Anda di halaman 1dari 27

BAB II

LANDASAN TEORI
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan dapat dibagi ke dalam sistem pernapasan bagian
atas dan sistem pernapasan bagian bawah. Sistem pernapasan bagian atas
meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan faring. Sistem
pernapasan bagian bawah meliputi laring (kotak suara), trakea, bronkus,
bronkiolus, dan alveolus paru. Paru terbagi menjadi 2, yaitu paru kanan dan
kiri. Dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi pleura
viseralis dan pleura parietal. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung
membungkus paru sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel
pada rongga dada. Diantara kedua pleura ini terdapat rongga disebut kavum
pleura (Guyton Arthur C & Hall John E. 2001).
Fungsi utama sistem pernapasan adalah untuk memperoleh O2 agar
dapat digunakan oleh sel-sel tubuh dan mengeliminasi CO2 yang dihasilkan
oleh sel. Respirasi internal atau seluler mengacu kepada proses metabolisme
intrasel yang berlangsung di dalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan
menghasilkan CO2 selama penyerapan energi dari molekul nutrien. Respirasi
eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam
pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh. Terdapat
tiga langkah terintegrasi dalam respirasi eksternal (Guyton Arthur C & Hall
John E. 2001).
1) Ventilasi paru, atau bernapas, yang termasuk gerakan fisik udara ke dalam
dan keluar paru
2) Difusi gas, melewati membran respirasi antara celah udara alveolus dan
kapiler alveolus, dan melewati dinding kapiler antara darah dan jaringan
lain.

3) Transpor oksigen dan karbondioksida antara kapiler alveolus dan kapiler


jaringan pada jaringan lain.
Ventilasi adalah pergerakan udara dari dalam ke luar paru, terdiri atas
dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari
atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan udara dari
dalam paru ke atmosfer (Alsagaff Hood & Mukty HM. 2005). Agar proses
ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot
pernapasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernapasan dibagi menjadi
dua, yaitu otot inspirasi yang terdiri atas otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma. Otot-otot ekspirasi adalah
rektus abdominis dan interkostalis internus. Inspirasi dapat terjadi apabila
tekanan intrapulmonal lebih rendah dari tekanan atmosfer, yaitu sekitar -1
mmHg sampai sekitar -3mmHg (Guyton Arthur C & Hall John E. 2001).
Tekanan intrapulmonal yang rendah disebabkan oleh adanya kontraksi
otot-otot inspirasi, sehingga inspirasi disebut sebagai pernapasan aktif. Otot
inspirasi akan menyebabkan mengembangnya rongga thoraks, sehingga
tekanan intrapleura menurun, paru akan mengembang sehingga tekanan intra
pulmonal ikut turun akhirnya udara dapat masuk ke dalam paru. Ekspirasi
atau disebut juga sebagai pernapasan pasif terjadi apabila otot ekspirasi dalam
keadaan relaksasi yang akan menyebabkan penguncupan paru akibat daya
elatisitas jaringan paru. Penguncupan paru akan menyebabkan volume rongga
thoraks mengecil, sehingga tekanan intrapleura meningkat diikuti dengan
volume paru yang mengecil lalu tekanan alveol akan meningkat akhirnya
udara bergerak keluar paru. Tekanan intrapleura berkisar antara +1mmHg
sampai +3mmHg (Guyton Arthur C & Hall John E. 2001).
Paru mempunyai kecenderungan elastis untuk recoil dan compliance.
Recoil adalah kemampuan paru untuk mengecil, sedangkan compliance adalah
kemampuan paru untuk mengembang. Beberapa keadaan yang dapat
menyebabkan penurunan compliance adalah emfisema paru, fibrosis paru, dan
deformitas tulang dada. Sebaliknya terdapat tegangan permukaan pada alveol,

yaitu gaya yang menghambat pengembangan paru pada waktu inspirasi dan
menimbulkan pengempisan saat ekspirasi. Untuk mencegah keadaan tersebut,
epitel alveol tipe II memproduksi surfaktan, yaitu suatu zat campuran antara
lemak fosfat, protein dan karbohidrat. Fungsinya adalah untuk menurunkan
tegangan permukaan pada cairan alveol sehingga alveol lebih mudah
mengembang pada saat inspirasi dan mencegah alveol menutup (collaps) pada
saat ekspirasi (Alsagaff Hood & Mukty HM. 2005).
Proses setelah ventilasi adalah difusi, yaitu perpindahan oksigen dari
alveol

ke

dalam

pembuluh

darah

dan

berlaku

sebaliknya

untuk

karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke


tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada difusi gas dalam
paru, yaitu faktor membran, faktor darah, dan faktor sirkulasi. Selanjutnya
adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke jaringan dan
jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton Arthur C & Hall John
E. 2001).
Dapat terjadi gangguan pada fungsi paru, baik pada ventilasi, difusi
maupun transportasi. Gangguan ventilasi mencakup gangguan restriksi dan
gangguan obstruksi. Pada pasien asma, dikarenakan adanya reaksi inflamasi
pada saluran pernapasan sehingga saluran pernapasan tersebut menyempit dan
menyebabkan gangguan obstruksi. Obstruksi mengakibatkan terjadinya
perlambatan arus respirasi (Price S & Wilson LM. 2002).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru adalah:


