Anda di halaman 1dari 12

Pendahuluan

Demam tifoid merupakan penyakit yang dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan
Negara-negara berkembang lainnya. Demam tifoid adalah penyakit yang mudah menular dari
penderita atau karier ke orang lain melalui kebersihan dan sanitasi yang kurang. Penyebab utama
penyakit demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi yang dapat ditularkan melalui fecal-oral.
Transmisi yang paling sering terjadi adalah melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
dengan bakteri tersebut. Oleh sebab itu demam tifoid menjadi endemic di daerah-daerah yang
status ekonomi kurang baik, daerah yang sanitasinya kurang bersih, tempat dimana air bersih
susah di dapat, dan pengetahuan setiap individu yang kurang atas pentingnya kebersihan
perorangan terutama dalam mengelola makanan dan minuman.

Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu komunikasi antara dokter dengan pasien atau orang terdekat
dengan kehidupan pasien tersebut sehari-hari. Tujuan dari anamnesis ini adalah untuk
mengetahui keluhan utama dari pasien serta informasi mengenai riwayat penyakit pasien.
Anamnesis selalu diawali dengan menanyakan identitas pasien kemudian keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat pribadi, riwayat social ekonomi, riwayat
kesehatan keluarga, dan riwayat penyakit menahun keluarga. Pada keluhan utama akan
ditanyakan identitas dan sifat panas. Pada riwayat penyakit sekarang akan ditanyakan sejak
kapan dan lama panas, perjalanan riwayat panas, intensitas, sifat dan serangan panas serta
keluhan-keluhan lain yang menyertai panas.1
Pasien ini dating dengan keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu. Sifat dari panas tersebut
adalah sepanjang hari dan meninggi terutama menjelang sore hari. Keluhan lainnya adalah
pusing, nyeri perut, mual dan muntah. Pasein belum buang air besar sejak 4 hari yang lalu

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik menunjukan suhu tubuh 37.8oC, frekuensi nadi 90 kali per menit, frekuensi
nafas 18 kali per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, dan pada pemeriksaan abdomen
didapatkan nyeri tekan di ulu hati.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada scenario 3 adalah pemeriksaan laboratorium
dengan hasil Hb14 g/dl, Ht 42%, leukosit 4.000/ul, dan trombosit 200.000/ul. Pemeriksaan
lainnya adalah Widal dengan titer S.typhi O: 1/320, S.typhi H: 1/320, S.paratyphi AO: 1/80,
S.paratyphi AH negative (tidak ada).
Pemeriksaan penunjang di atas menunjukan pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosis
demam tifoid. Secara lengkapnya, pemeriksaan penunjang diagnosis demam tifoid diawali
dengan pemeriksaan darah perifer lengkap dimana biasa ditemukan leucopenia, walaupun dapat
pula terjadi kadar leukosit normal atau leukosistosis. Leukosistosis dapat terjadi walaupun tanpa
disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia ataupun limfopenia. Laju
endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. 2
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal. Selain itu masih ada uji TUBEX,
dipstick, kultur darah. Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi. Pada
uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody yang
disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspense Salmonella yang
sudah di matikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita demam tifoid yaitu agglutinin O (dari tubuh kuman),
aglutinin H (flagella kuman) dan aglutinin Vi (simpai kuman).2
Dari ketiga aglutinin tersebut, hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. 2
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O kemudian diikuti dengan

agglutinin H. pada orang yang telah sembuh, agglutinin O masih di temukan setelah 4 sampai 6
bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9 sampai 12 bulan. Oleh karena itu uji
Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. 2
Tes selanjutnya yang dapat dilakukan adalah kultur darah. Hasil biakan darah yang positif
memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
mungkin disebabkan beberapa hal seperti telah mendapat terapi antibiotic, volume darah yang
berkurang, pernah divaksinasi, dan jika pengambilan darah dilakukan setelah minggu pertama
pada saat agglutinin semakin meningkat.2
Selanjutnya ada uji TUBEX, merupakan uji semikuantitatif kolometrik yang cepat dan
mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti S.typhi O9 pada serum pasien, dengan
cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang berkonjugasi pada partikel latex yang
berwarna. Hasil positif uji TUBEX ini menunjukan terdapat infeksi tidak secara spesifik pada
S.typhi. infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negative. Perlu diketahui bahwa uji
Tubex ini hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau. 2
Uji lainnya adalah uji IgM dipstick. Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik
terhadap S.typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhoid dan antigen IgM (sebagai kontrol), reagen
deteksi yang mengandung antibody anti IgM dilekati dengan lateks pewarna. 2

