PSIKIATRI FORENSIK Materi
PSIKIATRI FORENSIK Materi
I. PENDAHULUAN
Psikiatri (ilmu kedokteran jiwa) forensik sebagai ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia, khususnya dalam hal-hak abnormal dengan berbagai motifnya kian
lama menduduki tempat yang penting. Seperti kita ketahui, akhir-akhir ini sering
terjadi orang yang melakukan tindak pidana ternyata mengalami gangguan jiwa.
Bagaimanakah dari segi koridor hukum orang yang melakukan tindak pidana tetapi
mengalami gangguan jiwa, apakah disanksi pidana atau tidak? Dimana secara hukum
dalam penjelasan pasal 44 KUHP disebutkan bahwa orang yang mengalami gangguan
jiwa berat (psikosis), retardasi mental sedang, berat, dan gangguan pikiran tidak bias
dituntut atau dipidana.
Demikian juga menurut hukum kriminal, suatu perbuatan sosial yang berbahaya
bukan merupakan satu-satunya patokan kejahatan. Perbuatan yang tercela itu harus
dilakukan secara sukarela, penjahat itu harus mempunyai tujuan suatu maksud jahat
dan ia tahu akibat perbuatannya. Tidak mungkin ada maksud jahat pada pada
seseorang, biarpun ia melanggar hukum apabila keadaan mentalnya terganggu
sehibgga sebagai akibatnya ia kehilangan kemampuan bermaksud secara masuk akal
(rasional). Kemudian kalau kita melihat dalam sejarah di Inggris tahun 1834
ditetapkan peraturan M Naughten (M Naughten rule) yang mengatakan bahwa
seseorang tidak bersalah karena alas an gila, atau jika perbuatannya itu dilakukan di
bawah pengaruh penyakit jiwa sehingga ia tidak sadar akan sifat, kwalitas dan akibat
perbuatannya itu, atau jika ia tidak mampu menyadari bahwa perbuatannya itu salah.
Dalam tahun 1922, peraturan M Nuaughten diperluas dengan konsep impuls yang
tak dapat ditahan. Konsep ini mengatakan bahwa seseorang yang dituduh melakukan
kejahatan, tidak bertanggung jawab atas perbuatannya bila perbuatannya itu
dilakukan di bawah pengaruh suatu impuls yang tidak dapat ditahan olehnya karena ia
kehilangan daya sebab suatu penyakit jiwa. Dan di Amerika Srikat dalam tahun 1954
timbul peraturan Durham yang mengatakan bahwa sebagai satu-satunya patokan,
peraturan M Naughten belum memadai karena tidak dapat diterapkan secara valid
dalam semua keadaan, demikian juga dengan Impul yang tidak dapat ditahanbelum
memadai karena tidak mengindahkan gangguan jiwa yang ditandai oleh suka
memikir-mikirkan mengenai pelaksanaa suatu kejahatan dan reflexi (membayangbayangkan kembali). Peraturan Durham secara sederhana mengatakan bahwa
seseorang terdakwa tidak bertanggung jawab secara kriminal jika tindak pidananya
itu merupakan hasil penyakit jiwa atau defek mental. Banyak psikiater menyokong
peraturan Durham ini.
