Anda di halaman 1dari 35

1

SKENARIO KASUS 4
Kulit kuning
Seorang bayi baru lahir 10 jam yang lalu, lahir spontan cukup bulan berat badah
lahir 2800 gram dibawa ibunya ke RS dengan keluhan kulit bayi tampak kuning
selain itu bayi tidak mau menyusu pada pemeriksaan fisik bayi tampak latergi, sclera
ikterik, ikterik kepala dan leher sampai umbilicus pada pemeriksaan laboratorium
darah didapatkan bilirubin total 14 mg/dl bayi tersebut diberikan terapi dan dirawat
di RS selama 4 hari perawatan di RS didapatkan urin pasien berwarna gelap dan feses
dempul pasien kemudian dirujuk untuk ditangani dokter bedah.
Step 1 : Clarify Unfamiliar Terms
1. Latergi : somnolen ( penurunan tingkat kesadaran yang paling ringan dimana
seseorang tampak mengantuk dan dapat dibangunkan dengan rangsangan
ringan, seperti cubitan.
2. Ikterik : Perubahan warna kulit dan sclera akibat penumpukan kadar bilirubin
dalam darah.
3. Bilirubin total: Konsentrasi bilirubin total dalam plasma darah (N=0,3 1
mg/dl)
4. Feses dempul : Memucatnya warna feses akibat kekurangan sterkobilin dalam
feses.
Step II : Define The Problem(S)
1. Penyebab terjadinya kulit kuning?
2. Macam-macam ikterus (jenis)?
3. Metabolism bilirubin?
4. Mengapa urin pasien berwarna gelap dan feses dempul?
5. Sebutkan kadar bilirubin normal?
6. Pendekatan klinis pada kasus ini?
7. Derajat ikterik pada bayi?
8. Mengapa bayi tidak mau menyusui?
Step III : Brainstorm Possible Hypothesis Or Explanation
1) Penyebab ikterus
a. Gangguan pembentukan bilirubin (produksi berlebihan).
b. Gangguan transport : tidak cukupnya albumin sebagai pengangkut dan obat
salisilat, salfaforazol.
c. Liver uptake : Imaturasi hepar, gangguan atau defesiensi ligandin.

d. Konjugasi tidak ada enzim glukoronil transferase : syndrome criegler


najjer.
e. Gangguan pada ekskresi : sumbatan di saluran luar atau dalam hepar, tidak
terbentuknya saluran empedu.
Penyebab kuning pada bayi kurang dari 24 jam
1. Penyebab hemolitik : inkompatibilitas Rh ABO
2. Infeksi, TORCH, bakteri, malaria
3. Defisiensi enzim G6PD
2) macam-macam ikterus
a. ikterus hepatic (hemolitik) : ikterus yang terjadi karena menningkatnya
pemecahan eritrosi dan pelepasan bilirubin bebas dalam plasma kecepatan
pembentukan bilirubin tidak dapat diimbangi oleh kemampuan konjugasi
dan penngeluaran bilirubin (yang meningkat bilirubin indirek).
b. ikterus obstruktif: ikterus yang terjadi akibat adanya sumbatan pada ductus
biliaris sehingga bilirubin tidak dapat disalurkan (batu empedu)
c. ikterus hepatic : Ikterus yang terjadi akibat kerusakan sel-sel hepar sehingga
baik proses uptake atau konjugasi terganggu.

Ikterus fisiologis
Timbul setelah 24 jam
Kadar tinggi pada hari ke 5
Tinggi pada hari ke 5-7
Kadar bilirubin <5 mg/dl/hari
Hilang dalam < 14 hari
Kadar bilirubin < 12 mg/dl (jumlah)

3) metabolisme bilirubin

Pembentukan bilirubin,

Ikterus patologis
Timbul dalam < 24 jam
Kenaikan kadar bilirubin > 75mg/dl/hari
Hilang dalam >14 hari
Kadar bilirubin > 12 mg/dl (jumlah)

sel darah merah yang bertahan dalam sistem sirkualsi


pecah dan hemoglobin
substrat

globin dan heme

pigmen empedu

biliverdin

membran selnya

cincin heme dibuka


bilirubin bebas.

Bilirubin bebas keluar berikatan dengan albumin plasma (bilirubin


unkonjugated).

Liver up take
Bilirubin unkonjugated

diikat oleh ligandin

masuk ke sel hepar.

Konjugasi
Bilirubin unkonjugated
glukoronil transferase
Ekskresi bilirubin direk
ginjal

di konjugasi dengan asam glukoronik oleh enzim


bilirubin direk.
urobilinogen

urobilinogen

sterkobilinogen

urobilin

sterkobilin

urin

feses

4) Urine gelap
Obstruksi saluran empedu penumpukan kadar bilirubin bilirubin kembali
lagi ke hepar aliran darah di cuci di ginja urin berwarna gelap.
5) SB
6) Derajat dehidrasi skala Kramer
Derajat I : Kepala leher
Derajat II : Kepala leher , badan atas ( diatas umbilicus)
Derajat III : Dibawah umbilicus ( hingga tangan atas lutut)

Derajat IV : Lengan, tungkai bawah lutut


Derajat V : tampak tangan dan kaki

Step IV : Arrange Explanation Into A Tentative Solution

Metabolis
me
bilirubin

Macammacam
ikterus

Pendek
atan
klinis

Urin
gelap

Penyeba
b ikterus

IKTERUS

Feses
dempul

Derajat
ikterus

Step V : Define Learning Objective


1. Ikterus dan mekanisme metabolisme bilirubin
2. Patofiologi ikterus
3. Defisiensi enzim G6PD
4. Pendekatan klinis pada pasien dengan peningkatan bilirubin

Step VI : Information Gathering (Private Study)

BAB II
PEMBAHASAN

Step VII : Synthesize And Test Acquired Information


1. IKTERUS DAN MEKANISME METABOLISME BILIRUBIN
A. Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti
kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Jaringan permukaan yang kaya elastin
seperti sklera dan permukaan bawah lidah biasanya pertama kali menjadi kuning.

Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi
kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Kadar bilirubin
serum normal adalah bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.9
mg/dL.

Gambar 1. Sklera ikterik (Irwana, 2009).


B. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan:
A. Penyebab yang sering:
1. Hiperbilirubinemia fisiologis
2. Inkompatibilitas golongan darah ABO
3. Breast Milk Jaundice
4. Inkompatibilitas golongan darah rhesus
5. Infeksi
6. Hematoma sefal, hematoma subdural, excessive bruising
7. IDM (Infant of Diabetic Mother)
8. Polisitemia / hiperviskositas
9. Prematuritas / BBLR
10. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi asidosis, hipoglikemia
11. Lain-lain
B. Penyebab yang jarang:
1. Defisiensi G6PD (Glucose 6 Phosphat Dehydrogenase)
2. Defisiensi piruvat kinase
3. Sferositosis kongenital
4. Lucey Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial)
5. Hipotiroidism
6. Hemoglobinopathy
C. Metabolisme Bilirubin

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang


berlangsung dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik masih
relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan
metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor
plasma, liver uptake, konjugasi dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh
gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

Gambar 2. Metabolisme bilirubin (Irwana, 2009).

Fase Prahepatik
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan
oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).
a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar
4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari
pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30%
berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum

tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan


penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan
tidak dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam

air seni
Fase Intrahepatik
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati
yang mengganggu proses pembuangan bilirubin
a. Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan
berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida /
bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan
bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai
kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak
terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang
larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama
dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk

bilirubin glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk.


Fase Pascahepatik

Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati


oleh batu empedu atau tumor
a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin
menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam
tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan
kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air
seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi
tetapi tidak bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan mengapa

warna air seni yang gelap khas pada gangguan hepatoseluler atau
kolestasis intrahepatik.
Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari
keempat mekanisme ini: produksi berlebihan, penurunan ambilan hepatik,
penurunan konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam
empedu

(akibat

disfungsi

intrahepatik

atau

obstruksi

mekanik

ekstrahepatik).
D. Gangguan Metabolisme Bilirubin
1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi / indirek.
Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah
yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan
produksi

bilirubin.

Penghancuran

eritrosit

yang

menimbulkan

hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan


autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi
hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik.
Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati.
Akibatnya bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin
indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine
dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen
meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine (warna
gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin abnormal
(anemia sel sickle), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibodi serum
(Rhesus Inkompatibilitas transfusi) dan malaria tropika berat.
Penurunan Ambilan Hepatik
Pengambilan

bilirubin

tak

terkonjugasi

dilakukan

dengan

memisahkannya dari albumin dan berikatan dengan protein penerima.


Im,Beberapa obat-obatan seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat
mempengaruhi uptake ini.
Penurunan konjugasi hepatik

10

Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan


bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim
glukoronil transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler
Najjar I, Sindroma Crigler Najjar II.
2. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan
eksresi bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat
disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi
bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali
bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia.
Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis hepatis,
alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat yang.meracuni hati fosfor,
klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus pada trimester terakhir
kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca
bedah.

Obstruksi

saluran

bilier

ekstrahepatik

akan

menimbulkan

hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran


bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial (Lindset, 2006).
Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi
bilier ekstrahepatik adalah :
Obstruksi saluran empedu didalam hepar. Contohnya pada kasus
Sirosis hepatis, abses hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan
sekunder.
Obstruksi di dalam lumen saluran empedu : batu empedu, askaris
Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik,
tumor saluran empedu.
Tekanan dari luar saluran empedu : tumor caput pancreas, tumor
Ampula Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di ligamentum
hepatoduodenale.

11

Gambar 3. Batu pada kandung empedu (Irwana, 2009).


2. PATOFISIOLOGI IKTERUS

1. Unconjugated prehepatic hyperbilirubinemia :


Etiologi : anemia hemoltik dan malaria
Patofisiologi :
Pemusnahan ertirosit yang berlebihan akan menyebabkan terbentuknya
bilirubin indirek banyak, yang kadang-kadang melebihi kemampuan hepar
untuk mengkonjugasinya sehingga bilirubin direk serum meninggi. Hepar
akan berusaha untuk mengkonjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk
sehingga bilirubin direk yang masuk ke intestin bertambah, urobilinogen yang
terbentuk bertambah sehingga urobilinogen urine dan feses bertambah pula.
Pemeriksaan laboratorium :
a.

Bilirubin indirek serum meninggi

b.

Urobilinogen urine dan feses positif kuat

c.