1) Usia
Kekuatan otot maksimal pada usia 20-40 tahun dan akan berkurang sebanyak
20% setelah usia 40 tahun (Adriana Pusparini.2003). Selama proses penuaan
terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial, penurunan
kapasitas paru dan peningkatan jumlah ruang rugi.

2) Jenis kelamin
Fungsi ventilasi pada paru laki-laki lebih tinggi 20-25% daripada wanita,
karena ukuran anatomi paru laki-laki lebih besar dibandingkan wanita. Selain
itu, aktivitas laki-laki lebih tinggi sehingga recoil dan compliance paru sudah
terlatih.
3) Tinggi badan dan berat badan
Seseorang yang memiliki tubuh tinggi dan besar, fungsi ventilasi parunya
lebih tinggi daripada orang yang bertubuh kecil pendek (Guyton Arthur C &
Hall John E. 2001).

2.1.2 Volume dan Kapasitas Paru


Metode sederhana untuk mempelajari ventilasi paru adalah dengan
mencatat volume udara yang keluar masuk paru, suatu proses yang disebut
spirometri. Spirometer ini terdiri atas sebuah drum yang dibalikkan di atas
bak air, dan drum tersebut diimbangi oleh suatu beban. Dalam drum terdapat
gas untuk bernapas, biasanya udara atau oksigen; dan sebuah pipa yang
menghubungkan mulut dengan ruang gas. Apabila seseorang bernapas dari
dan ke dalam ruang ini, drum akan naik turun dan akan terjadi perekaman
yang sesuai di atas gulungan kertas yang berputar (Guyton Arthur C & Hall
John E. 2001).
Pada orang dewasa sehat, rata-rata, jumlah maksimum udara yang
dapat dikandung oleh kedua paru adalah sekitar 5,7 liter pada pria & 4,2 liter
pada wanita. Bentuk anatomis, usia, distensibilitas paru, dan ada atau tidak
penyakit paru mempengaruhi kapasitas paru total ini. Volume udara dalam
paru dan kecepatan saat inspirasi dan ekspirasi dapat diukur melalui
spirometer (PDPI.2006).
Gambar (kurva spirometri) adalah sebuah spirogram yang menunjukan
perubahan volume paru pada berbagai kondisi pernapasan (Sherwood L.2001)

a.
b. Volume Paru
1. Volume tidal (VT) adalah volume udara yang masuk dan keluar
paru selama ventilasi normal biasa. Volume tidal pada orang
dewasa muda sehat berkisar 500 ml untuk laki-laki dan 380 ml
untuk perempuan
2. Volume cadangan inspirasi (VCI) adalah volume udara ekstra yang
masuk ke paru dengan inspirasi maksimum di atas inspirasi tidal,
berkisar 3000 ml.
3. Volume cadangan ekspirasi (VCE) adalah volume ekstra udara
yang dapat dikeluarkan pada akhir ekspirasi tidal normal, biasanya
berkisar 1.200 ml pada laki-laki dan 800 ml pada wanita
4. Volume residual (VR) adalah volume udara sisa dalam paru
setelah melakukan ekspirasi kuat. Volume residual penting untung
kelangsungan aerasi dalam darah pada saat jeda pernapasan. Ratarata volume ini pada laki-laki sekitar 1.200 ml dan perempuan
1000 ml.

10

c. Kapasitas Paru
1. Kapasitas residual fungsional (KRF) adalah penambahan volume
residual dan volume volume cadangan ekspirasi (KRF= VR +
VCE). Kapasitas ini merupakan jumlah udara sisa dalam siitem
respiratorik setelah ekspirasi normal. Nilai rata-ratanya adalah
2.200 ml
2. Kapasitas inspirasi (KI) adalah penambahan volume tidal dan
volume cadangan inspirasi (KI=VT+VCI). Nilai rata-ratanya
adalah 3.500 ml
3. Kapasitas vital (KV) adalah penambahan volume tidal, volume
cadangan

inspirasi

dan

volume

cadangan

ekspirasi

(KT=VT+VCI+VCE). Kapasitas vital merupakan jumlah udara


maksimal yang dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi
maksimum. Kapasitas vital dipengaruhi oleh beberapa faktor,
misalnya postur, ukuran rongga toraks, dan compliance paru
dengan nilai rata-rata sekitar 4.500 ml
4. Kapasitas paru total (KTP) adalah jumlah total udara yang dapat
ditampung dalam paru dan sama dengan kapasitas vital ditambah
volume residual (KTP=KV+VR). Nilai rata-ratanya adalah 5.700
ml
Gambaran fungsi ventilasi dapat dinilai melalui volume dan kapasitas
pernapasan. Pada pasien asma dengan gangguan ventilasi dimana diameter
bronkiolus lebih banyak berkurang selama ekspirasi daripada inspirasi, karena
peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus. Oleh karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, sumbatan
selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi
berat terutama selama ekspirasi. Penderita asma dapat melakukan inspirasi
dengan baik namun sangat sulit untuk ekspirasi. Pemeriksaan di klinik
biasanya menunjukkan penurunan kecepatan ekspirasi maksimum dan volume
ekspirasi (Guyton Arthur C & Hall John E. 2001).

11

Pemeriksaan paru yang sederhana dapat menggunakan spirometri


(Virani N, Shah B & Celly A. 2001). Indikasi untuk melakukan pemeriksaan
spirometri adalah mendeteksi kelainan, menentukan derajat kelainan,
menentukan asal kelainan patologik, rencana terapi, evaluasi terapi dan
monitor progresiviti penyakit (Boyle AH & Locke DL. 2004). Tekniknya
mula-mula pasien akan melakukan inspirasi maksimal sampai kapasitas paru
total, kemudian ekspirasi ke dalam spirometer dengan ekspirasi maksimal
paksa secepatnya dan sesempurna mungkin. Dilakukan sebanyak 3 kali dan
diambil nilai terbaik (Marion MS, Leonardson GR, Rhoades ER, Welty TK &
Enright PL. 2001).
Parameter yang digunakan untuk menentukkan fungsi paru adalah
kapasitas vital (vital capacity/VC), volume ekspirasi paksa detik pertama
(Forced expiratory volume in 1 second/FEV1), kapasitas vital paksa (forced
vital capacity/FVC) dan rasio VEP1/KVP (PDPI.2006).

2.1.3 Asma
a. Definisi
Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran
pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran
udara yang reversible dan gejala pernapasan yang meliputi bunyi napas
wheezing, dyspneu, batuk, dada merasa sesak, tachypnoe dan tachycardia
(Sudoyo AW,dkk. 2006).
Asma merupakan inflamasi kronis saluran napas, yang diakibatkan
oleh masuknya alergen kedalam saluran napas sehingga menyebabkan
hipereaktivitas

bronkus,

bronkonstriksi dan penumpukkan

mukus

(GINA.2010)
Asma merupakan inflamasi kronis saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain
berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada

12

penderita asma. Asma adalah gangguan inflamasi kronis saluran napas


yang

melibatkan

banyak

sel

dan

elemennya.

Inflamasi

kronis

menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan


gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk terutama malam hari dan atau dini hari (PDPI.2006).
b.Epidemiologi Asma
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) yang menunjukkan asma, bronkitis kronis dan emfisema sebagai
penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5.6% (PDPI.2006).
c. Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor
pejamu (host) dan faktor lingkungan. Yang termasuk faktor pejamu adalah
genetik, hiperaktivitas bronkus, jenis kelamin, dan ras, sedangkan yang
termasuk faktor lingkungan adalah alergen, sensitivitas lingkungan kerja,
asap rokok, polusi udara, infeksi saluran pernapasan, diet, dan status
sosioekonomi.

13

d.Klasifikasi Asma berdasarkan gejala klinis


Tabel 1 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gejala klinis
(PDPI.2006).
Derajat

Gejala

Gejala malam

Faal paru

2 kali sebulan

APE 80%

asma
Intermitten

Bulanan
Gejala <1x/minggu

VEP1 80%

Tanpa gejala di luar

nilai prediksi

serangan

APE 80%

Serangan singkat

nilai terbaik
Variabiliti
APE <20%

Persisten

Mingguan

>2 kali sebulan

APE > 80%

Ringan

Gejala >1x/minggu,

VEP1 80%

tetapi <1x/hari

nilai prediksi

Serangan dapat

APE 80%

mengganggu ativitas dan

nilai terbaik

tidur

Variabiliti
APE 2030%

Persisten

Harian

>1x/seminggu

APE 60-

Sedang

Gejala setiap hari

80%

Serangan mengganggu

VEP1 60-

saat aktivitas dan tidur

80% nilai

Membutuhkan

prediksi

bronkodilator setiap hari

APE 6080% nilai


terbaik
Variabiliti

14

APE > 30%

Sering

APE 60%

Persisten

Kontinyu

Berat

Gejala terus-menerus

VEP1 60%

Sering kambuh

nilai prediksi

Aktivitas fisik terbatas

APE 60%
nilai terbaik
Variabiliti
APE > 30%

Ketika asma sudah terkontrol, penderita dapat mencegah serangan, menghindari


serangan malam dan tetap beraktivitas dengan aktif.
Tabel 2. Klasifikasi asma terkontrol (GINA. 2010).
Karakteristik

Gejala siang
hari

Terkontrol

Tidak ada (2

Terkontrol

Tidak

sebagian

terkontrol

Lebih dari 2 kali

3 atau lebih
gejala diatas

kali atau kurang


per minggu)

Keterbatasan

Tidak ada

Ada

Tidak ada

Ada

aktivitas
Gejala malam
hari

15

Kebutuhan
bronkodilator

Tidak ada (2

Lebih dari 2 kali

kali atau kurang


per minggu)

Fungsi paru

Normal

< 80 %

(VEP1 atau
APE)

e. Patofisiologi
Reaksi alergi akan terjadi, apabila faktor pencetus tersebut berikatan
dengan antibodi IgE yang akan meningkat dalam jumlah besar. Antibodi IgE
tersebut akan berikatan dengan antigen yang spesifik yang melekat pada sel
mast yang terdapat dalam interstisial paru yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Sel mast akan mengalami degranulasi sehingga
mengeluarkan mediator kimia, misalnya histamin, zat anafilaksis, faktor
kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Mediator tersebut menyebabkan edema
lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus ke dalam lumen
bronkiolus dan konstriksi otot polos bronkiolus. Oleh sebab itu, tahanan napas
akan semakin meningkat. Diameter bronkiolus lebih banyak mengalami
bronkokonstriksi selama ekspirasi daripada selama inspirasi, karena
peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus (Guyton Arthur C & Hall John E. 2001).

16

Bagan 1. Mekanisme Inflamasi pada Asma (PDPI.2006)

Penarikan sel
inflamasi

Sel-sel inflamasi
yang menetap

Edema &
permeabilitas
vaskular

Aktivasi sel
inflamasi

Pelepasan sitokin
& faktor
pertumbuhan

Pelepasan
mediator
inflamasi

Aktivasi fibroblast dan


makrofag

Sekresi mukus &


bronkokonstriksi

Penurunan
apoptosis

Proliferasi otot
polos & kelenjar
mukus

Aktivasi & kerusakan


sel epitel

Peningkatan
hipereaktivitas
bronkus

Perbaikan jaringan
dan remodelling

f. Diagnosis
Diagnosis

asma

secara

umum,

didasarkan

pada

anamnesis,

pemeriksaan faal paru terutama reversibilitas kelainan faal paru. Pada


anamnesis gejala yang biasanya timbul adalah batuk, sesak napas, rasa berat
di dada, gejala timbul atau memburuk pada malam hari dan respons terhadap
pemberian bronkodilator. Beberapa faktor pencetus serangan asma adalah
infeksi virus pada saluran pernapasan (influenza), pajanan terhadap alergen

17

tungau, debu rumah, bulu binatang, pajanan terhadap iritan asap rokok,
minyak wangi, kegiatan jasmani (lari), eskpresi emosional takut, marah,
frustasi, polusi udara, dll.
Pada saat pemeriksaan fisik dapat ditemukan mengi dengan auskultasi.
Ketika serangan berlangsung, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi

dapat menyumbat saluran napas, sebagai kompensasinya

penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal tersebut akan meningkatkan kerja pernapasan
dan menimbulkan tanda klinis berupa mengi, sesak napas, dan hiperinflasi.
Pemeriksaan faal paru dapat digunakan spirometri dan arus puncak respirasi.
Pemeriksaan

spirometri dilakukan

sebelum

dan

sesudah

pemberian

bronkodilator hirup golongan adrenergik beta. Pemeriksaan spirometri selain


penting untuk diagnosis juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan
efek pengobatan (PDPI.2006).
Selain dengan spirometri, dapat juga digunakan uji provokasi bronkus
untuk mendiagnosis asma. Uji ini dilakukan apabila uji spirometri normal,
untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus. Ada beberapa cara untuk
melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi histamin, metakolin,
kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik dan bahkan dengan
aqua destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna.
Uji dengan kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat
selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum.
Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak
Ekspirasi) paling sedikit 10%. Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan
menunjukkan kadar eosinofil yang meningkat (Sudoyo. AW, dkk. 2006).

