LANDASAN TEORI
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan dapat dibagi ke dalam sistem pernapasan bagian
atas dan sistem pernapasan bagian bawah. Sistem pernapasan bagian atas
meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan faring. Sistem
pernapasan bagian bawah meliputi laring (kotak suara), trakea, bronkus,
bronkiolus, dan alveolus paru. Paru terbagi menjadi 2, yaitu paru kanan dan
kiri. Dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi pleura
viseralis dan pleura parietal. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung
membungkus paru sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel
pada rongga dada. Diantara kedua pleura ini terdapat rongga disebut kavum
pleura (Guyton Arthur C & Hall John E. 2001).
Fungsi utama sistem pernapasan adalah untuk memperoleh O2 agar
dapat digunakan oleh sel-sel tubuh dan mengeliminasi CO2 yang dihasilkan
oleh sel. Respirasi internal atau seluler mengacu kepada proses metabolisme
intrasel yang berlangsung di dalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan
menghasilkan CO2 selama penyerapan energi dari molekul nutrien. Respirasi
eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam
pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh. Terdapat
tiga langkah terintegrasi dalam respirasi eksternal (Guyton Arthur C & Hall
John E. 2001).
1) Ventilasi paru, atau bernapas, yang termasuk gerakan fisik udara ke dalam
dan keluar paru
2) Difusi gas, melewati membran respirasi antara celah udara alveolus dan
kapiler alveolus, dan melewati dinding kapiler antara darah dan jaringan
lain.
yaitu gaya yang menghambat pengembangan paru pada waktu inspirasi dan
menimbulkan pengempisan saat ekspirasi. Untuk mencegah keadaan tersebut,
epitel alveol tipe II memproduksi surfaktan, yaitu suatu zat campuran antara
lemak fosfat, protein dan karbohidrat. Fungsinya adalah untuk menurunkan
tegangan permukaan pada cairan alveol sehingga alveol lebih mudah
mengembang pada saat inspirasi dan mencegah alveol menutup (collaps) pada
saat ekspirasi (Alsagaff Hood & Mukty HM. 2005).
Proses setelah ventilasi adalah difusi, yaitu perpindahan oksigen dari
alveol
ke
dalam
pembuluh
darah
dan
berlaku
sebaliknya
untuk
2) Jenis kelamin
Fungsi ventilasi pada paru laki-laki lebih tinggi 20-25% daripada wanita,
karena ukuran anatomi paru laki-laki lebih besar dibandingkan wanita. Selain
itu, aktivitas laki-laki lebih tinggi sehingga recoil dan compliance paru sudah
terlatih.
3) Tinggi badan dan berat badan
Seseorang yang memiliki tubuh tinggi dan besar, fungsi ventilasi parunya
lebih tinggi daripada orang yang bertubuh kecil pendek (Guyton Arthur C &
Hall John E. 2001).
a.
b. Volume Paru
1. Volume tidal (VT) adalah volume udara yang masuk dan keluar
paru selama ventilasi normal biasa. Volume tidal pada orang
dewasa muda sehat berkisar 500 ml untuk laki-laki dan 380 ml
untuk perempuan
2. Volume cadangan inspirasi (VCI) adalah volume udara ekstra yang
masuk ke paru dengan inspirasi maksimum di atas inspirasi tidal,
berkisar 3000 ml.
3. Volume cadangan ekspirasi (VCE) adalah volume ekstra udara
yang dapat dikeluarkan pada akhir ekspirasi tidal normal, biasanya
berkisar 1.200 ml pada laki-laki dan 800 ml pada wanita
4. Volume residual (VR) adalah volume udara sisa dalam paru
setelah melakukan ekspirasi kuat. Volume residual penting untung
kelangsungan aerasi dalam darah pada saat jeda pernapasan. Ratarata volume ini pada laki-laki sekitar 1.200 ml dan perempuan
1000 ml.
10
c. Kapasitas Paru
1. Kapasitas residual fungsional (KRF) adalah penambahan volume
residual dan volume volume cadangan ekspirasi (KRF= VR +
VCE). Kapasitas ini merupakan jumlah udara sisa dalam siitem
respiratorik setelah ekspirasi normal. Nilai rata-ratanya adalah
2.200 ml
2. Kapasitas inspirasi (KI) adalah penambahan volume tidal dan
volume cadangan inspirasi (KI=VT+VCI). Nilai rata-ratanya
adalah 3.500 ml
3. Kapasitas vital (KV) adalah penambahan volume tidal, volume
cadangan
inspirasi
dan
volume
cadangan
ekspirasi
11
2.1.3 Asma
a. Definisi
Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran
pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran
udara yang reversible dan gejala pernapasan yang meliputi bunyi napas
wheezing, dyspneu, batuk, dada merasa sesak, tachypnoe dan tachycardia
(Sudoyo AW,dkk. 2006).
Asma merupakan inflamasi kronis saluran napas, yang diakibatkan
oleh masuknya alergen kedalam saluran napas sehingga menyebabkan
hipereaktivitas
bronkus,
mukus
(GINA.2010)
Asma merupakan inflamasi kronis saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain
berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
12
melibatkan
banyak
sel
dan
elemennya.