Bilirubin terkonjugasi urine positif

2. Unconjugated hepatic hyperbilirubinemia :

12

Etiologi : kelainan kogenital (Gilbert syndrome, Crigler-Najar syndrome)


Patofisiologi :
Hal ini terjadi karena pemindahan bilirubin indirek dari darah ke sel-sel hepar
atau konjugasi bilirubin indirek di dalam hepar terganggu.
Pemriksaan laboratorium :
a.

Bilirubin indirek serum meninggi

b.

Urobilinogen urine dan feses masih positif

c.

Bilirubin urine negatif

3. Conjugated hepatic hyperbilirubinemia (Ikterus parenkhimatosa) :


Etiologi : virus hepatitis dan sirosis hepatis
Patofisiologi :
Peradangan dari sel-sel hepar menyebabkan hepar membengkak, menekan
kholangiole sehingga permiabilitas dari saluran empedu meningkat. Keutuhan
saluran empedu terganggu karena nekrosis dari sel-sel hepar. Hal ini
menyebabkan bocornya bilirubin ke dalam darah. Kemampuan hepar untuk
mengkonjugasi berkurang karena functio laesa dari sel-sel hepar.
Pemeriksaan laboratorium :
a.

Bilirubin indirek dan direk dalam serum meninggi

b.

Urobilinogen urine dan feses masih positif

c.

Bilirubin urine positif

4. Conjugated

posthepatic

hyperbilirubinemia

(Icterus

obstructiva

extrahepatal):
Etiologi : sumbatan pada duktus hepatikus, duktus choledokus, ampula Vateri
oleh karsinoma, batu atau pankreatitis akut, karsinoa pancreas..
Patofisiologi :
Bilirubin tidak dapat masuk ke intestinum karena sumbatan tersebut sehingga
urobilinogen tidak terbentuk (urobilinogen urine dan feses negatif), bila

13

sumbatannya total. Bilirubin masih dapat masuk ke dalam intestin bila


sumbatannya tidak total sehingga urobilinogen masih terbentuk (urobilinogen
urine dan feses positif).
Sumbatan akan menyebabkan cairan empedu tertahan sehingga tekanan dalam
saluran empdeu ekstra dan intrahepatal bertambah, permeabilitas bertambah,
bilirubin bocor ke dalam darah. Selain itu tekanan dalam saluran empedu
intrahepatal yang bertambah akan menekan sel-sel parenkhim hepar sehingga
terjadi nekrosis dari sel-sel tersebut dan menyebabkan bocornya bilirubin ke
dalam darah.
Pemeriksaan laboratorium :
a.

Bilirubin direk serum sangat meninggi

b.

Urobilinogen urine dan feses negatif pada yang total dan positif
pada yang partial

c.

Bilirubin urine positif

3. DEFISIENSI ENZIM G6PD


Definisi
Defisiensi G6PD adalah suatu kelainan enzim yang terkait kromosom sex
(x-linked), yang diwariskan, dimana aktifitas atau stabilitas enzim G6PD
menurun, sehingga menyebabkan pemecahan sel darah merah pada saat seorang
individu terpapar oleh bahan eksogen yang potensial menyebabkan kerusakan
oksidatif.
Epidemiologi
Defisiensi G6PD merupakan penyakit defisiensi enzim tersering pada
manusia, sekitar 2-3% dari seluruh populasi di dunia diperkirakan sekitar 400
juta manusia di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi didapatkan daerah tropis,
ditemukan dengan frekuensi yang bervariasi pada berbagai ras Timur tengah,
India, Cina, Melayu, Thailand, Filipina dan Melanesia. Defisiensi G6PD menjadi

14

penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia hemolitik akut di kawasan Asia
Tenggara 14. Di Indonesia insidennya diperkirakan 1-14% 17,18, prevalensi
defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15% 19, di pulau-pulau kecil yang
terisolir di Indonesia bagian Timur (pulau Babar, Tanimbar, Kur dan Romang di
Propinsi Maluku), disebutkan bahwa insiden defisiensi G6PD adalah 1,6 - 6,7%.
Biokimia Molekuler dan Metabolisme Fisiologis Enzim G6PD
Enzim G6PD merupakan polipeptida yang terdiri atas 515 asam amino
dengan berat molekul 59,265 kilodalton 15. Enzim G6PD merupakan enzim
pertama jalur pentosa phoshat, yang mengubah glukosa-6-phosphat menjadi 6fosfogluconat

pada

proses

glikosis.

Perubahan

ini

menghasilkan

NicotinamideAdenine Dinucleotide Phosphate (NADPH), yang akan mereduksi


glutationteroksidasi (GSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH). GSH berfungsi
sebagai pemecah peroksida dan oksidan radikal H2O2 (Gambar 1) 10- 16.Dalam
keadaan normal peroksida dan radikal bebas dibuang olehkatalase dan
gluthatione peroxidase, selanjutnya meningkatkan produksi GSSG. GSH
dibentuk dari GSSG dengan bantuan enzim gluthatione reductase yang
keberadaannya tergantung pada NADPH. Pada defisiensi G6PD, pembentukkan
NADPH berkurang sehingga berpengaruh pada regenerasi GSH dari GSSG,
akibatnya mempengaruhi kemampuan untuk menghilangkan peroksida dan
radikal bebas.
Gen G6PD terdiri 13 ekson dan 12 intron yang tersebar pada daerah
seluas lebih 100 kb pada ujung terminal lengan panjang kromosom X. Defisiensi
G6PD terjadi akibat mutasi gen G6PD, suatu penyakit sex-linked. Laki-laki
hanya mempunyai 1 kromosom X, sehingga jika terjadi mutasi maka defisiensi
G6PD akan muncul atau bermanifes. Wanita mempunyai 2 kromosom X,
sehingga jika terdapat 1 gen yang abnormal karena mutasi, pasangan atau
allele-nya dapat menutupi kekurangannya tersebut, sehingga defisiensi G6PD
bisa bermanifes namun dapat pula tidak.

