Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Lakrimalis


Sistem lakrimal terdiri dari dua bagian, yaitu sistem sekresi yang berupa kelenjar
lakrimalis dan sistem ekskresi yang terdiri dari punctum lakrimalis, kanalis
lakrimalis, sakus lakrimalis, duktus nasolakrimalis, dan meatus inferior. Kelenjar
lakrimalis terletak pada bagian lateral atas mata yang disebut dengan fossa
lakrimalis. Bagian utama kelenjar ini bentuk dan ukuranya mirip dengan biji
almond, yang terhubung dengan suatu penonjolan kecil yang meluas hingga ke
bagian posterior dari palpebra superior. Dari kelenjar ini, air mata diproduksi dan
kemudian dialirkan melalui 8-12 duktus kecil yang mengarah ke bagian lateral
dari fornix konjungtiva superior dan di sini air mata akan disebar ke seluruh
permukaan bola mata oleh kedipan kelopak mata.1,2

Gambar 1. Kelenjar Lakrimalis dan Sistem Drainase

Sumber: Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy for Clinical


Students Eleventh Edition

Selanjutnya, air mata akan dialirkan ke dua kanalis lakrimalis, superior dan
inferior, kemudian menuju ke punctum lakrimalis yang terlihat sebagai penonjolan
kecil pada kantus medial. Setelah itu, air mata akan mengalir ke dalam sakus
lakrimalis yang terlihat sebagai cekungan kecil pada permukaan orbita. Dari sini,
air mata akan mengalir ke duktus nasolakrimalis dan bermuara pada meatus nasal
bagian inferior. Dalam keadaan normal, duktus ini memiliki panjang sekitar 12
mm dan berada pada sebuah saluran pada dinding medial orbita.2
2.2 Definisi
Dakriosistitis adalah peradangan pada sakus lakrimalis akibat adanya obstruksi
pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi pada anak-anak biasanya akibat tidak
terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat adanya
penekanan pada salurannya, misal adanya polip hidung.3
2.3 Epidemiologi
Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak atau orang dewasa di atas 40 tahun,
terutama perempuan dengan puncak insidensi pada usia 60 hingga 70 tahun.
Dakriosistitis pada bayi yang baru lahir jarang terjadi, hanya sekitar 1% dari
jumlah kelahiran yang ada dan jumlahnya hampir sama antara laki-laki dan
perempuan. Jarang ditemukan pada orang dewasa usia pertengahan kecuali bila
didahului dengan infeksi jamur.1,2,3
Dakriosistitis kronis jarang menyebabkan morbiditas yang berat kecuali bila
disebabkan oleh penyakit sistemik. Morbiditas utama dikaitkan dengan robekan
kronis, peradangan konjungtiva dan infeksi. Pada ras kulit hitam jarang menderita
dakriosistitis karena ostium nasolakrimal pada ras tersebut besar daripada ras
lainnya.3
2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Bakteri aerob dan non aerob bisa didapatkan pada kultur dari anak-anak dan orang
dewasa dengan dakriosistitis. Organisme yang umumnya didapatkan pada anakanak dengan dakriosistitis adalah Staphylococcus Aureus, Haemophilus
Influenzae, Beta Hemolitik Streptokokkus, dan pneumokokkus.3
Obstruksi dari bagian bawah duktus nasolakrimalis seringkali ditemukan pada
orang dewasa yang terkena dakriosistitis. Karena hubungan yang erat antara
duktus nasolakrimalis dengan hidung dan sinus paranasal, struktus ini seringkali
berhubungan dengan etiologi terjadinya dakriosistitis. Beberapa penyakit hidung
yang bisa menyebabkan terjadinya dakriosistitis antara lain sinusitis (maksilaris,
ethmoidalis), rinitis vasomotor, rinitis hipertrofi, rinitis ozaena, trauma hidung,
tumor cavum nasi, dan masih banyak lainnya.3
2.5 Patofisiologi
Dakriosistitis terjadi akibat adanya bstruksi pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi
duktus nasolakrimalis pada anak-anak biasanya akibat tidak terbukanya membran
nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat adanya penekanan pada
saluran lakrimal. Obstruksi pada duktus nasolakrimalis dapat menimbulkan
penumpukan air mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus lakrimalis yang
merupakan media pertumbuhan bakteri.4
Ada 3 tahapan terbentuknya sekret pada dakriosistitis. Hal ini dapat diketahui
dengan melakukan pemijatan pada sakus lakrimalis. Tahapan-tahapan tersebut
antara lain:5

Tahap obstruksi
Pada tahap ini, baru saja terjadi obstruksi pada sakus lakrimalis, sehingga

yang keluar hanyalah air mata yang berlebihan.


