Anda di halaman 1dari 11

PERLUNYA STRATEGIC BEHAVIOUR UNTUK MEMBANGUNAN

INDUSTRI DAERAH BERBASIS KOMPETENSI INTI


Oleh: Dr. Gunarianto, SE., MSi
Dekan FE UWG
Konsep tentang kompetensi inti pertama kali dipopulerkan oleh Hamel dan Prahalad.
Menurut Hamel dan Prahalad (1994), kompetensi inti adalah kumpulan keahlian dan
teknologi yang terintegrasi dan terakumulasi dari suatu proses pembelajaran dalam
organisasi (bisnis) sehingga menimbulkan

kemampuan

bersaing

yang tinggi.

Kompetensi

inti adalah pembelajaran organisasi, khususnya bagaimana melakukan koordinasi tentang

resources yang bermacam-macam dan mengintegrasikan berbagai teknologi. Kompetensi


inti adalah penyelarasan

customer.

kepada
lintas

batas

teknologi tentang kerja organisasi dan penghantaran

Kompetensi

organisasi.

inti adalah

komitmen

nilai

yang mendalam terhadap kerja

Gallon et.al (2010) menyatakan bahwa Core competences are

the things that some companies or regions know how to do uniquely well and that have the
scope to provide them with a better- than average degree of success over the long term.
Dalam perspektif ekonomi regional, kompetensi inti adalah kemampuan suatu daerah
dalam menciptakan infrastruktur baik fisik dan non-fisik untuk menarik investor baik
asing maupun dari dalam negeri. Kompetensi inti (core competence) diartikan oleh para
pakar

dengan

kekuatan

berbagai

(strength),

macam

berbagai

istilah

seperti

berbagai

sumberdaya

keahlian

(skills),

berbagai

kemampuan

(resources),
(capabilities),

pengetahuan yang terorganisir (organizational knowledge), keahlian yang bermacam- macam


(distinctive
(1995)

competence)

mengemukakan

dan aset yang tidak berwujud


bahwa

sumberdaya

dan

(intangible

kemampuan

assets). Barney

(capabilities) menjadi

penting bagi persaingan apabila memililki sifat: (1) bernilai, (2) langka, dan (3) sulit ditiru.
Prahalad dan Hamel (1994) mengemukakan,
untuk mengidentifikasi

paling tidak terdapat 3 (tiga) parameter

kompetensi inti, yaitu: (1) apakah kompetensi inti memberikan

akses potensial pada beragam pasar; (2) apakah kompetensi inti dapat memberikan kontribusi
yang berarti pada pelanggan; dan (3) apakah kompetensi inti yang dimiliki perusahaan
membuat pesaing mengalami kesulitan untuk meniru.
Agar kompetensi inti dapat menjadi dasar bagi keunggulan bersaing yang berkelanjutan

(sustainable), maka kompetensi inti harus dapat memenuhi kriteria- kriteria sebagai
berikut: (1) kompetensi inti berhubungan dengan aktivitas atau proses yang mendasari

value dari produk barang atau jasa yang dihasilkan; (2) kompetensi inti merupakan kinerja
atau performance yang jauh lebih baik dari pesaing; (3) kompetensi inti sulit ditiru pesaing.
Untuk menjadikan kemampuan

perusahaan

dapat menjadi

kompetensi

inti, maka

kemampuan tersebut perlu memenuhi 4 (empat) kriteria berikut:


1.

Kemampuan yang bernilai (valuable capabilities) yaitu kemampuan yang memungkinkan


perusahaan mampu memanfaatkan peluang dan atau meminimalkan ancaman lingkungan
eksternal perusahaan.

2.

Kemampuan yang langka (rare capabilites) yaitu kemampuan yang


tidak dimiliki pesaing, baik saat ini maupun masa depan.

3.

Kemampuan yang tidak dapat ditiru secara sempurna (imperfect imitable capabilities)
yaitu kemampuan menghasilkan produk barang atau jasa yang tidak dapat ditiru pesaing
dengan mudah.

4.