18

g.Pengobatan
Pengobatan asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA). Ada 6
komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
1. Penyuluhan kepada pasien
Oleh karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang
diperlukan kerjasama antara pasien, keluarga serta tenaga kesehatan. Hal
ini dapat tercapai bila pasien dan keluarganya memahami penyakitnya,
tujuan pengobatan, obat-obatan yang dipakai serta efek samping
2. Penilaian derajat beratnya asma
Penilaian beratnya gejala asma baik melalui pengukuran gejala,
pemeriksaan uji faal paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk
menilai keberhasilan pengobatan
3. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
Diharapkan dengan mencegah dan mengendalikan faktor pencetus
serangan asma makin berkurang atau derajat asma semakin ringan.
4. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Untuk dapat merencanakan obat-obat anti asma dalam mengendalikan
gejala asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan: obat-obat anti asma,
pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga, pengobatan
asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien
a) Obat-obat anti asma. Pada dasarnya obat-obat anti asma
dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma.
1) Pencegah (controller) yaitu obat-obat yang dipakai setiap
hari, dengan tujuan agar gejala asma persisten tetap
terkendali. Termasuk dalam obat ini adalah obat obat

19

anti inflamasi dan bronkodilator kerja panjang. Yang


termasuk obat anti-inflamasi adalah kortikosteroid hirup,
obat anti inflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi
serta mempunyai daya profilaksis dan supresi
2) Penghilang gejala (reliever). Obat penghilang gejala yaitu
obat-obat yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan
gejala akut yang menyertai dengan segera. Termasuk
dalam golongan ini yaitu agonis beta-2 hirup kerja
pendek, kortikosteroid sistemk, antikolinergik hirup,
teofilin kerja pendek, agonis beta 2 oral kerja pendek
b) Pengobatan farmakologis berdasarkan anak tangga
Suatu asma dikatakan terkendali apabila: gejala asma kronis
minimal, termasuk gejala asma malam, serangan / eksaserbasi
akut minimal, kebutuhan agonis beta 2 minimal, tidak ada
keterbatasan aktivitas, variasi APE < 20%, nilai APE mendekati
normal, efek samping obat minimal, tidak memerlukan
pertolongan gawat darurat.

20

Tabel 3. Pengobatan berdasarkan berat asma (Sudoyo AW,dkk. 2006).


Semua tahapan: ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan tidak melebihi 3-4 kali sehari
Berat Asma

Medikasi

Alternatif

pengontrol asma
Asma

Alternatif
lain

Tidak perlu

intermitten
Asma

Glukokortikosteroid

- Teofilin lepas lambat

persisten

inhalasi (200-400 ug

- Kromolin

ringan

BD/ hari)

- Leukotrien modifiers

Asma

Kombinasi inhalasi

-Glukokortikosteroid inhalasi

Ditambah

persisten

glukokortikosteroid

ditambah teofilin lepas lambat

agonis

sedang

(400-800 ug

-Glukokortikosteroid inhalasi

beta-2

BD/hari) dan agonis

ditambah agonis beta-2 kerja

kerja lama

beta-2 kerja lama

lama oral

oral, atau

- Glukokortikosteroid inhalasi

Ditambah

dosis tinggi (>800ug BD)

teofilin

- Glukokortikosteroid inhalasi

lepas

ditambah Leukotrien modifiers

lambat

Asma

Kombinasi inhalasi

Prednisolon/metilprednisolon

persisten

glukokostikosteroid

oral selang sehari 10mg

berat

(>800 ug BD) dan

ditambah agonis beta-2 kerja

agonis beta-2 kerja

lama oral, ditambah teofilin

lama. Ditambah 1

lepas lambat.

dibawah ini:
-Teofilin lepas
lambat
-Leukotrien
modifiers

21

Glukokostikosteroid
oral

5. Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien


Sistem pengobatan ini ditujukan untuk memudahkan pasien mengetahui
perjalanan dan kronisitas asma, memantau kondisi penyakitnya, mengenal
tanda-tanda dini serangan asma adan dapat bertindak segera untuk
mengatasi. Dengan menggunakan peak flow meter, pasien diminta untuk
mengukur nilai APE dan membandingkan nilai-nilai tersebut dengan nilai
sebelumnya.

