PBL Kasus 4 (E) (T) (S)
PBL Kasus 4 (E) (T) (S)
SKENARIO KASUS 4
Kulit kuning
Seorang bayi baru lahir 10 jam yang lalu, lahir spontan cukup bulan berat badah
lahir 2800 gram dibawa ibunya ke RS dengan keluhan kulit bayi tampak kuning
selain itu bayi tidak mau menyusu pada pemeriksaan fisik bayi tampak latergi, sclera
ikterik, ikterik kepala dan leher sampai umbilicus pada pemeriksaan laboratorium
darah didapatkan bilirubin total 14 mg/dl bayi tersebut diberikan terapi dan dirawat
di RS selama 4 hari perawatan di RS didapatkan urin pasien berwarna gelap dan feses
dempul pasien kemudian dirujuk untuk ditangani dokter bedah.
Step 1 : Clarify Unfamiliar Terms
1. Latergi : somnolen ( penurunan tingkat kesadaran yang paling ringan dimana
seseorang tampak mengantuk dan dapat dibangunkan dengan rangsangan
ringan, seperti cubitan.
2. Ikterik : Perubahan warna kulit dan sclera akibat penumpukan kadar bilirubin
dalam darah.
3. Bilirubin total: Konsentrasi bilirubin total dalam plasma darah (N=0,3 1
mg/dl)
4. Feses dempul : Memucatnya warna feses akibat kekurangan sterkobilin dalam
feses.
Step II : Define The Problem(S)
1. Penyebab terjadinya kulit kuning?
2. Macam-macam ikterus (jenis)?
3. Metabolism bilirubin?
4. Mengapa urin pasien berwarna gelap dan feses dempul?
5. Sebutkan kadar bilirubin normal?
6. Pendekatan klinis pada kasus ini?
7. Derajat ikterik pada bayi?
8. Mengapa bayi tidak mau menyusui?
Step III : Brainstorm Possible Hypothesis Or Explanation
1) Penyebab ikterus
a. Gangguan pembentukan bilirubin (produksi berlebihan).
b. Gangguan transport : tidak cukupnya albumin sebagai pengangkut dan obat
salisilat, salfaforazol.
c. Liver uptake : Imaturasi hepar, gangguan atau defesiensi ligandin.
Ikterus fisiologis
Timbul setelah 24 jam
Kadar tinggi pada hari ke 5
Tinggi pada hari ke 5-7
Kadar bilirubin <5 mg/dl/hari
Hilang dalam < 14 hari
Kadar bilirubin < 12 mg/dl (jumlah)
3) metabolisme bilirubin
Pembentukan bilirubin,
Ikterus patologis
Timbul dalam < 24 jam
Kenaikan kadar bilirubin > 75mg/dl/hari
Hilang dalam >14 hari
Kadar bilirubin > 12 mg/dl (jumlah)
pigmen empedu
biliverdin
membran selnya
Liver up take
Bilirubin unkonjugated
Konjugasi
Bilirubin unkonjugated
glukoronil transferase
Ekskresi bilirubin direk
ginjal
urobilinogen
sterkobilinogen
urobilin
sterkobilin
urin
feses
4) Urine gelap
Obstruksi saluran empedu penumpukan kadar bilirubin bilirubin kembali
lagi ke hepar aliran darah di cuci di ginja urin berwarna gelap.
5) SB
6) Derajat dehidrasi skala Kramer
Derajat I : Kepala leher
Derajat II : Kepala leher , badan atas ( diatas umbilicus)
Derajat III : Dibawah umbilicus ( hingga tangan atas lutut)
Metabolis
me
bilirubin
Macammacam
ikterus
Pendek
atan
klinis
Urin
gelap
Penyeba
b ikterus
IKTERUS
Feses
dempul
Derajat
ikterus
BAB II
PEMBAHASAN
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi
kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Kadar bilirubin
serum normal adalah bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.9
mg/dL.