Kemampuan yang tidak dapat diganti (non-substitutable capabilities) yaitu kemampuan


yang sulit disubstitusikan.
Kompetensi inti dapat digunakan untuk jangka waktu relatif lama serta sulit ditiru
oleh pesaing dan dapat mewujudkan manfaat yang tinggi bagi pelanggan dan perusahaan.
Menurut Hamel dan Prahalad, untuk menang bersaing di masa depan, perusahaan harus
lebih berorientasi pada upaya merebut peluang (opportunity share). Kompetensi inti dapat
juga

didefinisikan

perusahaan

yang

sebagai
memiliki

sekumpulan
keunikan

sumberdaya

tinggi

yang

dan

kemampuan

diperlukan

untuk

(aset- aset)

mencapai tujuan-

tujuan strategi perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi karena yang dikembangkan
semata-mata

bukan

hanya pola teknologi produksi tetapi harmonisasi pola koordinasi internal

antara production skill dan teknologi yang merupakan

perpaduan

antara

knowledge

competence dengan technological competence. Keunggulan daya saing lebih ditentukan


oleh

kemampuan

yang

berbagai sumberdaya

unik suatu organisasi dalam proses konsolidasi atau integrasi

yang dimiliki

sehingga

membentuk

kompetensi

inti.

Konsep

kompetensi inti ini merupakan hasil dari pembelajaran secara bersama (collective learning)

dalam organisasi agar mengkoordinasikan

kemampuan produksi yang

beragam

dan

mengintegrasikan dengan teknologi yang beragam secara optimal. Keahlian-keahlian inti


tersebut bersumber dari 3 (tiga) tipe keunikan aset berupa: (1) keunikan lokasi (sumber
daya tidak bergerak), (2) keunikan aset fisik (keuntungan teknologi), dan (3) aset yang
diperuntukkan (investasi-investasi khusus) (Zahn, 1996).
Ditinjau dari aspek teoritis dan manajerial terdapat 3 (tiga) masalah utama yang
berhubungan

dengan

kompetensi

inti.

Pertama,

penciptaan

kompetensi

inti

muncul

setelah melalui proses kewirausahaan atau kemampuan inovasi. Oleh karena itu, teori
kewirausahaan dan inovasi perlu dikuasai oleh perusahaan baik menyangkut persyaratan
menjadi pengusaha maupun bagaimana inovasi terjadi dalam perusahaan. Kedua, upaya-upaya
yang dilakukan dalam melindungi kompetensi inti untuk menjaga tetap memiliki keunggulan
komperatif. Ketiga, perlu perencanaan secara komprehensif mengenai insentif terutama
untuk mengatasi perilaku masyarakat organisasi terhadap insentif

yang berbeda-beda

sesuai dengan kebutuhan dalam mempertahankan kompetensi inti.


Kompetensi inti daerah merupakan konsep makro yang mengarah kepada konsep
keuntungan absolut (absolute advantage). Konsep ini dikembangkan dalam ekonomi klasik
(classical economics theory) pada abad ke-18. Tokoh-tokohnya antara lain Adam Smith,
David Hume dan John Lock. Menurut konsep ini, dalam perdagangan bebas orang akan
bekerja keras dan bebas dalam menentukan produk apa yang akan dihasilkannya dan dalam
harga berapa. Kondisi ini akan mendorong setiap pelaku untuk mengkhususkan diri dalam
berproduksi dan mendorong tiap-tiap negara untuk menentukan produk apa yang paling
menguntungkan untuk dihasilkannya, walaupun ia mampu membuat berbagai macam produk.
Pemikiran

spesialisasi

ini didorong

oleh suatu kenyataan bahwa masing-masing

memiliki perbedaan alam dan budaya yang


produksi. Menurut

akan

konsep ini suatu bangsa

berakibat

semestinya

pada

perbedaan

mengkhususkan

diri

negara
ongkos
pada

suatu produk yang bisa dihasilkan dengan biaya yang rendah berbasis pada keunggulan
sumberdaya yang dimilikinya, baik secara alam ataupun keahliannya.