Jadi menurut hukum sudah jelas bahwa orang yang melakukan tindak pidana
mengalami gangguan jiwa atau tidak kompeten tidak diberi sanksi pidana. Namun
untuk menentukan apakah orang tersebut benar-benar mengalami gangguan jiwa,
aparat hukum meminta bantuan kepada dokter psikiatri atau dokter untuk memeriksa
orang tersebut, hal ini sesuai dengan Undang-undang No 8 tahun 1981 KUHAP,
Undang-undang No 23 tahun 1992 tentang kesehatan jo Peraturan Menkes RI No
1993 Tahun 1970 pasal 15 sampai dengan pasal 23.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Psikiatri Forensik
Sebelumnya perlu diketahui psikiatri forensik merupakan bagaian dari
ilmu psikiatri, dan bagian ini (psikiatri forensik) merupakan cabang dari ilmu
forensik. Ada beberapa pengertian psikiatri forensik yaitu salah satu sub
spesialisasi atau bagian dari ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) yang mengkhususkan
diri mempelajari dan menangani pada hal-hal atau keadaan gangguan jiwa dengan
kasus tindak kriminal bagi kepentingan peradilan. Ada juga yang mengatakan
bahwa psikiatri forensik adalah psikiatri yang mempelajari aspek hukum
mengenai gangguan jiwa yang menunjukkan penyimpangan sosial, yaitu orang
yang telah melanggar peraturan masyarakat sehingga perilakunya menjadi
masalah. Atau psikiatri forensik adalah cabang ilmu forensik yang menggunakan
ilmu psikiatri untuk membantu menegakkan hukum demi peradilan.
Perlu diketahui pada kasus-kasus tersangka diduga mengalami gangguan
jiwa psikiater atau dokter berusaha mengetahui penyebabnya dan melalui
pencegahan dan pengobatan akhirnya mengurangi perilaku yang menyimpang itu.
Jadi dokter berusaha memahami perilakunya, bukan membenarkannya.
B. Dasar Hukum
Dasar hukum psikiatri forensik terdiri dari :
1. Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan terutama bagian
ketujuh pasal 24, 25, 26, dan 27. Pada pasal 26 ayat (1) disebutkan penderita
gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan
ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan kesehatan jiwa
atau pelayanan kesehatan lainnya. Dengan penjelasan bahwa penderita gangguan
jiwa karena keadaannya, mungkin sajamelakukan perbuatan yang dapat
mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau keselamatan dirinya. Oleh karena
itu wajib dirawat dan ditempatkan disarana pelayanan kesehatan jiwa selain itu
kewajiban pengobatan dan perawatan sarana kesehatan jiwa dimaksudkan agar
masyarakat tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan cara pengobatan
dan cara perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan. Yang
dimaksudkan sarana kesehatan lainnya antara lain rumah sakit umum dan
puskesmas. Dasal pasal 27 menyebutkan ketentuan mengenai kesehatan jiwa dan
upaya penanggulangannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia
kedokteran. Dimana pada penjelasan pasal 4 disebutkan berdasarkan pasal 322
KUHP, maka pembocoran rahasia jabatan dalam hal ini rahasia kedokteran,
adalah suatu tindak pidana yang dituntut atas pengaduan, apabila kejahatan itu
ditujukan kepada seseorang tertentu. Demi kepentingan umum Menteri Kesehatan
dapat bertindak terhadap pembocoran rahasia kedokteran, meskipun tidak ada
suatu pengaduan.
3. Undang-Undang No 3 Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, terutama pasal 5,6,
dan 8 (sekarang sudah tidak berlaku)
4. Peraturan Menkes RI tanggal 6 November Tahun 1970 No 1993/Kdj/U/70
tentang pemeriksaan terdakwa yang diduga menderita sakit jiwa terutama pasal 15
s/d pasal 23
5. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ) pasal 44
III. PENUTUP
Psikiatri Forensik adalah salah satu sub spesialisasi dari ilmu kedokteran jiwa
yang mengkhususkan diri mempelajari dan menangani pada hal-hal atau keadaan
gangguan jiwa dengan kasus tindak kriminal bagi kepentingan pengadilan. Bagian
ilmu psikiatri yang mempelajari hal tersebut merupakan cabang dari ilmu forensik.
Hukum di Indonesia juga menyatakan bahwa orang yang mengalami gangguan
jiwa melakukan tindak criminal tidak dikenai sanksi pidana. Namun harus dibuktikan
secara medis bahwa orang atau tersangka tersebut terganggu jiwanya.
Untuk dapat memahami kelaianan-kelainan alam berpikir, alam perasaan dan
alam perbuatan seseorang yang kadang-kasdang menjelma bdalam salah satu bentuk
tindak
kriminal,
maka
pengetahuan
tentang
faham-faham
dasar
psikiatri.