Fase Prahepatik
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan
oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).
a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar
4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari
pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30%
berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum
air seni
Fase Intrahepatik
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati
yang mengganggu proses pembuangan bilirubin
a. Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan
berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida /
bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan
bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai
kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak
terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang
larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama
dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk
warna air seni yang gelap khas pada gangguan hepatoseluler atau
kolestasis intrahepatik.
Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari
keempat mekanisme ini: produksi berlebihan, penurunan ambilan hepatik,
penurunan konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam
empedu
(akibat
disfungsi
intrahepatik
atau
obstruksi
mekanik
ekstrahepatik).
D. Gangguan Metabolisme Bilirubin
1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi / indirek.
Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah
yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan
produksi
bilirubin.
Penghancuran
eritrosit
yang
menimbulkan
bilirubin
tak
terkonjugasi
dilakukan
dengan
10
Obstruksi
saluran
bilier
ekstrahepatik
akan
menimbulkan
11
b.
c.
12
b.
c.
b.
c.
4. Conjugated
posthepatic
hyperbilirubinemia
(Icterus
obstructiva
extrahepatal):
Etiologi : sumbatan pada duktus hepatikus, duktus choledokus, ampula Vateri
oleh karsinoma, batu atau pankreatitis akut, karsinoa pancreas..
Patofisiologi :
Bilirubin tidak dapat masuk ke intestinum karena sumbatan tersebut sehingga
urobilinogen tidak terbentuk (urobilinogen urine dan feses negatif), bila
13
b.
Urobilinogen urine dan feses negatif pada yang total dan positif
pada yang partial
c.
14
penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia hemolitik akut di kawasan Asia
Tenggara 14. Di Indonesia insidennya diperkirakan 1-14% 17,18, prevalensi
defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15% 19, di pulau-pulau kecil yang
terisolir di Indonesia bagian Timur (pulau Babar, Tanimbar, Kur dan Romang di
Propinsi Maluku), disebutkan bahwa insiden defisiensi G6PD adalah 1,6 - 6,7%.
Biokimia Molekuler dan Metabolisme Fisiologis Enzim G6PD
Enzim G6PD merupakan polipeptida yang terdiri atas 515 asam amino
dengan berat molekul 59,265 kilodalton 15. Enzim G6PD merupakan enzim
pertama jalur pentosa phoshat, yang mengubah glukosa-6-phosphat menjadi 6fosfogluconat
pada
proses
glikosis.
Perubahan
ini
menghasilkan
15
16
Kelas III: defisiensi sedang (aktifitas residual G6PD, 10-60). Kelompok defisensi
enzim G6PD ringan (varian G6PD A). Pada kelompok ini, hemolisis
yang timbul akibat pemaparan dengan faktor pencetus akan berhenti
dengan sendirinya walaupun pemaparan masih terus berlanjut. Hal ini
disebabkan aktivitas enzim G6PD pada sel darah merah yang muda
masih cukup tinggi untuk menahan oksidan, dan hanya sel darah
merah yang tua saja yang mengalami hemolisis.
Kelas IV: non defisiensi (aktifitas residual G6PD, 100). Kelompok yang tidak
mengalami gejala-gejala defisiensi G6PD.
Kelas V : non defisiensi (aktifitas residual G6PD, >100)
Peranan Enzim G6PD Pada Sel Darah Merah
Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk
mempertahankan bentuk, volume, kelenturan (fleksibilitas), dan regulasi
pompanatrium-kaliumnya. Energi ini diperoleh dari glukosa melalui dua jalur
metabolisme yaitu, 80% dari proses glikolisis anaerobik (jalur Emden-Meyerhof)
dan 20% proses glikolisis aerobik (jalur Pentosa Fosfat).
