Dalam keadaan normal arteri koronaria dapat mengalirkan darah hampir 10% dari curah
jantung per menit yaitu kira-kira 50-75ml darah per 100 gram miokard. Dalam keadaan stress
atau latihan maka timbul aliran cadangan koroner (coronary flow reserve) dimana aliran
koroner bisa sampai 240ml per 100 gram miokard. Pada keadaan stenosis maka aliran
cadangan koroner dapat mempertahankan aliran basal (basal flow) di sebelah distal stenosis.
Pada stenosis 70% atau lebih tetap saja aliran distal stenosis (distal flow) tidak mencukupi
pada saat stress atau latihan, sehingga menyebabkan iskemia (Sylvia A. Price & Lorraine M.
Wilson,2005)
Patologi dan Patofisiologi
1. Patologi
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koronaria paling
sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam
arteri koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen
menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran
darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti
perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk melebar.
2. Patofisilogi
Ditinjau dari patofisiologinya, angina merupakan kondisi yang diakibatkan karena adanya
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen ke miokardium. Penyebab utama
dari ketidakseimbangan ini adalah proses penyempitan karena atherosklerosis pada satu atau
lebih arteri koronaria. Sebagai konsekuensi dari iskemi yang intermiten, terjadi oksigenisasi
miokard yang tidak adekuat dan akumulasi dari produk-produk metabolisme.
Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa
yang awal terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang terkena, karena
berada paling jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel
miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark
miokardium dapat terjadi nontransmural (terjadi pada sebagian lapisan) atau transmural
(terjadi pada semua lapisan). Jika endotel rusak, sel-sel infl amatorik, terutama monosit,
bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif
endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami diff erensiasi
menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke
dinding arteri.
Hipertensi dengan tekanan darah diatas 160/95 mmHg dapat merangsang terjadinya
arteriosklerosis karena tekanan tinggi ini dapat menjadi beban tekanan pada dinding arteri.
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein (dyslipoproteinaemia). Ini diduga
sebagai penyebab gangguan vaskuler berupa mikroangiopati. Arteriosklerosis yang
dipercepat (accelerated atherosclerosis) merupakan komplikasi utama pada juvenile insulin
dependent diabetes mellitus. Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri,
karena pada umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko yang lain. Bahaya arteriosklerosis
menjadi lebih besar jika ada kombinasi 2 atau 3 resiko (Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Rahadja
Kirana. 2007
Manifestasi Klinis Penyakit jantung Koroner (PJK) :
1. Asimptomatik (Silent Myocardial Ischemia),
Kadang penderita penyakit jantung koroner diketahui secara kebetulan misalnya saat
dilakukan check up kesehatan. Kelompok penderita ini tidak pernah mengeluh adanya nyeri
dada (angina) baik pada saat istirahat maupun saat aktifitas. Secara kebetulan penderita
menunjukkan iskemia saat dilakukan uji beban latihan. Ketika EKG menunjukkan depresi
segmen ST, penderita tidak mengeluh adanya nyeri dada. Pemeriksaan fisik, foto dada dan
lain-lan dalam batas-batas normal. Mekanisme silent iskemia diduga oleh karena ambang
nyeri yang meningkat, neuropati otonomik (pada penderita diabetes), meningkatnya produksi
endomorfin, derajat stenosis yang ringan.
2. Angina Pektoris Stabil (Stable Angina)
Nyeri dada yang timbul saat melakukan aktifitas, bersifat kronis (> 2 bulan). Nyeri
precordial terutama di daerah retrosternal, terasa seperti tertekan benda berat atau terasa
panas, seperti di remas ataupun seperti tercekik.rasa nyeri sering menjalar ke lengan kiri atas /
bawah bagian medial, ke leher, daerah maksila hingga ke dagu atau ke punggung, tetapi
jarang menjalar ke lengan kanan. Nyeri biasanya berlangsung seingkat (1-5) menit dan rasa
nyeri hilang bila penderita istirahat. Selain aktifitas fisik, nyeri dada dapat diprovokasi oleh
stress / emosi, anemia, udara dingin dan tirotoksikosis. Pada saat nyeri, sering disertai
keringat dingin. Rasa nyeri juga cepat hilang dengan pemberian obat golongan nitrat. Jika
ditelusuri, biasanya dijumpai beberapa faktor risiko PJK. Pemeriksaan elektrokardiografi
sering normal (50 70% penderita). Dapat juga terjadi perubahan segmen ST yaitu depresi
segmen ST atau adanya inversi gelombang T (Arrow Head). Kelainan segmen ST (depresi
segmen ST) sangat nyata pada pemeriksaan uji beban latihan.
