasarkan Gambar 2 dapat diamati bahwa


kultur mengalami fase lag terlebih dahulu, yaitu selama
dua hari dengan karakteristik sedikitnya penambahan
kepadatan sel, yaitu dari 1,00 x 103 sel/mL pada hari
ke-0 periode kultur menjadi 1,34 0,1 x 103 sel/mL
pada hari ke-1 periode kultur. Pada hari ke-2 jumlah sel
menjadi 2,03 0,21 x 103 sel/mL. Hal ini menunjukkan
kultur Spirulina sp. masih beradaptasi dengan medium
yang digunakan.

Hari ke-

Gambar 2. Kurva pertumbuhan kultur Spirulina sp.


skala 1L.
Pada hari ke-3 jumlah sel menjadi 3,720,43 x
103 sel/mL yang menunjukkan kultur telah memasuki
fase eksponensial dan terjadi sampai hari ke-10. Fase
ini terjadi ketika nutrisi, pH, dan intensitas cahaya pada
medium masih dapat memenuhi kebutuhan fisiologis
Spirulina sp. sehingga dalam fase ini sel masih
memiliki kemampuan bereproduksi sehingga populasi
masih bertambah. Pada hari ke-11 hingga hari ke-14
kultur mengalami fase stasioner dengan jumlah
kepadatan tertinggi sebesar 44,730,95 x 103 sel/mL
pada hari ke-14. Hal ini disebabkan oleh pembelahan
sel yang mulai lambat karena kondisi nutrisi dan faktor

fisika kimia lain yang mulai membatasi pertumbuhan


(Coutteau, 1998).
Pada hari ke-15, sel mulai mengalami fase
kematian. Hal tersebut teramati dengan terjadinya
pengurangan populasi sel Spirulina sp., yaitu dari
44,730,95 x 103 sel/mL pada hari ke-14 periode kultur
menjadi 40,130,8x103 sel/mL pada hari ke-15 periode
kultur. Kematian sel dapat disebabkan oleh mulai
berkurangnya nutrisi yang tersedia sehingga tidak
mampu mendukung pertumbuhan sel, penurunan
kualitas air, dan akumulasi metabolit (NO2- dan NH4+).
Akibatnya laju kematian sel lebih besar dibandingkan
dengan laju pertambahan sel (Lavens dan Sorgeloos,
1996). Pada akhir periode pengamatan (t=19 hari),
kepadatan sel Spirulina sp. dalam kultur mencapai
381,83 x 103 sel/mL.
Umur kultur yang digunakan sebagai inokulum
ditentukan berdasarkan laju pertumbuhan spesifik ()
populasi Spirulina sp. pada kurva pertumbuhan. Laju
pertumbuhan spesifik menggambarkan banyaknya
individu baru yang terbentuk per satuan waktu tertentu
(Fardiaz, 1992). Gambar 3 menunjukkan laju
pertumbuhan spesifik kultur Spirulina sp. selama 19
hari periode kultur. Berdasarkan laju pertumbuhan
spesifik () yang diperoleh, maka umur kultur yang
digunakan sebagai inokulum dalam tahap kultur
selanjutnya adalah populasi Spirulina sp. yang berada
dalam tahap eksponensial dengan nilai tertinggi
(0,51), yaitu saat berumur lima hari. Hal ini didukung
oleh Fardiaz (1992) yang menjelaskan bahwa waktu
penggandaan yang tercepat biasanya tercapai ketika
fase eksponensial, yaitu fase pertumbuhan ketika sel-sel
membelah dengan cepat dan konstan mengikuti kurva
logaritmik. Pada fase tersebut pertumbuhan dan
aktivitas sel berada dalam keadaan maksimum,
sehingga pada umur tersebut sel berada dalam keadaan

44 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, JUNI 2009, VOL. 14 NO. 2

Laju

Pertumbuhan

aktif dan memiliki waktu adaptasi yang pendek selama


proses kultur.

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 1819

Hari ke-

Gambar 3. Laju pertumbuhan spesifik Spirulina sp.