Peran enzim G6PD dalam mempertahankan keutuhan sel darah merah serta
menghindarkan kejadian hemolitik, terletak pada fungsinya dalam jalur pentosa
fosfat. Di dalam sel darah merah terdapat suatu senyawa glutation tereduksi
(GSH) yang mampu menjaga keutuhan gugus sulfidril (SH) pada hemoglobin
dan sel darah merah. Fungsi GSH adalah mempertahankan residu sistein pada
hemoglobin dan protein-protein lain pada membran eritrosit agar tetap dalam
bentuk tereduksi dan aktif, mempertahankan hemoglobin dalam bentuk fero,
mempertahankan struktur normal sel darah merah, serta berperan dalam proses
detoksifikasi, dimana GSH merupakan substrat kedua bagi enzim gluthation
peroksidase dalam menetralkan hidrogen peroksida yang merupakan suatu
oksidan yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah
merah.
17
18
proses hemolitik. Meskipun gen G6PD terdapat pada semua jaringan tubuh,
tetapi efek defisiensi dalam eritrosit pengaruhnya sangat besar karena enzim
G6PD diperlukan dalam menghasilkan energi untuk mempertahan umur eritrosit,
membawa oksigen, regulasi transport ion dan air kedalam dan keluar sel,
membantu pembuangan karbondioksida dan proton yang terbentuk pada
metabolisme jaringan. Karena tidak ada mitokondria di dalam eritrosit maka
oksidasi G6PD hanya bersumber dari NADPH, bila kadar enzim G6PD menurun,
eritrosit mengalami kekurangan energi dan perubahan bentuk yang memudahkan
mengalami lisis bila ada stres oksidan.
Manifestasi Klinis dan Laboratoris
1. Manifestasi Klinis
Pada umumnya, individu dengan defisiensi enzim G6PD yang diturunkan,
tidak mengalami hemolisis dan sering tanpa anemia (serta tanpa gejala), namun
hal tersebut dapat timbul bila penderita terpapar bahan eksogen yang potensial
menimbulkan kerusakan oksidatif. Beberapa penyakit yang diketahui
berhubungan dengan defisiensi G6PD adalah : hiperbilirubinemia (Kern
Ikterik), hemolisis intravaskuler, favism, sindroma hepatitis hemolisis, anemia
hemolisis kronik.
Gejala klinik timbul 1-3 hari setelah terpapar faktor pencetus, berupa
anemia hemolitik akut dengan gambaran khas berupa rewel, iritabel/tampak
rewel, letargi, suhu meningkat > 380 C, mual, nyeri abdominal, diare, anemia,
ikterik dan kelainan pada urine (hemoglobinuria). Pada pemeriksaan fisik
didapat kepucatan yang bervariasi dan takikardi, lien dan hepar biasanya
membesar. Pada kasus berat terjadi syok hipovolemik dan gagal jantung.
2. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium didapatkan anemia normositik normokromik
bervariasi dari ringan sampai berat, gambaran menyolok anisositosis,
poikilositosis dan jumlah retikulosit meningkat > 30%. Dengan pewarnaan
metil violet tampak Heinz bodies. Jumlah lekosit biasanya meningkat dengan
19
dominan granulosit, bilirubin indirek meningkat tetapi enzim hepar dalam batas
normal.
Anemia hemolitik umumnya dicetuskan oleh paparan berupa obat-obatan
(seperti sulfonamide, primakuin, kloramfenikol, kloroquin, asam nalidiksat,
quinakrin, nitrofurantorin, salisilat, dapson, fenasetin, asitanisid, dan antipirin),
diet kacang coklat (victa fava), bahan kimia (Naphthalene), infeksi
pneumokokus, hepatitis dan penyakit ketoasidosis, yang pada prinsipnya
menyebabkan penurunan kadar glutation, dimana kadar tersebut sudah rendah
akibat defisiensi G6PD itu sendiri. Di daerah endemis malaria di Afrika dan
Asia Tenggara hemolisis sering diinduksi pemberian primakuin.
Saat ini penunjang diagnostik yang banyak digunakan dalam membantu
menegakkan diagnosis defisiensi G6PD adalah tes Heinz Body dan tesstabilitas
GSH. Uji tapis dapat dilakukan dengan test methylene-blue dengan perubahan
warna saat reduksi methemoglobin atau dengan flouresensi NADPH. Tes
diagnostik defisiensi G6PD berdasarkan aktifitas enzim dapat dideteksi dengan
pemeriksaan laboratorium sederhana. melakukan skrining dengan metode the
formazan-ring/Hironos methode.
4.
20
Pada hepatitis gejala awal muncul secara mendadak seperti demam, mual,
muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut. Ikterus dapat tidak kentara pada
anak kecil muda sehingga hanya dapat terdeteksi dengan uji laboratorium.
Bila terjadi, ikterus dan urin berwarna gelap biasanya terjadi setelah gejalagejala sistemik. Selain itu juga bisa didapatkan ada riwayat ikterus pada
keluarga, teman sekolah, teman bermain, atau jika anak atau keluarga telah
berwisata ke daerah endemik.
Bila ikterus disebabkan obstruksi seperti kista koleidokus atau kolelitiasis,
penderita mengalami kolik hebat secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas.
Keluhan nyeri perut di kanan atas dan menusuk ke belakang. Penderita
tampak gelisah dan kemudian ada ikterus disertai pruritus. Riwayat ikterus
biasanya berulang. Riwayat mual ada, perut kembung, gangguan nafsu makan
disertai diare. Warna feses seperti dempul dan urine pekat seperti air teh.
Perbedaan Ikterik Berdasarkan Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik
Umum : keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)
21
Khusus : Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan
dilakukan pada pencahayaan yang memadai.
Berdasarkan kriteria Kramer dibagi :
Derajat
Ikterus
I
Daerah Ikterus
5,0 mg%
II
9,0 mg%
III
11,4 mg/dl
IV
16,0 mg/dl
12,4 mg/dl
Klasifikasi Ikterus
Tanya dan Lihat
Tanda/ Gejala
Klasifikasi
Mulai kapan?
Ikterus
Patologis
Daerah mana?
Bayi krg bln?
Warna tinja?
Ikterus
Fisiologis
(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam :
Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna
untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI, 2001)
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar
yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa
tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang
22
kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita
sedang mendapatkan terapi sinar.
Tekan kulit yang ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna
kulit dan jaringan subkutan:
Pemeriksaan Penunjang
a. Tes fungsi hati
1. Ekskresi empedu
Bilirubin serum direk (terkonjugasi), meningkat bila terjadi gangguan
23
kenaikan kadar enzim ini dalam serum. Nilai normal SGOT 5-35
24
beberapa kasus.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI menghasilkan gambar yang sebanding dengan kualitas CT scan
tanpa paparan pasien terhadap radiasi pengion. Setelah pemberian agen
kontras yang cocok, pencitraan dari saluran empedu bisa lebih
terperinci.
Endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP berguna dalam kasus dimana obstruksi bilier diduga kuat. Ini
adalah investigasi pilihan untuk mendeteksi dan mengobati batu saluran
empedu umum dan juga berguna untuk membuat diagnosis kanker
pankreas. Kondisi lain yang mungkin berguna ERCP termasuk primary
25
timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon pada tahun
1974, yaitu :
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut
besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadangkadang bakteri).
Defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :
Kadar bilirubin serum berkala
Darah tepi lengkap
Golongan darah ibu dan bayi
Uji coombs
Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah
atau biopsi hepar bila perlu.
B. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
Biasanya ikterus yang timbul pada rentang waktu inimtergolong
ikterus fisiologis. Namun demikian masih
ada kemungkinan
26
cukup bulan
dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.
Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari.
Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
27
atau
keadaan patologis lain yang telah diketahui.
Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan
pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi
sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan
kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra
Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud
menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.
a. Terapi Sinar
28
29
berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171
mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. pakaian bayi.
Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang
terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak
perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di
pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL
(<171 mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu
diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit,
gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat
sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan
yang menyertainya diperbaiki.
