Ekologi-Tanah 2
Ekologi-Tanah 2
Pendahuluan
Soil ecology is the study of the interactions among soil organisms, and between biotic
and abiotic aspects of the soil environment. It is particularly concerned with the cycling
of nutrients, formation and stabilization of the pore structure, the spread and vitality of
pathogens, and the biodiversity of this rich biological community.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen
penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktora biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan
topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan
mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi,
komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan
kesatuan.
tanah. Mikroba akan membentuk mikrokoloni dalam struktur tanah tersebut, dengan tempat
pertumbuhan yang sesuai dengan sifat mikroba dan lingkungan yang diperlukan. Dalam suatu
struktur tanah dapat dijumpai berbagai mikrokoloni seperti mikroba heterotrof pengguna bahan
organik maupun bakteri autotrof,dan bakteri aerob maupun anaerob. Untuk kehidupannya, setiap
jenis mikroba mempunyai kemampuan untuk merubah satu senyawa menjadi senyawa lain dalam
rangka mendapatkan energi dan nutrien. Dengan demikian adanya mikroba dalam tanah
menyebabkan terjadinya daur unsur-unsur seperti karbon, nitrogen, fosfor dan unsur lain di alam.
Lingkungan rhizosfer
Akar tanaman merupakan habitat yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Interaksi antara
bakteri dan akar tanaman akan meningkatkan ketersediaan hara bagi keduanya. Permukaan akar
tanaman disebut rhizoplane. Sedangkan rhizosfer adalah selapis tanah yang menyelimuti permukaan
akar tanaman yang masih dipengaruhi oleh aktivitas akar. Tebal tipisnya lapisan rhizosfer antar
setiap tanaman.
Rhizosfer merupakan habitat yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba oleh karena akar
tanaman menyediakan berbagai bahan organik yang umumnya menstimulir pertumbuhan mikroba.
Bahan organik yang dikeluarkan oleh akar dapat
1. Eksudat akar: bahan yang dikeluarkan dari aktivitas sel akar hidup seperti gula, asam
amino, asam organik, asam lemak dan sterol, factor tumbuh, nukleotida, flavonon, enzim ,
dan miscellaneous.
2. Sekresi akar: bahan yang dipompakan secara aktif keluar dari akar.
3. Lisat akar: bahan yang dikeluarkan secara pasif saat autolisis sel akar.
4. Musigel : bahan sekresi akar, sisa sel epidermis, sel tudung akar yang bercampur dengan
sisa sel mikroba, produk metabolit, koloid organik dan koloid anorganik.
Enzim utama yang dihasilkan oleh akar adalah oksidoreduktase, hidrolase, liase, dan
transferase. Sedang enzim yang dihasilkan oleh mikroba di rhizosfer adalah selulase,
dehidrogenase, urease, fosfatase dan sulfatase.
Dengan adanya berbagai senyawa yang menstimulir pertumbuhan mikroba, menyebabkan
jumlah mikroba di lingkungan rhizosfer sangat tinggi. Perbandingan jumlah mikroba dalam rhizosfer
(R) dengan tanah bukan rhizosfer (S) yang disebut nisbah R/S, sering digunakan sebagai indeks
kesuburan tanah. Semakin subur tanah, maka indeks R/S semakin kecil, yang menandakan nutrisi
dalam tanah bukan rhizosfer juga tercukupi (subur). Sebaliknya semakin tidak subur tanah, maka
indeks R/S semakin besar, yang menandakan nutrisi cukup hanya di lingkungan rhizosfer yang
berasal dari bahan organik yang dikeluarkan akar, sedang di tanah non-rhizosfer nutrisi tidak
mencukupi (tidak subur). Nilai R/S umumnya berkisar antara 5-20.
Mikroba rhizosfer dapat memberi keuntungan bagi tanaman, oleh karena:
1. Mikroba dapat melarutkan dan menyediakan mineral seperti N,P, Fe dan unsur lain.
2. Mikroba dapat menghasilkan vitamin, asam amino, auxin dan giberelin yang dapat
menstimulir pertumbuhan tanaman.
3. Mikroba yang patogenik dengan menghasilkan antibiotik.
Pseudomonadaceae merupakan kelompok bakteri rhizosfer (rhizobacteria) yang dapat
menghasilkan senyawa yang dapat menstimulir pertumbuhan tanaman. Contoh spesies yang telah
banyak diteliti dapat merangsang pertumbuhan tanaman adalah Pseudomonas fluorescens.
Pembentukan Tanah.
Tanah merupakan tubuh-alamiah yang tersusun atas lapisan (horison tanah) yang beragam
ketebalannya, berbeda dengan bahan induk dalam hal sifat-sifat morfologi, fisika, kimia, dan karakteristik
mineraloginya. Tanah terdiri dari partikel pecahan batuan yang telah diubah oleh proses kimia dan lingkungan
yang meliputi pelapukan dan erosi. Tanah berbeda dari batuan induknya karena interaksi antara, hidrosfer
atmosfer litosfer, dan biosfer. Ini adalah campuran dari konstituen mineral dan organik yang dalam keadaan
padat, gas dan air.
Partikel tanah tampak longgar, membentuk struktur tanah yang penuh dengan ruang pori. Pori-pori
mengandung larutan tanah (cair) dan udara (gas). Oleh karena itu, tanah sering diperlakukan sebagai
system. Kebanyakan memiliki kepadatan antara 1 dan 2 g / cm .
Tanah dapat berasal dari batuan induk (batuan beku, batu sedimen tua, batuan metamorfosa) yang
melapuk atau dari bahan-bahan yang lebih lunak dan lepas seperti abu volkan, bahan endapan baru dan lainlain. Melalui proses pelapukan, permukaan batuan yang keras menjadi hancur dan berubah menjadi bahan
lunak (longgar) yang disebut dengan regolit. Selanjutnya melalui proses pembentukan tanah, bagian atas
regolit berubah menjadi tanah. Proses pelapukan mencakup beberapa hal yaitu pelapukan secara fisik,
biologik-meknik dan kimia..