Konsep

pembangunan ekonomi

berdasarkan

keunggulan dan potensi daerah telah

diterapkan di Thailand yang menerapkan program pembangunan dengan pendekatan OTOP


dari One Tambon One Product (setiap satu kecamatan harus memiliki minimal satu
komoditas ekonomi unggulan). OTOP diluncurkan oleh pemerintah Thailand pada tahun 2001
dan diterapkan secara penuh pada tahun 2002 merupakan replikasi dari program

One

Vilage One Product (OVOP) yang dikembangkan di Jepang oleh Hiramatsu (Gubernur
Oita), pada tahun 1979. Inti dari program OVOP adalah bahwa setiap kota dan desa lebih
baik mengembangkan produk yang paling cocok untuk kota atau desanya masing-masing,
daripada mengkonsentrasi ke beberapa jenis produk yang tumbuh di mana-mana sekitar
daerah. OVOP kemudian
di seluruh

Jepang.

dinilai cukup berhasil dan menjadi model kebangkitan daerah

Pada

dasarnya, keberhasilan OTOP dikarenakan adanya kesamaan

kebutuhan di berbagai tingkatan masyarakat

untuk

bekerja

sama dengan

pemerintah

dalam mengembangkan komoditas unggulan lokal untuk kepentingan bersama. OTOP telah
banyak membantu sebagian besar warga Thailand dalam meningkatkan pendapatannya,
membuka kesempatan kerja baru, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah
pedesaan. Pada gilirannya, hal ini memberikan

kesempatan

bagi dunia usaha untuk

berkembang karena sektor usaha kecil dan menengah berkesempatan untuk memperoleh
keuntungan dari kerjasama dan kemitraan dengan masyarakat/organisasi setempat. Upayaupaya

ini telah pula

dilakukan di Korea Selatan, Taiwan, dan menyusul Cina dan India.

Produk-produknya mulai dikenal di masyarakat dunia dan memiliki ketangguhan.


DAYA SAING DAERAH
Konsep tentang Daya saing (competitive advantage) dikembangkan pula oleh Michael
E. Porter (1980) bahwa penentu keunggulan daya saing suatu bangsa itu dipengaruhi oleh
faktor-faktor pendukung

seperti

sumberdaya

alam,

permintaan

pasar,

strategi

perusahaan, persaingan di dalam industri (rivalitas), industri terkait dan pendukung.


Pemikiran tersebut menyebutkan bahwa gugus persaingan domestik (cluster of domestics

rivals) antar pelaku kegiatan ekonomi yang sama akan mendorong inovasi yang secara terus

menerus akan meningkatkan

keunggulan daya saing dalam gugus (cluster) tersebut.

Pembangunan yang berbasis pada strategi industrialisasi,


menjadi

agenda

utama

yang

tidak

dapat

tata ruang, dan transportasi

dilepaskan

dari

pemikiran

tentang

perkembangan wilayah. Dalam sejarah pemikiran tentang strategi pemasaran dikenal konsep
atau pendekatan

geographic

yang menyatakan

bahwa kelancaran arus manusia dan

barang sangat ditentukan oleh desain tata ruang suatu wilayah. Peranan pemerintah dalam
menata wilayah akan sangat menentukan perkembangan ekonomi wilayah tersebut, seperti
pada Gambar 2.2. di bawah ini:
Gambar Pengembangan Industri Berbasis Kompetensi Inti Daerah

SARANAPotensi Keunggulan Komparatif Daerah

Industri Pendukung

SDM

Industri Berbasis Kompetensi Inti Daerah


Industri Pendukung

Pasar

Kelembagaann
Kluster Industri

Daya Saing Industri

Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Konsep kompetensi inti daerah merupakan konsep dinamis yang mempunyai arti
sebagai sesuatu atau himpunan karakteristik positif yang menonjol dan kompetitif,
seperti potensi sumberdaya, ketersediaan SDM, keunikan produk, daya serap pasar, atau
keberadaan klaster industri.
Kompetensi

inti terkait dengan karakteristik

positif yang memiliki sifat yang

menonjol dan kompetitif. Dalam tataran cakupan tersebut meliputi pengertian:


(1) Spesifik pada produk barang dan atau jasa tertentu;
(2) Keterkaitan rantai nilai (value chain) suatu industri atau klaster industri secara
keseluruhan sebagai suatu sistem; dan
(3) Kompetensi yang mengacu pada keunikan sumberdaya dan
kapabilitas yang menentukan keunggulan daya saing.
(4) Memiliki peluang pasar yang lebih baik