3.2 Efektivitas teknik kultur
Hasil penelitian berikutnya mengenai uji
efektivitas teknik kultur dalam tanki volume 16L dapat
dilihat pada Gambar 4. Selama 24 hari periode kultur,
kepadatan populasi Spirulina sp. tertinggi dijumpai
pada teknik kultur semi-kontinyu, yaitu sebesar
30,331,56 x 103 sel/mL pada hari ke-12 periode
kultur, diikuti oleh kultur statis (22,530,81 x 103
sel/mL) pada hari ke-8 periode kultur pertama, dan
kultur kontinyu (23,656,68x103 sel/mL) pada hari ke8 periode kultur pertama.
Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan
ANOVA dan uji lanjutan Duncan (Tabel 1), kepadatan
populasi Spirulina sp. pada kultur kontinyu berbeda
nyata (p<0,05) dengan kultur statis (pada hari ke-1
hingga hari ke-4 periode kultur pertama, pada hari ke-9
hingga hari ke-13 periode kultur kedua dan pada hari
ke-18 hingga ke-21 periode kultur ketiga) maupun

dengan kultur semi-kontinyu (pada hari ke-1 hingga


hari ke-3). Kepadatan populasi Spirulina sp. pada
kultur kontinyu pada hari ke-1 hingga hari ke-4 pada
periode kultur pertama lebih banyak dibandingkan
kedua teknik kultur lainnya. Kepadatan populasi yang
lebih tinggi ini disebabkan oleh putusnya trikom
dewasa Spirulina sp. akibat agitasi berupa tekanan
udara dari aerasi yang diberikan sehingga jumlah sel
menjadi banyak tetapi ukuran trikomnya lebih pendek
dibandingkan kedua teknik kultur lainnya. Hal ini
terjadi karena pada awal periode kultur, volume kultur
hanya 12 L sehingga tekanan udara dalam tanki cukup
besar.
Pada hari ke-5 hingga hari ke-8 periode kultur,
kepadatan populasi Spirulina sp. pada ketiga teknik
kultur tidak berbeda signifikan. Hal ini terjadi karena
laju pertumbuhan Spirulina sp. pada kultur kontinyu
menurun menjadi lebih kecil dibandingkan dengan laju
pertumbuhan pada kultur statis dan kultur semikontinyu (Tabel 1). Pada kultur kontinyu, terjadi
penurunan laju pertumbuhan karena laju penambahan
medium menjadi faktor pembatas. Ketika terjadi
peningkatan kepadatan populasi Spirulina sp. pada
kultur kontinyu dengan laju penambahan medium yang
tetap, akan mengakibatkan pertumbuhan Spirulina sp.
terhambat karena keterbatasan carrying capacity
medium dalam memenuhi kebutuhan nutrisi. Hal ini
pula yang menyebabkan populasi kultur kontinyu (t=14
-17 hari periode kultur kedua; t=22-24 hari periode
kultur ketiga) tidak berbeda nyata dengan populasi
kultur statis (pada umur kultur yang sama) karena
nutrisi pada kultur statis belum menjadi faktor
pembatas pertumbuhan.

Gambar 4. Kepadatan sel Spirulina sp. selama uji efektivitas teknik kultur dalam tanki 16L

Suantika dkk., Efektivitas Teknik Kultur menggunakan Sistem Kultur Statis, Semi-kontinyu 45

Tabel 1. Kepadatan populasi rata-rata dan simpangan baku Spirulina sp. pada tiga teknik kultur
Hari
0

Hari 0-8
( x 103 sel/mL)

Kultur Statis
Hari 8-16
( x 103 sel/mL)

Hari 16-24
( x 103 sel/mL)

1,050,01
a

1
2
3
4
5
6
7

1,340,09 (0,29)
2,490,22a(0,62)
5,300,51a(0,75)
8,771,17a(0,50)
12,030,67a(0,32)
15,932,22a(0,28)
20,432,40a(0,25)

8
9

22,530,81a(0,1)

Kultur
Semi-kontinyu
(Hari 0-24)
( x 103 sel/mL)
1,050,01
a

1,100,01
1,450,11a(0,37)

10
11

2,480,19a(0,54)
5,610,05a(0,82)

12
13

8,780,58a(0,45)
11,370,87a(0,26)

14
15

14,170,90a(0,22)
16,732,33a(0,17)

16
17

21,071,01a(0,23)

1,090,01
1,540,10a(0,43)

18
19

3,670,34a(0,87)
5,440,34a(0,39)

20
21

8.630.37a(0,46)
11.740.45a(0,31)

22
23

14,731,16a(0,23)
17,602,10a(0,18)

24

20,842,96a(0,17)