Mekanisme terjadinya iskemia
Pada prinsipnya iskemia yang terjadi pada PJK disebabkan oleh karena terjadi gangguan
keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard. Dengan adanya aterosklerosis
maka aliran darah koroner akan berkurang, terutama pada saat kebutuhan meningkat (saat
aktifitas) sehingga terjadilah iskemia miokard (Ischemia On Effort).
3. Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina)
Pada subset klinis ini, kualitas, lokasi, penjalaran dari nyeri dada sama dengan penderita
angina stabil. Tetapi nyerinya bersifat progresif dengan frekuensi timbulnya nyeri yang
bertambah serta pencetus timbulnya keluhan juga berubah. Sering timbul saat istirahat.
Pemberian nitrat tidak segera menghilangkan keluhan. Keadaan ini didasari oleh patogenesis
yang berbeda dengan angina stabil. Angina tidak stabil sering disebut sebagai Pre-Infarction
sehingga penanganannya memerlukan monitoring yang ketat. Pada angina tidak stabil, plaque
aterosklerosis mengalami trombosis sebagai akibat plaque rupture (fissuring), di samping itu
diduga juga terjadi spasme namun belum terjadi oklusi total atau oklusi bersifat intermitten.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan adanya depresi segmen ST, kadar enzim
jantung tidak mengalami peningkatan.
4. Variant Angina (Prinzmetals Angina)
Variant angina atau Prinzmetals angina pertama kali dikemukakan pada tahun 1959
digambarkan sebagai suatu sindroma nyeri dada sebagai akibat iskemia miokard yang hampir
selalu terjadi saat istirahat. Hampir tidak pernah dipresipitasi oleh stress / emosi dan pada
pemeriksaan EKG didapatkan adanya elevasi segmen ST. Mekanisme iskemia pada
Prinzmetals angina terukti disebabkan karena terjadinya spasme arteri koroner. Kejadiannya
tidak didahului oleh meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Hal ini dapat terjadi pada
arteri koroner yang mengalami stenosis ataupun normal. Proses spasme biasanya bersifat
lokal hanya melibatkan satu arteri koroner dan sering terjadi pada daerah arteri koroner yang
mengalami stenosis.
Manifestasi klinis
Penderita dengan Prinzmetals angina biasanya terjadi pada penderita lebih muda
dibandingkan dengan angina stabil ataupun angina tdiak stabil. Seringkali juga tidak
didapatkan adanya faktor risiko yang klasik kecuali perokok berat. Serangan nyeri biasanya
terjadi antara tengah malam sampai jam 8 pagi dan rasa nyeri sangat hebat. Pmeriksaan fisik
jantung biasanya tidak menunjukkan kelainan. Pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan
adanya elevasi segmen ST (kunci diagnosis). Pada beberapa penderita bisa didahului depresi
segmen ST sebelum akhirnya terjadi elevasi. Kadang juga didapatkan perubahan gelombang
T yaitu gelombang T alternan, dan tidak jarang disertai dengan aritmia jantung.
menimbulkan rasa pegal pada pergelangan, tangan dan jari. Kadang-kadang nyeri dapat
dirasakan pada daerah epigastrium hingga merasa perut tidak enak (abdominal discomfort).
Gejala lain yang sering menyertai adalah mual, muntah, badan lemah, pusing, berdebar dan
keringat dingin.
Komplikasi :
1. Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif merupakan sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Tempat
kongesti bergantung pada ventrikel yang terlibat. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung
kiri, menimbulkan kongeti pada vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau
gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik. Kegagalan pada kedua ventrikel
disebut kegagalan beventrikuler. Gagal jantung kiri merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi setelah infark miokardium.
Infarm
miokardium
menggangu
fungsi
miokardium
karena
menyebabkan
aliran retrograd dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat:
pengurangan aliran ke aorta, dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena
pulmonalis.
Penatalaksanaan :
1. Farmakologi
2. Non-farmakologi
1.
Farmokologi
a. Analgetik yang diberikan biasanya golongan narkotik (morfin) diberikan secara intravena
dengan pengenceran dan diberikan secara pelan-pelan. Dosisnya awal 2,0 2,5 mg dapat
diulangi jika perlu
b. Nitrat dengan efek vasodilatasi (terutama venodilatasi) akan menurunkan venous return akan
menurunkan preload yang berarti menurunkan oksigen demam. Di samping itu nitrat juga
mempunyai efek dilatasi pada arteri koroner sehingga akan meningkatakan suplai oksigen.
Nitrat dapat diberikan dengan sediaan spray atau sublingual, kemudian dilanjutkan dengan
peroral atau intravena.
c. Aspirin sebagai antitrombotik sangat penting diberikan. Dianjurkan diberikan sesegera
mungkin (di ruang gawat darurat) karena terbukti menurunkan angka kematian.
d. Trombolitik terapi, prinsip pengelolaan penderita infark miokard akut adalah melakukan
perbaikan aliran darah koroner secepat mungkin (Revaskularisasi / Reperfusi).Hal ini didasari
oleh proses patogenesanya, dimana terjadi penyumbatan / trombosis dari arteri koroner.
Revaskularisasi dapat dilakukan (pada umumnya) dengan obat-obat trombolitik seperti
streptokinase, r-TPA (recombinant tissue plasminogen ativactor complex), Urokinase,
ASPAC ( anisolated plasminogen streptokinase activator), atau Scu-PA (single-chain
urokinase-type plasminogen activator).Pemberian trombolitik terapi sangat bermanfaat jika
diberikan pada jam pertama dari serangan infark. Dan terapi ini masih masih bermanfaat jika
diberikan 12 jam dari onset serangan infark.
e. Betablocker diberikan untuk mengurangi kontraktilitas jantung sehingga akan menurunkan
kebutuhan oksigen miokard. Di samping itu betaclocker juga mempunyai efek anti aritmia.
2.
Non-farmakologi
a.
b.
Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki kolateral koroner
c.
Pemeriksaan penunjang
1) Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG 12 lead yang wajib dilakukan pada semua pasien angina pektoris pada
kenyataannya menunjukkan hasil yang normal pada lebih dari 50% pasien. Gambaran EKG
yang normal tidak serta merta menyingkirkan adanya suatu PJK. Pemeriksaan EKG juga
mampu menunjukkan kelainan lain seperti left ventricular hypertrophy (LVH), left bandle
branch block (LBBB), pre-excitation, aritmia, atau defek konduksi.
2) Uji Latih beban jantung (treatmill test)
Uji latih ini mudah dilakukan, murah, dan aman. Namun demikian, akurasi yang rendah dari
uji latih ini dalam mendiagnosis suatu PJK yang signifikan, walaupun pada subjek yang
simptomatik, memunculkan rekomendasi baru bahwa uji latih ini tidak cocok digunakan
sebagai alat menapis suatu PJK.
3) Angiografi koroner
Angiografi koroner masih merupakan pemeriksaan baku emas untuk mengetahui anatomi
pembuluh darah koroner serta derajat obstruksi dari lumen arteri koronaria. Dari pemeriksaan
ini bisa diketahui lokasi, panjang, diameter, serta kontur dari arteri koronaria; derajat
obstruksi intralumen;
trombus, diseksi, spasme, atau bridging myocardial), dan penilaian aliran darah.
DAFTAR PUSTAKA
A.Muin Rahman. Penyakit Jantung Koroner Kronik. Manifestasi Klinis dan Prinsip
Penatalaksanaan. Hal. 1091
Dede Kusmana. 1996. Pencagahan dan Rehabilitas Penyakit Jantung Koroner
Jurnal Kardiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.106
Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Rahadja Kirana. 2007. Obat-obat Penting Edisi VI.
Jakarta, Elex Media Komputindo. Hal.528
Mansjoer Arif dkk.2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jakarta, Media
Aesculapius, Hal. 437
Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis, Prosesproses,dan Penyakit Edisi 6. Jakarta. EGC. Hal. 576