Faktor pembentukan tanah, atau pedogenesis, adalah efek gabungan proses fisik, kimia, biologi, dan
antropogenik pada bahan induk tanah. Genesis tanah melibatkan proses yang mengembangkan lapisan atau
horizon dalam profil tanah. Proses ini melibatkan penambahan, kehilangan, transformasi dan translokasi
bahan yang membentuk tanah. Mineral yang berasal dari batuan lapuk mengalami perubahan yang
menyebabkan pembentukan mineral sekunder dan senyawa lainnya yang larut dalam air, konstituen tersebut
dipindahkan (translokasi) dari satu bagian tanah ke daerah lain oleh air dan aktivitas organisme. Perubahan
dan pergerakan material di dalam tanah menyebabkan terbentuknya horison tanah yang khas.
Pelapukan batuan induk menghasilkan bahan induk tanah. Contoh perkembangan tanah dari bahan
induknya terjadi pada aliran lava baru-baru ini di wilayah hangat di bawah hujan lebat dan sangat sering.
Dalam iklim seperti itu, tumbuhan sangat cepat berkembang pada lava basaltik, meskipun kandungan bahan
organiknya sangat sedikit. Tumbuhan didukung oleh batuan yang porus yang mengandung air dan unsure
hara. Akar tanaman tumbuh berkembang, seringkali bersimbiosis dengan dengan mikoriza, secara bertahap
merimbak marterial lava dan bahan organik tanah akan terakumulasi.
Lima faktor pembentuk tanah adalah : bahan induk, iklim regional, topografi, potensi biotik dan waktu.
Bahan yang membentuk tanah disebut bahan induk tanah. Bahan ini meliputi: lapukan batuan dasar
primer; bahan sekunder diangkut dari lokasi lain, misalnya colluvium dan aluvium; deposit yang sudah ada
tetapi campuran atau diubah dengan cara lain - formasi tanah tua, bahan organik termasuk gambut atau
humus alpine; dan bahan antropogenik, seperti timbunan sampah atau tambang. Beberapa tanah langsung
dari pemecahan bebatuan yang mendasarinya mereka kembangkan di tempatnya, tanah ini sering disebut
"tanah residu", dan memiliki sifat kimia umum yang sama seperti batuan induknya.
Kebanyakan tanah berasal dari bahan-bahan yang telah diangkut dari lokasi lain oleh angin, air dan
gravitasi. Beberapa di antaranya telah mengalami perpindahan dari jarak yang jauh, atau hanya beberapa
meter. Bahan yang tertiup angin disebut loess
Pelapukan merupakan tahap pertama dalam mengubah bahan induk menjadi bahan tanah. Pada
tanah yang terbentuk dari batuan dasar, dapat terbentuk lapisan tebal bahan lapuk disebut saprolit. Saprolit
adalah hasil proses pelapukan yang meliputi: hidrolisis (penggantian kation mineral dengan ion hidrogen),
khelasi dari senyawa organik, hidrasi (penyerapan air dengan mineral), solusi mineral dengan air, dan proses
fisik yang mencakup pembekuan dan pencairan atau pembasahan dan pengeringan. Komposisi mineralogi
dan kimia dari bahan batuan dasar utama, ditambah sifat-sifat fisik, termasuk ukuran butir dan derajat
konsolidasi, laju dan jenis pelapukan, semuanya mempengaruhi sifat-sifat bahan tanah yang dihasilkannya.
Proses pembentukan tanah diawali dari pelapukan batuan induknya, pelapukan fisik dan pelapukan
kimia. Dari proses pelapukan ini, batuan induk akan menjadi lebih lunak, longgar dan berubah komposisinya.
Pada tahap ini batuan yang lapuk belum dikatakan sebagai tanah, tetapi sebagai bahan induk tanah (regolith)
karena masih menunjukkan struktur batuan induk. Proses pelapukan terus berlangsung hingga akhirnya
bahan induk tanah berubah menjadi tanah. Proses pelapukan ini menjadi awal terbentuknya tanah. Sehingga
faktor yang mendorong pelapukan juga berperan dalam pembentukan tanah.
Curah hujan dan sinar matahari berperan penting dalam proses pelapukan fisik, kedua faktor tersebut
merupakan komponen iklim. Sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor pembentuk tanah adalah
iklim. Ada beberapa faktor lain yang memengaruhi proses pembentukan tanah, yaitu organisme, bahan induk,
topografi, dan waktu. Faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
Profil Tanah
Secara ekologis tanah tersusun oleh tiga kelompok material, yaitu material hidup (faktor biotik) berupa
biota (jasad-jasad hayati), faktor abiotik berupa bahan organik, faktor abiotik berupa pasir (sand), debu, (silt),
dan liat (clay). Umumnya sekitar 5% penyusun tanah berupa biomass (bioti dan abioti), berperan sangat
penting karena mempengaruhi sifat kimia, fisika dan biologi tanah.
Ekologi tanah mempelajari hubungan antara biota tanah dan lingkungan, serta hubungan antara
lingkungan serta biota tanah. Secara berkesinambungan hubungan ini dapat saling menguntungkan satu
sama lain, dan dapat pula merugikan satu sama lain.
Organisme Tanah.
Organisme tanah atau disebut juga biota tanah merupakan semua makhluk hidup baik hewan (fauna)
maupun tumbuhan (flora) yang seluruh atau sebagian dari fase hidupnya berada dalam sistem tanah.
4. Pengikat hara yang hidup bebas seperti alga dan azotobakter mengikat hara di dalam tanah.
5. Pembangun struktur tanah seperti akar tanaman, cacing tanah, ulat-ulat, dan jamur semuanya membantu
mengikat partikel-partikel tanah sehingga struktur tanah menjadi stabil dan tahan terhadap erosi.
6. Patogen seperti jenis jamur tertentu, bakteri dan nematoda dapat menyerang jaringan tanaman.
7. Predator atau pemangsa, termasuk protozoa, nematoda parasite dan jenis jamur tertentu, semuanya
memangsa organisme tanah yang lain sebsagai sumber makanan mereka.
8. Occupant / penghuni adalah jenis organisme tanah yang menggunakan tanah sebagai tempat tinggal
sementara pada tahap siklus hidup tertentu, seperti ulat (larvae) dan telur cacing.