1,360,09 (0,31)
2,380,21a(0,56)
5,420,33a(0,82)
8,110,69ab(0,40)
12,970,65a(0,47)
17,070,29a(0,27)
19,171,72a(0,12)
21,831,63a(0,13)
20,00
25,600,75b(0,25)
30,100,82b(0,16)
20,00
24,401,14b(0,20)
b
30,331,56 (0,22)
20,00
24,171,34b(0,19)
b
28,630,31 (0,17)
20,00
23,530,86b(0,16)
b
27,971,48 (0,17)
20,00
23,171,00b(0,15)
b
26,030,68 (0,12)
20,00
22,580,37b(0,12)
24,960,08b(0,10)
20,00
21,580,69b(0,08)
23,900,56b(0,10)
20,00
22,000,46b(0,10)
23,630,85a(0,07)
20,00

Hari 0-8
( x 103 sel/mL)

Kultur Kontinyu
Hari 8-16
( x 103 sel/mL)

Hari 16-24
( x 103 sel/mL)

1,050,01
2,420,20b(0,89)
4,221,32b(0,55)
10,502,57b(0,91)
12,223,08b(0,15)
15,174,53a(0,22)
17,895,05a(0,16)
21,436,85a(0,18)
1,100,01
23,656,68a(0,10)

2,450,30c(0,89)
4,900,45c(0,69)
9,681,22c(0,68)
11.741.54c(0.19)
14.791.78c(0.23)
15,430,93a(0,04)
17,872,06a(0,15)
1,090,01
22,003,52a(0,21)

2,170,32a(0,78)
4,710,46c(0,77)
9,350,95c(0,68)
12,581,22c(0,30)
14,582,03c(0,15)
15,752,04a(0,08)
17,280,95a(0,09)
20,511,16a(0,78)

Ket: - huruf yang sama pada satu baris menunjukkan nilai rata-rata yang tidak berbeda secara signifikan (p>0,05)
- huruf yang dicetak tebal menunjukkan kepadatan populasi saat dilakukan pemanenan
- ( ) = laju pertumbuhan spesifik

Pada hari ke-9 hingga hari ke-23 kepadatan


populasi Spirulina sp. pada kultur semi-kontinyu
berbeda signifikan (p<0,05) dengan kultur statis dan
kultur kontinyu. Hal ini dikarenakan pada hari ke-8 dan
hari ke-16 merupakan waktu reinokulasi kedua teknik
kultur lainnya sehinggga jumlah sel masih sedikit.
Keadaan ini berbeda dengan kultur semi-kontinyu yang
memiliki inokulum awal lebih banyak setiap kali
renewing dilakukan (t=8, 10, 12, 14, 16, 18, 20, dan 22
hari) karena inokulum awalnya berasal dari sisa kultur
yang tidak dipanen (2 x 103 sel/mL).
Kepadatan populasi Spirulina sp. pada kultur
semi-kontinyu saat dilakukan pemanenan secara
periodik cenderung mengalami penurunan. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya
shading effect. Fenomena ini muncul karena populasi
Spirulina sp. mendekati atau dalam kepadatan
maksimal sehingga sel tertutupi oleh sel lainnya yang
berakibat laju fotosintesis Spirulina sp. berkurang
karena energi foton yang dibutuhkan untuk eksitasi
elektron pada fikobilisom, Fotosistem II, dan
Fotosistem I tidak optimal (Qiang dkk., 1998). Kedua,

adanya akumulasi O2 seiring bertambahnya populasi


kultur alga akibat respirasi seluler sehingga
menghambat
fotosintesis,
pertumbuhan,
dan
menyebabkan kematian kultur (Marquez dkk., 1995,
Jimenez dkk., 2003). Ketiga, umur kultur. Setiap kali
dilakukan pemanenan secara periodik, sebagian kultur
tidak ikut dipanen. Akibatnya, ada sebagian kultur yang
telah memasuki fase stasioner ketika dilakukan
renewing, sehingga sel tidak mampu menghasilkan
pertumbuhan maksimal. Selain itu, hal ini akan
mengakibatkan akumulasi senyawa metabolit berupa
amonium yang bersifat toksik sehingga menghambat
pertumbuhan. Hal ini terlihat dengan terbentuknya
gumpalan Spirulina sp. pada kultur semi-kontinyu
pada akhir periode kultur yang menandakan telah
terjadi akumulasi senyawa toksik. Spirulina sp. akan
membentuk gumpalan sebagai respon terhadap adanya
senyawa toksik untuk meminimalisir luas permukaan
penyerapan (Richmond dan Grobbelaar, 1986).
Panjang trikom merupakan salah satu indikator
yang dapat digunakan untuk melihat pertumbuhan dan
kualitas kultur Spirulina sp. Trikom yang diamati
adalah trikom yang berbentuk heliks karena bentuk
trikom Spirulina sp. sangat bervariasi jika mengalami