Inflamasi
kronis
13
Gejala
Gejala malam
Faal paru
2 kali sebulan
APE 80%
asma
Intermitten
Bulanan
Gejala <1x/minggu
VEP1 80%
nilai prediksi
serangan
APE 80%
Serangan singkat
nilai terbaik
Variabiliti
APE <20%
Persisten
Mingguan
Ringan
Gejala >1x/minggu,
VEP1 80%
tetapi <1x/hari
nilai prediksi
Serangan dapat
APE 80%
nilai terbaik
tidur
Variabiliti
APE 2030%
Persisten
Harian
>1x/seminggu
APE 60-
Sedang
80%
Serangan mengganggu
VEP1 60-
80% nilai
Membutuhkan
prediksi
14
Sering
APE 60%
Persisten
Kontinyu
Berat
Gejala terus-menerus
VEP1 60%
Sering kambuh
nilai prediksi
APE 60%
nilai terbaik
Variabiliti
APE > 30%
Gejala siang
hari
Terkontrol
Tidak ada (2
Terkontrol
Tidak
sebagian
terkontrol
3 atau lebih
gejala diatas
Keterbatasan
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
aktivitas
Gejala malam
hari
15
Kebutuhan
bronkodilator
Tidak ada (2
Fungsi paru
Normal
< 80 %
(VEP1 atau
APE)
e. Patofisiologi
Reaksi alergi akan terjadi, apabila faktor pencetus tersebut berikatan
dengan antibodi IgE yang akan meningkat dalam jumlah besar. Antibodi IgE
tersebut akan berikatan dengan antigen yang spesifik yang melekat pada sel
mast yang terdapat dalam interstisial paru yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Sel mast akan mengalami degranulasi sehingga
mengeluarkan mediator kimia, misalnya histamin, zat anafilaksis, faktor
kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Mediator tersebut menyebabkan edema
lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus ke dalam lumen
bronkiolus dan konstriksi otot polos bronkiolus. Oleh sebab itu, tahanan napas
akan semakin meningkat. Diameter bronkiolus lebih banyak mengalami
bronkokonstriksi selama ekspirasi daripada selama inspirasi, karena
peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus (Guyton Arthur C & Hall John E. 2001).
16
Penarikan sel
inflamasi
Sel-sel inflamasi
yang menetap
Edema &
permeabilitas
vaskular
Aktivasi sel
inflamasi
Pelepasan sitokin
& faktor
pertumbuhan
Pelepasan
mediator
inflamasi
Penurunan
apoptosis
Proliferasi otot
polos & kelenjar
mukus
Peningkatan
hipereaktivitas
bronkus
Perbaikan jaringan
dan remodelling
f. Diagnosis
Diagnosis
asma
secara
umum,
didasarkan
pada
anamnesis,
17
tungau, debu rumah, bulu binatang, pajanan terhadap iritan asap rokok,
minyak wangi, kegiatan jasmani (lari), eskpresi emosional takut, marah,
frustasi, polusi udara, dll.
Pada saat pemeriksaan fisik dapat ditemukan mengi dengan auskultasi.
Ketika serangan berlangsung, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal tersebut akan meningkatkan kerja pernapasan
dan menimbulkan tanda klinis berupa mengi, sesak napas, dan hiperinflasi.
Pemeriksaan faal paru dapat digunakan spirometri dan arus puncak respirasi.
Pemeriksaan
spirometri dilakukan
sebelum
dan
sesudah
pemberian
18
g.Pengobatan
Pengobatan asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA). Ada 6
komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
1. Penyuluhan kepada pasien
Oleh karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang
diperlukan kerjasama antara pasien, keluarga serta tenaga kesehatan. Hal
ini dapat tercapai bila pasien dan keluarganya memahami penyakitnya,
tujuan pengobatan, obat-obatan yang dipakai serta efek samping
2. Penilaian derajat beratnya asma
Penilaian beratnya gejala asma baik melalui pengukuran gejala,
pemeriksaan uji faal paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk
menilai keberhasilan pengobatan
3. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
Diharapkan dengan mencegah dan mengendalikan faktor pencetus
serangan asma makin berkurang atau derajat asma semakin ringan.
4. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Untuk dapat merencanakan obat-obat anti asma dalam mengendalikan
gejala asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan: obat-obat anti asma,
pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga, pengobatan
asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien
a) Obat-obat anti asma. Pada dasarnya obat-obat anti asma
dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma.