Macro-organisme
Tumbuhan
Microflora
<5 m
Bacteria
Fungi
Microfauna
<100 m
Protozoa
Nematodes
Meso-organisms
100 m - 2 mm
Springtails
Mites
Macro-organisms
2 - 20 mm
Earthworms
Millipedes
Woodlice
Snails and slugs
Algae
10 m
Roots
> 10 m
Berdasarkan peranannya, organisme tanah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (a) organisme yang
menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, (b) organisme yang merugikan tanaman,
dan (c) organisme yang tidak menguntungkan dan tidak merugikan. Contoh organisme tanah yang
menguntungkan:
1. Organisme tanah yang dapat menyumbangkan nitrogen ke tanah dan tanaman, yaitu: bakteri
pemfiksasi nitrogen (Rhizobium, Azosphirillum, Azotobacter, dll),
2. Organisme tanah yang dapat melarutkan fosfat, yaitu: bakteri pelarut fosfat (Pseudomonas) dan
fungi pelarut fosfat,
3. Organisme tanah yang dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman, yaitu: cacing tanah.
Salah satu organisme tanah yang umum dijumpai adalah cacing tanah. Cacing tanah mempunyai arti
penting bagi lahan pertanian. Lahan yang banyak mengandung cacing tanah akan menjadi subur. Cacing
tanah juga dapat menigkatkan daya serap air permukaan. Secara singkat dapat dikatakan cacing tanah
berperan memperbaiki dan memper-tahankan struktur tanah agar tetap gembur. Biota tanah lain yang umum
dijumpai adalah Arthropoda. Arthropoda merupakan fauna tanah yang macam dan jumlahnya cukup banyak,
yang paling menonjol adalah springtail dan kutu. Fauna tanah ini mempunyai kerangka luar yang dihubungkan
dengan kaki, sebagian besar mempunyai semacam sistem peredaran darah dan jantung.
Aktivitas biota tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah. Aktivitas biota tanah dapat diukur dengan
mengukur besar respirasi di dalam tanah. Respirasi yaitu suatu proses pembebasan energi yang tersimpan
dalam zat sumber energi melalui proses kimia dengan menggunakan oksigen. Dari respirasi akan dihasilkan
energi kimia ATP untak kegiatan kehidupan, seperti sintesis (anabolisme), gerak, pertumbuhan.
Dekomposisi
organic
bahan
Mengendalikan gangguan
hama-parasit-penyakit
Sumber makanan
obat-obatan
dan
Mikroba tanah sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Mereka memperbanyak diri dan aktif
membantu penyediaan unsure hara bagi tanaman melalui proses simbiosis dengan jalan melepaskan unsur
hara yang terikat menjadi bentuk yang tersedia bagi akar tanaman. Mikroba tanah ini juga mempunyai peran
aktif melindungi tanaman melawan penyakit soil-borne diseases.
stability; increases the CEC (the ability to attract and retain nutrients); and contributes
N, P and other nutrients.
Soil organisms are responsible for soil structure. Biologically created structure improves
water holding capacity, equally preventing leaching of nutrients as the nutrients are bound
in the bodies of the organisms. Chemical fertiliser, to the contrary, is highly water soluble
and leaches very easily. Soils with a healthy micro biological population prevent soil erosion.
Soil particles are glued together in a porous granule structures, micro-aggregate, so even
heavy rainfall can not displace them.
Menyediakan air.
Organisme tanah juga membutuhkan air dalam jumlah tertentu. Tetapi kalau terlalu banyak air (dalam
tanah yang jenuh), mereka bisa mati karena kekurangan oksigen. Petani dapat mengatur ketersediaan air
didalam tanah dengan cara memperbaiki struktur tanah. Aggergate tanah yang lebih besar dapat menyimpan
air di dalam pori-pori halus, dan dapat mengeluarkan kelebihan air melalui pori-pori besar. Drainase yang
cukup di lahan yang banjir juga dapat memperbaiki kondisi tanah untuk habitat organisme tanah.
Melindungi habitat biota.
Petani dapat mendukung kehidupan organisme tanah dengan cara melindungi habitat mereka.
Pemeliharaan tanaman penutup tanah adalah cara yang terbaik untuk melindungi habitat organisme tanah
dari bahaya kekeringan. Penggunaan mulsa juga dapat melindungi habitat mereka. Penggunaan mulsa
organik dapat juga berfungsi sebagai sumber makanan bagi organisme tanah. Musa plastik dapat mengurangi
resiko penyakit dan hama tertentu karena mulsa tersebut cenderung meningkatkan suhu permukaan tanah
dan dapat menghambat pergerakan hama dari tanah ke tanaman. Tetapi mulsa plastik tidak dapat
meningkatkan bahan organik tanah sehingga pendauran ulang unsur hara tidak terjadi. Cara yang lain adalah
dengan pengolahan tanah yang tepat guna. Pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak pori-pori tanah
dimana organisme tanah hidup.
Cacing Tanah
Cacing tanah dalam berbagai hal mempunyai arti penting, misalnya bagi lahan pertanian. Lahan yang
banyak mengandung cacing tanah akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah yang bercampur dengan
tanah telah siap untuk diserap akar tumbuh-tumbuhan. Cacing tanah juga dapat menigkatkan daya serap air
permukaan. Lubang-lubang yang dibuat oleh cacing tanah meningkatkan konsentrasi udara dalam tanah.
Disamping itu pada saat musim hujan lubang tersebut akan melipatgandakan kemampuan tanah menyerap
air. Secara singkat dapat dikatakan cacing tanah berperan memperbaiki dan mempertahankan struktur tanah
agar tetap gembur.
Cacing ini hidup didalam liang tanah yang lembab, subur dan suhunya tidak terlalu dingin. Untuk
pertumbuhannya yang baik, cacing ini memerlukan tanah yang sedikit asam sampai netral atau pH 6-7,2.
Kulit cacing tanah memerlukan kelembabancukup tinggi agar dapat berfungsi normal dan tidak rusak yaitu
berkisar 15% - 30%. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan antara 15oC-25oC
(Anonimous, 2010b).