15

Defisiensi G6PD meliputi berbagai mutasi gen G6PD yang berbeda-beda


dan tidak bereaksi sama, hal ini menjelaskan mengapa individu defisiensi G6PD
menunjukkan reaksi berbeda dengan faktor pencetus yang sama. Gen G6PD yang
berlokasi pada kromosom Xq28 dengan panjang 18 Kb, terdiri atas 13 exon
merupakan DNA dan 12 intron merupakan sekuen pengganggu, merupakan
sampah DNA yang tidak berperan dalam fungsi enzim. Fungsi enzim ditentukan
oleh sekuens dan ukuran gen G6PD dan mRNA yang menjadi ciri gen.
Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat membantu mengidentifikasi
adanya mutasi. Saat ini telah diketahui lebih 40 mutasi yang tersebar sepanjang
pada seluruh pengkode gen, masing-masing berbeda-beda dan mempunyai ciri
khas tersendiri. Telah dilaporkan lebih 400 varian G6PD, dengan disertai
penampilan klinis dan atau fenotif yang beragam. Varian tersebut dibedakan
berdasar aktifitas enzim residual, mobilisasi elektroforetik, afinitas dan analog
subtrat, stabilisasi terhadap panas dan pH optimum.
WHO membuat klasifikasi berdasarkan varian yang ditemukan di setiap
negara, subtitusi nukleotid dan subtitusi asam amino yaitu
Kelas I: Anemia hemolitik non sferositosis (aktifitas residual G6PD, <20).
Merupakan jenis defisiensi enzim G6PD yang jarang ditemukan.
Kelompok ini mempunyai kelainan fungsional yang berat (varian
Harilaou). Sel darah merah tidak mampu mempertahankan diri dari
oksidan endogen, sehingga terjadi hemolisis kronik. Adanya
pemaparan dengan faktor pencetus akan menyebabkan terjadinya
eksaserbasi anemia hemolitik akut.
Kelas II: defisiensi berat (aktifitas residual G6PD, <10). Kelompok defisiensi
enzim G6PD berat (varian G6PD Mediteranian). Pemaparan dengan
faktor pencetus (eksogen) akan menimbulkan hemolisis akut dan
proses tersebut akan terus berlanjut selama masih terdapat pemaparan
dengan faktor pencetus. Hal ini disebabkan rendahnya aktivitas enzim
G6PD baik pada sel darah merah yang tua maupun muda.

16

Kelas III: defisiensi sedang (aktifitas residual G6PD, 10-60). Kelompok defisensi
enzim G6PD ringan (varian G6PD A). Pada kelompok ini, hemolisis
yang timbul akibat pemaparan dengan faktor pencetus akan berhenti
dengan sendirinya walaupun pemaparan masih terus berlanjut. Hal ini
disebabkan aktivitas enzim G6PD pada sel darah merah yang muda
masih cukup tinggi untuk menahan oksidan, dan hanya sel darah
merah yang tua saja yang mengalami hemolisis.
Kelas IV: non defisiensi (aktifitas residual G6PD, 100). Kelompok yang tidak
mengalami gejala-gejala defisiensi G6PD.
Kelas V : non defisiensi (aktifitas residual G6PD, >100)
Peranan Enzim G6PD Pada Sel Darah Merah
Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk
mempertahankan bentuk, volume, kelenturan (fleksibilitas), dan regulasi
pompanatrium-kaliumnya. Energi ini diperoleh dari glukosa melalui dua jalur
metabolisme yaitu, 80% dari proses glikolisis anaerobik (jalur Emden-Meyerhof)
dan 20% proses glikolisis aerobik (jalur Pentosa Fosfat).
Peran enzim G6PD dalam mempertahankan keutuhan sel darah merah serta
menghindarkan kejadian hemolitik, terletak pada fungsinya dalam jalur pentosa
fosfat. Di dalam sel darah merah terdapat suatu senyawa glutation tereduksi
(GSH) yang mampu menjaga keutuhan gugus sulfidril (SH) pada hemoglobin
dan sel darah merah. Fungsi GSH adalah mempertahankan residu sistein pada
hemoglobin dan protein-protein lain pada membran eritrosit agar tetap dalam
bentuk tereduksi dan aktif, mempertahankan hemoglobin dalam bentuk fero,
mempertahankan struktur normal sel darah merah, serta berperan dalam proses
detoksifikasi, dimana GSH merupakan substrat kedua bagi enzim gluthation
peroksidase dalam menetralkan hidrogen peroksida yang merupakan suatu
oksidan yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah
merah.