Jika perusahaan ingin memenangkan persaingan


berorientasi

pada

upaya

untuk

di

masa

depan

harus

merebut berbagai peluang (opportunities)

pangsa pasar (market share). Kompetensi inti sebagaimana

didefinisikan

Iebih

termasuk

oleh Prahalad

adalah sebagai kumpulan keterampilan dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi
atau perusahaan

dapat menyediakan

demikian, kompetensi inti merupakan

manfaat tersendiri bagi para pelanggan. Dengan


sekumpulan

sumberdaya

dan

kemampuan

yang

dimiliki organisasi, baik tangible assets maupun intangible assets. Konsep ini sama dengan

one village and one product yang dikembangkan oleh Hiramatsu di daerah Oita-Jepang
atau konsep SAKASAKTI (Satu Kota Satu Kompetensi Inti) untuk membangun daya saing
daerah diperlukan penciptaan kompetensi inti daerah.
Untuk membangun

kompetensi

inti industri daerah,

peranan

tingkat daerah maupun di tingkat pusat, sangat menentukan

birokrasi

baik di

akan keberhasilan

dan

harus memiliki komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan sebagai berikut:
1.

Memberdayakan para pelaku ekonomi di daerah dengan menggali potensi dasar

sumber

daya saing (kompetensi inti), meliputi seluruh aset yang bersifat tangibles, intangibles,
maupun very intangibles.

2. Kota akan memiliki daya saing yang dikembangkan berdasarkan kompetensi inti industri
daerah yang bersangkutan.
3. Kerjasama atau kemitraan antar daerah dimungkinkan melalui penguasaan kompetensi inti
industri daerah yang berbeda melalui pendekatan

rantai nilai, kesamaan potensi, dan

kedekatan geografis.
MEMBANGUN DAYA SAING DAERAH DENGAN KOMPETENSI INTI INDUSTRI
DAERAH
Proses pembangunan

daerah yang lebih fokus pada sektor industri tertentu


inti industri (industrial

untuk menjadi kompetensi

core competence) akan memberikan

dampak yang lebih menguntungkan. Kompetensi inti akan menjadi katalisator untuk menarik
pembangunan lainnya dibandingkan proses pembangunan yang bersifat broad spectrum yang

dianggap

sudah

ketinggalan

jaman. Selain sebagai

katalisator, kompetensi inti lebih

mengarah pada konsep makro untuk mendapatkan keuntungan absolute (absolute advantage).
Konsep

ini

dikembangkan

dalam

ekonomi

klasik (classical economics

theory) pada

abad ke-18. Tokoh-tokohnya antara lain Adam Smith, David Hume dan John Lock. Menurut
konsep ini, sebaiknya setiap negara mengkhususkan diri dalam berproduksi sesuai dengan
kondisi alamnya untuk mendapatkan
membuat
kenyataan
akan

berbagai macam

produk.

bahwa masing-masing

berakibat pada

hasil

yang

Pemikiran

daerah

menguntungkan,
spesialisasi

memiliki

ini

perbedaan

walaupun
didorong

ia

mampu

oleh

alam dan budaya

perbedaan ongkos produksi. Menurut konsep ini suatu

suatu
yang
bangsa

semestinya mengkhususkan diri pada suatu produk yang bisa dihasilkan dengan biaya
yang rendah berbasis pada keunggulan sumberdaya yang dimilikinya, baik secara alam
ataupun keahliannya.
Kompetensi inti daerah akan mengarahkan keunggulan daerah dan akan menentukan
kekhasan daerah yang terwujud dalam bentuk berbagai bangunan dan budaya sebagai hasil
dari pikiran, rasa, dan kemauan masyarakat daerah, atau hasil dari cipta, rasa, karsa, dan
karya. Semuanya merupakan hasil dari buah budi yang terwujud dalam hasil karya cipta
manusia dengan kekuatan

jiwa

(pikiran,

perasaan,

kemauan,

intuisi,

imajinasi, dan

fakultas-fakultas lainnya) dan raganya. Secara garis besar hasil buah budi ini terbentuk

dalam bentuk im-material, dan material. Im-material meliputi filsafat, ilmu pengetahuan,
kesenian, bahasa,

kaidah-kaidah

budaya,

politik, pendidikan, dan

lain

sebagainya.

Sedangkan hasil budi material meliputi alat-alat penguasaan alam seperti teknologi, bendabenda kebutuhan hidup, dan seluruh kasil karya. Hasil karya tersebut akan menjadi simbol
identitas daerah sebagai alat pendorong dan pemersatu yang menuntun anggota masyarakat
untuk berbuat kebajikan. Nilai-nilai seperti itu akan mempengaruhi perilaku, cara berkerja,
penciptaan produk, tari-tarian, bangunan-bangunan, kegiatan bisnis, dan sebagainya. Karena
itu sudah seyogianya menjadi pertimbangan dalam meningkatkan produktivitas masyarakat,
dalam meningkatkan

kualitas produk, yang selanjutnya akan menentukan daya saing

masyarakat daerah tersebut.


Kompetensi inti yang digali dari nilai-nilai kedaerahan akan menentukan keunggulan
komparatif. Upaya-upaya untuk menciptakannya telah dilakukan oleh negara-negara maju
dan berhasil. Misalnya Jepang dari sejak jaman restorasi Meiji, Inggris sejak revolusi
industri, demikian juga dengan negara-negara Eropa lainnya. Upaya-upaya ini telah pula
dilakukan di Korea Selatan, Taiwan, dan menyusul Cina dan India. Produk- produknya mulai
dikenal di masyarakat dunia dan memiliki ketangguhan. Dilain pihak, kita bangsa Indonesia
masih malu-malu

dan rendah diri untuk menempelkan

tidak heran kalau hasil produksinya


bangkok,

ayam bangkok,

selalu dibikin

pepaya bangkok

label buatan sendiri sehingga

label luar negeri,

misalnya

jambu

dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai

tantangan utama dan terbesar bangsa untuk membangun suatu kepercayaan diri menjadi
bangsa yang besar dalam mengolah sumberdaya yang melimpah untuk kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa.
Kompetensi inti daerah berbasis pada sumberdaya yang dimilikinya baik dari alamnya
ataupun dari masyarakatnya

sehingga mencerminkan alam dan budaya daerah tersebut.

Dalam kehidupan serba modern ini fitur-fitur kedaerahan bisa digandengkan dengan produk
lain dalam bentuk kemasan yang memberikan keunikan. Keunikan ini memberikan nilai tambah
kepada

produk

tersebut

sehingga

meningkatkan

daya

saing

yang

tercipta

bisa

dipertahankan secara berkelanjutan (sustainable). Dengan demikian kompetensi inti daerah


merupakan produk dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Harus

bernilai (valuable). Manfaat (kinerja) produk akan dibandingkan dengan biaya yang

akan dikeluarkan

konsumen.

Manakala

manfaat

itu dirasakan konsumen lebih besar dari

biayanya (harga produk) maka produk tersebut adalah bernilai. Kinerja produk ini selain
akan dibandingkan dengan harganya sendiri tapi juga akan dibandingkan dengan produk
lain yang sejenis.
2. Harus unik (unique). Unik berarti berbeda dari produk lainnya.
Perbedaan ini (differentiation) harus terlihat dari sisi desain, dari sisi pengolahan, atau
dari sisi

pelayanannya.

Keunikan ini

akan

dirasakan

oleh

konsumen sebagai sesuatu

pengalaman tersendiri pada saat menggunakannya.


3. Harus langka (rare). Langka berkaitan dengan sumber darimana produk itu berasal.
Kelangkaan ini bisa karena sumber bahan bakunya yang memang tidak ditemukan di tempat
lain, atau karena sulitnya untuk diperoleh sehingga kalaupun bisa akan menimbulkan biaya
yang besar.
4. Harus

sulit ditiru (unimitable).

Kesulitan

untuk

ditiru

berkaitan

dengan teknologi

pengolahan produk itu sendiri. Ini bisa tercipta karena teknologinya tinggi (special purpose

machine) atau karena keterampilan tersendiri yang memang sulit ditiru oleh orang lain.
5. Harus sulit digantikan (non-substitutable). Sulit digantikan berkaitan dengan efektivitas
pemakaiannya.

Kalau suatu produk memang

dibutuhkan

secara luas dalam aplikasi

diberbagai bidang dan tidak ada produk lain untuk menggantikan fungsinya sehingga sangat
bergantung pada produk tersebut.
6.

Harus berkelanjutan

(sustainable).

Berkelanjutan

berkaitan

dengan sifatnya yang

dibutuhkan dan ketersediaan bahan baku. Kalau produk terus menerus dibutuhkan setiap
saat maka ada jaminan bahwa produk bakal terus diminta oleh pasar. Permintaan yang terus
menerus ini harus ditunjang oleh ketersediaan bahan baku sehingga produksi akan terus
berlangsung dari waktu ke waktu untuk memenuhi permintaan tersebut.

Para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam suatu klaster industri biasanya


dikelompokkan

kepada

industri

inti, industri

pemasok,

industri

pendukung,

industri

terkait, dan pembeli, serta institusi pendukung (non industri). Istilah inti, pendukung dan

terkait menunjukkan

peran pelaku dalam klaster tertentu dan tidak ada hubungan

dengan tingkat kepentingan para pelaku. Peran tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja
tergantung pada tingkat ekonomis dari hubungan rantai nilai tertentu. Dengan demikian,
pengembangan

klaster

tidak

sepenuhnya

terpaku

pada

pembangunan sarana fisik,

seperti gedung, peralatan dan jalan. Tetapi yang lebih penting dalam pembangunan
adalah

spesialisasi

dan

pengorganisasian

yang

klaster

melibatkan usaha-usaha yang

berhubungan dengan industri inti, seperti:


1.

Industri pemasok bahan baku.

2.

Organisasi pembeli (seperti distributor, pengecer, pemakai langsung) dan bridging

institutions (seperti broker dan konsultan).


3. Industri

pendukung

pendukung,

industri

(seperti

lembaga

keuangan,

permesinan

dan

bantu,

alat

jasa

angkutan,

industri bahan

pengemasan, (business development

services).
4. Industri

terkait

yang tidak

berhubungan

bisnis

secara

langsung,

tapi menggunakan

infrastruktur atau sumber daya dari sumber yang sama.


5.

Lembaga pendukung (seperti

perguruan

tinggi,

lembaga

riset,

asosiasi profesi, kamar

dagang).
Sebagai contoh, Suzhou Technology Park yang dikembangkan oleh Pemerintah
China memiliki 3 (tiga) lembaga pendukung, yaitu Suzhou New and High-Technology Service

Centre, Suzhou International Business Incubator dan China Suzhou Pioneering Park for
Overseas Chinese Scholars. Pada awalnya Pemerintah China menyediakan seed money dan
modal ventura dengan paket yang menarik yang kemudian didukung bank dengan paket
2
pinjaman yang juga menarik. Menempati luas area 38 ribu m , sekarang ini tercatat ada
300 industri yang berlokasi di Suzhou Technology Park. Sekitar 90 persen unit usaha
yang ada didirikan dan didanai dari investasi asing, 10 persen oleh perguruan tinggi dan
lembaga riset lokal. Sebanyak 20 persen diantara industri tersebut adalah industri
teknologi tinggi. Pada tahun 2000, kawasan ini mempekerjakan

3000 orang dengan 100

bergelar Ph.D. Akhir dari artikel ini semoga bermanfaat bagi pengambil kebijakan daerah,

yang tidak hanya berpikir tentang return dan investasinya secara pribadi, akan tetapi harus
selalu berfikir untuk retrun dan investasi daerahnya dalam rangka untuk mensejahteraan
rakyatnya.
Referensi:
Ahmed, P.K. (1998). Culture and Climate for innovation,Europan
Journal of
InnovationManagemenent, Vol.1 No. 1,pp. 30-43.
Gunarianto dan Nasri. (2010). Pembentukan Kompetensi Industri Daerah Kota Pasuruan. Hasil
Penelitian. Unpublish.
Hamel, G. dan Prahalad, CK. 1990. The Core Competence of the Corporation. Harvard
Business School Press. Boston.Review: May-June.

Anda mungkin juga menyukai