Faktor-faktor yang mempengaruhi ekologis cacing tanah meliputi : (a) kemasaman (pH) tanah, (b)
kelengasan tanah, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan organik, (f) jenis tanah, dan (g) suplai nutrisi
(Hanafiah, dkk, 2007). Sebanyak 85 % dari berat tubuh cacing tanah berupa air, sehingga sangatlah penting
untuk menjaga media pemeliharaan tetap lembab (kelembaban optimum berkisar antara 15 - 30 %). Tubuh
cacing mempunyai mekanisme untuk menjaga keseimbangan air dengan mempertahankan kelembaban di
permukan tubuh dan mencegah kehilangan air yang berlebihan. Cacing yang terdehidrasi akan kehilangan
sebagian besar berat tubuhnya dan tetap hidup walaupun kehilangan 70 - 75 % kandungan air tubuh.
Kekeringan yang berkepanjangan memaksa cacing tanah untuk bermigrasi ke lingkungan yang lebih cocok.
Kelembaban sangat diperlukan untuk menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal. Bila udara terlalu
kering, akan merusak keadaan kulit. Untuk menghindarinya cacing tanah segera masuk kedalam lubang
dalam tanah, berhenti mencari makan dan akhirnya akan mati. Bila kelembaban terlalu tinggi atau terlalu
banyak air, cacing tanah segera lari untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya (aerasinya) baik. Hal ini
terjadi karena cacing tanah mengambil oksigen dari udara bebas untuk pernafasannya melalui kulit.
Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah adalah antara 15% sampai
30% (Anonimous, 2010a).
Cacing tanah keluar permukaan hanya pada saat-saat tertentu. Pada siang hari, cacing tanah tidak
pernah keluar kepermukaan tanah, kecuali jika saat itu terjadi hujan yang cukup menggenangi liangnya.
Cacing tanah takut keluar pada siang hari karena tidak kuat terpapar panas matahari terlalu lama. Pemanasan
yang terlalu lama menyebabkan banyak cairan tubuhnya yang akan menguap. Cairan tubuh cacing tanah
penting untuk menjaga tekanan osmotik koloidal tubuh dan bahan membuat lendir. Lendir yang melapisi
permukaan tubuh salah satunya berfungsi memudahkan proses difusi udara melalui permukaan kulit. Cacing
tanah akan keluar terutama pada pagi hari sesudah hujan. Hal ini dilakukan karena sesaat setelah hujan,
biasanya liang mereka terendam air sehingga aerasi dalam liang tidak bagus sehingga mereka keluar dalam
rangka menghindari keadaan kesulitan bernafas dalam liang. Cacing tanah juga tidak kuat bila terendam air
terlalu lama sehingga cendrung menghindar dari genangan air yang dalam. Dalam keadaan normal mereka
akan pergi kepermukaan tanah pada malam hari. Pada malam suhu udara tidak panas dan kelembaban udara
tinggi sehingga cacing tanah bisa bebas keluar untuk beraktivitas. Dalam keadaan terlalu dingin atau sangat
kering cacing tanah segera masuk kedalam liang, beberapa cacing sering terdapat meligkar bersama-sama
dengan diatasnya terdapat lapisan tanah yang bercampur dengan lendir. Lendir dalam hal ini berfungsi
sebagai isolator yang mempertahankan suhu tubuh cacing tanah agar tidak terlalu jauh terpengaruh oleh suhu
lingkungan. Posisi melingkar dalam liang memperkecil kontak kulit dengan udara sehingga memperkecil
pengaruh dari suhu udara luar (Anonimous, 2010c).
Peranan Cacing Pada Perubahan Sifat Fisik Tanah
Aktivitas cacing tanah yang mempengaruhi struktur tanah meliputi : (1) pencernaan tanah,
perombakan bahan organik, pengadukannya dengan tanah, dan produksi kotorannya yang diletakkan
dipermukaan atau di dalam tanah, (2) penggalian tanah dan transportasi tanah bawah ke atas atau
sebaliknya, (3) selama proses (1) dan (2) juga terjadi pembentukan agregat tanah tahan air, perbaikan status
aerase tanah dan daya tahan memegang air (Hanafiah, dkk, 2007).
Cacing penghancur serasah (epigeic) merupakan kelompok cacing yang hidup di lapisan serasah yang
letaknya di atas permukaan tanah, tubuhnya berwarna gelap, tugasnya menghancurkan seresah sehingga
ukurannya menjadi lebih kecil. Cacing penggali tanah (anecic dan endogeic) merupakan cacing jenis penggali
tanah yang hidup aktif dalam tanah, walaupun makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan
ada pula dari akar-akar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam mencampur
serasah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan meninggalkan liang dalam tanah Kelompok
cacing ini membuang kotorannya dalam tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya
akan karbon (C) dan hara lainnya dari pada tanah sekitarnya (Hairiah, dkk, 1986).
Cacing mampu menggali lubang di sekitar permukaan tanah sampai kedalaman dua meter dan
aktivitasnya meningkatkan kadar oksigen tanah sampai 30 persen, memperbesar pori-pori tanah,
memudahkan pergerakan akar tanaman, serta meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap dan
menyimpan air. Zat-zat organik dan fraksi liat yang dihasilkan cacing bisa memperbaiki daya ikat antar partikel
tanah sehingga menekan terjadinya proses pengikisan/erosi hingga 40 persen (Kartini, 2008).
Arthropoda Tanah
Arthropoda merupakan fauna tanah yang macam dan jumlahnya cukup banyak, yang paling menonjol
adalah springtail dan kutu. Fauna tanah ini mempunyai kerangka luar yang dihubungkan dengan kaki,
sebagian besar mempunyai semacam sistem peredaran darah dan jantung (Hanafiah, dkk, 2007).
Arthropoda adalah filum yang paling besar dalam dunia hewan dan mencakup serangga, laba-laba,
udang, lipan dan hewan sejenis lainnya. Arthropoda adalah nama lain hewan berbuku-buku. Empat dari lima
bagian (yang hidup hari ini) dari spesies hewan adalah arthropoda, dengan jumlah di atas satu juta spesies
modern yang ditemukan dan rekor fosil yang mencapai awal Cambrian. Arthropoda biasa ditemukan di laut,
air tawar, darat, dan lingkungan udara, serta termasuk berbagai bentuk simbiotis dan parasit. Hampir dari 90%
dari seluruh jenis hewan yang diketahui orang adalah Arthropoda. Arthropoda dianggap berkerabat dekat
dengan Annelida, contohnya adalah Peripetus di Afrika Selatan (Anonimous, 2010d).