Bayi cukup bulan : kadar bilirubin total 2-20 mg/dL; bilirubin bebas >0,7 g
%
Bayi kurang bulan :
Berat lahir 1500 2500 gram : kadar bilirubin total 15 mg/dL; bilirubin
bebas 0,5g%
Berat lahir <1500 gram : kadar bilirubin total 10 mg/dL;bilirubin bebas 0,3
g%
30
Perlu pengawasan ketat bayi dengan penyulit anoksia, asidosis, sepsis, bayi
kurang bulan dan bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yang mempunyai
resiko terjadinya kernikterus atau hiperbilirubinemia encepalopathy.
Jika tidak tersedia pemeriksaan untuk bilirubin bebas, dipakai tatalaksana
sbb:
31
Prosedur :
1. Diusahakan permukaan tubuh seluas0luasya terpapar dengan sinar
2. Posisi tubuh diubah setiap 2-3 jam
3. Monitor suhu bayi setiap 4 jam. Untuk bayi dalam inkubator, thermistor
probe harus dilindungi dari sinar.
4. Awasi masukan cairan : ASI tetap diteruskan, jika tidak ada atau tidak
cukup, ditambah susu formula. Pemberian dengan menetek, sendok/cangkir
dan kip sonde.
5. Kebutuhan cairan ditambah 10-15% dari kebutuhan, mungkin sampai 25%.
Jika masukan cairan tidak mencukupi, diberi cairan per infus.
6. Timbang bayi setiap hari dan awasi penurunan BB akibat kehilangan air
secara evaporasi atau diare, terutama bayi prematur.
7. Melindungi mata dan gonade dari sumber cahaya.
8. Memeriksa konsentrasi bilirubin serum secara teratur, jangan menggunakan
warna kulit bayi untuk menilai derajat ikterus.
9. Menghentikan fototerapi saat orang tua mengunjungi bayinya dan
membuka pelindung mata untuk memudahkan interaksi alami antara
orangtua dengan anak.
32
Komplikasi Fototerapi
Kelainan
Mekanisme
Tanning
(perub.wrn kulit)
Sindrom
bayi
bronze
Diare
bilirubin
Bilirubin menginduksi sekresi
Intoleransi laktosa
usus
Trauma mukosa epitel villi
Hemolisis
Kulit terbakar
sirkulasi
Paparan berlebihan karena emisi
gelombang
Dehidrasi
fluoresesn
kehilangan
pendek
air
lampu
yang
tak
diabsorpsi
Trauma fotosensitif pada sel
mast kulit dengan pelepasan
histamin
33
b. Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan
dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat
dalam mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula
antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat
bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul
perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada
indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat
kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin
34
Rumus
BB x volume darah x 2
Volume
Single
BB x volume darah
Volume
Polisitemia
Anemia
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusepno hasan, alatas Husein. Buku kuliah 2 ilmu kesehatan anak, edisi
11 bab infeksi. Bagian ilmu kesehatan anak, Fakultas kedokteran
universitas Indonesia, Jakarta, 2007
2. Hardiono D. pusponegoro, sri rezeki S.adinegoro, dkk. Buku standar
pelayanan medis kesehatan anak edisi 1, ikatan dokter Indonesia, Jakarta,
2003
3. Sumarno S.Poorwo soedarmo. Herry Garna. Sri rezeki S.Hadinegoro.
hindra Irawan Satari. Buku Ajar Infeksi & pediatric tropis, edisi kedua,
infeksi dengue (hal 155-181) bagian Ilmu kesehatan anak FKUI, Jakarta,
2010
4. Sutaryo, dr dkk. Buku Standar Pelayanan Media RS. Sardjito, Edisi III,
Cetakan I. 2005, Jilid 2. Medika Fakultas Kedokteran UGM, Sekip,
Yogyakarta, 2005
5. Sudoyo, AW. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, ED. 4. FKUI.
Jakarta. 2006
6. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisologi; Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Vol.1. Edisi 6. Jakarta. EGC. 2005