Tabel. 4. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan
SERANGAN

PENGOBATAN

TEMPAT
PENGOBATAN

RINGAN

Terbaik :

Di rumah

- Aktivitas relatif

Inhalasi agonis beta-2

Di praktek dokter/ klinik/

normal

Alternatif :

puskesmas

- Berbicara satu

Kombinasi oral agonis

kalimat dalam satu

beta-2 dan teofilin

napas
- Nadi <100
- APE >80%
SEDANG

Terbaik :

- Jalan jarak jauh

Nebulisasi agonis beta-2

timbulkan gejala

tiap 4 jam

Darurat gawat RS/ klinik

22

- Berbicara

Alternatif :

beberapa kata

- Agonis beta-2 subkutan

dalam satu napas

- Aminofilin IV

- Nadi 100-120

- Adrenalin 1/1000 0.3ml

- APE 60-80%

SK

BERAT

Terbaik :

- Sesak saat

Nebulisasi agonis beta-2

istirahat

tiap 4 jam

- Berbicara per kata

Alternatif :

- Nadi >120

- Agonis beta-2 SK/IV

- APE <60%

- Adrenalin 1/1000 0.3 SK

MENGANCAM

Pertimbangkan

JIWA

dan ventilasi mekanis

Darurat gawat RS

intubasi ICU

- Kesadaran
berubah atau
menurun
- Gelisah
- Sianosis
- Gagal napas

6. Merencanakan pengobatan asma akut


Tujuan pengobatan asma akut adalah: menghilangkan obstruksi saluran
napas dengan segera, mengatasi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru
ke arah normal secepat mungkin, mencegah terjadinya serangan
berikutnya, memberikan penyuluhan kepada pasien tentang cara-cara
mengatasi serangan asma akut. Prinsip utama pengobatan serangan asma
adalah:

23

a) Memelihara saturasi oksigen yang cukup


b) Melebarkan saluran pernapasan dengan bronkodilator aerosol
c) Mengurangi inflamasi
d) Mencegah

kekambuhan

dengan

memberikan

kortikosteroid

sistemik

Tabel 5. Klasifikasi berat serangan asma akut (Sudoyo AW,dkk.2006).


Gejala dan
tanda

Berat serangan akut


Ringan

Sedang

Berat

Sesak napas

Berjalan

Posisi

Dapat tidur Duduk

Duduk

terlentang

membungkuk

Satu kalimat Beberapa

Kata

Cara berbicara

Kesadaran

Mungkin

Berbicara

Keadaan
mengancam

Istirahat

kata

kata

Gelisah

Gelisah

demi

gelisah

Mengantuk,
gelisah,
kesadaran
menurun

Frekuensinapas < 20/menit

20-30/ mnt

>30/menit

Nadi

100-120

>120

Akhir

Akhir

Inspirasi dan Silent chest

ekspirasi

ekspirasi

ekspirasi

>80%

60-80%

<60%

Otot

< 100
bantu -

Bradikardi

napas
Mengi

APE

24

2.1.4 Obesitas
a. Definisi
Obesitas adalah keadaan seseorang yang memiliki berat badan lebih
berat dibandingkan berat idealnya yang disebabkan oleh terjadinya
penumpukan lemak di tubuh (Deliser HM & Grippi MA. 2001). Obesitas
juga didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan
yang berdampak pada risiko kesehatan individu (Sastroasmoro S & Ismael
S. 2008).
b. Prevalensi Obesitas
Indonesia belum memiliki data yang lengkap untuk menggambarkan
prevalensi obesitas, namun penelitian yang dilakukan Soegih dkk pada
tahun 2004 pada 6.318 orang pengunjung suatu laboratorium dari berbagai
daerah, pekerjaan dan kelompok umur (20-55 tahun). Berdasarkan data
tersebut terdapat 9.16% pria dan 11.02% wanita yang mengalami obesitas
(indeks masa tubuh >30 kg/m2). Apabila digunakan klasifikasi obesitas
untuk orang Asia yaitu indeks massa tubuh (IMT) >25 kg/m2, maka
hasilnya menjadi 48.97% pada pria dan 40.65% pada wanita (Rachmad S
& Kunkun K. 2009).
c. Penyebab obesitas
Beberapa penyebab obesitas adalah sebagai berikut:
1. Faktor fisiologis
Faktor fisiologis dapat bersifat herediter maupun non-herediter.
Variabel yang bersifat herediter (internal faktor) merupakan variabel
yang berasal dari faktor keturunan atau genetis. Sedangkan variabel
non-herediter (eksternal faktor) adalah faktor yang berasal dari luar
individu, seperti asupan makanan yang dikonsumsi dan aktivitas fisik
(Sastroasmoro S & Ismael S. 2008).