46 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, JUNI 2009, VOL. 14 NO. 2

cekaman lingkungan (Kedebe, 1997). Trikom


Spirulina sp. pada ketiga teknik kultur selama periode
kultur berlangsung mengalami penambahan ukuran.
Ukuran trikom terpanjang Spirulina sp. dijumpai pada
kultur semi-kontinyu (t=19 hari) dengan ukuran
49467 m, diikuti kultur statis dengan ukuran 4788
m pada hari ke-23 periode kultur ketiga, dan kultur
kontinyu dengan ukuran 2923 m pada hari ke-16
periode kultur kedua. Berdasarkan hasil uji statistik
menggunakan ANOVA dan uji lanjutan Duncan,
panjang rata-rata trikom pada kultur kontinyu berbeda
signifikan dengan kedua teknik kultur lainnya selama
tiga kali periode kultur berlangsung. Pada kultur
kontinyu panjang rata-rata trikom Spirulina sp. lebih
pendek dibandingkan dengan panjang trikom pada
teknik kultur lainnya. Hal ini diakibatkan oleh agitasi
dari aerasi. Hasil ini sesuai dengan Richmond dan
Grobbelaar (1986) yang menyatakan jika aerasi yang
diberikan terlalu besar, sedangkan volume dan
kedalaman air kultur rendah maka akan terjadi cekaman
pada kultur berupa tekanan udara. Selain aerasi,
keterbatasan carrying capacity medium juga menjadi
penyebab pendeknya ukuran trikom Spirulina sp. pada
kultur kontinyu. Keterbatasan tersebut diakibatkan oleh
penambahan medium dengan laju konstan sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan populasi kultur
Spirulina sp. yang meningkat dalam mendapatkan
nutrisi untuk pertumbuhannya (Sanchez-Luna dkk.,
2004).
Ukuran trikom pada kultur statis (hari ke-10, 11,
13, dan 14 pada periode kultur kedua dan hari ke-17,
18, 19, dan 20 pada periode kultur ketiga) berbeda
signifikan (p<0,05) dibandingkan dengan ukuran
trikom pada kultur semi-kontinyu. Ukuran trikom
Spirulina sp. pada kultur statis lebih pendek
dibandingkan dengan ukuran trikom pada kultur semikontinyu pada hari tersebut. Hal ini terjadi karena
periode tersebut merupakan periode awal pada kultur
statis setelah dilakukan reinokulasi sehingga ukurannya
lebih pendek. Hasil ini menunjukkan pula bahwa kultur
semi-kontinyu menghasilkan kultur dengan ukuran
trikom yang lebih panjang dan relatif stabil
dibandingkan teknik kultur lainnya karena tidak ada
proses reinokulasi. Pada hari ke-23 dan ke-24 periode
kultur ketiga pada kultur statis, ukuran trikomnya lebih
panjang dibandingkan dengan ukuran trikom pada
kultur semi-kontinyu (p<0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa telah terjadi penurunan kualitas kultur sel
Spirulina sp. pada kultur semi-kontinyu seiring
bertambahnya periode kultur yang kemungkinan
disebabkan oleh banyaknya sel yang berada dalam fase
lag karena dikultur secara terus-menerus, akumulasi
metabolit yang bersifat toksik, dan shading effect.
Pada kultur statis dan kultur kontinyu masingmasing dilakukan pemanenan total sebanyak tiga kali
yaitu pada hari ke-8 periode kultur pertama, pada hari

ke-16 pada periode kultur kedua, dan pada hari ke-24


periode kultur ketiga. Pada kultur semi-kontinyu
dilakukan pemanenan sembilan kali, yaitu pada hari ke8, 10, 12, 14, 16, 18, 20, dan 22 serta pemanen total
pada hari ke-24 (Gambar 4). Pada kultur statis,
pemanenan pertama (kepadatan sel 22,530,81 x 103
sel/mL dengan ukuran trikom 41711 m) pada hari
ke-8 periode kultur pertama, pemanenan kedua
(kepadatan sel 21,071,01 x 103 sel/mL dengan ukuran
trikom 4546 m) pada hari ke-16 periode kultur
kedua, dan pemanenan ketiga (kepadatan sel
20,842,96 x 103 sel/mL dengan ukuran trikom 4764
m) pada hari ke-24 periode kultur ketiga. Biomassa
yang dihasilkan dari tiga kali pemanenan adalah
6,530,16 g. Pada kultur semi-kontinyu dilakukan
sembilan kali pemanenan secara periodik (kepadatan
sel rata-rata 24,043,03 x 103 sel/mL dengan ukuran
trikom rata-rata 44821 m). Biomassa yang dihasilkan
dari sembilan kali pemanenan adalah 7,510,22 g. Pada
kultur kontinyu dilakukan tiga kali pemanenan.
Pemanenan pertama (kepadatan sel 23,656,68 x 103
sel/mL dengan ukuran trikom 2521 m) pada hari ke8 periode kultur pertama, pemanenan kedua (kepadatan
sel 22,003,52 x 103 sel/mL dengan ukuran trikom
2923 m) pada hari ke-16 periode kultur kedua, dan
pemanenan ketiga (kepadatan sel 20,511,16 x 103
sel/mL dengan ukuran trikom 2856 m) pada hari ke24 periode kultur ketiga. Biomassa yang dihasilkan dari
tiga kali pemanenan adalah 5,420,02 g.
Berdasarkan hasil uji statistik ANOVA dan uji
lanjutan Duncan, biomassa yang diperoleh dari ketiga
teknik kultur berbeda signifikan (p<0,05) dengan
biomassa tertinggi dihasilkan oleh kultur semikontinyu, diikuti oleh kultur statis, dan kultur kontinyu
(Tabel 2). Biomassa yang dihasilkan dari kultur semikontinyu menunjukkan adanya peningkatan produksi
biomassa dibandingkan dengan kultur statis sebagai
teknik kultur yang umum digunakan. Hal ini
menunjukkan bahwa kultur semi-kontinyu mampu
meningkatkan produksi biomassa Spirulina sp. sebesar
38,5% dibandingkan kultur statis, sedangkan kultur
kontinyu biomassa yang dihasilkan lebih sedikit
dibandingkan dengan kultur statis.

Tabel 2. Perbandingan produksi biomassa selama 24


hari oleh ketiga teknik kultur
Teknik kultur
Statis
Semi-kontinyu
Kontinyu

Produksi biomassa (g)


6.53 + 0,16
7.51 + 0,22
5.42 + 0,02

Pada kultur semi-kontinyu peningkatan produksi


biomassa Spirulina sp. dapat terjadi karena beberapa
hal. Pertama, berkurangnya fenomena shading effect
karena populasi kultur selalu berada di bawah
kepadatan populasi maksimum sehingga intensitas

Suantika dkk., Efektivitas Teknik Kultur menggunakan Sistem Kultur Statis, Semi-kontinyu 47

cahaya yang diterima oleh sel lebih merata. Kedua,


renewal rate sebesar 5-25%v/v mampu meningkatkan
biomassa kultur mikroalga karena sel selalu berada
dalam fase eksponensial (Reinehr dan Costa, 2006).
Ketiga, kualitas inokulum relatif sama karena tidak
dilakukan reinokulasi kultur sehingga laju pertumbuhan
selalu tinggi (Fabregas dkk., 1996; Radmann, dkk.,
2007). Keempat, kualitas air kultur yang relatif stabil
karena pergantian medium dalam sistem ini mampu
mengurangi
kekentalan
medium,
mengurangi
akumulasi senyawa toksik, dan adanya optimasi
pemberian nutrisi (Radmann dkk., 2007; Costa dkk.,
2004; Reinehr dan Costa, 2006). Oleh karena itu teknik
kultur semi-kontinyu merupakan teknik kultur yang
paling menguntungkan karena mampu meningkatkan
biomassa Spirulina sp.
3.3 Kualitas air
Kualitas air kultur merupakan parameter lain
yang menentukan keefektifan suatu kultur mikroalga.
Kualitas air kultur ditentukan dari faktor biotik yaitu
kontaminan dan faktor abiotik seperti pH, nitrat, nitrit,
amonium, dan orthofosfat. Berdasarkan Gambar 5
dapat dilihat fluktuasi adanya kontaminan pada ketiga
teknik kultur selama periode kultur. Kontaminan mulai
muncul pada hari ke-4 dan kontaminan tertinggi
dijumpai pada kultur kontinyu sebanyak 17053
individu/mL pada hari ke-8 periode kultur pertama,
diikuti kultur statis sebanyak 7725 individu/mL pada
hari ke-14 periode kultur kedua, dan kultur semikontinyu sebanyak 6761 individu/mL pada hari ke-23.
Kontaminan yang dijumpai pada semua kultur berasal
dari golongan Ciliata yang mampu memanfaatkan
bahan-bahan organik (sel mati, hasil metabolit) dan
bahan anorganik sebagai sumber makanan. Hal ini
menunjukkan bahwa kultur semi-kontinyu mampu
mengurangi jumlah kontaminan dibandingkan kultur

kontinyu maupun kultur statis. Kemampuan sistem


kultur semi-kontinyu dalam mengurangi jumlah
kontaminan ini terjadi karena bahan organik berupa
hasil metabolit sebagai sumber makanan Cilita berada
dalam jumlah sedikit karena terjadi pengenceran
medium setiap pemanenan. Selain itu Ciliata kalah
bersaing dengan Spirulina sp. karena jumlah sel
Spirulina sp. selalu berada dalam kepadatan
maksimum.
Berdasarkan gambar 6 (a), nilai pH pada ketiga
teknik kultur selama 24 hari periode kultur cenderung
mengalami kenaikan. Kenaikan nilai pH disebabkan
oleh bertambahnya ion hidroksil dalam kultur akibat
asimilasi CO2 dan HCO3- oleh Spirulina sp. Ketika
CO2 berdifusi ke dalam air, maka akan terbentuk asam
karbonat (H2CO3). Asam karbonat berdisosiasi secara
spontan menjadi karbonat (CO32-) dan ion bikarbonat
(HCO3-). Ketiga senyawa memiliki reaksi kesetimbangan dalam kultur sebagai berikut
HCO3- CO2 +(H2CO3) CO32Ketika terjadi asimilasi gas CO2 maka reaksi
akan bergeser ke sebelah kanan, karena HCO3- akan
berubah menjadi CO2, menggantikan CO2 bebas yang
diserap oleh Spirulina sp. Bertambahnya periode
kultur mengakibatkan penurunan jumlah bikarbonat
dan terjadi akumulasi karbonat dalam kultur.
Akumulasi karbonat inilah yang akan meningkatkan
nilai pH pada kultur karena karbonat merupakan
senyawa paling basa diantara senyawa C lainnya
(HCO3- dan CO2). Akan tetapi nilai pH pada semua
sistem kultur masih berada dalam kisaran pertumbuhan
Spirulina sp. Oleh karena itu penggunaan ketiga sistem
kultur tidak berpengaruh terhadap pH sebagai salah
satu faktor abiotik yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan Spirulina sp.

Gambar 5. Kehadiran kontaminan pada ketiga teknik kultur.

48 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, JUNI 2009, VOL. 14 NO. 2

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 6. Hasil pengukuran berbagai faktor fisika kimia kultur, pH (a), nitrat (b), nitrit (c), amonium (d), dan
orthofosfat (e).
Nitrat (NO3-) merupakan senyawa nitrogen
utama yang diserap oleh berbagai mikroalga termasuk
Spirulina sp. untuk pertumbuhannya. Nitrat akan
direduksi oleh nitrit reduktase menjadi nitrit (NO2-)
yang kemudian direduksi menjadi amonium (NH4+)
sehingga dapat memasuki jalur sintesis berbagai
senyawa amino, yaitu asam glutamat, asam aspartat dan
asparagin. Berdasarkan Gambar 6 (b), konsentrasi nitrat
selama periode kultur berlangsung cenderung
mengalami penurunan. Pada kultur statis dan kultur
semi-kontinyu terjadi penurunan konsentrasi nitrat

setelah reinokulasi dilakukan. Hal ini menandakan


bahwa nitrat yang terdapat dalam medium langsung
digunakan oleh Spirulina sp. Selama bertambahnya
periode kultur konsentrasi nitrat pada kedua teknik
kultur di atas cenderung stabil. Hal sebaliknya terjadi
pada kultur kontinyu yang mengalami kenaikan
konsentrasi nitrat setelah reinokulasi dilakukan.
Fenomena ini disebabkan oleh penambahan medium
yang menyebabkan akumulasi nitrat. Akumulasi nitrat
terjadi karena Spirulina sp. dalam kultur kontinyu
tidak menggunakan nitrat secara optimal karena