1) Pencegah (controller) yaitu obat-obat yang dipakai setiap
hari, dengan tujuan agar gejala asma persisten tetap
terkendali. Termasuk dalam obat ini adalah obat obat
19
20
Medikasi
Alternatif
pengontrol asma
Asma
Alternatif
lain
Tidak perlu
intermitten
Asma
Glukokortikosteroid
persisten
inhalasi (200-400 ug
- Kromolin
ringan
BD/ hari)
- Leukotrien modifiers
Asma
Kombinasi inhalasi
-Glukokortikosteroid inhalasi
Ditambah
persisten
glukokortikosteroid
agonis
sedang
(400-800 ug
-Glukokortikosteroid inhalasi
beta-2
kerja lama
lama oral
oral, atau
- Glukokortikosteroid inhalasi
Ditambah
teofilin
- Glukokortikosteroid inhalasi
lepas
lambat
Asma
Kombinasi inhalasi
Prednisolon/metilprednisolon
persisten
glukokostikosteroid
berat
lama. Ditambah 1
lepas lambat.
dibawah ini:
-Teofilin lepas
lambat
-Leukotrien
modifiers
21
Glukokostikosteroid
oral
Tabel. 4. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan
SERANGAN
PENGOBATAN
TEMPAT
PENGOBATAN
RINGAN
Terbaik :
Di rumah
- Aktivitas relatif
normal
Alternatif :
puskesmas
- Berbicara satu
napas
- Nadi <100
- APE >80%
SEDANG
Terbaik :
timbulkan gejala
tiap 4 jam
22
- Berbicara
Alternatif :
beberapa kata
- Aminofilin IV
- Nadi 100-120
- APE 60-80%
SK
BERAT
Terbaik :
- Sesak saat
istirahat
tiap 4 jam
Alternatif :
- Nadi >120
- APE <60%
MENGANCAM
Pertimbangkan
JIWA
Darurat gawat RS
intubasi ICU
- Kesadaran
berubah atau
menurun
- Gelisah
- Sianosis
- Gagal napas
23
kekambuhan
dengan
memberikan
kortikosteroid
sistemik
Sedang
Berat
Sesak napas
Berjalan
Posisi
Duduk
terlentang
membungkuk
Kata
Cara berbicara
Kesadaran
Mungkin
Berbicara
Keadaan
mengancam
Istirahat
kata
kata
Gelisah
Gelisah
demi
gelisah
Mengantuk,
gelisah,
kesadaran
menurun
20-30/ mnt
>30/menit
Nadi
100-120
>120
Akhir
Akhir
ekspirasi
ekspirasi
ekspirasi
>80%
60-80%
<60%
Otot
< 100
bantu -
Bradikardi
napas
Mengi
APE
24
2.1.4 Obesitas
a. Definisi
Obesitas adalah keadaan seseorang yang memiliki berat badan lebih
berat dibandingkan berat idealnya yang disebabkan oleh terjadinya
penumpukan lemak di tubuh (Deliser HM & Grippi MA. 2001). Obesitas
juga didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan
yang berdampak pada risiko kesehatan individu (Sastroasmoro S & Ismael
S. 2008).
b. Prevalensi Obesitas
Indonesia belum memiliki data yang lengkap untuk menggambarkan
prevalensi obesitas, namun penelitian yang dilakukan Soegih dkk pada
tahun 2004 pada 6.318 orang pengunjung suatu laboratorium dari berbagai
daerah, pekerjaan dan kelompok umur (20-55 tahun). Berdasarkan data
tersebut terdapat 9.16% pria dan 11.02% wanita yang mengalami obesitas
(indeks masa tubuh >30 kg/m2). Apabila digunakan klasifikasi obesitas
untuk orang Asia yaitu indeks massa tubuh (IMT) >25 kg/m2, maka
hasilnya menjadi 48.97% pada pria dan 40.65% pada wanita (Rachmad S
& Kunkun K. 2009).
c. Penyebab obesitas
Beberapa penyebab obesitas adalah sebagai berikut:
1. Faktor fisiologis
Faktor fisiologis dapat bersifat herediter maupun non-herediter.
Variabel yang bersifat herediter (internal faktor) merupakan variabel
yang berasal dari faktor keturunan atau genetis. Sedangkan variabel
non-herediter (eksternal faktor) adalah faktor yang berasal dari luar
individu, seperti asupan makanan yang dikonsumsi dan aktivitas fisik
(Sastroasmoro S & Ismael S. 2008).
25
sehingga
apabila
aktivitas
fisik
rendah
maka
26
BMI (kg/m2)
Underweight
Normal
Overweight
23 kg/m2
at risk
23 - 24.9 kg/m2
obese I
25 - 29.9 kg/m2
obese II
30 kg/m2
27
28
29
30
Konsumsi obat
pernapasan
(steroid)
Merokok
Polusi
Alergen
Fungsi Paru
udara
penderita asma
Infeksi
Usia
Obesitas
Peningkatan
timbunan jaringan
lemak
Sitokin
Hormon
beberapa hormon
peptida lain
Leptin
resistin,
IL6, TNF
Peningkatan reaksi
inflamasi saluran
napas
VEP1
Rasio
VEP1/KVP
Penurunan
fungsi paru
31
Fungsi Paru:
- VEP1
- Rasio VEP1/KVP
Normoweight
Obesitas
2.4 Hipotesis
H1:
Ada perbedaan VEP1 pada penderita asma obesitas dengan penderita asma
normoweight di Poli Asma RS Umum Pusat Persahabatan periode Agustus
2008 sampai Agustus 2010
H2: