Bab 4,5,6 Terakhir
Bab 4,5,6 Terakhir
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Parbuluan beribukota di Km. 20 Sigalingging Desa Parbuluan IV
yang memiliki 11 Desa dengan 44 Dusun yang dapat dirinci sebagai berikut :
1.
Desa Bangun (3 Dusun) 7. Desa Bangun I (3 Dusun)
2.
Desa Lae Hole (5 Dusun) 8. Desa Lae Hole I (3 Dusun)
3.
Desa Lae Hole II (3 Dusun) 9. Desa Parbuluan I (4 Dusun)
4.
Desa Parbuluan II (3 Dusun) 10. Desa Parbuluan III (4 Dusun)
5.
Desa Parbuluan IV (6 Dusun) 11. Desa Parbuluan V (4 Dusun)
6.
Desa Parbuluan VI (6 Dusun)
Berdasarkan data BPS Dairi tahun 2014, Kecamatan Parbuluan memiliki Luas
Wilayah sekitar 23.230Ha dimana sekitar 96% lahannya merupakan lahan kering
dengan hanya 2% sawah dan 2% lagi merupakan bangunan dan pemukiman
penduduk. Kecamatan Parbuluan berbatasan dengan :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sumbul
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Bharat
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sitinjo
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Samosir
Jumlah Penduduk Kecamatan Parbuluan hingga sampai dengan tahun 2013
adalah 21.352 yang terdiri dari : Laki laki : 10.755 Jiwa dan Perempuan : 10.597
jiwa dengan 4.939 Kepala Keluarga. Sarana Kesehatan yang ada di Kecamatan ini
53
adalah Puskesmas sebanyak 1 unit, Puskesmas Pembantu sebanyak 5 unit, poskesdes
sebanyak 5 unit, polindes sebanyak 10 unit dan posyandu sebanyak 45 unit.
4.2 Analisi Univariat
Pada analisis univariat akan dijelaskan distribusi frekuensi dari masingmasing variabel penelitian yaitu, riwayat kebiasaan makan ibu selama hamil, riwayat
pola makan anak, berat badan lahir anak, riwayat penyakit infeksi, jarak kelahiran
anak, tinggi badan ibu dan ayah dan pendapatan. Data yang dikumpulkan adalah data
54
prier dari 100 anak yang sudah memenuhi criteria dan syarat penelitian serta bersedia
menjadi responden penelitian.
4.2.1 Distribusi Frekuensi Tinggi Badan Orangtua
Tinggi badan orang tua adalah tinggi badan ayah dan atau ibu kandung dari
anak yang menjadi subjek penelitian yang dinyatakan dalam satuan centimeter. Alat
ukurnya adalah mikrotoise. Dari 100 orang tua, tinggi badan yang diukur lengkap
adalah tinggi badan ibu sebanyak 100 orang, sementara ayah yang bersedia diukur
tinggi badannya hanya 30 orang, sehingga yang dimaksud dengan tinggi badan orang
tua dalam hasil penelitian ini adalah tinggi badan ibu. Rata-rata tinggi badan ayah
dari anak yang stunted (16 orang) adalah 156,9 cm, dan rata-rata tnggi badan ayah
dari anak yang non stunted (14 orang) adalah 160,16 cm. Hasil pengukuran tinggi
badan Ibu diklassifikasikan menjadi tidak Stunting jika tinggi badannya > 148 cm
dan Stunting jika tinggi badan < 148 cm.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi Tinggi Badan Ibu pada kelompok kasus dan
kelompok kontrol
Tinggi Badan Orangtua
Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
Stunting
Tidak Stunting
Total
27
23
50
54
46
100%
19
31
50
38
62
100%
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada kelompok kasus, lebih banyak
Ibu tidak Stunting yaitu sebesar 54% sedangkan yang Stunting sebanyak 46%. Pada
kelompok kontrol, tinggi badan Ibu yang tidak Stunting lebih banyak daripada yang
Stunting yaitu 62% yang tidak Stunting dan 38% yang Stunting.
55
Kasus (F)
29
21
50
%
58
42
100%
Kontrol (F)
20
30
50
%
24
76
100%
Berdasarkan data pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada kelompok kasus
mayoritas tingkat pendapatan orangtua paling banyak pada klasifikasi pendapatan
kurang (58%) dan pendapatan yang cukup sebesar (42%) . Pada kelompok kontrol
pendapatan orang tua mayoritas adalah cukup sebesar 76% dan kurang sebesar 24%.
4.2.3 Distribusi Frekuensi Jarak Kelahiran
Jarak kelahiran adalah jarak kelahiran anak dengan adiknya yang dinyatakan
dalam bulan. Alat ukurnya adalah kuesioner dengan hasil ukur dikategorikan sebagai
berikut: baik : jika jarak kelahiran > 24 bulan, dekat : jika jarak kelahiran >12 24
bulan, sangat dekat jika jarak kelahiran < 12 bulan.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Jarak Kelahiran pada Kelompok Kasus dan
Kelompok Kontrol
Frekuensi Jarak
Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
Kelahiran
Sangat Dekat
12
14
56
Dekat
Baik
Total
27
17
50
54
34
100%
24
19
50
48
38
100%
6
44
50
12
88
100%
4
46
50
8%
92%
100%
Berdasarkan tabel 4.4 pada anak yang mengalami Stunting hanya 6% yang
mengalami BBLR pada waktu lahir sedangkan mayoritas (88%) lahir dalam keadaan
berat badan normal. Anak yang tidak Stunting sebanyak 92% lahir dengan berat
badan lahir normal dan hanya 4% yang lahir dalam keadaan BBLR.
4.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian Infeksi
57
47
3
94
6
13
37
26
74
33
17
66
34
10
40
20
80
44
6
88
12
16
34
32
68
29
21
58
42
15
35
30
70
45
5
90
10
15
35
30
70
Berdasarkan Tabel 4.5 di atas dapat diketahui jumlah anak yang mengalami
penyakit infeksi saluran pernafasan seperti demam lebih banyak terdapat pada
kelompok kasus yaitu 47 orang (94%) dan 3 orang (6%) tidak pernah sakit. Pada
kelompok kontrol, 13 orang ( 26%) mengalami penyakit infeksi saluran pernafasan
seperti demam, dan yang tidak pernah mengalami sakit 37 orang (74%).
58
59
Hasil ukur kejadian infeksi dikategorikan dengan sering jika lebih dari 3
kali/3 bulan dan jarang jika < 3 kali/ 3 bulan. Distribusi frekuensinya dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Kejadian Infeksi Lahir pada Kelompok Kasus
dan Kelompok Kontrol
Frekuensi Kejadian
Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
Infeksi
Sering
Jarang
Total
20
30
50
40
60
100%
7
43
50
14
86
100%
Berdasarkan tabel 4.6 pada kelompok kasus terdapat 40% anak yang
mengalami penyakit infeksi kategori sering sebangayak 40% dan kategori jarang
sebanyak 60%. Pada kelompok kontrol yang sering mengalami kejadian infeksi
sebanyak 14% sedangkan yang jarang sebanyak 86%.
4.2.6 Distribusi Frekuensi Pola Makan Anak
Riwayat pola makan anak pada masa lalu yaitu pada usia 0-3 tahun adalah
gambaran mengenai jenis, frekuensi dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi
anak setiap hari sejak umur periode 0-6 bulan, 7-12 bulan dan batita. Riwayat pola
makan anak berdasarkan umur akan diterangkan melalui tabel berikut:
Tabel 4.7 : Distribusi Frekuensi Jawaban Tentang Pola Makan Bayi pada usia 06 bulan
Pertanyaan
Kasus
Kontrol
N=50
N=50
F
%
F
%
1.
40
10
80
20
25
63
40
10
30
80
20
75
60
b. Tidak
Total
Tidak menjawab= 20 orang (karena jawaban nomor1 adalah
tidak)
3.
Anak ibu diberi minum ASI
a. Ya
b. Tidak
4.
Pemberian ASI saja diberikan sampai umur:
a. > 6 bulan
b. 4-6 bulan
c. < 4 bulan
Total
Ket:Tidak menjawab= 5 orang (3 kelompok kasus dan 2
kelompok kontrol) karena tidak memberikan ASI
5.
Kecukupan ASI setiap kali menyusui:
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidak
Total
Ket:Tidak menjawab= 5 orang (3 kelompok kasus dan 2
kelompok kontrol) karena tidak memberikan ASI
6.
Minuman pendamping selain ASI:
a. Susu Formula Bayi
b. Teh manis
c. Air putih + bubur saring
Total
Yang menjawab= 23, Tidak menjawab = 72 orang karena ASI
cukup dan 5 orang yang tidak menyusui
7.
Makanan yang dberikan jika anak tidak diberi ASI
a. Susu formula bayi
b. Teh manis
c. Air putih + bubur lunak saring
Total
Tidak menjawab= 95 orang karena tetap menyusui
15
40
37
100
10
40
25
100
47
3
94
6
48
2
96
4
29
10
8
47
62
21
17
100
33
8
7
48
67
17
16
100
35
2
10
47
75
5
20
100
37
8
3
48
77
17
6
100
5
2
5
12
41
18
41
100
9
1
1
11
82
9
9
100
1
1
1
3
33.3
33,3
33.3
100
100
100
Berdasarkan Tabel 4.7 jawaban responden pada kelompok kasus dan kontrol
sama-sama menunjukkan jawaban ya, anak segera disusukan oleh ibu setelah lahir
sebanyak 80% (40 orang) sedangkan yang tidak segera menyusui sebanyak 20% (10
Orang).
61
Responden yang memberikan air susu ibu yang pertama keluar pada bayi,
pada kelompok kasus sebanyak
responden yang menjawab. Sisanya 10 orang tidak menjawab karena jawaban nomor
1 adalah tidak. Sedangkan pada kelompok kontrol , menjawab ya 30 orang (75%)
lebih banyak dari pada kelompok kasus dan yang tidak 10 orang (25%) dari jumlah
40 responden yang menjawab. Sama halnya dengan kelompok kasus sisanya 10 orang
tidak menjawab karena jawaban nomor 1 adalah tidak.
Responden yang memberikan anak minum ASI pada kelompok kasus
sebanyak 47 orang ( 94%) dan yang tidak memberikan ASI sebanyak 3 orang (6%)
dari 50 jumlah responden yang menjawab. Sedangkan responden yang memberikan
anak minum ASI pada kelompok kontrol sebanyak 48 orang ( 96%) dan yang tidak
memberikan ASI sebanyak 2 orang (4%) dari 50 jumlah responden yang menjawab.
Dengan demikian hasil pada kelompok responden kasus dan kontrol hampir sama.
Pada kelompok kasus terdapat 29 orang (62%) responden yang memberikan
ASI sampai anak usia lebih dari 6 bulan, 10 orang (21%) sampai usia 4-6 bulan, dan 8
orang 17% dibawah usia 4 bulan dari persentase sejumlah 47 responden yang
menjawab, dan sementara 3 orang responden tidak menjawab karena tidak
memberikan ASI. Persentase lebih baik ditunjukkan pada kelompok kontrol dimana
terdapat 33 orang (67%) responden yang memberikan ASI sampai anak usia lebih
dari 6 bulan, 8 orang (17%) sampai usia 4-6 bulan, dan 7 orang 16% dibawah usia 4
62
bulan dari persentase sejumlah 48 responden yang menjawab, dan sementara 2 orang
responden tidak menjawab karena tidak memberikan ASI.
Persentase dari jumlah 47 responden yang memberikan jawaban pada
kelompok kasus, responden yang menjawab ya dengan jumlah ASI yang mencukupi
untuk kebutuhan bayi setiap kali menyusui sebanyak 35 orang (75%), dan 2 orang
(5%) menyatakan kadang-kadang mencukupi, serta 10 orang (20%) tidak mencukupi.
Untuk persentase dari jumlah 48 responden yang memberikan jawaban pada
kelompok kontrol, responden yang menjawab ya dengan jumlah ASI yang mencukupi
untuk kebutuhan bayi setiap kali menyusui sebanyak 37 orang (77%), dan 8 orang
(17%) menyatakan kadang-kadang mencukupi, serta 3 orang (6%) tidak mencukupi.
Terdapat 12 orang pada kelompok kasus menjawab ASI tidak mencukupi,
sebanyak 5 orang (41%) responden akan memberikan minuman pendamping seperti
susu formula, 2 orang (18%)
memberikan air putih ditambah bubur saring. Pada kelompok kasus terdapat 11 orang
menjawab ASI tidak mencukupi, ketika ASI tidak mencukupi sebanyak 9 orang
(82%) responden memberikan minuman pendamping seperti susu formula, 1 orang
(9%) memberikan teh manis, dan 1 orang (9%) memberikan air putih ditambah
bubur saring. Sedangkan 72 orang tidak menjawab karena ASI mencukupi dan 5
orang karena tidak menyusui.
Terdapat 3 responden pada kelompok kasus anak yang tidak diberi ASI (tidak
menyusui). Sebagai pengganti ASI, responden yang memberikan makanan pengganti
berupa susu formula sebanyak 1orang (33,3%), teh manis 1 orang (33,3%), dan yang
63
memberikan air putih ditambah bubur saring sebanyak 1 orang (33,3%). Pada
kelompok kontrol terdapat 13 orang yang tidak menyusui. Responden yang
memberikan makanan pengganti ASI berupa susu formula terdapat sebanyak 2 orang
(100%).
Riwayat pola makan anak berdasarkan umur 7-12 bulan akan diterangkan
melalui tabel berikut:
Tabel 4.8 : Distribusi Frekuensi Jawaban Tentang Pola Makan anak pada usia 712 bulan
Pertanyaan
Kasus
Kontrol
N=50
N=50
F
%
F
%
1. Anak masih tetap diberi ASI (menyusui) sampai umur satu
tahun:
a. Ya
b. Tidak
29
21
58
42
33
17
66
34
20
7
2
29
69
24
7
100
26
5
2
33
79
15
6
100
19
8
2
29
66
28
6
100
25
5
3
33
75
15
15
100
42
5
3
84
10
6
40
5
5
80
10
10
29
10
11
62
21
17
33
8
9
61
17
16
Ket: 38 orang tidak menyusui sampai setahun dengan rincian:5 orang tidak
menyusui, 22 orang minum susu formula ,7 orang minum teh manis, 4 orang
minum air beras
64
39
78
40
80
7
4
14
8
4
6
8
12
9
34
7
18
78
14
17
28
5
34
56
10
17
19
14
34
38
28
20
14
16
40
28
32
21
27
2
42
54
4
26
23
1
52
46
2
Dari tabel 4.8 dapat dilihat distribusi jawaban responden tentang apakah
responden yang tetap memberikan ASI (menyusui) sampai umur satu tahun. Pada
kelompok kasus terdapat 29 orang (58%) menjawab ya sedangkan yang tidak
menyusui sampai umur satu tahun sebanyak 9 orang (8%). Pada kelompok kontrol
sebanyak 33 orang (66%) responden tetap memberikan ASI (menyusui) sampai umur.
Terdapat 38 orang yang tidak menyusui sampai setahun dengan rincian 5 orang tidak
menyusui (3 dari kelompok kasus, dan 2 dari kelompok kontrol), 22 orang minum
susu formula (7 orang dari kelompok kasus, 15 orang dari kelompok kontrol), 7 orang
minum teh manis kelompok kontol dan 4 orang (kelompok kontrol) minum dari air
beras.
Dari 29 responden pada kelompok kasus yang melanjutkan ASI (menyusui)
terdapat sebanyak 20 orang (69%) responden memberikan ASI lebih dari 3 kali
65
sehari, 7 orang ( 24%) memberikan ASI 2-3 kali sehari, dan hanya 2 orang (7%)
responden memberikan ASI 1 kali dalam sehari. Sedangkan pada kelompok kontrol,
dari 33 responden yang melanjutkan ASI (menyusui) sebanyak 26 orang (79%)
responden memberikan ASI lebih dari 3 kali sehari, 5 orang ( 15%) memberikan ASI
2-3 kali sehari, dan hanya 3 orang (6%) responden memberikan ASI 1 kali dalam
sehari. Sebanyak 38 orang dari total responden yang tidak menjawab karena tidak
menyusui sampai umur 1 tahun.
Dari total 62 responden yang memberikan jawaban tentang kepuasan
menyusui, terdapat 29 orang kelompok kasus dan 33 orang kelompok kontrol. Pada
kelompok kasus, ketika ditanya kepuasan anak pada saat menyusui, 19 orang (66%)
responden menjawab ya, 8 orang (28%) responden menjawab kadang-kadang, dan 2
orang (6%) responden menjawab tidak. Sedangkan pada kelompok kontrol, terdapat
25 orang (75%) responden menjawab ya, 5 orang (15%) responden menjawab
kadang-kadang, dan 3 orang (15%) menjawab tidak.
Pada kelompok kasus , responden yang memberikan makanan pendamping
ASI bagi anaknya setiap hari sebanyak 42 orang (84%), responden yang kadangkadang memberikan makanan pendamping ASI sebanyak 5 orang (10%) dan yang
tidak memberikan makanan pendamping sebanyak 3 orang (6%). Pada kelompok
kontrol, responden yang memberikan makanan pendamping ASI bagi anaknya setiap
hari sebanyak 40 orang (80%), responden yang kadang-kadang memberikan makanan
pendamping ASI sebanyak 5 orang (10%) dan yang tidak memberikan makanan
pendamping sebanyak 5 orang (10%).
66
67
68
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
a. 2 tahun
b. 1thn < 2tahun
c. < 1 tahun
Jenis makanan pokok yang diberikan pada anak
setelah anak disapih,
a. Nasi biasa
b. Nasi Lunak
c. Bubur tim atau Makanan Lunak Saring
Frekuensi anak makan dalam sehari:
a. >3 kali
b. 2 kali
c. 1 kali
Anak menghabiskan porsi makananan setiap kali
makan
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidak
Jenis lauk pauk yang biasa dikonsumsi oleh anak
setiap hari
a. Daging atau telor
b. Ikan laut seperti dencis, gembung, tongkol
c. Ikan laut yang diasinkan seperti ikan teri, ikan
asin
Anak mengonsumsi lauk tambahan seperti tahu atau
tempe setiap hari
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidak
Lauk pauk yang dikonsumsi anak bervariasi dalam
seminggu
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidak
Anak mengonsumsi sayuran setiap hari
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidak
Sayuran yang dikonsumsi anak bervariasi dalam
seminggu
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidak
Anak mengonsumsi buah-buahan setiap hari
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidak
9
20
21
25
59
36
14
21
15
28
42
30
10
19
21
20
38
42
22
20
8
44
40
16
25
20
5
50
40
10
39
10
1
78
20
2
21
25
4
42
50
8
32
16
2
64
32
4
10
18
20
36
20
12
40
24
22
44
18
36
18
24
8
36
48
16
26
19
5
52
38
20
18
26
6
36
52
12
30
15
5
60
30
10
28
15
7
56
30
14
36
11
3
72
22
6
18
17
15
36
34
30
35
10
5
70
20
10
15
31
4
30
62
8
18
29
3
36
58
6
69
20
13
17
40
26
34
35
10
5
70
20
10
19
15
16
38
30
32
28
15
7
56
30
14
22
8
4
34
69
22
9
100
35
8
0
43
77
23
0
100
10
11
13
34
31
32
37
100
28
14
1
43
65
33
2
100
12
35
3
24
70
6
27
23
-
3
10
6
21
11
10
22
20
34
47
73
100
29
50
58
100
17
24
6
47
36
51
13
100
17
28
5
50
34
56
10
100
54
46
-
70
orang (59%) menjawab 1 tahun sampai dengan kurang dari 2 tahun dan 36%
menjawab kurang dari 1 tahun. Pada kelompok kontrol 14 orang (28)% menjawab 2
tahun, dan 21 orang (42%) menjawab 1 tahun sampai dengan kurang dari 2 tahun
dan 15 orang 30% menjawab kurang dari 1 tahun.
Jawaban responden tentang jenis makanan yang diberikan pada anak setelah
disapih pada kelompok kasus sebanyak 10 orang (20%) menjawab nasi biasa, 19
orang (38%) menjawab nasi lunak, dan 21 orang (42%) bubur tim atau makanan
lunak saring. Jawaban responden tentang jenis makanan yang diberikan pada anak
setelah disapih pada kelompok kontrol sebanyak 22 orang (44%) menjawab nasi
biasa, 20 orang (40%) menjawab nasi lunak, dan 8 orang (16%) bubur tim atau
makanan lunak saring.
Frekuensi makan anak dalam sehari pada kelompok kasus dijawab reponden
sebanyak 25 orang( 50%) anak diberi makan lebih dari 3 kali sehari, 20 orang (40%)
2 kali sehari, dan 5 orang (10%) hanya sekali sehari. Pada kelompok kontrol,
sebanyak 39 orang( 78%) anak diberi makan lebih dari 3 kali sehari, 10 orang (20%)
2 kali sehari, dan 1 orang (2%) hanya sekali sehari.
Kemampuan anak menghabiskan porsi makanan setiap kali makan pada
kelompok kasus dijawab ya sebanyak 21 orang (42%) responden, kadang-kadang 25
orang (50%) dan hanya 4 orang (8%) yang tidak menghabiskan. Pada kelompok
kontrol dijawab ya sebanyak 32 orang (64%) responden, kadang-kadang 16 orang
(32%) dan hanya 2 orang (4%) yang tidak menghabiskan.
71
Pertanyaan tentang jenis lauk pauk yang biasa dikonsumsi oleh anak setiap
hari pada kelompok kasus sebanyak 10 orang (20%) menjawab daging atau telor, 18
orang (36%) menjawab ikan laut seperti dencis, gembung dan tongkol, dan 22 orang
(44%) mengkonsumsi ikan laut yang diasinkan seperti ikan teri, dan ikan asin. Pada
kelompok kontrol sebanyak 20 orang (40%) menjawab daging atau telor, 12 orang
(24%) menjawab ikan laut seperti dencis, gembung dan tongkol, dan 18 orang (36%)
mengkonsumsi ikan laut yang diasinkan seperti ikan teri, dan ikan asin.
Pertanyaan tentang apakah anak mengkosumsi lauk tambahan seperti tahu dan
tempe setiap hari, diperoleh data pada kelompok kasus sebanyak 18 orang (36%)
menjawab ya, 24 orang (48%) menjawab kadang-kadang, dan 8 orang (16%)
menjawab tidak. Pada kelompok kontrol , sebanyak 26 orang (52%) menjawab ya,
19 orang (38%) menjawab kadang-kadang, dan 5 orang (20%) menjawab tidak.
Mengenai variasi lauk pauk yang dikonsumsi selama seminggu, pada
kelompok kasus sebanyak 18 orang (36%) responden menjawab bervariasi, 26 orang
(52%) responden menjawab kadang-kadang bervariasi, dan 6 orang (12%) yang tidak
ada variasinya. Sementara jawaban responden pada kelompok kontrol sebanyak 30
orang (60%) responden menjawab ya, 15 orang (30%) responden menjawab kadangkadang, dan 5 orang (10%) yang tidak ada variasinya.
Berdasarkan jawaban responden, pada kelompok kasus anak mengonsumsi
sayuran setiap hari ada sebanyak 28 orang (56%), kadang-kadang mengonsumsi
sayuran 15 orang (30%) dan tidak mengkonsumsi sayuran sehari-hari 7 orang (14%).
Pada kelompok kontrol, 36 orang (72%) menjawab anak mengonsumsi sayuran
72
73
74
11
20
19
50
22
40
38
100
37
10
3
50
74
20
6
100
75
Berdasarkan tabel 4.10 di atas dapat terlihat bahwa mayoritas pola makan
pada kelompok kasus sebesar 40% dengan pola makan kurang, sementara pola makan
baik sebanyak 22%
Pada
kelompok kontrol mayoritas anak memiliki pola makan baik sebesar 74%, sebanyak
20% pola makan yang kurang dan hanya 6% yang memiliki pola makan buruk.
4.2.7 Riwayat Kebiasaan Makan Ibu Selama Hamil
Riwayat kebiasaan makan ibu selama hamil yaitu jenis makanan, dan variasi
makanan yang dikonsumsi oleh ibu setiap hari selama ibu mengandung anak yang
menjadi subjek penelitian. Pola makan ibu hamil berdasarkan jawaban akan
diterangkan pada tabel berikut:
Tabel 4.11 : Distribusi Frekuensi Jawaban Tentang Riwayat Kebiasaan Makan
Ibu Selama Hamil
Pertanyaan
F
%
F
%
N=50
N=50
1. Frekuensi ibu makan dalam sehari selama hamil
a. >3 kali
b. 3 kali
c. < 3 kali
2. Ibu menghabiskan porsi makananan setiap kali makan
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidak
3. Jenis makanan pokok ibu setiap hari selama hamil?
a. Nasi
b. Ubi
c. Nasi + ubi
4. Porsi nasi dikonsumsi oleh ibu dalam satu hari selama
hamil
a. > 3 porsi
b. 3 porsi
c. 2 porsi
8
36
6
16
72
12
15
31
4
30
62
8
25
13
12
50
26
24
36
12
2
72
24
4
46
92
46
92
8
24
18
16
48
36
14
30
6
28
60
12
76
3
11
6
22
17
30
34
60
36
72
18
22
10
36
44
20
27
22
1
54
44
2
15
25
10
30
50
20
28
16
6
56
32
12
34
12
4
68
24
8
42
8
-
84
16
-
23
16
11
46
32
22
29
15
6
58
30
12
19
30
4
38
60
12
21
28
1
42
56
2
12
25
13
24
50
26
21
26
3
42
52
6
19
12
19
38
24
38
33
10
7
66
20
14
17
4
10
54
13
33
31
10
2
72
23
5
22
18
44
36
24
24
48
48
77
c. Tidak
15. Jenis makanan selingan yang dikonsumsi oleh ibu
setiap hari
a. Bubur kacang hijau
b. Kolak ubi atau kolak pisang
c. Kue atau roti atau mie
16. Makanan selingan yang dikonsumsi oleh ibu bervariasi
dalam satu minggu
a. Ya
b. Kadang-kadang
c. Tidak
10
20
10
1
29
25
3
72
16
12
20
33
29
38
6
13
21
15
33
52
19
21
8
40
44
16
Berdasarkan tabel 4.11, pada kelompok kasus dapat dilihat distribusi jawaban
responden tentang frekuensi makan ibu dalam sehari selama hamil sebanyak 8 orang
(16%) menjawab lebih dari 3 kali, 36 orang (72%) menjawab 3 kali, dan 6 orang (12
%) menjawab kurang dari 3 kali. Pada kelompok kasus dapat dilihat distribusi
jawaban responden tentang frekuensi makan ibu dalam sehari selama hamil sebanyak
15 orang (30%) menjawab lebih dari 3 kali, 31 orang (62%) menjawab 3 kali, dan 4
orang (8 %) menjawab kurang dari 3 kali.
Jawaban responden mengenai apakah ibu menghabiskan porsi makanan setiap
kali makan pada kelompok kasus dijawab ya sebanyak 25 orang (50%), kadangkadang 13 orang (26%) dan tidak menghabiskan porsi makanan sebanyak 12 orang
(24%) saja. Pada kelompok kontrol dijawab ya sebanyak 36 orang (72%), kadangkadang 12 orang (24%) dan tidak menghabiskan porsi makanan sebanyak 1 orang
(14%) saja.
Pada kelompok kasus, untuk jenis makanan pokok ibu, mayoritas menjawab
nasi 46 orang (92%), dan hanya 4 orang (8%) menjawab ubi. Hal yang sama pada
78
kelompok kontrol, untuk jenis makanan pokok ibu, mayoritas menjawab nasi 46
orang (92%), dan hanya 4 orang (8%) menjawab ubi.