Suantika dkk., Efektivitas Teknik Kultur menggunakan Sistem Kultur Statis, Semi-kontinyu 49

banyaknya trikom Spirulina sp. yang putus. Pada hari


ke-4, 12, dan 20 terjadi penurunan konsentrasi nitrat
pada kultur kontinyu. Hal ini menunjukkan nitrat telah
digunakan oleh Spirulina sp. untuk pertumbuhannya
yang ditandai dengan bertambahnya panjang trikom.
Oleh karena itu, sistem kultur statis dan kultur semikontinyu lebih efektif dibandingkan kultur kontinyu
dalam penggunaan senyawa nitrat oleh kultur Spirulina
sp.
Berdasarkan Gambar 6 (c) terjadi perubahan
konsentrasi nitrit (NO2-) pada ketiga teknik kultur
selama 24 hari periode kultur. Fluktuasi konsentrasi
nitrit di dalam kultur dapat terjadi karena nitrit
merupakan senyawa antara pada proses reduksi nitrat
menjadi amonium. Selain itu menurut Jones (1993),
nitrit merupakan senyawa yang disekresikan alga dalam
proses pertumbuhannya, sehingga konsentrasi nitrit
dalam kultur bergantung kepada laju reduksi nitrat dan
oksidasi amonium, serta laju metabolisme Spirulina sp.
Walaupun demikian nitrit merupakan senyawa yang
bersifat sitotoksik bagi mikoalga dalam jumlah yang
tinggi (Crawford, 1995; Yamasaki dan Sakihama,
2000). Oleh karena itu, kultur statis dan kultur semikontinyu merupakan kultur yang lebih efektif karena
mampu menjaga kadar nitrit dalam air kultur sehingga
tidak toksik bagi Spirulina sp.
Berdasarkan Gambar 6 (d), dapat dilihat bahwa
konsentrasi amonium (NH4+) selama 24 hari periode
kultur pada ketiga teknik kultur mengalami perubahan.
Pada kultur statis fluktuasi konsentrasi amonium relatif
stabil dengan kisaran 1,23-3,21 ppm. Pada kultur semikontinyu fluktuasi konsentrasi amonium lebih rendah
dibandingkan kultur statis dengan kisaran 0,35-1,54
ppm selama periode kultur berlangsung. Pada kultur
kontinyu fluktuasi konsentrasi amonium kurang stabil
dibandingkan kedua teknik kultur lainnya dengan
kisaran 0,52 9,72 ppm selama periode kultur
berlangsung. Konsentrasi amonium yang tinggi dapat
menyebabkan toksik bagi kultur alga. Oleh karena itu,
kultur statis dan kultur semi-kontinyu merupakan kultur
yang lebih efektif karena mampu menjaga kadar
amonium dalam air kultur sehingga tidak toksik bagi
Spirulina sp. Walaupun spesies ini memiliki
mekanisme khusus dalam mengakumulasi amonium
hingga konsentrasi 3 mM (Belkin dan Boussiba, 1991).
Berdasarkan Gambar 6 (e), fluktuasi konsentrasi
orthofosfat memiliki pola yang hampir sama pada
ketiga teknik kultur. Selama kultur berlangsung
konsentrasi orthofosfat pada kultur statis berkisar
antara 13,33 28,97 ppm, kultur semi-kontinyu
berkisar 16,91 30,91 ppm dan kultur kontinyu 6,03
43,71 ppm. Peningkatan konsentrasi fosfat dalam
medium terjadi akibat Spirulina sp. melepaskan fosfat
organik dan ester organik. Spirulina sp. akan
mengasimilasi fosfat dengan alkalin fosfatase. Fosfat
yang diserap akan dimetabolisme dalam sel dan

umumnya berada dalam bentuk polifosfat yang


digunakan sebagai cadangan intraseluler-P. Polifosfat
memiliki beberapa fungsi sebagai kelator, dafar,
regulasi transkipsi, dan selalu ada saat fase stasioner
(Kornberg, 1994; Bhaya dkk., 2000). Oleh karena itu
kultur statis dan kultur semi-kontinyu merupakan kultur
yang lebih efektif karena mampu menjaga kadar
orthofosfat dalam air kultur.

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa kultur semi-kontinyu
merupakan teknik kultur yang paling efektif untuk
meningkatkan produktivitas dan kualitas kultur
Spirulina sp. yang ditunjukkan dengan kepadatan sel
tertinggi (30,331,56x103 sel/mL), trikom terpanjang
(49467 m), biomassa terbanyak (7,510,22 g),
kontaminan terendah (6761 individu/mL), dan
kualitas air mendukung pertumbuhan Spirulina sp. (pH
9,24-10,24; amonium 0,35-1,54 ppm; nitrit 0-6,44 ppm;
nitrat 2,33-7,08; orthofosfat 1,69-3,09).