Working Diagnosis
Demam tifoid sebagai diagnose kerja, karena gejala yang dialami pasien menyerupai gejala yang
didapati pada penderita demam tifoid, yaitu demam yang terus menerus dan meningkat pada sore
hari, bradikardia, konstipasi, splenomegali, dan hepatomegali. Selain dari gejala klinis tersebut,
uji laboratorium di butuhkan untuk memastikan bahwa pasien ini menderita demam tifoid. 3

Diagnosis Banding
Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinik demam tinggi, nyeri otot dan nyeri
sendi, limfadenopati, trombositopenia, perdarahan (terutama kulit), hepatomegali, dan kegagalan
peredaran darah (cilculatory failure). Pada DBD terjadi pembesaran plasma yang ditandai
dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. 2,4

Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang
eritrosit dan di tandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah. Infeksi malaria
memberikan gejala berupa demam periodic, menggigil, anemia, dan splenomegali. Masa
inkubasi berbeda-beda tergantung jenis plasmodium. Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias
Malaria secara berurutan, yaitu:2,4,5
a. Periode dingin (15-60 menit) : menggigil, badan bergetar, suhu meningkat
b. Periode panas : muka merah, nadi cepat, panas tinggi dalam beberapa jam
c. Periode berkeringat : keringat banyak, suhu menurun, penderita merasa sehat

Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Pada gejala klinis yang
ringan tidak terdapat gejala yang khas, hanya demam saja. Tapi pada yang berat, gejala khasnya
yaitu panas mendadak, kadang-kadang sampai menggigil, diikuti dengan panas yang remiten
berkisar antara 39-40oC, nyeri otot, nyeri kepala, muntah-muntah. Pada hari ketiga sampai
kelima akan timbul ikterus dan perdarahan.2,4,5

Etiologi
Penyebab demam tifoid dan paratifoid adalah Salmonella typhi, Salmonella partyphi A,
Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C. Salmonella adalah bakteri gram negative,

berukuran 1-3,5 um x 0,5-0,8 um, berbentuk batang tidak berkapsul, mempunyai flagel peritrikh
(kecuali S.pullorum dan S.gallinarum), dan tidak membentuk spora.6

Kuman tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15-41oC (suhu
pertumbuhan maksimum 37,5 oC dan pH pertumbuhan 6-8). Pada umumnya isolate kuman
Salmonella dikenal dengan sifat-sifat gerak positif. Bakteri ini mati pada pemanasan 56-57 oC
selama beberapa menit. Dalam air bisa bertahan selama 4 minggu. Masa inkubasinya 10-20 hari.6
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan pasien
dengan karier. Karier adalah orang yang sembuh dari demam tiofid dan masih terus
mengekskresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.6

Epidemiologi
Demam tifoid menyerang semua Negara terutama Negara tropis, seperti Asia tenggara,
Amerika latin, New Zealand, Australia. Seperti penyakit menular lainnya, penyakit ini banyak
ditemukan di Negara berkembang yang hygiene dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Di
daerah endemic, transmisi terjadi melalui air yang tercemar Salmonella typhi, sedangkan
makanan yang tercemar oleh carier merupakan sumber penularan tersering di daerah non
endemic. Karier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi
Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kantung
empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya karier. Kuman-kuman Salmonella typhi berada

dalam batu empedu atau dalam dinding kantung empedu yang mengandung jaringan ikat akibat
radang menahun. Kuman Salmonella typhi dapat bertahan lama dalam makanan. Vector berupa
serangga juga berperan dalam penularan penyakit. 7
Prevalensi kasus bervariasi tergantung dari lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan perilaku
masyarakat. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemis, lebih bersifat sporadic, berpencarpencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Di
Indonesia penyakit ini dapat ditemukan sepanjang tahun. Insiden tertinggi pada penularan
Salmonella typhi, yaitu pasien dengan demam tifoid dan lebih sering pasien karier. Meskipun
demam tifoid menyerang semua umur, namun golongan terbesar pada usia kurang dari 20 tahun. 7

Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lagi lolos dan
masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya
ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya di bawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. 2
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten kedalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.2
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi
intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis
organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri
yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.2
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ
lainnya.2

Gambaran Klinis
Minggu pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit ini pada awalnya sama dengan
penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam yang berkepanjangan, sakit kepala, pusing, pegalpegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah,
pernapasan semakin cepat, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit
silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita
adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Tenggorokan penderita
terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan
demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga.2

Minggu kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang
biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu,
pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu

badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Gangguan pendengaran
umumnya terjadi. diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan. Pembesaran hati dan limpa, Gangguan kesadaran.2

Penatalaksanaan
Sampai saat ini, masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu istirahat dan
perawatan, diet dan terapi penunjang, dan pemberian antimikroba. Dua terapi pertama
merupakan terapi non-medikamentosa sedangkan terapi dengan antimikroba termasuk dalam
terapi medikamentosa.2

Medikamentosa
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah :

Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam
tifoid. Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg per hari oral atau
intravena,sampai 7 hari bebas demam. Dengan kloramfenikol,demam pada demam tifoid
dapat turun rata-rata 5 hari.

Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang
daripada kloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid
dapat turun rata-rata 5-6 hari.

Kotrimoksazol: Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol.


Dosis untuk orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari digunakan sampai 7 hari bebas demam
(1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan kotrimoksazol demam rata-rata turun setelah 5-6 hari.

Ampisilin dan Amoxicillin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam,efektivitas


ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi
mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang

dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas


demam.

Sefalosporin generasi ke III: Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin


generasi ketiga antara lain Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk demam
tifoid. Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan
selama setengah jam per infuse sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5 hari.

Selain memberikan antimikroba diatas, terapi medika mentosa juga dapat berupa pemberian
kombinasi dari antimikroba tersebut. Kombinasi dua atau lebih antimikroba hanya pada keadaan
tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Kemudian bisa
juga terapi dengan pemberian kortikosteroid, khusus untuk toksik tifoid atau syok septik dengan
dosis 3 x 5 mg.
Pada wanita hamil, tidak dianjurkan pemberian kloramfenikol, terutama pada trimester
pertama karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematus, kematian fetus intrauterine, dan
grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan karena kemungkinan efek
teratogenik yang belum dapat disingkirkan, terutama pada trimester pertama. Demikian juga obat
golongan kotrimoksazol tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoxicillin.

Nonmedikamentosa
Terapi nonmedikamentosa yang dilakukan adalah istirahat dan perawatan serta diet dan
terapi penunjang. Istirahat (tirah baring) dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,
buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang
dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta
higiene perorangan tetap perlu dijaga.2
Terapi lain adalah diet serta terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam
proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan

keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi
lama. Diet yang dianjurkan berupa makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein, tidak
mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas, dan makanan
lunak diberikan selama istirahat. Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap
bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3
makanan biasa, dan seterusnya.2

Komplikasi
Karena demam tifoid merupakan penyakit sistemik, maka hamper semua organ tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi dapat terjadi. 2
1. Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perforasi usus, peritonitis
2. Komplikasi ekstra-intestinal:

Kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis

Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID

Paru: pneumonia, empiema, pleuritis

Hepatobilier: hepatitis, kolesistitis

Ginjal: glomerulonefritis, perinefritis

Tulang: osteomielitis, arthritis

Neuropsikiatrik

Pencegahan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa
(KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai
agen penyakit dan factor pejamu (host) serta factor lingkungan. Secara garis besar, ada 3 strategi
pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:2
1. Identifikasi Salmonella typhi pada pasien tifoid asimptomatik, akut, dan karier
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi Salmonella typhi akut maupun
karier

3. Proteksi orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi dengan cara pemberian vaksin

Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah, dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Umumnya prognosis
demam tifoid baik asal penderita cepat berobat, prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila
terdapat gejala klinis yang sangat berat seperti panas tinggi (hiperpireksia) atau demam konitnue,
kesadaran menurun sekali yaitu koma atau delirium, terdapat komplikasi yang berat misalnya
dehidrasi dan asidosis, peritonitis, pneumonia, keadaan gizi penderita yang buruk (malnutrisi).8

Kesimpulan
Demam tifoid adalah infeksi akut dalam saluran pencernaan yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara pemberian obat seperti kloramfenikol
dengan dosis yang tepat dan teratur. Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga sanitasi
lingkungan dan hygene perorangan serta pemberian vaksi.

Daftar Pustaka
1. Swartz MH. Buku ajar diagnostic fisik. Jakarta: EGC, 2002. H. 3-11
2. Widodo D. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;
2009. H.2797-804
3. Widoyono. Penyakit tropis Demam tifoid. Jakarta: Erlangga; 2008. h.34-6
4. Widodo D. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;
2009. H.2813-825

5. Widodo D. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;
2009. H.2807-810
6. Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics. 18th ed.
Philadelphia. 2007: 1186-90
7. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropic pada anak. Edisi ke 2. Jakarta: EGC, 2008. H.4650
8. Behrman RE. Penyakit menular dalam ilmu kesehatan anak. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2002.
H.95-100

Anda mungkin juga menyukai