Mikroba Tanah
Di tanah terdapat milyaran mikrobia misalnya bakteri, fungi, alga, protozoa, dan virus. Tanah
merupakan lingkungan hidup yang amat kompleks. Kotoran dan jasad hewan serta jaringan tumbuhan akan
terkubur dalam tanah. Semuanya memberi konstribusi dalam menyuburkan tanah. Proses penyuburan tanah
ini dibantu oleh mikrobia. Tanpa mikrobia, semua jasad tidak akan hancur. Salut untuk mikrobia tanah yang
mampu menyeimbangkan kelangsungan hidup di bumi. Jumlah dan jenis mikrobia dalam tanah bergantung
pada jumlah dan jenis, kelembaban, tingkat aerasi, suhu, pH, dan pengolahan dapat menambah jumlah
mikrobia tanah.
Mikrobia tanah berupa bakteri melalui metode hitungan mikroskopik langsung berjumlah milyaran
setiap gram tanah, sedangkan hitungan agar cawan diperoleh jutaan. Bakteri umumnya bersifat heterotrof.
Contohnya Actinomycetes yang mencakup jenis-jenis Nocardia, Streptomyces, dan Micromonospora.
Organisme ini yang menyebabkan bau khas tanah. Actinomycetes berperan menambah kesuburan tanah
dengan mengurai senyawa-senyawa kompleks dan mampu membentuk senyawa antibiotik namun jumlahnya
sedikit. Antibiotik ini terdapat di sekitar sel-sel Actinomycetes saja. Sedangkan Cyanobacteria berperan dalam
transformasi batu-batuan menjadi tanah dan asam-asam yang terbentuk dalam proses metabolisme dapat
melarutkan mineral-mineral bebatuan.
Fungi berjumlah antara ratusan sampai ribuan per gram tanah. Fungi berperan dalam meningkatkan
struktur fisik tanah dan dekomposisi bahan-bahan organik kompleks dari jaringan tumbuhan seperti selulosa,
lignin, dan pektin. Contohnya Penicillium, Mucor, Rhizopus, Fusarium, Cladosporium, Aspergillus, dan
Trichomonas. Populasi alga lebih sedikit dibanding fungi dan bakteri. Alga berperan dalam mengakumulasi
bahan-bahan organik akibat aktivitas fotosintetik dan bila berasosiasi dengan fungi akan merombak bebatuan
menjadi tanah. Misalnya Chlorophyta (alga hijau) dan Chrysophyta (diatom). Rhizosfer merupakan tempat
pertemuan antara tanah dengan akar tumbuhan. Jumlah mikrobia di daerah perakaran lebih banyak dibanding
tanah yang tidak terdapat perakaran, karena di daerah perakaran terdapat nutrien-nutrien seperti asam amino
dan vitamin yang disekresikan oleh jaringan akar.
Tanah dapat menyuburkan dirinya sendiri karena keberadaan mikroba tanah. Ungkapan ini tidak
berlebihan apabila kita mengamati kehidupan mikroba di dalam tanah yang bermanfaat memperbaiki
kesuburan tanah. Saat ini sudah dikenali sekitar dua juta mikroba tanah. Dari sekian mikroba yang ditemukan,
ada yang memiliki aktivitas pendukung kesuburan tanaman -- sebagai pelarut P, pengikat N bebas, penghasil
faktor tumbuh, perombak bahan organik. Juga ada mikroba yang menghasilkan biopestisida, perombak bahan
kimia agro (pestisida), mikroba resisten logam berat (pengakumulasi dan pereduksi), mikroba perombak
sianida, dan mikroba agen denitrifikasi-nitrifikasi.
Tanah adalah habitat yang sangat kaya akan keragaman mikroorganisme seperti bakteri,
aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah-tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100
juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba-mikroba
tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungan bagi pertanian. Mikroba tanah
antara lain berperan dalam mendegradasi limbah-limbah organik pertanian, re-cycling hara tanaman, fiksasi
biologis nitrogen dari udara, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan tanaman, biokontrol patogen
tanaman, membantu penyerapan unsur hara tanaman, dan membentuk simbiosis menguntungan.
Tiga unsur hara esensial bagi tanaman, yaitu Nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K) seluruhnya
melibatkan aktivitas mikroba tanah. Hara N sebenarnya tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74%
kandungan udara adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung diserap oleh tanaman. Tidak ada satupun
tanaman yang dapat menyerap N dari udara. N harus difiksasi/ditambat oleh mikroba tanah dan diubah
bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dengan tanaman dan
ada pula yang hidup bebas di sekitar perakaran tanaman.
Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara tanaman adalah mikroba pelarut
fosfat (P) dan kalium (K). Tanah-tanah yang lama diberi pupuk superfosfat (TSP/SP 36) umumnya kandungan
P-nya cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral
liat tanah yang sukar larut. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari
mineral liat tanah dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P,
antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Zerowilia lipolitika, Pseudomonas sp. Mikroba yang berkemampuan
tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K.
Beberapa mikroba tanah juga mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang
pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh mikroba akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman
akan tumbuh lebih cepat atau lebih besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman,
antara lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp.
Mikroba-mikroba tanah yang bermanfaat untuk melarutkan unsur hara, membantu penyerapan unsur
hara, maupun merangsang pertumbuhan tanaman diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan
digunakan sebagai biofertilizer untuk pertanian.
Hasil-hasil temuan bioteknologi terbaru, mikroba antagonis seperti penyakit tular tanah dapat diubah
secara alamiah menjadi mikroba yang mempunyai kemampuan menyediakan unsurunsur hara bagi tanaman
dan melawan penyakit, karena berperan sebagai produser antibiotik alias dokter tanaman untuk penyakit tular
tanah. Mikroba tersebut diperoleh dengan cara isolasi dari alam yang kemudian diperbanyak di laboratorium
dan kemudian dapat dipakai sebagai bahan pupuk hayati.