Daftar Pustaka
Belay, A., Spirulina ( Spirulina sp.) : Production and
Quality Assurance, in Gershwin, M. E and A.
Belay, (Eds.), 2008, Spirulina in Human
Nutrition and Health, CRC Press, California,
2-26.
Belkin, S. and S. Boussiba, 1991, High Internal pH
Conveys Ammonia Resistance in Spirulina
sp. (Spirulina) platensis. Bioresource Tech.
38, 167-169.
Bhaya, D., R. Schwarz, and A. R. Grossman, Molecular
Responses to Environmental Stress., in The
Ecology of Cyanobacteria : Their Diversity in
Time and Space. Whitton, B. A and Potts, M.,
(Eds), 2000, Kluwer Academic Publ., Boston:
397-442.
Coutteau, P., 1998, Algal Production, University of
Gent, Belgium.
Costa, J. A. V., L. M. Colla, and P. F. D. Filho, 2004,
Improving Spirulina platensis Biomass Yield
Using A Fed-Batch Process, Biores. Tech., 92,
237-241.
Fardiaz, S., 1992, Mikrobiologi Pangan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Jimenez, C., B. R. Cossio, and F. X. Niell, 2003,
Relationship
between
Physicochemical
Variables and Productivity in Open Ponds for
the Production of Spirulina sp. (Spirulina): A
Predictive Model of Algal Yield, Aquacult.,
221, 331-345.
Jones, A. B., 1993, Macroalgal Nutrient Relationships,
Department of Botany, University of
Queensland.

50 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, JUNI 2009, VOL. 14 NO. 2

Kedebe, E., 1997, Response of Spirulina sp. Platensis


(= Spirulina sp. Fusiformis) from Lake Chitu,
Ethiopia, to Salinity Stress from Sodium Salts,
J. Appl. Phycol., 9, 551-558.
Lavens, P. and P. Sorgeloos, 1996, Manual on The
Production and Use of Live Food for
Aquaculture, Fisheries Technical Paper, Food
and Agriculture Organization of The United
Nation, Rome.
Nahdiah, R., 2004, Pengaruh Penambahan Inokulum
Azotobacter
chroococcum
Beijerinck
Terhadap Pertumbuhan Chlorella pyrenoidosa
Chick. Tesis Magister Biologi ITB. Bandung
Qiang, H., Y. Zarmi, and A. Richmond, 1998,
Combined Effects of Light Intensity, LightPath and Culture Density on Output Rate of
Spirulina sp. (Spirulina) platensis (Cyanobacteria), Eur. J. Phycol., 33, 165-171.
Radmann, E. M., C. O. Reinehr, and J. A. V. Costa,
2007, Optimization of The Repeated Batch
Cultivation of Microalga Spirulina Platensis
in Open Raceway Ponds., Aquacult, 265, 118126.
Reinehr, C. O and J. A. V. Costa, 2006, Repeated Batch
Cultivation of The Microalga Spirulina

platensis. W. J. Microbiol. & Biotech., 22,


937-943.
Richmond, A. and J. U. Grobbelaar, 1986, Factors
Affecting The Output Rate of Spirulina sp.
(Spirulina) platensis with Reference to Mass
Cultivation, Biomass., 10, 253-264.
Sanchez-Luna, L. D., A. Converti, G. C. Tonini, S.
Sato, and J. C. M. Carvalho, 2004, Continuous
and Pulse Feedings of Urea as A Nitrogen
Source in Fed-Batch Cultivation of Spirulina
platensis, Aquacult. Eng., 31, 237-245.
Vonshak, A. and L. Tomaselli, Spirulina sp.
(Spirulina): Systematics and Ecophysiology,
in Whitton, B. A and M. Potts, (Eds.), 2000,
The Ecology of Cyanobacteria: Their
Diversity in Time and Space, Kluwer
Academic Publ., Boston, 505-522.
Yamasaki, H. and Y. Sakihama, 2000, Simultaneous
Production of Nitric Oxide and Peroxynitrite
by Plant Nitrate Reductase: In vitro Evidence
for the NR-dependent Formation of Active
Nitrogen Species. Fed. of Eur. Biochem. Soc.
Let., 486, 89-92.

Anda mungkin juga menyukai