Tahap Infeksi
Pada tahap ini, yang keluar adalah cairan yang bersifat mukus,

mukopurulen, atau purulent tergantung pada organisme penyebabnya.


Tahap Sikatrik
Pada tahap ini sudah tidak ada regurgitasi air mata maupun pus lagi. Hal
ini dikarenakan sekret yang terbentuk tertahan di dalam sakus sehingga
membentuk suatu kista.

2.6 Gejala Klinis


Gejala klinis pada dakriosistitis kronis memiliki beberapa tahapan, yaitu:6
1. Catarrhal: adanya konjungtiva hiperemis dan epiphora dengan mukus
bening yang hilang timbul
2. Kantong lakrimal mukosel: air mata tidak dapat keluar dan dilatasi
3.

kantong lakrimal dengan mukoid


Supuratif kronik: kantong lakrimal menjadi eritem. Adanya refluks
purulen bila diberikan tekanan dan ditemukannya mikroorganisme pada
pemeriksaan kultur

Gejala klinis yang dominan adalah lakrimasi yang berlebihan terutama bila
terkena angin. Dapat disertai tanda-tanda inflamasi yang ringan, namun jarang
disertai nyeri. Bila kantung air mata ditekan akan keluar sekret yang mukoid
dengan pus di daerah punctum lakrimal dan palpebra yang melekat satu dengan
lainnya.1
2.7 Diagnosis
Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

gejala

dan

hasil

pemeriksaan

fisik.

Karakteristik diagnosis pada dakriosistitis kronik adalah adanya peningkatan


lakrimasi. Tanda peradangan tidak selalu muncul. Penekanan pada saccus
lakrimalis yang mengalami inflamasi akan menyebabkan regurgitasi pus yang
mukus dan transparan pada punctum.7
Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya obstruksi serta letak dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan fisik yang
digunakan untuk memeriksa ada tidaknya obstruksi pada duktus nasolakrimalis
adalah dye dissapearence test, fluorescein clearance test dan John's dye test.
Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat warna fluorescein 2% sebagai indikator.
Sedangkan untuk memeriksa letak obstruksinya dapat digunakan probing test dan
anel test.3,5,8
Dye dissapearance test (DDT) dilakukan dengan meneteskan zat warna
fluorescein 2% pada kedua mata, masing-masing 1 tetes. Kemudian permukaan

kedua mata dilihat dengan slit lamp. Jika ada obstruksi pada salah satu mata akan
memperlihatkan gambaran seperti di bawah ini.8

Gambar 4. Terdapat obstruksi pada duktus nasolakrimalis kiri


Sumber: http://www.djo.harvard.edu

Fluorescein clearance test dilakukan untuk melihat fungsi saluran ekskresi


lakrimal. Uji ini dilakukan dengan meneteskan zat warna fluorescein 2% pada
mata yang dicurigai mengalami obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Setelah
itu pasien diminta berkedip beberapa kali dan pada akhir menit ke-6 pasien
diminta untuk beringus (bersin) dan menyekanya dengan tissue. Jika pada tissue
didapati zat warna, berarti duktus nasolakrimalis tidak mengalami obstruksi.5,8
Jones dye test juga dilakukan untuk melihat kelainan fungsi saluran ekskresi
lakrimal. Uji ini terbagi menjadi dua yaitu Jones Test I dan Jones Test II. Pada
Jones Test I, mata pasien yang dicurigai mengalami obstruksi pada duktus
nasolakrimalisnya ditetesi zat warna fluorescein 2% sebanyak 1-2 tetes.
Kemudian kapas yang sudah ditetesi pantokain dimasukkan ke meatus nasal
inferior dan ditunggu selama 3 menit. Jika kapas yang dikeluarkan berwarna hijau
berarti tidak ada obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Pada Jones Test II,
caranya hampir sama dengan Jones test I, akan tetapi jika pada menit ke-5 tidak
didapatkan kapas dengan bercak berwarna hijau maka dilakukan irigasi pada
sakus lakrimalisnya. Bila setelah 2 menit didapatkan zat warna hijau pada kapas,
maka dapat dipastikan fungsi sistem lakrimalnya dalam keadaan baik. Bila lebih
dari 2 menit atau bahkan tidak ada zat warna hijau pada kapas sama sekali setelah
dilakukan irigasi, maka dapat dikatakan bahwa fungsi sistem lakrimalnya sedang
terganggu. 3,5,8