Misalnya Trichoderma dan Gliocladium, kedua mikroba ini berperan pentiong dalam ketersediaan
nutrisi tanaman dalam tanah. Bio-aktifator yang berisi mikroba Trichoderma dan Gliocladium sangat
bermanfaat bagi tanaman, khususnya dalam proses:
1. Mempercepat pematangan pupuk kandang dan meningkatkan kesuburan tanah.
2. Meningkatkan ketegaran bibit tanaman
3. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit layu (Fusarium sp) dan layu bakteri
(pseukdomonas sp) serta penyakit busuk daun (Phytophthora sp), terutama pada tanaman tomat,
cabai, kubis dan kentang.
4. Mencegah terjadinya serangan penyakit rebah kecambah (Pythium sp) dan Rhizoctonia, dan akar
gada (Plasmodiophora sp) pada pesemaian.
Sumber: http://wwwmykopat.slu.se/Newwebsite/kurser/SUMMER05/READING/Roemheld/NeumannRoemheld2.pdf
..... diunduh 26/6/2011
Aliphatic
acids
Aromatic
acids
Miscellaneous
phenolics
Fatty acids
Sterols
Enzymes
Micellaneous
Komponen tunggalnya
Arabinose, glucose, fructose, galactose, maltose,
raffinose, rhamnose, ribose, sucrose, xylose
all 20 proteinogenic amino acids, aminobutyric acid,
homoserine,
cysrathionine,
mugineic
acid
phytosiderophores (mugineic acid, deoxy-mugineic
acid, hydroxymugineic acid, epi-hydroxymugineic
acid, avenic acid, distichonic acid A)
Formic, acetic, butyric, popionic, malic, citric, isocitric,
oxalic, fumaric, malonic, succinic, maleic, tartaric,
oxaloacetic, pyruvic, oxoglutaric, maleic, glycolic,
shikimic ,cis-aconitic, trans-aconitic, valeric, gluconic
p-hydroxybenzoic, caffeic, p-coumaric, ferulic, gallic,
gentisic, protocatechuic, salicylic, sinapic, syringic
Flavonols, flavones, flavanones, anthocyanins,
isoflavonoids
Linoleic, linolenic, oleic, palmitic, stearic
Campestrol, cholesterol, sitosterol, stigmasterol
Amylase, invertase, cellobiase, desoxyruibonuclease,
ribonuclease,
acid
phosphatase,
phytase,
pyrophosphatase apyrase, peroxidase, protease.
Vitamins, plant growth regulators (auxins, cytokinins,
gibberellins), alkyl sulphides, ethanol, H+,K+ Nitrate,
Phosphate, HCO3
Sumber: J. Rioval, and A.D.Hanson, 1993. Evidence for a large and sustained glycolytic flux to
lactate in anoxic roots of some members of the halophytic genus Limonium. Plant Physiol. 101:
553.
Sumber: http://wwwmykopat.slu.se/Newwebsite/kurser/SUMMER05/READING/Roemheld/NeumannRoemheld2.pdf
..... diuinduh 26/6/2011
Model for mechanisms involved in aluminium (Al) exclusion and detoxification at the root apex.
A Enhanced solubilization of mononuclear Al species from Al oxides and Al silicates in the soil
matrix at pH < 5.0.
B Al-induced stimulation of carboxylate exudation via anion channels, charge-balanced by
concomitant release of K+.
C Formation of Al-carboxylate complexes in the apoplasm; restricted root uptake and lower
toxicity of complexed Al.
D Al complexation in the mucilage layer (polygalacturonates) and with Al-binding
polypeptides. Increased accumulation of Al-chelating carboxylates in the mucilage layer due
to limited diffusion.
Model mobilisasi Fe dan unsure mikro lainnya (Zn, Mn, Cu) dalam rizosfer tanaman gramine
Sumber: http://wwwmykopat.slu.se/Newwebsite/kurser/SUMMER05/READING/Roemheld/NeumannRoemheld2.pdf
.. diunduh 27/6/2011)
Model for root-induced mobilization of iron and other micronutrients (Zn, Mn, Cu) in the
rhizosphere of graminaceous (strategy II) plants (Marschner, 1995). Enhanced biosynthesis of
mugineic acids (phytosiderophores, PS) in the root tissue
A Biosynthesis of PS
B Exudation of PS anions by vesicle transport or via anion channels, charge-balanced by
concomitant release of K+.
C PS-induced mobilization of FeIII (MnII, ZnII, CuII) in the rhizosphere by ligand
exchange.
D Uptake of Metal-PS complexes by specific transporters in the plasma membrane.
E Ligand exchange between microbial (M) siderophores (SID) with PS in the rhizosphere.
F Alternative uptake of microelements mobilized by PS after chelate splitting.
Model defisiensi Fe yang dipicu oleh perubahan fisiologi akar dan kimiawi rizosfer
Sumber: http://wwwmykopat.slu.se/Newwebsite/kurser/SUMMER05/READING/Roemheld/NeumannRoemheld2.pdf
.. diunduh 27/6/2011)
Model for iron (Fe) deficiency-induced changes in root physiology and rhizosphere chemistry
associated with Fe acquisition in strategy I plants (Marschner, 1995).
A Stimulation of proton extrusion by enhanced activity of the plasmalemma ATPase --- FeIII
solubilization in the rhizosphere.
B Enhanced exudation of reductants and chelators (carboxylates, phenolics) mediated by
diffusion or anion channels --- Fe solubilization by FeIII complexation and FeIII reduction.
C Enhanced activity of plasma membrane (PM)-bound FeIII reductase further stimulated by
rhizosphere acidification (A). Reduction of FeIII chelates, liberation of FeII.
D Uptake of FeII by a PM-bound FeII transporter.
Model defisiensi P yang dipicu oleh perubahan fisiologis yang berkaitan dengan pelepasan eksudat akar yang
memobilisasi P.
Secondary Production:
Activities
and
Functions
of
Heterotrophic
Organisms--Microbes
Secondary Production:
Activities and Functions of Heterotrophic Organisms--The Soil Fauna
Siklus Karbon
Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer,
hidrosfer, dan atmosfer Bumi (objek astronomis lainnya bisa jadi memiliki siklus karbon yang hampir sama
meskipun hingga kini belum diketahui). Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang
dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya
termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan
(termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan
bakar fosil). Pergerakan tahuan karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia,
fisika, geologi, dan biologi yang bermaca-macam. Lautan mengadung kolam aktif karbon terbesar dekat
permukaan Bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat
dengan atmosfer.
