Anda di halaman 1dari 3

Mewujudkan IPNU-IPPNU sebagai

Gerakan Pelajar Berbasis Aswaja

IPNU-IPPNU adalah organisasi pelajar yang sejak kelahirannya


disiapkan sebagai wadah kaderisasi Nahdlatul Ulama (NU). Karena itulah
agenda kaderisasi menjadi "titik tempur" utama. IPNU-IPPNU masa depan
harus dapat melahirkan keder-kader yang tidak hanya tangguh secara
intelektual dan memiliki keunggulan akhlaq serta terampil berorganisasi,
melainkan juga siap tempur di medan peradaban yang makin kompleks.
Tentu untuk merealisasikan itu, hal pertama yang mesti kita lakukan
adalah penguatan kelembagaan organisasi. Tak dipungkiri, masa transisi yang
kini tengah dijalani memberikan konsekuensi yang tidak sedikit dalam ranah
keorganisasian. Konseptualisasi IPNU-IPPNU setelah kembali ke pelajar
belum selesai. "Bagaimana IPNU-IPPNU menunaikan tugasnya sebagai
organisasi pelajar?" adalah pertanyaan fundamental yang mesti segera dicari
jawabannya. Ada beberapa tawaran yang dapat penulis sampaikan.
Pertama, harus ada iktikad internal untuk melakukan pembenahan
organisatoris. Konsekuensi "kembali ke pelajar" adalah mengembalikan basis
organisasi ke sekolah dan pesantren. Mengembalikan IPNU-IPPNU ke
kandangnya (sekolah dan pesantren) menjadi sangat urgen untuk
melakukan kaderisasi di kalangan remaja terdidik. Hal ini berangkat dari
kesadaran bahwa pelajar adalah investasi masa depan bagi NU (dan bangsa).
Sementara ada kenyataan bahwa pelajar NU sebagai kekuatan masa depan
kini tidak mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama, terutama
dalam hal penanaman nilai dan gerakan. Oleh karena itu dibutuhkan
organisasi yang secara intensif menjadi wadah aktualisasi bagi pelajar dan
santri NU. Akibat tidak adanya perhatian dan pembinaan yang khusus, tidak
sedikit kalangan muda terdidik ini yang mengalami pembusukan di tengah
jalan.
Untuk merealisasikan agenda ini, maka IPNU-IPPNU harus
"berekspansi" ke sekolah dan pesantren. Namun tidak cukup dengan begitu
saja. Apa yang harus dilakukan setelah masuk sekolah dan pesantren?
Masuknya IPNU-IPPNU ke sekolah dan harus disertai dengan tawaran yang
mengiurkan bagi proses pendewasaan siswa. Di sinilah harus ada revitalisasi
peran. Demikian juga di pesantren. Tidak menyelesaikan masalah hanya
dengan berekspansi ke lembaga pendidikan tradisional itu. Lebih dari
sekolah, masuknya IPNU-IPPNU ke pondok pesantren dihadapkan dengan
tugas yang cukup berat. Sebagai lembaga pendidikan tertua, pesantren
menyimpan potensi besar dalam keilmuan agama. Jika konsep pengembangan
keilmuan agama yang ditawarkan IPNU-IPPNU di bawah kualitas pesantren,
tentu ia menjadi tidak menarik. Tugas besar lainnya adalah melakukan
perkawinan intelektual, agar dunia pesantren tidak saja melek, melainkan
juga terbuka bagi penguasaan keilmuan umum. Hal ini menjadi penting
sebagai alat pembumian keilmuan agama.