Anel test merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi ekskresi air mata ke
dalam rongga hidung. Tes ini dikatakan positif bila ada reaksi menelan. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi sistem ekskresi lakrimal normal. Pemeriksaan lainnya
adalah probing test. Probing test bertujuan untuk menentukan letak obstruksi pada
saluran ekskresi air mata dengan cara memasukkan sonde ke dalam saluran air
mata. Pada tes ini, punctum lakrimal dilebarkan dengan dilator, kemudian probe
dimasukkan ke dalam sackus lakrimal. Jika probe yang bisa masuk panjangnya
lebi dari 8 mm berarti kanalis dalam keadaan normal, tapi jika yang masuk
kurang 8 mm berarti ada obstruksi.5,8

Gambar 6. Anel Test


Sumber: Manual for Eye Examination and Diagnosis 7th Edition

Gambar 7. Probing Test


Sumber: Manual for Eye Examination and Diagnosis 7th Edition

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang juga memiliki peranan penting dalan penegakkan
diagnosis dakriosistitis. Foto polos dapat digunakan untuk mengetahui kelainan
pada tulang tengkorak seperti adanya massa ataupun trauma. CT scan sangat
berguna untuk mencari tahu penyebab obstruksi pada dakriosistitis terutama
akibat adanya suatu massa atau keganasan. Dacryocystography (DCG) dan
dacryoscintigraphy sangat berguna untuk mendeteksi adanya kelainan anatomi
pada sistem drainase lakrimal.3
2.9 Diagnosis Banding
a. Selulitis Orbita
Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat longgar intraorbita
di belakang septum orbita. Selulitis orbita akan memberikan gejala demam, mata
merah, kelopak sangat edema dan kemotik, mata proptosis, atau eksoftalmus
diplopia, sakit terutama bila digerakkan, dan tajam penglihatan menurun bila
terjadi penyakit neuritis retrobulbar. Pada retina terlihat tanda stasis pembuluh
vena dengan edema papil. 3
b. Hordeolum
Hordeolum merupakan peradangan supuratif kelenjar kelopak mata. Dikenal
bentuk hordeolum internum dan eksternum. Horedeolum eksternum merupakan
infeksi pada kelenjar Zeiss atau Moll. Hordeolum internum merupakan infeksi
kelenjar Meibom yang terletak di dalam tarsus. Gejalanya berupa kelopak yang
bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal, merah dan nyeri bila ditekan.
Hordeolum eksternum atau radang kelenjar Zeis atau Moll akan menunjukkan
penonjolan terutama ke daerah kulit kelopak. 3
2.10 Tatalaksana
Penatalaksanaan dakriosistitis kronis bervariasi tergantung dari umur pasien. Pada
dewasa, kantong lakrimal yang udem dan diduga adanya obstruksi pada saluran
lakrimal akibat baru dapat ditatalaksana dengan pemijatan pada kantong lakrimal
dan irigasi kantong lakrimal dengan antibiotik. Sumbatan duktus

nasolakrimal dapat diperbaiki dengan cara pembedahan jika


sudah tidak ditemukan tanda radang.6
Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada dakriosistitis
adalah dacryocystorhinostomy (DCR). DCR ini dibuat suatu
hubungan langsung antara sistem drainase lakrimal dengan
kavum nasal dengan cara melakukan bypass pada kantung air
mata. DCR dulu merupakan prosedur bedah eksternal dengan
pendekatan melalui kulit di dekat pangkal hidung. Saat ini,
banyak dokter telah menggunakan teknik endonasal dengan
menggunakan scalpel bergagang panjang atau laser.9