Siklus Nitrogen
Siklus nitrogen adalah suatu proses konversi senyawa yang mengandung unsur nitrogen menjadi
berbagai macam bentuk kimiawi yang lain. Transformasi ini dapat terjadi secara biologis maupun non-biologis.
Beberapa proses penting pada siklus nitrogen, antara lain fiksasi nitrogen, mineralisasi, nitrifikasi, denitrifikasi.
Walaupun terdapat sangat banyak molekul nitrogen di dalam atmosfir, nitrogen dalam bentuk gas tidaklah
reaktif.[1] Hanya beberapa organisme yang mampu untuk mengkonversinya menjadi senyawa organik dengan
proses yang disebut fiksasi nitrogen.
Fiksasi nitrogen yang lain terjadi karena proses geofisika, seperti terjadinya kilat. Kilat memiliki peran
yang sangat penting dalam kehidupan, tanpanya tidak akan ada bentuk kehidupan di bumi. Walaupun
demikian, sedikit sekali makhluk hidup yang dapat menyerap senyawa nitrogen yang terbentuk dari alam
tersebut. Hampir seluruh makhluk hidup mendapatkan senyawa nitrogen dari makhluk hidup yang lain. Oleh
sebab itu, reaksi fiksasi nitrogen sering disebut proses topping-up atau fungsi penambahan pada tersedianya
cadangan senyawa nitrogen.
Vertebrata secara tidak langsung telah mengonsumsi nitrogen melalui asupan nutrisi dalam bentuk
protein maupun asam nukleat. Di dalam tubuh, makromolekul ini dicerna menjadi bentuk yang lebih kecil yaitu
asam amino dan komponen dari nukleotida, dan dipergunakan untuk sintesis protein dan asam nukleat yang
baru, atau senyawa lainnya. Sekitar setengah dari 20 jenis asam amino yang ditemukan pada protein
merupakan asam amino esensial bagi vertebrata, artinya asam amino tersebut tidak dapat dihasilkan dari
asupan nutrisi senyawa lain, sedang sisanya dapat disintesis dengan menggunakan beberapa bahan dasar
nutrisi, termasuk senyawa intermediat dari siklus asam sitrat.
Asam amino esensial disintesis oleh organisme invertebrata, biasanya organisme yang mempunyai
lintasan metabolisme yang panjang dan membutuhkan energi aktivasi lebih tinggi, yang telah punah dalam
perjalanan evolusi makhluk vertebrata. Nukleotida yang diperlukan dalam sintesis RNA maupun DNA dapat
dihasilkan melalui lintasan metabolisme, sehingga istilah "nukleotida esensial" kurang tepat. Kandungan
nitrogen pada purina dan pirimidina yang didapat dari asam amino glutamina, asam aspartat dan glisina,
layaknya kandungan karbon dalam ribosa dan deoksiribosa yang didapat dari glukosa.
Kelebihan asam amino yang tidak digunakan dalam proses metabolisme akan dioksidasi guna
memperoleh energi. Biasanya kandungan atom karbon dan hidrogen lambat laun akan membentuk CO2 atau
H2O, dan kandungan atom nitrogen akan mengalami berbagai proses hingga menjadi urea untuk kemudian
diekskresi. Setiap asam amino memiliki lintasan metabolismenya masing-masing, lengkap dengan perangkat
enzimatiknya.
Gas nitrogen banyak terdapat di atmosfer, yaitu 80% dari udara. Nitrogen bebas dapat
ditambat/difiksasi terutama oleh tumbuhan yang berbintil akar (misalnya jenis polongan) dan beberapa jenis
ganggang. Nitrogen bebas juga dapat bereaksi dengan hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir.
Tumbuhan memperoleh nitrogen dari dalam tanah berupa amonia (NH3), ion nitrit (N02- ), dan ion nitrat (N03).
Beberapa bakteri yang dapat menambat nitrogen terdapat pada akar Legum dan akar tumbuhan lain,
misalnya Marsiella crenata. Selain itu, terdapat bakteri dalam tanah yang dapat mengikat nitrogen secara
langsung, yakni Azotobacter sp. yang bersifat aerob dan Clostridium sp. yang bersifat anaerob. Nostoc sp.
dan Anabaena sp. (ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen. Nitrogen yang diikat biasanya dalam
bentuk amonia. Amonia diperoleh dari hasil penguraian jaringan yang mati oleh bakteri. Amonia ini akan
dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus sehingga menghasilkan nitrat yang akan
diserap oleh akar tumbuhan. Selanjutnya oleh bakteri denitrifikan, nitrat diubah menjadi amonia kembali, dan
amonia diubah menjadi nitrogen yang dilepaskan ke udara. Dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang
dalam ekosistem.
Pada lingkungan tanah tergenang, sianobakteria seperti Anabaena dan Nostoc merupakan
jasad yang paling penting dalam menambat N2 udara. Sebagian sianobakteria membentuk
heterosis yang memisahkan nitrogenase yang sensitive terhadap O 2 dari ekosistem yang
menggunakan O2 (lingkungan aerobik). Sianobakteria pada tanah sawah yang ditanami padi,
dalam keadaan optimum dapat menambat 100- 150 kg N/ha/tahun. Sianobakteria penambat
nitrogen dapat hidup bersimbiosis dengan jasad lain, seperti dengan jamur pada lumut kerak
(Lichenes), dengan tanaman air Azolla misalnya Anabaena azollae.
b. Amonifikasi
Berbagai tanaman, binatang, dan mikroba dapat melakukan proses amonifikasi.
Amonifikasi adalah proses yang mengubah N-organik menjadi N-ammonia. Bentuk senyawa N
dalam jasad hidup dan sisa-sisa organik sebagian besar terdapat dalam bentuk amino penyusun
protein. Senyawa N organik yang lain adalah khitin, peptidoglikan, asam nukleat, selain itu juga
terdapat senyawa N-organik yang banyak dibuat dan digunakan sebagai pupuk yaitu urea.