Kedua, dari sini, beranjaklah pada konsekuensi kedua, yaitu membangun


gerakan berbasis keilmuan. IPNU-IPPNU mestinya ditempatkan sebagi organ
pengkaderan yang menekankan pada penguatan intelektualisme kader. Istilah
pelajar menjadi ikon sendiri bagai agenda ini. Kegiatan dan aktifitas
organisasi mesti dilandasi dengan basis inteletualisme yang tangguh. Peran
yang mesti dimainkan, salah satunya ditekankan pada peningkatan wawasan
dan potensi keilmuan kadernya. Ini menjadi agenda kultural yang harus terus
diperankan. Karena itulah perubahan orientasi gerakan menjadi niscaya
dilakukan. Kecenderungan para kader untuk dipolitisasi dan mempolitisasi
organisasi akan terbendung oleh orientasi keilmuan ini. Hal ini menjadi makin
penting mengingat pendirian IPNU-IPPNU dilatarbelakangi oleh kebutuhan
untuk melakukan penguatan keilmuan generasi muda.
Ketiga, sebagai organ pelajar IPNU dan IPPNU tentu tidak hanya
berkungkung pada agenda-agenda internal NU. Ia harus disadari sebagai
bagian dari gerakan pelajar di Indonesia. Sejak mula kelahirannya IPNUIPNU memang menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan kaum terpelajar
yang mewarisi tradisi perlawanan terhadap kolonialisme, dalam bentuk
apapun. Berangkat dari kesadaran inilah sudah saatnya IPNU bersama IPPNU
membangun strategi gerakan yang jitu dalam menunaikan amanah
kepelajarannya. Salah satu agenda menonjol yang mesti dilakukan adalah
advokasi pelajar dan pendidikan.
Secara kultural, advokasi kepelajaran dilakukan dengan melakukan
pendampingan terhadap para pelajar dalam menapaki tugasnya sebagai
pelajar dan membentenginya dari arus pembusukan. Pada saat yang sama,
secara struktural IPNU juga harus melakukan advokasi pendidikan. Agenda
ini harus dilakukan karena meskipun zaman telah berubah, masih terlalu
banyak kebijakan pendidikan kita yang merugikan dan tidak memihak rakyat
kecil, dari biaya pendidikan yang melangit sampai yang belakangan sedang
ramai adalah Ujian Nasional (UN) yang tidak adil. Orde baru memang telah
berlalu, tapi masih terlalu banyak warisan yang kita tanggung. Karena itulah
berbagai kebijakan yang saat ini sudah tidak populer dan tidak relevan dengan
demokratisasi harus dilawan.
Tentu, perlawanan ini dan semua agenda-agenda di atas dilandasi
komitmen ideologis yang kuat. Karena itulah penguatan basis ideologi menjadi
hal yang tak dapat ditawar lagi. Sebagai bagian integral dari kultur dan
struktur NU, segenap gerak langkah dan ideologi IPNU-IPPNU harus tetap
berada dalam bingkai besar ahl al-sunnah wa al-jama'ah, atau yang kerap
disebut dengan "Aswaja".
Aswaja sudah saatnya untuk dibumikan dan agar dapat
dioperasionalisasikan dalam wilayah gerakan yang nyata. Dalam PD/PRT nya,
IPNU dan IPPNU menempatkan Aswaja sebagai asas, akan tetapi
keberadaannya selalu melangit dan tidak aplikatif, sehingga sulit menjadi
ideologi gerakan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya konseptualisasi
mengenai hal itu. Padahal sesungguhnya Aswaja adalah aset ideologi yang
sangat mahal dan autentik. Di dalamnya memiliki kekayaan nilai yang
seharusnya mampu dibumikan hingga menjadi basis ideologis yang kuat,
tentu dengan pemaknaan yang kontekstual.
Aswaja yang mestinya dimaknai dan dibumikan secara lebih konkret
pada ranah sosial bukanlah Aswaja yang hanya dimaknai sebagai doktrin dan
metode fikir (manhaj al-fikr) semata. Lebih dari sekadar itu, Aswaja
2

seharusnya dijadikan sebagai motor perubahan (manhaj al-taghayyur).


Karena jika Aswaja tetap dimaknai hanya sekadar madzhab yang beku dan
stagnan, maka ia tidak akan mampu mengawal dan membawa perubahan
menuju peradaban baru.
Berangkat dari kebutuhan itulah, adalah menarik untuk memikirkan
kembali dan merekonstruksi Aswaja agar lebih aplikatif dan membumi. Tentu
ini tugas berat yang akan memakan waktu tidak sedikit. Dibutuhkan kajian
akademik dan konseptual serta pembacaan yang serius untuk membangun
Aswaja agar dapat dijadikan sebagai landasan ideologis bagi setiap gerakan
IPNU-IPPNU. Dengan basis idelogis inilah gerakan pelajar yang dimainkan
IPNU dan IPPNU akan lebih paradigmatik.
IPNU-IPPNU, dengan demikian, bukan hanya menjadi wadah bagi
kader organisatoris yang mampu menjalankan fungsi organisasi dalam
menjawab tuntutan perubahan; juga bukan hanya kader intelektual yang
mampu menjawab problem-problem keilmuan. Lebih dari sekadar itu, IPNUIPPNU akan menjadi wadah bagi kader bangsa yang memiliki kekokohan
ideologis (Aswaja) untuk melakukan kerja-kerja peradabannya. Dari sinilah
harapan IPNU menjadi organisasi gerakan pelajar menjadi mungkin. Sebab
tanpa kekuatan ideologi yang dimilikinya, mustahil sebuah gerakan bisa
dilakukan dengan baik.
Ikhtiar membangun masa depan IPNU-IPPNU yang visioner, menurut
penulis, mesti diawali dengan penguatan basis idelogis yang kokoh. Dan IPNU
yang diharapkan menjadi organ pelajar yang penting dalam konstelasi gerakan
pelajar di Indonesia sangat mungkin melakukan hal itu. Sebagaimana
Nahdlatul Ulama (NU) yang telah memiliki pengakuan dan reputasi yang
besar, sebagai anak kandungnya IPNU dan IPPNU wajib meneruskannya
dengan menyelamatkan tradisi dan menancapkan ideloginya di tengah
perubahan masyarakat yang dahsyat ini.
Penguatan basis ideologis ini akan membuat kerja-kerja IPNU dan
IPPNU baik dalam ranah pengembangan organisasi, pengkaderan, advokasi,
maupun tugas-tugas kultural lain, akan mungkin dilakukan. Setelah basis
idelogis ini dikuatkan, tugas selanjutnya adalah merancang kerja-kerja
peradaban yang lebih luas. Semua itu dilakukan sebagai ikhtiar IPNU-IPPNU
untuk mengokohkan eksistesinya sebagai bagian penting dalam konstelasi
gerakan kaum pelajar di Indonesia.[]

Anda mungkin juga menyukai