17

Senyawa GSH pada awalnya dalah suatu glutation bentuk disulfida


(glutation teroksidasi, GSSG) yang direduksi menjadi glutation bentuk sulfhidril
(glutation tereduksi, GSH). Reduksi GSSG menjadi GSH dilakukan oleh
NADPH, pada jalur pentosa fosfat, dimana pada jalur metabolisme ini NADPH
dibentuk bila glucose-6-phosphate dioksidasi menjadi 6-fosfogluconat dengan
bantuan enzim G6PD (Gambar 2) 10-16,25. .Dari uraian di atas dapat diketahui
bahwa fungsi enzim G6PD adalah menyediakan NADPH yang diperlukan untuk
membentuk kembali GSH.

Pada defisiensi G6PD kadar NADPH berkurang, sehingga adanya paparan


terhadap stress oksidan akan mempengaruhi pembentukan ikatan disulfide,
mengakibatkan hemoglobin mengalami denaturasi dan membentuk partikel
kental (Heinz bodies). Heinz bodies akan berikatan dengan membran sel,
menyebabkan perubahan isi, elastisitas, dan permeabilitas sel. Sel darah merah
pada kondisi tersebut dikenali sebagai sel darah merah yang rusak dan akan
dihancurkan oleh sistem retikulo-endotelial (lien, hepar dan sumsum tulang)

18

proses hemolitik. Meskipun gen G6PD terdapat pada semua jaringan tubuh,
tetapi efek defisiensi dalam eritrosit pengaruhnya sangat besar karena enzim
G6PD diperlukan dalam menghasilkan energi untuk mempertahan umur eritrosit,
membawa oksigen, regulasi transport ion dan air kedalam dan keluar sel,
membantu pembuangan karbondioksida dan proton yang terbentuk pada
metabolisme jaringan. Karena tidak ada mitokondria di dalam eritrosit maka
oksidasi G6PD hanya bersumber dari NADPH, bila kadar enzim G6PD menurun,
eritrosit mengalami kekurangan energi dan perubahan bentuk yang memudahkan
mengalami lisis bila ada stres oksidan.
Manifestasi Klinis dan Laboratoris
1. Manifestasi Klinis
Pada umumnya, individu dengan defisiensi enzim G6PD yang diturunkan,
tidak mengalami hemolisis dan sering tanpa anemia (serta tanpa gejala), namun
hal tersebut dapat timbul bila penderita terpapar bahan eksogen yang potensial
menimbulkan kerusakan oksidatif. Beberapa penyakit yang diketahui
berhubungan dengan defisiensi G6PD adalah : hiperbilirubinemia (Kern
Ikterik), hemolisis intravaskuler, favism, sindroma hepatitis hemolisis, anemia
hemolisis kronik.
Gejala klinik timbul 1-3 hari setelah terpapar faktor pencetus, berupa
anemia hemolitik akut dengan gambaran khas berupa rewel, iritabel/tampak
rewel, letargi, suhu meningkat > 380 C, mual, nyeri abdominal, diare, anemia,
ikterik dan kelainan pada urine (hemoglobinuria). Pada pemeriksaan fisik
didapat kepucatan yang bervariasi dan takikardi, lien dan hepar biasanya
membesar. Pada kasus berat terjadi syok hipovolemik dan gagal jantung.
2. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium didapatkan anemia normositik normokromik
bervariasi dari ringan sampai berat, gambaran menyolok anisositosis,
poikilositosis dan jumlah retikulosit meningkat > 30%. Dengan pewarnaan
metil violet tampak Heinz bodies. Jumlah lekosit biasanya meningkat dengan

19

dominan granulosit, bilirubin indirek meningkat tetapi enzim hepar dalam batas
normal.
Anemia hemolitik umumnya dicetuskan oleh paparan berupa obat-obatan
(seperti sulfonamide, primakuin, kloramfenikol, kloroquin, asam nalidiksat,
quinakrin, nitrofurantorin, salisilat, dapson, fenasetin, asitanisid, dan antipirin),
diet kacang coklat (victa fava), bahan kimia (Naphthalene), infeksi
pneumokokus, hepatitis dan penyakit ketoasidosis, yang pada prinsipnya
menyebabkan penurunan kadar glutation, dimana kadar tersebut sudah rendah
akibat defisiensi G6PD itu sendiri. Di daerah endemis malaria di Afrika dan
Asia Tenggara hemolisis sering diinduksi pemberian primakuin.
Saat ini penunjang diagnostik yang banyak digunakan dalam membantu
menegakkan diagnosis defisiensi G6PD adalah tes Heinz Body dan tesstabilitas
GSH. Uji tapis dapat dilakukan dengan test methylene-blue dengan perubahan
warna saat reduksi methemoglobin atau dengan flouresensi NADPH. Tes
diagnostik defisiensi G6PD berdasarkan aktifitas enzim dapat dideteksi dengan
pemeriksaan laboratorium sederhana. melakukan skrining dengan metode the
formazan-ring/Hironos methode.
4.

PENDEKATAN KLINIS PADA PASIEN DENGAN PENINGKATAN


BILIRUBIN
Anamnesis
Anamnesis harus meliputi riwayat kelahiran dan perinatal, riwayat penyakit
dahulu, riwayat keluarga, obat-obatan, diet, dan aktivitas sosial. Usia
penderita dan perjalanan penyakit memberikan arahan penting mengenai
penyebab ikterus. Beberapa keadaan kholestasis muncul pada awal kehidupan,
misalnya atresia bilier dan penyakit metabolik bawaan.
Umumnya penderita mengeluh mata dan badan menjadi kuning, kencing
berwarna pekat seperti air teh, badan terasa gatal (pruritus), disertai atau tanpa
kenaikan suhu badan, disertai atau tanpa kolik di perut kanan atas. Kadangkadang feses berwarna keputih-putihan seperti dempul.

20

Pada hepatitis gejala awal muncul secara mendadak seperti demam, mual,
muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut. Ikterus dapat tidak kentara pada
anak kecil muda sehingga hanya dapat terdeteksi dengan uji laboratorium.
Bila terjadi, ikterus dan urin berwarna gelap biasanya terjadi setelah gejalagejala sistemik. Selain itu juga bisa didapatkan ada riwayat ikterus pada
keluarga, teman sekolah, teman bermain, atau jika anak atau keluarga telah
berwisata ke daerah endemik.
Bila ikterus disebabkan obstruksi seperti kista koleidokus atau kolelitiasis,
penderita mengalami kolik hebat secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas.
Keluhan nyeri perut di kanan atas dan menusuk ke belakang. Penderita
tampak gelisah dan kemudian ada ikterus disertai pruritus. Riwayat ikterus
biasanya berulang. Riwayat mual ada, perut kembung, gangguan nafsu makan
disertai diare. Warna feses seperti dempul dan urine pekat seperti air teh.
Perbedaan Ikterik Berdasarkan Hasil Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik
Umum : keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)

21

Khusus : Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan
dilakukan pada pencahayaan yang memadai.
Berdasarkan kriteria Kramer dibagi :
Derajat
Ikterus
I

Daerah Ikterus

Perkiraan Kadar Bilirubin

Kepala dan leher

5,0 mg%

II

Sampai badan atas (di atas umbilikus)

9,0 mg%

III

11,4 mg/dl

IV

Sampai badan bawah (di bawah


umbilikus) hingga tungkai atas (di
atas lutut)
Sampai lengan, tungkai bawah lutut

Sampai telapak tangan dan kaki

16,0 mg/dl

12,4 mg/dl

Klasifikasi Ikterus
Tanya dan Lihat

Tanda/ Gejala

Klasifikasi

Mulai kapan?

Ikterus segera setelah lahir


Ikterus pada 2 hr pertama
Ikterus pada usia >14 hr
Ikterus lutut/siku/lebih
Bayi kurang bulan
Tinja Pucat
Ikterus usia 3-13 hari
Tanda Patologis (-)

Ikterus
Patologis

Daerah mana?
Bayi krg bln?
Warna tinja?

Ikterus
Fisiologis

(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam :
Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna
untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI, 2001)

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar
yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa
tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang

22

kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita
sedang mendapatkan terapi sinar.
Tekan kulit yang ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna
kulit dan jaringan subkutan:

Pada hari pertama, tekan pada ujung hidung atau dahi


Pada hari ke 2, tekan pada lengan atau tungkai
Pada hari ke 3 dst., tekan pada tangan dan kaki

Pemeriksaan Penunjang
a. Tes fungsi hati
1. Ekskresi empedu
Bilirubin serum direk (terkonjugasi), meningkat bila terjadi gangguan

ekskresi bilirubin terkonjugasi. Nilai normalnya 0,1-0,3 mg/dl


Bilirubin serum indirek (tidak terkonjugasi), meningkat pada keadaan

hemolitik. Nilai normalnya 0,2-0,7 mg/dl.


Bilirubin serum total, meningkat pada penyakit hepatoseluler. Nilai

normalnya 0,3-1,0 mg/dl.


2. Protein
Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di
retikulum endoplasma hepatosit. Fungsi utamanya adalah untuk
mempertahankan tekanan koloid osmotik intravaskuler dan sebagai
pembawa berbagai komponen dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion
inorganik (contohnya kalsium), serta obat-obatan. Penurunan kadar
albumin serum dapat disebabkan karena penurunan produksi akibat
penyakit parenkim hati. Nilai normalnya 3,2-5,5 g/dl.
3. Enzim serum

Aspartate aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic Oxaloasetic


Transaminase (SGOT), Alanine aminotransferase (ALT) atau Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), dan Lactic Dehydrogenase
(LDH) adalah enzim intrasel yang terutama berada di jantung, hati,
dan jaringan skelet yang dilepaskan dari jaringan yang rusak. Apabila
ada kerusakan pada jaringan-jaringan tersebut maka akan terjadi

23

kenaikan kadar enzim ini dalam serum. Nilai normal SGOT 5-35

unit/ml dan SGPT 5-35 unit/ml.


Alkaline Phosphatase
Alkaline phosphatase dibentuk dalam tulang, hati, ginjal, usus halus,
dan disekresikan ke dalam empedu. Kadarnya meningkat pada
obstruksi biliaris, penyakit tulang, dan metastasis hati. Nilai

normalnya 30-120 IU/L atau 2-4 unit/dl.


Gamma-glutamyltransferase (GGT)
GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada saluran empedu
dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien,
otak, mammae, dan usus dengan kadar tertinggi pada tubulus renal.
GGT merupakan indikator yang paling sensitif untuk mendeteksi
adanya penyakit hepatobilier. Kadar GGT tertinggi ditemukan pada
obstruksi hepatobilier. Peningkatan kadar GGT pada kolestasis
intrahepatik dan ekstrahepatik bervariasi dan tidak dapat digunakan

untuk membedakan di antara keduanya.


b. Pencitraan
Ultrasonografi (USG)
USG perlu dilakukan untuk menentukan penyebab obstruksi. Yang perlu
diperhatikan adalah :
- Besar, bentuk dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk
kandung empedu yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2 3 x
6 cm, dengan ketebalan sekitar 3 mm. Bila ditemukan dilatasi duktus
koledokus dan saluran empedu intrahepatal disertai pembesaran
kandung empedu menunjukan ikterus obstrusi ekstrahepatal bagian
distal. Sedangkan bila hanya ditemukan pelebaran saluran empedu
intrahepatal saja tanpa disertai pembesaran kandung empedu
menunjukkan ikterus obstruksi ekstrahepatal bagian proksimal
-

artinya kelainan tersebut di bagian proksimal duktus sistikus.


Ada tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas
tinggi disertai bayangan akustik (acustic shadow), dan ikut bergerak
pada perubahan posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu.

24

Bila tidak ditemukan tanda-tanda dilatasi saluran empedu berarti

menunjukan adanya ikterus obstruksi intra hepatal.


Computed Tomography (CT) Scan
CT Scan dilakukan untuk melihat adanya dilatasi duktus intrahepatik
yang disebabkan oleh oklusi ekstrahepatik dan duktus koledokus akibat
kolelitiasis. CT scan menyediakan evaluasi yang baik dari seluruh
saluran empedu karena dapat menentukan anatomi lebih baik daripada
ultrasonografi. CT scan mungkin modalitas pencitraan awal dalam

beberapa kasus.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI menghasilkan gambar yang sebanding dengan kualitas CT scan
tanpa paparan pasien terhadap radiasi pengion. Setelah pemberian agen
kontras yang cocok, pencitraan dari saluran empedu bisa lebih

terperinci.
Endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP berguna dalam kasus dimana obstruksi bilier diduga kuat. Ini
adalah investigasi pilihan untuk mendeteksi dan mengobati batu saluran
empedu umum dan juga berguna untuk membuat diagnosis kanker
pankreas. Kondisi lain yang mungkin berguna ERCP termasuk primary

sclerosing cholangitis dan adanya kista koledukus.


c. Biopsy hati
Banyak penderia membutuhkan biopsy hati untuk menegakkan diagnosis
pasti. Biopsy dapat dilakukan perkutan, dengan atau tanpa arahan
ultrasonografi atau melalui pembedahan. Selain untuk pemeriksaan
histopatologi untuk melihat gambaran spesifik, specimen biopsy hati dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara kuantitatif kandungan besi dan
tembaga.
Namun demikian, menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah
dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan
suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya.
Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu yaitu menggunakan saat

25

timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon pada tahun
1974, yaitu :
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut
besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadangkadang bakteri).
Defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :
Kadar bilirubin serum berkala
Darah tepi lengkap
Golongan darah ibu dan bayi
Uji coombs
Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah
atau biopsi hepar bila perlu.
B. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
Biasanya ikterus yang timbul pada rentang waktu inimtergolong
ikterus fisiologis. Namun demikian masih

ada kemungkinan

inkompatibilitas darah ABO atau Rh ataupun golongan lain. Hal ini


dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat (melebihi 5 mg
%/24 jam), misalnya :
Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin
Polisitemia
Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis,
perdarahan hepar
subkapsuler dan lain-lain).
Hipoksia.
Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.
Dehidrasi asidosis.
Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat,
dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar

26

bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan


pemeriksaan lainnya bila perlu.
C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama
Biasanya karena infeksi (sepsis).
Dehidrasi asidosis.
Difisiensi enzim G-6-PD.
Pengaruh obat.
Sindrom Criggler-Najjar.
Sindrom Gilbert.
D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
Biasanya karena obstruksi.
Hipotiroidisme.
breast milk jaundice
Infeksi.
Neonatal hepatitis.
Galaktosemia.
Lain-lain.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.
Pemeriksaan darah tepi.
Pemeriksaan penyaring G-6-PD.
Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.
Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan
penyebab.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis
sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar
patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kernicterus.
Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu :
Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.
Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus

cukup bulan
dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.
Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari.
Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.

27

Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi

atau
keadaan patologis lain yang telah diketahui.
Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

H. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan
pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi
sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan
kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra
Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud
menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.

a. Terapi Sinar

28

Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak


1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut.
Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya
isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z,
15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan
bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih
mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin
isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan
empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan
lebih cepat meninggalkan usus halus.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua
penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi
dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari
pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi
sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan Peralatan yang
digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon yang
diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berfentilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan
pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru
yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk
penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan
walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan
pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk
memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat
seluas-luasnya, yaitu dengan membuka bagian tubuh yang terkena cahaya
dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi,
selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara

29

berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171
mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. pakaian bayi.
Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang
terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak
perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di
pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL
(<171 mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu
diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit,
gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat
sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan
yang menyertainya diperbaiki.