25

Terjadinya obesitas merupakan dampak dari terjadinya


kelebihan asupan energi (energy intake) dibandingkan dengan energi
yang diperlukan (energy expenditure) oleh tubuh sehingga kelebihan
asupan energi tersebut disimpan dalam bentuk lemak. Makanan
merupakan sumber dari asupan energi. Sumber energi yang diubah
dari makanan adalah karbohidrat, protein dan lemak. Apabila terjadi
kelebihan sumber energi maka akan disimpan dalam tubuh.
Karbohidrat disimpan dalam bentuk glikogen dan sisanya lemak.
Protein akan dibentuk sebagai protein tubuh dan sisanya lemak.
Sedangkan lemak disimpan dalam bentuk lemak. Tubuh memiliki
kemampuan menyimpan lemak yang tidak terbatas.
Faktor-faktor yang berpengaruh dari asupan makanan yang
dikonsumsi terdiri atas kuantitas, porsi perkali makan, kepadatan
energi dari makanan yang dimakan, kebiasaan makan malam hari,
frekuensi makanan, dan jenis makananan. Aktivitas fisik merupakan
salah satu faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan energi (energy
expenditure),

sehingga

apabila

aktivitas

fisik

rendah

maka

kemungkinan terjadinya obesitas semakin tinggi (Rachmad S &


Kunkun K.2009).
2. Faktor psikologis
Faktor psikologis adalah gambaran kondisi emosional yang
tidak stabil yang menyebabkan individu melakukan pelarian diri, salah
satunya adalah dengan cara makan makanan yang mengandung kalori
atau kolesterol tinggi dalam jumlah yang banyak (Deliser HM &
Grippi MA. 2001).
3. Obat-obatan
Obat-obat tertentu (misalnya steroid dan beberapa anti-depresi)
dapat menyebabkan penambahan berat badan (Rachmad S & Kunkun
K. 2009).
d. Jenis obesitas ((Rachmad S & Kunkun K. 2009)

26

Berdasarkan letak timbunan lemak, obesitas dapat diklasifikasikan menjadi:


1. Obesitas android atau tipe sentral
Bila lemak banyak tertimbun di setengah bagian atas tubuh (perut,
dada, punggung, muka). Pada umumnya tipe ini dialami oleh pria.
2. Obesitas gynekoid atau tipe perifer
Bila lemak tertimbun di setengah bagian bawah tubuh (pinggul dan
paha). Kegemukan tipe ini biasanya banyak dialami oleh wanita

e. Cara pengukuran obesitas


1. Indeks Massa Tubuh (IMT)
IMT (Indeks Massa Tubuh) berkolerasi bermakna dengan lemak tubuh.
IMT (Indeks Massa Tubuh) dapat diketahui dengan cara mengukur berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB) terlebih dahulu. Indeks massa tubuh
adalah hasil pengukuran antara berat badan (BB) dalam kilogram dibagi
tinggi badan (TB) kuadrat dalam meter. Dengan klasifikasi sebagai
berikut:

Tabel. 6 Klasifikasi Berat Badan yang diusulkan berdasarkan BMI


pada Penduduk Asia Dewasa (IOTF, WHO 2000) (Rachmad S &
Kunkun K. 2009)
Kategori

BMI (kg/m2)

Underweight

< 18.5 kg/m2

Normal

18.5 - 22.9 kg/m2

Overweight

23 kg/m2

at risk

23 - 24.9 kg/m2

obese I

25 - 29.9 kg/m2

obese II

30 kg/m2

27

2. Pengukuran Lingkar Perut


Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita plastik atau logam yang
tidak elastis, di daerah setinggi umbilikus atau pada titik tengah antara
tulang iga paling bawah dengan puncak tulang iliaka.
3. Pemeriksaan Komposisi Tubuh
Dilakukan dengan menggunakan alat, seperti bioelectric impedance
analysis (BIA) dan dual energy x-ray absorptiometry (DEXA).

2.1.5 Faal Paru padaObesitas


Sejumlah perubahan pada mekanis pernapasan dan faal paru terjadi
pada obesitas (Deliser HM & Grippi MA. 2001). Rentang nilai kelainan
kuantitatif uji faal paru dapat terjadi dari yang tidak punya makna klinis
sampai disfungsi berat disertai gejala dan konsekuensi menjadi sulit.
Perubahan faal paru terjadi pada obesitas meskipun tidak ada penyakit yang
mendasari (Piliang S & Karim M. 2002). Peningkatan IMT menyebabkan
peningkatan massa dinding dada, termasuk tulang iga dan massa di abdomen
sehingga akan menurunkan recoil dinding dada dan meningkatkan tekanan di
dalam abdomen (Ladesky W. 2001).
a. Perubahan Faal Paru
Efek obesitas tanpa komplikasi terhadap volume paru adalah menurunkan
volume cadangan ekspirasi (VCE) sehingga akan menurunkan kapasitas
residu fungsional (KRF) dan kapasitas paru total (KPT) (Faisal Yunus &
Hermawan S. 2005).
b. Pertukaran gas
Pada penderita obesitas nilai VCE dapat sangat kecil dan mendekati nilai
VR, sebagai akibatnya ventilasi pada basal paru mengalami penurunan
sehingga meningkatkan hipoksemia. Nilai VCE dapat lebih kecil dari
closing volume menyebabkan penutupan jalan napas dan meningkatkan
AaDO2 (tekanan oksigen alveoli dan arteri). Area ventilasi yang relatif

28

rendah terhadap perfusi menyebabkan mudah timbulnya mikroatelektasis


(kolaps alveoli). Akibat penutupan saluran napas kecil dan kolapsnya
alveoli perfusi pada bagian bawah paru baik tetapi ventilasi buruk,
sehingga penurunan rasio ventilasi perfusi berkontribusi terhadap
turunnya PaO2 (hipoksemia) dan peningkatan AaDO2 (Faisal Yunus &
Hermawan S. 2005).
c. Mekanis pernapasan
Obesitas secara umum menurunan compliance paru, dinding dada dan
sistem respirasi total. Perubahan compliance disebabkan oleh tekanan
berat pada toraks dan abdomen sehingga menurunkan kemampuan elastik.
Obesitas dihubungkan dengan peningkatan tahanan napas dan sistem
respirasi, hal itu disebabkan oleh penurunan volume paru. Peningkatan
tahanan tersebut dapat menurunkan aliran udara 50-70 % dibandingkan
nilai normal. Penyebab peningkatan tahanan saluran napas terletak di
jaringan paru dan saluran napas kecil dibandingkan saluran napas besar
(Faisal Yunus & Hermawan S. 2005).
d. Kontrol pernapasan
Kontrol pernapasan dapat meningkat pada obesitas tanpa komplikasi, hal
tersebut dikarenakan respons ventilasi terhadap karbondioksida secara
umum menurun sekitar 40%. Kerja pernapasan yang meningkat
merupakan respons kompensasi yang sesuai pada peningkatan kontrol
ventilasi (Faisal Yunus & Hermawan S. 2005).
e. Pola pernapasan
Dalam keadaan istirahat, frekuensi napas subjek obesitas tanpa komplikasi
sekitar 40% lebih tinggi dibandingkan subjek berat badan normal.
Peningkatan frekuensi napas terjadi karena waktu inspirasi dan ekspirasi
yang memendek, tetapi rasio inspirasi terhadap total waktu pernapasan
tetap normal. Meskipun terjadi peningkatan frekuensi napas, tetapi volume
tidal tetap normal saat istirahat ataupun selama latihan maksimal pada
obesitas tanpa komplikasi (Faisal Yunus & Hermawan S. 2005).

29

f. Fungsi otot pernapasan


Obesitas berat dapat mengalami kelemahan otot inspirasi sampai derajat
ringan, hal ini mungkin berhubungan dengan overstretching diafragma,
deposisi lemak dan peningkatan energi berlebih untuk ekspansi paru.
Sesak napas pada penderita obesitas tanpa komplikasi berhubungan
dengan IMT, penyakit saluran napas dan kelemahan ringan otot ekspirasi
(Mc Cool FD & Rochester DF. 2001).
g. Kapasitas latihan
Pada obesitas tanpa komplikasi, kapasitas latihan mendekati normal.
Ventilasi semenit, frekuensi napas, frekuensi nadi dan konsumsi oksigen
selama latihan lebih tinggi pada subjek obesitas dibandingkan subjek
normal, tetapi ambang anaerob lebih rendah dibanding normal (Faisal
Yunus & Hermawan S. 2005).

30

2.2 Kerangka Teori


Infeksi saluran

Konsumsi obat

pernapasan

(steroid)

Merokok

Polusi
Alergen

Fungsi Paru

udara

penderita asma
Infeksi

Usia
Obesitas

Peningkatan
timbunan jaringan
lemak

Sitokin

Jaringan lemak mensintesis

Hormon

beberapa hormon

peptida lain

Leptin
resistin,
IL6, TNF

Peningkatan reaksi
inflamasi saluran
napas

VEP1
Rasio
VEP1/KVP

Penurunan
fungsi paru

31

2.3 Kerangka Berpikir


Pasien asma:
- Jenis Kelamin lakilaki
- Usia 30-40 tahun

Fungsi Paru:
- VEP1
- Rasio VEP1/KVP

Normoweight

Obesitas

2.4 Hipotesis
H1:

Ada perbedaan VEP1 pada penderita asma obesitas dengan penderita asma
normoweight di Poli Asma RS Umum Pusat Persahabatan periode Agustus
2008 sampai Agustus 2010

H2:

Ada perbedaan rasio VEP1/KVP pada penderita asma obesitas dengan


penderita asma normoweight di Poli Asma RS Umum Pusat Persahabatan
periode Agustus 2008 sampai Agustus 2010

Anda mungkin juga menyukai