Gambar 8. Teknik Dakriosistorinostomi Eksternal


Sumber: Orbit, Eyelid, and Lacrimal System, American Academy of
Ophtalmology

Dakriosistorinostomi internal memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan


dengan dakriosistorinostomi eksternal. Adapun keuntungannya yaitu

1. Trauma minimal dan tidak ada luka di daerah wajah karena operasi
dilakukan tanpa insisi kulit dan eksisi tulang
2. Lebih sedikit gangguan pada fungsi pompa lakrimal, karena operasi
merestorasi pasase air mata fisiologis tanpa membuat sistem drainase
bypass, dan (3) lebih sederhana, mudah, dan cepat (rata-rata hanya 12,5
menit).

Gambar 9. Teknik Dakriosistorinostomi Internal


Sumber: Orbit, Eyelid, and Lacrimal System, American Academy of
Ophtalmology

Beberapa peneliti mengobservasi adanya kemungkinan untuk


infeksi pada soft tissue akibat tidak adanya pemberian antibotik
sebagai profilaksis selama dakriostorhinostomi. Infeksi post
operatif

dapat

meningkatkan

kegagalan

sistem

drainase

lakrimalis, oleh karena itu antibiotik diperlukan selama operasi


pada dakriosistitis kronis. antibiotik ini digunakan terutama pada
pasien yang memiliki mucocele atau mucopyocele. Antibiotik

yang dapat digunakan berupa cefazolin intravena yang memiliki


sensitivitas yang tinggi terhadap S. Aureus, S. epidermidis, S.
Pneumonia.6

2.11 Komplikasi
Dakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan pecahnya kantong air mata
sehingga membentuk fistel. Bisa juga terkadi abses kelopak mata, ulkus, bahkan
selulitis orbita.4
Komplikasi juga bisa muncul setelah dilakukannya DCR. Komplikasi tersebut di
antaranya adalah perdarahan pascaoperasi, nyeri transien pada segmen superior
os.maxilla, hematoma subkutaneus periorbita, infeksi dan sikatrik pascaoperasi
yang tampak jelas.4
2.12 Prognosis
Dakriosistitis sangat sensitif terhadap antibiotika namun masih berpotensi terjadi
kekambuhan jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak ditangani secara tepat,
sehingga prognosisnya adalah dubia ad malam. Akan tetapi, jika dilakukan
pembedahan

baik

itu

dengan

dakriosistorinostomi

eksternal

atau

dakriosistorinostomi internal, kekambuhan sangat jarang terjadi sehingga


prognosisnya dubia ad bonam.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. 2008. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy
for Clinical Students Eleventh Edition. Massachusetts, USA : Blackwell
Publishing, Inc .
3. Gilliland,
G.D.

2009.

Dacryocystitis.

[serial

online].

http://www.emedicine.com/. [7 November 2010].


4. AAO. 2007. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System. Singapore:American
Academy of Ophtalmology.
5. Mamoun, Tarek. 2009. Chronic Dacryocystitis. [serial online]. http://
eyescure.com/Default.aspx?ID=84. [20 November 2010]
6. Pinar, S. dkk. 2012. Dachryocystitis: Systematic Approach to Diagnosis
and Therapy. Spain: Department of ophtalmology. Cruses Hospital
7. Wagner P.; Lang G.K. Lacrimal System. In: Lang G.K. ed. Ophtalmology.
New York. Thieme Stuttgart: 2000. P. 56-60
8. Ilyas, Sidharta. 2006. Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit
Mata Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
9. Sowka, J.W., Gurwood, A.S., dan Kabat, A.G. 2010. Review of Optometry,
The Handbook of Occular Disease Management Twelfth Edition. [serial
online]. http://www.revoptom.com/. [9 November 2010]
10. O'Brien, Terrence P. 2009. Dacryocystitis. [serial

online].

http://www.mdguidelines.com/dacryocystitis.htm. [13 November 2010]

Anda mungkin juga menyukai