Terapi sinar selama 72 jam diberikan pada:

Bayi cukup bulan : kadar bilirubin total 2-20 mg/dL; bilirubin bebas >0,7 g

%
Bayi kurang bulan :
Berat lahir 1500 2500 gram : kadar bilirubin total 15 mg/dL; bilirubin
bebas 0,5g%
Berat lahir <1500 gram : kadar bilirubin total 10 mg/dL;bilirubin bebas 0,3
g%

30

Perlu pengawasan ketat bayi dengan penyulit anoksia, asidosis, sepsis, bayi
kurang bulan dan bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yang mempunyai
resiko terjadinya kernikterus atau hiperbilirubinemia encepalopathy.
Jika tidak tersedia pemeriksaan untuk bilirubin bebas, dipakai tatalaksana
sbb:

31

Prosedur :
1. Diusahakan permukaan tubuh seluas0luasya terpapar dengan sinar
2. Posisi tubuh diubah setiap 2-3 jam
3. Monitor suhu bayi setiap 4 jam. Untuk bayi dalam inkubator, thermistor
probe harus dilindungi dari sinar.
4. Awasi masukan cairan : ASI tetap diteruskan, jika tidak ada atau tidak
cukup, ditambah susu formula. Pemberian dengan menetek, sendok/cangkir
dan kip sonde.
5. Kebutuhan cairan ditambah 10-15% dari kebutuhan, mungkin sampai 25%.
Jika masukan cairan tidak mencukupi, diberi cairan per infus.
6. Timbang bayi setiap hari dan awasi penurunan BB akibat kehilangan air
secara evaporasi atau diare, terutama bayi prematur.
7. Melindungi mata dan gonade dari sumber cahaya.
8. Memeriksa konsentrasi bilirubin serum secara teratur, jangan menggunakan
warna kulit bayi untuk menilai derajat ikterus.
9. Menghentikan fototerapi saat orang tua mengunjungi bayinya dan
membuka pelindung mata untuk memudahkan interaksi alami antara
orangtua dengan anak.

32

10. Memonitor konsentrasi bilirubin sehari sesudah fototerapi dihentikan untuk


mendeteksi adanya kenaikan bilirubin kembali.

Komplikasi Fototerapi
Kelainan

Mekanisme

Tanning

Induksi sintesis melanin

(perub.wrn kulit)
Sindrom
bayi

ekskresi hepatik dr foto produk

bronze
Diare

bilirubin
Bilirubin menginduksi sekresi

Intoleransi laktosa

usus
Trauma mukosa epitel villi

Hemolisis

Traua fotosensitif pada eritrosit

Kulit terbakar

sirkulasi
Paparan berlebihan karena emisi
gelombang

Dehidrasi

fluoresesn
kehilangan

pendek
air

lampu
yang

tak

disadari krn energi foto yang


Ruam kulit

diabsorpsi
Trauma fotosensitif pada sel
mast kulit dengan pelepasan
histamin

33

b. Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan
dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat
dalam mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula
antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat
bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul
perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada
indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat
kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin

Yang dimaksud ada komplikasi apabila :


1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
3. pH < 7,15 selama 1 jam
4. Suhu rektal 35 O C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi 1000 g

34

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah


yang akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan
darah ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip.
Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi,
sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila
keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang
kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat
dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah
darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
1. Double Volume artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan
dapat mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %
mengganti Hb bayi.
2. Iso Volume artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi,
dapat mengganti 65 % Hb bayi.
3. Partial Exchange artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid
pada kasus polisitemia atau darah pada anemia.
Volume Darah pada Transfusi Tukar
Kebutuhan
Double

Rumus
BB x volume darah x 2

Volume
Single

BB x volume darah

Volume
Polisitemia

BB x volume darah x (Hct sekarang-Hct yang


diinginkan)

Anemia

(Hb donor- Hbsekarang)


BB x volume darah x (PCV sekarang-PCV yang
diinginkan)
(PCV donor)

* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB

35

* Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB


(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.
Pediatrics 2004; 114 : 294)

DAFTAR PUSTAKA
1. Rusepno hasan, alatas Husein. Buku kuliah 2 ilmu kesehatan anak, edisi
11 bab infeksi. Bagian ilmu kesehatan anak, Fakultas kedokteran
universitas Indonesia, Jakarta, 2007
2. Hardiono D. pusponegoro, sri rezeki S.adinegoro, dkk. Buku standar
pelayanan medis kesehatan anak edisi 1, ikatan dokter Indonesia, Jakarta,
2003
3. Sumarno S.Poorwo soedarmo. Herry Garna. Sri rezeki S.Hadinegoro.
hindra Irawan Satari. Buku Ajar Infeksi & pediatric tropis, edisi kedua,
infeksi dengue (hal 155-181) bagian Ilmu kesehatan anak FKUI, Jakarta,
2010
4. Sutaryo, dr dkk. Buku Standar Pelayanan Media RS. Sardjito, Edisi III,
Cetakan I. 2005, Jilid 2. Medika Fakultas Kedokteran UGM, Sekip,
Yogyakarta, 2005
5. Sudoyo, AW. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, ED. 4. FKUI.
Jakarta. 2006
6. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisologi; Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Vol.1. Edisi 6. Jakarta. EGC. 2005

Anda mungkin juga menyukai