Pada kelompok kasus, porsi nasi yang dikonsumsi ibu dalam sehari selama
hamil adalah mayoritas 3 porsi dijawab sebanyak 24 orang (48%), lebih dari 3 porsi
dijawab 8 orang (16%) dan ada 18 orang (36%) yang menjawab 2 porsi saja. Pada
kelompok kontrol, porsi nasi yang dikonsumsi ibu dalam sehari selama hamil adalah
mayoritas 3 porsi dijawab sebanyak 30 orang (60%), lebih dari 3 porsi dijawab 14
orang (28%) dan ada 6 orang (12%) yang menjawab 2 porsi saja
Distribusi jawaban responden mengenai jenis lauk pauk yang dikonsumsi
pada kelompok kasus dijawab dengan ikan laut yang diasinkan seperti ikan teri dan
ikan asin sebanyak 36 orang (72%), yang menjawab ikan laut seperti dencis,
gembung, dan tongkol sebanyak 11 orang (22%), dan hanya 3 orang (6%) yang
menjawab daging atau telor. Pada kelompok kontrol dijawab dengan ikan laut yang
diasinkan seperti ikan teri dan ikan asin hanya sebanyak 3 orang (6%), yang
menjawab ikan laut seperti dencis, gembung, dan tongkol sebanyak 30 orang (60%),
dan 17 orang (34%) yang menjawab daging atau telor.
Pada kelompok kasus, mayoritas ibu yaitu sebanyak 22 orang (44%)
menjawab kadang-kadang, 18 orang (36%) menjawab setiap hari mengkonsumsi dan
hanya 10 orang (20%) menjawab tidak mengkonsumsi lauk tambahan. Pada
kelompok kontrol, mayoritas ibu yaitu 27 orang (54%) menjawab setiap hari
mengkonsumsi , sebanyak 22 orang (44%) menjawab kadang-kadang mengkonsumsi
79
lauk tambahan seperti tahu dan tempe, 6 orang (12%) menjawab tidak mengkonsumsi
lauk tambahan.
Variasi lauk pauk yang dikonsumsi dalam seminggu pada kelompok kasus
mayoritas dijawab kadang-kadang sebanyak 25 orang (50)%, dijawab ya sebanyak
15 orang
80
hari, dan hanya 4 orang (12%) yang tidak mengonsumsi buah. Pada kelompok kasus
28 orang (56%) kadang-kadang mengonsumsi buah, dan
21 orang (42%)
mengonsumsi sehari-hari, dan hanya 1 orang (2%) yang tidak mengonsumsi buah.
Jawaban responden mengenai variasi buah-buahan yang dikonsumsi dalam
satu minggu pada kelompok kasus dijawab kadang-kadang 25 orang (50%)
responden, dijawab ya sebanyak 12 orang (24%) dan ada 13 orang (26%) yang
menjawab tidak bervariasi. Pada kelompok kasus dijawab kadang-kadang 26 orang
(52%) responden, dijawab ya sebanyak 21 orang (42%) dan hanya 3 orang (6%) yang
menjawab tidak bervariasi.
Susu merupakan sumber protein tinggi bagi ibu hamil. Berdasarkan jawaban
responden, pada kelompok kasus hanya 19 orang (38%) yang minum susu setiap
hari, 12 orang (24%) menjawab kadang-kadang, dan 19 orang (38%) tidak minum
susu. Pada kelompok kontrol mayoritas sebanyak 33 orang(66%) yang minum susu
setiap hari, 10 orang (20%) menjawab kadang-kadang, dan 7 orang (14%) tidak
minum susu.
Dari 74 orang responden yang minum susu selama hamil, pada kelompok
kasus 31 orang dan kelompok kontrol 43 orang. Pada kelompok kasus, sebanyak 17
orang (54%) yang minum susu ibu hamil, dan 4 orang (13%) yang minum susu
dewasa, dan sebanyak 10 orang (33%) meminum susu kental manis. Pada kelompok
kontrol, sebanyak 31 orang (72%) yang minum susu ibu hamil, dan 10 orang (23%)
yang minum susu dewasa, dan sebanyak 2 orang (5%) meminum susu kental manis.
81
82
Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Riwayat Kebiasaan Makan Ibu Selama Hamil
pada Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol
Kejadian Pola Makan
Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
Baik
Kurang
Buruk
Total
11
20
19
50
22
40
38
100
37
10
3
50
74
20
6
100
kelompok kasus mayoritas kurang yaitu sebesar 40%, buruk sebesar 38% dan baik
sebesar 22 %. Pada kelompok kontrol dapat dilihat bahwa 74% ibu hamil memiliki
pola makan baik, 20% kurang dan 6% yang memiliki pola makan buruk.
4.3 Analisa Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas
(independen) faktor risiko Stunting terhadap variabel terikat (dependen) kejadian
Stunting pada anak dengan menggunakan uji chi-square pada tingkat kemaknaan 95%
( = 0,05). Jika hasil uji menunjukkan nilai p < 0,05 artinya ada hubungan bermakna
atau signifikan.
4.3.1 Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan Kejadian Stunting
Tinggi orang tua memiliki hubungan dengan kejadian Stunting. Ibu yang
pendek memiliki kemungkinan melahirkan bayi yang pendek pula. Hubungan tinggi
badan orangtua dalam hal ini Ibu terhadap kejadian Stunting dapat dilihat pada tabel
berikut:
83
Tabel 4.13 Hubungan Tinggi Badan Orangtua dengan Kejadian Stunting pada
Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol
Tinggi Badan
Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
P
Orangtua
value
Stunting
Tidak Stunting
Total
27
23
50
54
46
100%
19
31
50
38
62
100%
0,032
Dari uji statistik diperoleh nilai hasil uji statistik chi kuadrat p value=0,032
dengan OR 1,45. Dengan demikian, berdasarkan niai p menunjukkan ada hubungan
antara tinggi badan orangtua dengan kejadian Stunting.
4.3.2 Hubungan Pendapatan Orangtua dengan Kejadian Stunting
Status ekonomi keluarga yang diindikasikan dengan pendapatan keluarga
merupakan faktor risiko kejadian Stunting. Kemiskinan dapat menjadi penyebab
penting kekurangan gizi. Hubungan pendapatan orangtua dengan kejadian Stunting
ditunjukkan dengan tabel berikut ini:
Tabel 4.13 Hubungan Pendapatan Orangtua dengan Kejadian Stunting pada
Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol
Pendapatan
Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
P
Orangtua
value
Kurang
Cukup
Total
29
21
50
58
42
100%
20
30
50
24
76
100%
0,042
Dari uji statistik diperoleh nilai hasil uji statistik chi kuadrat p value=0,042
dengan OR 1,62. Berdasarkan niai p menunjukkan ada hubungan antara pendapatan
orangtua dengan kejadian Stunting.
4.3.3 Hubungan Jarak Kelahiran dengan Kejadian Stunting
84
Jarak kelahiran yang terlalu dekat, akan mengakibatkan usia penyapihan dini.
Jarak kehamilan yang terlalu dekat juga mengakibatkan perhatian ibu terhadap bayi
berkurang, di mana ibu harus memberi perhatiannya kepada kehamilannya.
Terpecahnya perhatian ibu, mengakibatkan pengasuhan anak dalam hal pemberian
makan akan berkurang. Hubungan jarak kelahiran dengan kejadian Stunting dapat
ditunjukkan dengan tabel berikut:
Tabel 4.14 Hubungan Jarak Kelahiran dengan Kejadian Stunting pada
Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol
Frekuensi Jarak
Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
P
Kelahiran
Value
Sangat Dekat
Dekat
Baik
Total
6
27
17
50
12
54
34
100%
7
24
19
50
14
48
38
100%
8,076
Dari uji statistik diperoleh nilai hasil uji statistik chi kuadrat p value=8,076
dengan OR 2,78. Maka berdasarkan niai p menunjukkan tidak ada hubungan antara
jarak kelahiran dengan kejadian Stunting.
4.3.5 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting
Masalah jangka panjang yang disebabkan oleh BBLR adalah terhambatnya
pertumbuhan dan perkembangan. Berat badan lahir rendah, diyakini menjadi salah
satu faktor penyebab gizi kurang berupa Stunting pada anak. Hubungan berat badan
lahir dengan kejadian stunting ditunjukkan dengan tabel berikut:
Tabel 4.15 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting pada
Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol
Frekuensi Berat
Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
P
Badan
Value
BBLR
12
8%
3,008
85
Normal
Total
44
50
88
100%
46
50
92%
100%
Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai hasil uji statistik chi kuadrat p
value=3,008 dengan OR 0,64. Berdasarkan niai p menunjukkan tidak ada hubungan
berat badan lahir anak dengan kejadian Stunting.
4.3.6 Hubungan Kejadian Infeksi dengan Kejadian Stunting
Pada saat sakit, tubuh juga memerlukan tambahan nutrisi, yang berfungsi
untuk mempercepat proses penyembuhan, sementara pada saat yang bersamaan,
asupan gizi berkurang akibat penurunan nafsu makan, hal ini akan semakin
memperburuk status gizi anak. Anak yang sering mengalami penyakit infeksi, akan
rentan terhadap kekurangan gizi. Hubungan antara Kejadian Infeksi dengan Kejadian
Stunting dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 4.16 Hubungan Kejadian Infeksi dengan Kejadian Stunting pada
Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol
Frekuensi Kejadian
Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
P
Infeksi
value
Sering
Jarang
Total
20
30
50
40
60
100%
7
43
50
14
86
100%
0,001
Melalui uji statistik diperoleh nilai hasil uji statistik chi kuadrat p value=0,001
dengan OR 2,9. Berdasarkan niai p menunjukkan ada hubungan antara kejadian
infeksi dengan kejadian Stunting.
4.3.7 Hubungan Pola Makan Anak dengan Kejadian Stunting
Nutrisi pada balita sangat efektif untuk mengoptimalkan kecerdasan,
kreatifitas dan perilaku anak, karena pada masa ini terjadi perkembangan otak yang
86
sangat maksimal. Pola makan anak mempengaruhi kecukupan gzi pada anak balita
yang dapat mengakibatkan kejadian Stunting dan tidak Stunting.
Tabel 4.17 Distribusi Pola Makan Anak dengan Kejadian Stunting pada
Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol
Kejadian Pola Makan Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
P
value
Baik
Kurang
Buruk
Total
11
20
19
50
22
40
38
100
37
10
3
50
74
20
6
100
0,003
Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai hasil uji statistik chi kuadrat p
value=0,003 dengan OR 3,8. Berdasarkan niai p menunjukkan ada hubungan antara
pola makan anak dengan kejadian Stunting.
4.3.8 Hubungan Riwayat Kebiasaan Makan Ibu Selama Hamil dengan Kejadian
Stunting
Kejadian Stunting pada anak merupakan suatu proses kumulatif yang terjadi
sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan. Status gizi
kurang selama masa kehamilan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada
pertumbuhan janin yang buruk. Hubungan pola makan ibu hamil dengan kejadian
stunting dapat dilihat melalui tabel berikut:
Tabel 4.18 Hubungan Pola Makan Ibu Hamil dengan Kejadian Stunting pada
Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol
Kejadian Pola Makan Kasus (F)
%
Kontrol (F)
%
P
value
Baik
Kurang
Buruk
Total
14
12
24
50
28
24
48
100
34
13
3
50
68
26
6
100
0.000
87
Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai hasil uji statistik chi kuadrat p
value=0,000. Berdasarkan niai p menunjukkan ada hubungan antara riwayat makan
ibu selama hamil dengan kejadian Stunting.
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan Kejadian Stunting
Panjang badan lahir berkaitan erat dengan tinggi badan orang tua. Ibu dengan
tinggi badan Stunting, lebih berpeluang untuk melahirkan anak yang Stunting pula.
Anak yang lahir dari ibu yang kerdil disertai nutrisi yang buruk selama kehamilan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, keadaan ini merupakan lingkaran setan
yang akan berulang dari generasi ke generasi (Soejtiningsih, 1998).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan tinggi badan orang tua
dengan kejadian Stunting yang ditunjukkan dengan nilai p 0,032. Tetapi bila sifat
pendek orang tua disebabkan karena masalah nutrisi maupun patologis, sifat pendek
tersebut tidak akan diturunkan kepada anaknya. Berdasarkan distribusi frekuensi
tinggi badan orangtua mayoritas orangtua yang Stunting pada kelompok kasus yaitu
88
54% sedangkan pada kelompok kontrol hanya 19%. Hal ini menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa anak yang pendek memiliki orangtua yang pendek pula.
Penelitian ini hanya mengukur tinggi badan Ibu berhubung hanya 30 orang
ayah yang bersedia diukur tinggi badannya. Namun, berdasarkan rata-rata tinggi
badan ayah dari anak yang stunted (16 orang) adalah 156,9 cm, dan rata-rata tnggi
badan ayah dari anak yang non stunted (14 orang) adalah 160,16 cm. Sehingga data
ini bisa menunjukkan bahwa anak yang pendek mayoritas memiliki orangtua yang
pendek pula.
Hasil ini sesuai dengan penelitian di Semarang tahun 2011 yang menunjukkan
bahwa tinggi badan Ibu yang rendah merupakan faktor risiko Stunting pada anak usia
24-36 bulan (Nashikah, 2012). Penelitian di Bangladesh juga menunjukkan bahwa
banyak ditemukan anak Stunting pada keluarga yang memiliki Ibu dengan tinggi
badan <148 cm.
Sama halnya dengan penelitian Rahayu (2011) yang menunjukkan bahwa
tinggi badan orangtua sangat signifikan mempengaruhi perubahan status Stunting
pada anaknya. Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik, dan
merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan kejadian
Stunting. Anak dengan orang tua yang pendek, baik salah satu maupun keduanya,
lebih berisiko untuk tumbuh pendek dibanding anak dengan orang tua yang tinggi
badannya normal (Supariasa, 2002). Orang tua yang pendek karena gen dalam
kromosom yang membawa sifat pendek kemungkinan besar akan menurunkan sifat
pendek tersebut kepada anaknya.
Berbeda dengan penelitian Kukuh (2013) tinggi badan orang tua tidak menjadi
faktor risiko Stunting disebabkan karena pada penelitian ini tidak diteliti faktor-faktor
89
yang mempengaruhi tinggi badan orang tua, sehingga tidak bisa dibedakan apakah
tinggi badan orang tua saat ini merupakan pengaruh genetik atau karena pengaruh
patologis maupun malnutrisi. Namun dalam penelitiannya menemukan jumlah ayah
pendek pada kelompok kasus 16 orang (45,7%), sedangkan Ibu pendek pada
kelompok kasus 17 orang (48,6%). Meskipun tidak terbukti sebagai faktor risiko, ibu
dan ayah yang pendek lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus dibanding
kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa anak yang
pendek memiliki orangtua yang pendek juga.
5.2 Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Kejadian Stunting
Status ekonomi keluarga akan memengaruhi kemampuan pemenuhan gizi
keluarga dan kemampuan mendapatkan layanan kesehatan. Anak pada keluarga
dengan status ekonomi rendah lebih berisiko mengalami Stunting karena kemampuan
pemenuhan gizi yang rendah, meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan
orangtua dengan kejadian Stunting ditunjukkan dengan nilai p 0,042. Pendapatan
keluarga merupakan faktor yang memengaruhi dan menentukan kebutuhan akan
kualitas dan kuantitas makanan dengan jumlah dan mutu yang memadai. Pendapatan
keluarga akan menentukan daya beli makanan, tersedia atau tidaknya makanan dalam
keluarga yang selanjutnya akan memengaruhi asupan zat gizi (KKR, 2013).
Penelitian ini menunjukkan mayoritas kelompok kasus yang menderita
Stunting adalah dari orangtua yang memiliki pendapatan kurang yaitu 58% dan hanya
24 % pada kelompok kontrol. Meskipun Kecamatan Parbuluan adalah daerah sentra
90
91
92
kelompok stunted terdapat mayoritas anaknya tidak mendapatkan lauk pauk, sayur
dan buah-buahan dalam jumlah dan jenis yang bervariasi dalam seminggu.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian di Bangladesh tahun 2011, dan juga di
Brazil tahun 2008 yang menyatakan bahwa status sosial ekonomi yang rendah
merupakan faktor risiko kejadian Stunting pada anak balita (Rahayu, 2011 dan
Supariasa, 2002). Penelitian pada anak usia 2-3 tahun di Semarang tahun 2012
menyatakan bahwa status ekonomi yang rendah berhubungan dengan keterbatasan
keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan zat gizi baik makro maupun mikro
(Nashikah, 2012). Status ekonomi keluarga yang rendah akan memengaruhi kualitas
maupun kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh keluarga.
5.3 Hubungan Jarak Kelahiran dengan Kejadian Stunting
Jarak kelahiran yang terlalu dekat, akan mengakibatkan usia penyapihan dini.
Pada masa bayi 0-6 bulan ASI menjadi makanan utama, jika terjadi kehamilan berikut
pada usia bayi di bawah 6 bulan, maka pemberian ASI akan dihentikan, atau apabila
pemberian ASI tetap dilanjutkan, kandungan nutrisi tidak mencukupi untuk
kebutuhan bayi. Jarak kehamilan yang terlalu dekat juga mengakibatkan perhatian ibu
terhadap bayi berkurang, di mana ibu harus memberi perhatiannya kepada
kehamilannya (Marmi, 2013).
Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
jarak kelahiran dengan kejadian Stunting pada anak PAUD di Kecamatan Parbuluan
ditunjukkan dengan nilai p=8,076. Hal ini kemungkinan karena baik kelompok kasus
(anak yang Stunting) maupun kelompok kontrol (anak yang tidak Stunting) sama-
93
sama mayoritas menunjukkan jarak kelahiran yang dekat yaitu 54% pada kelompok
kasus dan 48% pada kelompok kontrol. Bahkan pada kelompok kontrol jarak
kelahiran sangat dekat sedikit lebih banyak yaitu 14% sedangkan kelompok kasus 12
%. Selain itu, jarak kelahiran yang baik antara kelompok control maupun keompok
kasus juga tidak berbeda jauh yaitu 34% untuk kelompok kasus dan 38% untuk
kelompok kontrol.
Penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Arifin dkk pada balita di
Purwakarta tahun 2012 terdapat hubungan antara jarak antar kelahiran dengan
kejadian Stunting, diperoleh bahwa ada sebanyak 36 (72%) balita dengan jarak antar
kelahiran < 24 bulan menderita Stunting, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan
antara jarak antar kelahiran dengan kejadian Stunting. Hasil analisis multivariat
menunjukkan bahwa secara statistik faktor yang paling berhubungan dengan kejadian
Stunting pada balita di 3 kecamatan di wilayah Kabupaten Purwakarta (Bungursari,
Sukasari, dan Darangdan) adalah jarak kelahiran (Arifin, 2012). Hasil penelitian
Candra pada anak 1-2 tahun di Semarang juga menunjukkan bahwa balita Stunting
berisiko 10x lebih besar berasal dari balita dengan jarak kelahiran <23 bulan
dibandingkan dengan jarak kelahiran >23 bulan (Chandra, 2011).
5.4 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting
Berat badan lahir rendah bisa disebabkan oleh keadaan gizi ibu yang kurang
selama kehamilan sehingga menyebabkan intra uterin growth retardation, dan ketika
lahir dimanifestasikan dengan rendahnya berat badan lahir. Masalah jangka panjang
yang disebabkan oleh BBLR adalah terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan.
94
Berat badan lahir rendah, diyakini menjadi salah satu faktor penyebab gizi kurang
berupa Stunting pada anak.
Ukuran bayi saat lahir berhubungan dengan ukuran pertumbuhan anak karena
ukuran bayi berhubungan dengan pertumbuhan linear anak (Khusarisupeni, 2002).
Kelahiran bayi dengan berat badan yang rendah (BBLR) menunjukkan adanya
gangguan pertumbuhan fetus di dalam uterus baik akut maupun yang kronis
(Whitney, 2008). Anak yang dilahirkan dengan berat badan yang lebih rendah juga
memiliki tingkat kerawanan menderita penyakit infeksi lebih tinggi daripada yang
normal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara berat
badan lahir rendah dengan kejadian Stunting yang ditunjukkan dengan nilai p= 3,008.
Hasil penelitian menunjukkan baik pada kelompok kasus dan kontrol mayoritas
berada pada berat badan lahir yang normal dengan persentase total 92%. Selain itu,
berat badan lahir lebih mempengaruhi anak pada 6 bulan awal kelahiran setelah itu 2
tahun berikutnya pola konsumsi anak lebih banyak berpengaruh pada tumbuh dan
kembang anak (Adiar dalam Nashikah, 2012). Oleh karenanya meskipun anak
menderita BBLR pada kelahirannya, jika setelah 6 (enam) bulan gizi untuk
pertumbuhan anak bisa dipenuhi dengan pola konsumsi yang benar, maka
pertumbuhan yang baik dan normal dapat dikejar.
Tidak adanya hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting ini juga
kemungkinan bisa terjadi dikarenakan kesulitan dari Ibu untuk mengingat dengan
benar apakah bayinya berat badan lahir rendah atau tidak. Selain itu, data yang valid
95
tentang berat badan lahir tidak dapat ditemukan oleh peneliti, disebabkan mayoritas
kelahiran anak ditolong oleh dukun beranak sehingga ketika bayi lahir, berat badan
tidak ditimbang. Persalinan yang ditolong oleh bidan atau tenaga kesehatan lainnya
juga banyak yang tidak didokumentasikan berat badan lahirnya, karena persalinan
hampir 90 % dilakukan bukan di tempat pelayanan kesehatan tetapi di rumah ibu
bersalin. Kemungkinan hal ini membuat petugas kesehatan sering lalai atau tidak
membawa alat timbangan berat badan bayi, sebagai akibatnya berat badan lahir bayi
tidak ditimbang tetapi hanya berupa perkiraan saja, membuat data berat badan lahir
bayi tidaklah valid.
Hasil penelitian yang sama ditunjukkan oleh Kezia (2010) yang menunjukan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara berat badan lahir dengan
kejadian Stunting pada anak usia 13-36 bulan di wilayah kerja Puskesmas Tuminting
Kota Manado dengan nilai p = 0,634 (p > 0,05). Penelitian ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan di Kecamatan Pati, yang menyatakan bahwa berat badan
lahir bukan merupakan faktor risiko kejadian Stunting (p= 0,112; OR= 2,16)
(Anugraheni, 2012).
Anak yang lahir dengan panjang badan lahir pendek memang lebih berisiko
untuk tumbuh stunting dibanding anak yang lahir dengan panjang badan normal,
tetapi selama anak tersebut mendapatkan asupan yang memadai dan terjaga
kesehatannya, maka kondisi panjang badan lahir yang pendek dapat dikejar dengan
pertumbuhan seiring bertambahnya usia anak (Kiely, 2013).
Pada kenyataannya hal ini tidak sesuai dengan penelitian Rahayu dan
Sofyaningsih tahun 2012 di Kota dan Kabupaten Tangerang bahwa kejadian berat
96
badan lahir rendah (BBLR) memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian
Stunting pada usia 6-12 bulan. Bayi yang lahir dengan BBLR mempunyai risiko
untuk mengalami Stunting pada usia 6-12 bulan sebesar 3,6 kali dibandingkan dengan
bayi yang lahir dengan berat badan normal (Rahayu, 2011). Hal ini terlihat dari hasil
penelitian di Tangerang yang menemukan bahwa panjang badan lahir merupakan
faktor risiko stunting yang masih dapat diatasi. Anak dengan panjang badan lahir
pendek akan tetap stunting sampai usia 6-12 bulan, namun dapat mencapai tinggi
badan normal pada usia 3-4 tahun (Rahayu, 2011).
Penelitian yang sama juga ditunjukkan oleh Chandra (2011) dkk pada anak 12 tahun di kota Semarang menunjukkan bahwa kejadian Stunting berisiko 11x lebih
besar berasal dari balita yang BBLR dibandingkan dengan bayi dengan berat lahir
normal. Anak dengan panjang badan lahir pendek menunjukkan kurangnya gizi yang
diasup Ibu selama masa kehamilan, sehingga pertumbuhan janin tidak optimal yang
mengakibatkan bayi yang lahir memiliki panjang badan lahir yang rendah
(Khusarisupeni, 2002).
5.5 Hubungan Infeksi dengan Kejadian Stunting
Penyakit infeksi mempunyai efek substansial terhadap pertumbuhan linier.
Penyakit infeksi yang dapat berhubungan dengan pertumbuhan yaitu diare dan
penyakit infeksi saluran pernafasan (Astari, 2006). Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan antara infeksi dengan kejadian Stunting yang ditunjukkan dengan
nilai p=0,001.
97
Menurut Hartono dalam Dewi (2014) ada interaksi antara gizi, kekebalan
tubuh dan infeksi. Infeksi memperburuk status gizi dan sebalikya gangguan gizi
memperbruk kemampuan anak untuk mengatasi infeksi, karena gizi kurang
menghambat pembentukan reaksi kekebalan tubuh, sehingga anak yang status gizinya
buruk lebih cenderung terkena infeksi.
Dalam penelitian ini menunjukkan bawah 40% kasus Stunting terjadi pada
kelompok kasus yang sering menderita penyakit infeksi sementara kelompok kontrol
(86%) jarang menderita infeksi. Penyakit infeksi yang paling banyak diderita oleh
kelompok kasus (menderita Stunting) adalah ISPA yaitu 94% dengan 66%
mengalaminya dengan frekuensi lebih dari tiga kali dan diare sebesar 88% dan
dengan frekuensi lebih dari 3 kali dialami 66% responden. Hasil penelitian ini juga
dikuatkan dengan jawaban responden yang menyatakan 90% dari anaknya yang
menderita penyakit infeksi mengalami penurunan berat badan.
Penyakit infeksi yang diderita oleh anak-anak mempengaruhi status gizinya.
Anak yang menderita penyakit infeksi rentan untuk tidak makan, atau makan dalam
jumlah sedikit dan hanya mentoleransi sedikit variasi makanan sehingga akan
menurunkan kualitas gizi yang dapat diserap melalui makanan. Tentunya hal ini akan
menghambat pertumbuhan anak itu sendiri (Unicef, 2012).
Penelitian ini menunjukkan penyakit diare diderita anak stuntd sebesar 88%
dan dengan frekuensi lebih dari 3 kali dialami 66% responden. Penyakit diare dapat
menyebabkan anak mengalami malnutrisi, dehidrasi dan kehilangan zat gizi penting
dalam tubuhnya. Hasil yang sama juga ditunjukkan dengan penelitian Nashikah
98
(2012) dimana ada hubungan antara penyakit infeksi yaitu riwayat diare akut yang
diderita anak stunted dengan kejadian stunting dengan nilai p =0,011. Anak yang
menderita penyakit infeksi lebih beresiko 2,3 kali menderita stunted dibandingkan
yang tidak menderita penyakit ineksi. Bila kondisi seperti itu tidak segera
ditanggulangi dengan memberikan asupan makanan yang adekuat, maka daapat
menyebabkan malnutrisi dan gagal tumbuh sehingga menimbulkan stunted (Dewey
dalam Nashikah, 2012).
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2007 bahwa penyakit penyerta merupakan faktor risiko kejadian
gizi buruk (Sumiati, 2007). Penyakit penyerta dapat menyebabkan gizi buruk
dikarenakan terdapat hubungan timbal balik antara kejadian penyakit dan gizi buruk.
Balita yang menderita gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan sehingga
rentan terhadap penyakit. Selain itu anak yang menderita sakit akan memperjelek
keadaan gizi melalui gangguan asupan makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat
gizi esensial.
Berdasarkan hasil penelitian Arifin dkk, penelitian pada balita di Kabupaten
Purwakarta tahun 2012 ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan
kejadian Stunting, diperoleh bahwa ada sebanyak 30 (60%) balita dengan mempunyai
riwayat penyakit infeksi menderita Stunting, terdapat hubungan antara riwayat
penyakit infeksi dengan kejadian Stunting, dan terbukti balita dengan riwayat
penyakit infeksi mempunyai risiko 2,2 kali lebih besar terkena Stunting dibanding
balita dengan tidak mempunyai riwayat penyakit infeksi (Arifin, 2012).
99
Namun hasil yang berbeda diperoleh oleh Glaudia (2014) dimana hasil
perhitungan menggunakan uji Fishers Exact diperoleh nilai p = 0,392 (p > 0,05),
maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara riwayat penyakit
infeksi dengan kejadian Stunting pada anak usia 13-36 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Tuminting Kota Manado. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan di Kecamatan Semarang Timur yang menunjukkan bahwa riwayat
penyakit infeksi dalam hal ini infeksi saluran pernapasan atas akut merupakan faktor
resiko kejadian Stunting yang tidak bermakna (p=0,297: OR =1,73) (Nasikhah, 2012).
Dari beberapa wawancara yang dilakukan peneliti dengan orangtua dari
responden menunjukkan bahwa orangtua lebih perhatian untuk mempersiapkan
makanan yang bergizi pada anak yang sedang sakit dibandingkan tidak sakit. Prinsip
pencegahan lebih baik dari pengobatan belumlah dipahami orang tua. Sebelum sakit,
makanan anak diberikan seadanya, bahkan cenderung kurang diperhatikan, mereka
berprinsip yang penting anak kenyang. Susunan menu makanan juga kurang
mendapat perhatian, anak tidak mau makan sayur dan buah, sepertinya tidak dianggap
orang tua menjadi suatu masalah. Ketika sakit, orang tua akan sibuk memikirkan
bagaimana menyajikan makanan yang enak dan bergizi. Namun, bagaimanapun usaha
orangtua untuk memenuhi kebutuhan gizi anak dalam situasi sakit tidaklah membuat
status gizi membaik karena pada saat sakit nafsu makan anak sangat menurun,
sehingga asupan makanan tetap tidak adekuat.
100
Pola makan yang seimbang, yaitu sesuai dengan kebutuhan disertai pemilihan
bahan makanan yang tepat akan melahirkan status gizi yang baik. Asupan makanan
yang melebihi kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelebihan berta badan dan
penyakit lain yang akan menyebabkan kelebihan berat badan dan penyakit lain yang
disebabkan oleh kelebihan zat gizi. Sebaliknya,asupan makanan kurang dari yang
dibutuhkan akan menyebabkan tubuh menjadi kurus dan rentan terhadap penyakit.
Kedua keadaan tersebut sama tidak baiknya, sehingga disebut gizi salah
(Sulistyoningsih, 2010). Makanan yang didapat biasanya akan kurang bervariasi dan
sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan
anak seperti sumber protein, vitamin dan mineral, sehingga meningkatkan risiko
kurang gizi. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara pola makan
dengan kejadian Stunting ditunjukkan dengan nilai p=0,003.
Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas Ibu menyusui bayi setelah lahir
yaitu masing-masing 80% baik pada kelompok kontrol maupun kasus. Berdasarkan
wawancara dengan beberapa responden diperoleh jawaban bahwa Ibu akan merasa
malu dan minder jika tidak menyusui anaknya. Menurut mereka, selain faktor
ekonomi yaitu terbebas dari biaya pembelian susu formula, ada rasa minder dalam
diri responden dan segan dengan orang dituakan jika tidak memberikan ASI pda
anaknya. Mereka akan merasa lebih berharga di depan mata keluarga jika dapat
memberikan ASI.
Hal di atas sudah cukup baik untuk perkembangan bayi karena semua zat gizi
yang dibutuhkan bayi terdapat pada ASI.
101
pertumbuhan bayi dan juga mengandung zat pelindung dan kandungan terbanyak
pada kolostrum. Menurut Hariyani (2012) bayi yang belum mencapai usia 6 bulan
sebaiknya tidak diberikan makanan tambahan atau makanan pendamping melainkan
cukup dengan ASI saja. Sebelum mencapai usia 6 bulan sistem pencernaan bayi
belum mampu berfungsi dengan sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna
makanan selain ASI.
Hasil penelitian ini menunjukkan masih sedikit Ibu yang memberikan ASI
pertama yang keluar atau disebut juga dengan kolostrum. Sebanyak 20 orang dari
100 responden dari kelompok kasus dan kontrol yang tidak memberikan ASI setelah
anak lahir. Berdasarkan jawaban responden yang memberikan ASI setelah anak lahir,
terdapat 37% pada kelompok kasus dan 25% pada kelompok kontrol yang tidak
memberkan kolostrum pada bayi.
Kolostrum banyak mengandung lemak, protein, dan sistem kekebalan yang
diberikan ibu kepada bayi sampai beberapa bulan setelah lahir. Kolostrum sedikit
lebih kental dan berwarna kekuningan. Beberapa hari setelah persalinan, komposisi
ASI kolostrum ini akan berubah menjadi komposisi normal ASI yang disebut mature
milk. Kurang berhasilnya proses menyusui pertama kali sangat jarng dikarenakan
gangguan hormonal, namun sering kali karena teknik menyusui yang tidak tepat,
perlekatan yang tidak benar, durasi waktu yang tidak cukup, atau karena kondisi
psikologi ibu, serta dukungan keluarga dan petugas kesehatan yang kurang (Hariyani,
2012).
Sampai usia 6 bulan, bayi cukup mendapatkan asupan makanan dari ASI tanpa
ditambah makanan atau minuman lain karena ASI mengandug semua zat gizi dan
102
cairan yang dibutuhkan untuk memenuhi keseluruhan kebutuhan gizi bayi pada enam
bulan kehidupannya. Sayangnya, hanya 29 orang (62%) dari 50 responden yang yang
anaknya stunted yang memberikan ASI secara eksklusif sampai 6 bulan, sementara 20
% lainnya memberikan 4-6 dan 17% bahkan kurang dari 4 bulan.
Menurut Haryani (2012, setelah masa 6 (enam) bulan, bayi mesti dikenalkan
dengan makanan pendamping ASI. Contohnya bubur susu, bubur saring dan nasi tim.
Bayi yang usianya di atas 6 bulan sudah memiliki kapasitas pencernaan, enzim
pencernaan, dan kemampuan metabolisme bayi sudah siap untuk menerima makanan
selain ASI saja. Sekitar 70% kebutuhan gizi bayi tercukupi dari ASI dan 30% dari
makanan pendamping ASI (Marmi, 2013). Setelah bayi berumur lebih dari 6 bulan
maka bayi layak diberikan makanan pendamping ASI.
Berdasarkan jawaban responden mengenai pola makan anak usia 7-12 bulan
menunjukkan bahwa 66% pada kelompok kasus dan 75% pada kelompok kontrol
anak sudah tidak puas lagi dengan mium ASI saja. Oleh karenanya ibu memberikan
makanan pendamping ASI pada usia tersebut. Hanya saja mayoritas Ibu pada
kelompok Stunting tidak memberikan makanan pendamping ASI yang bervariasi
secara teratur sehingga kadang-kadang anak menghabiskan porsi makanannya dan
kadang tidak sehingga berpengaruh pada pemenuhan zat gizi pada anak-anak.
Makanan pendamping untuk bayi usia 6-9 bulan adalah berupa bubur susu
sampai nasi tim lumat. Pemberian makanan dimulai dengan bertektur sangat lembut
dan encer bertahap ke bentuk yang lebih kental. Frekuensi pemberian makanan
pendamping sebanyak 2 kali sehari dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur.
Usia 6 bulan diberikan 6 sendok makan, usia 7 bulan 7 sendok makan, dan memasuik
usia 8 bulan sebanyak 8 sendok makan (Hariyani, 2012).
103
104
Pada hasil kuesioner diketahui bahwa orangtua dari anak pada masa batita
yang mengalami Stunting mayoritas tidak memberikan telur, daging, ikan atau
kacang-kacangan setiap hari maupun memberikan menu yang bervariasi. Ada 44%
anak pada kelompok stunted yang lauk pauknya adalah ikan laut yang diasinkan
seperti ikan teri, dan ikan asin, hanya 36% yang mampu memberikan ikan lau seperti
dencis, gembung dna tongkol. Sementara itu, ada kelompok kontrol mayoritas
responden sudah menunjukkan kemampuan memberikan daging atau telor kepada
anak-anaknya. Hal ini berarti kebutuhan protein anak tidak terpenuhi karena anak
tidak mendapatkan asupan protein yang cukup. Bahkan dari total 100 responden
sebanyak 23 responden tidak memberikan susu pada anak pada usia batita, 16 orang
diantaranya adalah anak yang menderita Stunting.
Meskipun mayoritas kelompok Stunting anaknya meminum susu pada usia
batita, hanya 31% yang minum susu secara teratur dua gelas per hari selebihnya
hanya minum satu gelas bahkan kurang dari satu gelas. Demikian juga dengan
makanan selingan, hanya sedikit anak yang mengonsumsi makanan selingan berupa
bubur kacang hijau, tetapi mayoritas mengonsumsi makanan selingan seperti mie dan
atau kerupuk.
Menurut Haryani (2011) mengatakan bahwa protein dalam jumlah yang cukup
berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan.
pangan nabati ataupun hewani. Nilai biologi protein pada bahan pangan bersumber
hewani lebih tinggi dibandingkan dengan bahan makanan nabati. Bahan makanan
hewani sumber protein yang mudah diperoleh dari daging, susu dan telur. Bahan
105
makanan nabati yang memiliki kandungan protein adalah kedelai dan olahannya
aaupun yang bersumber dari kacang-kacangan.
Penelitian ini menunjukkan kesesuaian dengan penelitian (Nashikah, 2012
dan Chaudury, 2013) yang menyatakan pola makan yang terbatas meningkatkan
risiko terjadinya Stunting pada anak balita. Astari (2006) juga mengatakan bahwa
hasil penelitiannya menunjukan penurunan kualitas konsumsi makanan akan
menurunkan konsumsi protein, vitamin, mineral yang akan berakibat pada
kekurangan gizi makro dan mikro yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan balita
pada periode emasnya sehingga berakibat Stunting pada balita.
Hasil penelitian Fitri (2012) menunjukkan adanya hubungan antara asupan
protein dan energy pada anak di Sumatera dengan usia 12 bulan hingga 59 bulan. Hal
itu dikarenakan usia tersebut merupakan periode emas anak dalam pertumbuhan
sehingga membutuhkan energy dan protein yang cukup untuk pertumbuhan. Namun
penelitian ini menunjukkan mayoritas anak mendapat asupan protein yang rendah
terbukti dari sumber protein sehari-hari mayoritas anak diberik lauk ikan laut yang
diasinkan seperti teri dan ikan asin untuk dikonsumsi sehari-hari sedangkan sumber
protein hewani seperti daging, telur, susu dan olahannya sangat minim.
Vitamin sangat diperlukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap
penyakit,
meningkatkan
regenerasi
sel
dan
membantu
metabolism
tubuh
106
107
Menurut Marmi (2013) selama hamil, calon ibu memerlukan lebih banyak zatzat gizi daripada wanita yang tidak hamil karena makanan ibu dibutuhkan untuk
dirinya dan janin yang dikandungnya. Bila makanan ibu terbatas maka akan
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, bahkan bisa mengakibatkan prematur
dan kelahiran BBLR.
Protein memiliki fungsi membangun dan memelihara sel-sel jaringan tubuh,
membentuk ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan, sumber energy
dan antobodi. Ibu hamil juga berhubungan dengan proses pertumbuhan, yaitu
pertumbuhan janin yang dikandungnya dan pertumbuhan berbagai organ tubuhnya
sebagai pendukung proses kehamilan tersebut, misalnya mammae. Untuk mendukung
berbagai proses pertumbuhan ini maka kebutuhan makanan sebagai sumber energy
juga meningkat. Kebutuhan kalori tambahan bagi ibu hamil sekitar 300-350 kalori per
hari. Demikian pula kebutuhan protein meningkat dengan 10 gram sehari.
Peningkatan metabolism berbagai zat gizi pada ibu hamil juga memerlukan
peningkatan suplai vitamin, terutama thiamin, riboflavin, vitamin A dan D.
Kebutuhan berbagi mineral, khususny Fe dan kalsium juga meningkat (Harwina,
2011).
Namun hasil penelitian menunjukkan sumber energi dan protein dari makanan
yang memiliki kualitas dan kuantitas cukup sangat rendah. Hal itu bisa dilihat dari
mayoritas responden (72%) ibu pada kelompok Stunting menjawab bahwa lauk yang
dikonsumsi adalah ikan laut yang diasinkan seperti teri dan ikan asin. Berbeda dengan
kelompok kontrol, meskipun yang mengonsumsi daging dan telor sebagai sumber
108
protein hanya 34% namun 60% ibu sudah lebih baik dalam mengonsumsi lauk seperti
dencins, gembung dan tongkol.
Selain itu jawaban responden tentang konsumsi lauk tambahan berupa tahu
dan tempe dimana 50% responden pada kelompok kasus hanya kadang-kadang saja
mengonsumsi lauk tambaan dan hanya 30% yang secara teratur mengonsumsinya.
Sementara pada kelompok kontrol, yang mengkonsumsi lauk tambahan mayoritas
responden 54% dan 44% kadang-kadang mengonsumsi. Hariyani (2011) mengatakan
Ibu hamil memerlukan konsumsi protein lebih banyak dari biasanya. Berdasarkan
angka kecukupan gizi tahun 2004, selama hamil ibu memerlukan tambahan protein
sebesar 17 gram per hari.
Susu adalah sumber protein yang paling mudah untuk mendapatkan protein
dan kalsium bagi ibu selama hamil (Dewi, 2014) Susu merupakan sumber protein
yang cukup mudah diperoleh ibu dalam memenuhi kebutuhan protein selama hamil.
Namun, penelitian ini menunjukkan pada kelompok kasus 38% saja yang meminum
susu selama hamil. Padahal pada kelompok kontrol 66% ibu mengonsumsi susu
selama hamil.
Selama hamil ibu harus menyediakan protein bagi dirinya dan janin yang
dikandungnya oleh karenanya pemberian makanan selingan sangat dianjurkan.
Kenyataan dalam penelitian ini, hanya 44% ibu pada kelompok kasus yang
mengkonsumsi makanan selingan selama hamil, sementara 18%
yang kadang-
kadang mengonsumsi dan 20% bahkan tidak mengonsumsinya sama sekali. Sumber
makanan selingan yang dikonsumsi kurang memenuhi kebutuhan akan protein karena
hanya 25% ibu pada kelompok kasus yang mengonsumsi bubur kacang hijau selama
109
hamil, sementara mayoritas (72%) mengonsumsi kue, roti atau mie yang lebih kaya
akan karbohidrat dan lemak. Terbukti pada kelompok kontrol yang memiliki anak
tidak Stunting mayoritas ibu sudah mengonsumsi makanan selingan secara teratur
setiap hari dan kadang-kadang 48% dan hanya 5% saja yang tidak mengonsumsinya
setiap hari.
Protein yang dikonsumsi oleh ibu selama hamil digunakan untuk pertumbuhan
anak yang dikandung sekitar 70% , 30% lagi untuk plasenta (menunjang, memelihara,
dan menyalurkan makanan bagi bayi) dan untuk perkembangan dan pertumbuhan selsel otak dan myelin selama masa janin dan berkaitan erat dengan kecerdasan (Widodo
dalam Dewi, 2014). Bahan pangan yang dipakai sebaiknya 2/3 merupakan bahan
yang mempunyai nilai protein yang tinggi seperti daging tak berlemak, ikan, telur,
susu dan hasil olahannya.
Kurangnya konsumsi sayuran yang bervariasi juga dialami ibu pada anak
kelompok Stunting sebanyak 11% yang tidak mengonsumsi sayuran bervariasi dan
25% saja yang kadang-kadang. Pada kelompok kontrol mayoritas sebesar 54% ibu
hamil mengonsumsi sayur secara bervariasi. Seharusnya ibu hamil mengonsumsi 3
mangkuk sayur per hari dengan divariasikan selama seminggu sehingga kebutuhan
vitamin dan mineral yang terkandung dalam sayur dapat diserap dengan cukup
(Haryani, 2011).
Konsumsi buah-buahan selama hami sangatlah rendah, baik pada kelompok
Stunting (38%) dan kelompok kontrol (42%). Demikian juga dengan variasi kosumsi
buah dalam seminggu juga sangat rendah pada kelompok Stunting yaitu 24% tapi
sedikit lebih baik pada kelompok kontrol yaitu 42%. Ibu hamil seyogyanya
110
111
112
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa univariat dan bivariat dapat disimpulkan bahwa
variable tinggi badan Ibu (p=0,032) , pendapatan orangtua (p=0,042) , infeksi pada
anak (p=0,001), pola makan anak (p=0,003) , riwayat kebiasaan makan ibu selama
hamil (p=0,000) berhubungan dengan kejadian stunted pada anak balita di PAUD
Kecamatan Sigalingging . Hasil penelitian menunjukkan anak yang stunted memiliki
orangtua yang stunted pula. Pendapatan orang tua dari anak yang stunted lebih
rendah
daripada
yang
normal
sehingga
menunjukkan
keterbatasan
dalam
mengkonsumsi buah dan sayuran yang bervariasi serta pilihan lauk yang sama selama
seminggu. Riwayat penyakit infeksi menunjukkan ketika anak menderita penyakit
infeksi yang berulang menyebabkan anak kehilangan zat gizi penting dalam tubuhnya
sementara asupan makanan juga tidak adekuat saat sakit sehingga beresiko terhadap
kejadian stunted pada anak. Namun, pertumbuhan sebenarnya dapat dikejar dengan
pola makan yang bernutrisi pada usia 1-3 tahun. Hanya saja penelitian ini
menunjukkan anak yang stunted memiliki pola makan yang kurang baik. Demikan
halnya ketika ibu hamil, ibu dari kelompok stunted memiliki pola makan yang kurang
baik pula.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara jarak kelahiran
(p=8,076) , berat badan lahir (p=3,008) dengan kejadian Stunting. Data menunjukkan
bahwa baik kelompok stunted dan non stunted sama-sama mayoritas memiliki jarak
114
113
kelahiran yang dekat dan berat badan lahir yang normal. Khusus, untuk berat badan
lahir, Ibu kesulitan untuk mengingat secara detai berat badan anak ketika lahir.
Mayoritas Ibu berasumsi anak yang mereka lahirkan memiliki berat badan yang
normal ketika lahir.
6.2 Saran
6.2.1 Orangtua
Orangtua terutama Ibu diharapkan memperhatikan pola makan anak saat umur
1-3 tahun. Umur ini adalah umur yang disebut golden age , dimana anak sangat
mudah menyerap zat gizi yang dimakan dan langsung dimanfaatkan untuk
pertumbuhannya. Anak pada periode usia ini berkesempatan mengejar ketinggalan
pertumbuhannya pada saat lahir dan bayi sampai usia 12 bulan. Berat badan lahir
rendah hanya akan memengaruhi pertumbuhan di 6 bulan awal kehidupan, setelah itu
pertumbuhan anak akan dipengaruh oleh asupan makanan ketika usia 1-3 tahun.
Itulah sebabnya memperhatikan dan memenuhi pola makan yang baik sangat penting
pada usia ini. Dalam penelitian ini menunjukkan pola makan yang bermasalah
dialami kelompok stunted pada usia 1-3 tahun karena makanan yang dikonsumsi
memiliki protein yang kurang karena kebanyakan mengkonsumsi ikan laut yang
diasinkan dan berlangsung lama sampai seminggu. Anak pada kelompok stunted lebih
sedikit minum susu untuk anak padahal susu mengandung zat gizi untuk
pertumbuhan seperti kalsium. Konsumsi sayuran dan buah juga rendah dan tidak
bervariasi. Oleh karenanya orang tua sebaiknya berusaha memberikan lauk, sayur dan
buah yang bervariasi agar anak mendapatkan semua zat gizi penting yang dibutuhkan
selama pertumbuhannya.
114
6.2.2
115