Proses amonifikasi dari senyawa N-organik pada prinsipnya merupakan reaksi peruraian
protein oleh mikroba. Secara umum proses perombakan protein dimulai dari peran ensim
protease yang dihasilkan mikroba sehingga dihasilkan asam amino. Selanjutnya tergantung
macam asam aminonya dan jenis mikroba yang berperan maka asam-asam amino akan dapat
terdeaminasi melalui berbagai reaksi dengan hasil akhirnya nitrogen dibebaskan sebagai
ammonia. Reaksi umumnya adalah sebagai berikut:
protease
deaminasi
-------------------------
Proses ini dilakukan oleh mikroba khemoototrof, yang menggunakan energinya untuk
asimilasi karbon dalam bentuk CO 2. Kedua langkah reaksi yang menghasilkan energy ini
dilakukan oleh jasad yang berbeda, tetapi reaksinya berlangsung bersamaan sehingga jarang
terjadi akumulasi NO2-. Dalam reaksi tersebut dihasilkan ion H +, sehingga ada kemungkinan
dapat menurunkan pH lingkungan.
Di dalam tanah, genus utama pengoksidasi ammonia menjadi nitrit adalah Nitrosomonas
dan yang dominan menghasilkan nitrat adalah Nitrobacter. Mikroba lain yang mampu
mengoksidasi ammonia menjadi nitrit adalah Nitrospira, Nitrosococcus, dan Nitrosolobus. Selain
Nitrobacter, mikroba lain yang mampu mengubah nitrit menjadi nitrat adalah Nitrospira, dan
Nitrococcus. Bakteri tanah yang mengoksidasi ammonium menjadi nitrit dan nitrat umumnya
mempunyai sifat khemoautotrofik.
Kelompok bakteri ini mampu menggunakan senyawa anorganik sebagai satu-satunya
sumber energi dan menggunakan CO2 sebagai sumber karbon. Selain itu terdapat mikroba
heterotrof baik bakteri maupun jamur juga berperan dalam proses nitrifikasi.
d. Reduksi Nitrat (Denitrifikasi)
Ion nitrat dapat diubah menjadi bahan organik oleh mikroba melalui proses asimilasi
reduksi nitrat. Sekelompok mikroba heterotrof termasuk bakteri, jamur dan algae dapat
mereduksi nitrat. Proses ini menggunakan sistem ensim nitrat dan nitrit reduktase, membentuk
ammonia yang kemudian disintesis menjadi protein.
Pada lingkungan tanpa oksigen, ion nitrit dapat berfungsi sebagai aseptor elektron
terakhir, yang dikenal sebagai proses respirasi nitrat atau asimilasi nitrat.
Dalam proses desimilasi reduksi nitrat, nitrat diubah menjadi bahan tereduksi sedang
senyawa organik dioksidasi. Pada keadaan anaerob, reaksi ini lebih banyak menghasilkan energi
dibandingkan energi yang dihasilkan oleh reaksi fermentasi.
Ada dua tipe desimilasi reduksi nitrat. Sekelompok mikroba fakultatif anaerob seperti
Alcaligenes, Escherichia, Aeromonas, Enterobacter, Bacillus, Flavobacterium, Nocardia, Spirillum,
Staphylococcus, dan Vibrio mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit dalam keadaan anaerob. Nitrit
yang dihasilkan diekskresikan, sehingga mikroba dapat mereduksinya melalui hidroksilamin ke
ammonium. Ensim yang bekerja pada reaksi tersebut melibatkan sistem ensim nitrat reduktase
dan nitrit reduktase.
Mikroba pereduksi nitrat seperti Paracoccus denitrificans, Thiobacillus denitrificans dan
beberapa Pseudomonas mempunyai tahap reaksi reduksi yang lebih lengkap sebagai berikut:
NO3- ------------- NO2- ------------- NO ----------- N2O --------------- N2
Reaksi denitrifikasi ini dapat terjadi dalam keadaan lingkungan anaerob pada tekanan
oksigen yang sangat rendah (reduktif). Walaupun demikian denitrifikasi juga dapat terjadi dalam
keadaan aerob apabila terdapat mikrohabitat anion. Mikroba denitrifikasi utama di dalam tanah
ialah genera Pseudomonas dan Alcaligenes. Mikroba lain yang juga mampu mereduksi nitrat
adalah Azospirillum, Rhizobium, Rhodo-pseudomonas, dan Propionibacterium.
Siklus Fosfor
Transformasi fosfor oleh mikroba
Mikroba tanah dapat berperan dalam proses penyediaan unsur hara untuk tanaman. Pada
tanah-tanah kahat unsur hara tertentu yang perlu masukan tinggi untuk memanipulasi secara
kimia agar ketersediaannya meningkat, maka penyediaan secara biologis dengan menggunakan
mikroba menjadi sangat penting. Kenyataan di alam, pada rhizosfer (daerah sekitar perakaran)
setiap tanaman merupakan habitat yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba. Oleh
karenanya penggunaan mikroba yang hidup di rhizosfer yang dapat meningkatkan serapan
unsur hara tanaman menjadi perhatian utama pada kajian ini. Mikroba yang berperan dalam
transformasi P dalam tanah adalah mikoriza yang bersimbiosis dengan perakaran tanaman dan
mikroba pelarut fosfat yang hidup bebas di daerah perakaran.
a. Mikorhiza Vesikular Arbuskular Mikoriza (VAM)
Pada keadaan tanah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, telah
ditemukan adanya simbiosis tanaman dengan sejenis jamur yang disebut mikoriza. Mikoriza
terdiri atas beberapa macam spesies, simbion untuk tanaman pertanian pada umumnya adalah
endomikoriza yang dikenal sebagai vesicular arbuskular mikoriza (VAM). Tanaman memerlukan
mikoriza untuk pengambilan unsure hara terutama kemampuannya untuk meningkatkan
serapan P, sehingga dapat membantu pertumbuhan tanaman terutama pada tanah-tanah kahat
P.
Perakaran tanaman yang terinfeksi mikoriza mempunyai daya serap yang lebih besar
terhadap air dan unsur hara, khususnya P, apabila dibandingkan dengan tanaman tanpa
mikoriza. Hal ini disebabkan adanya miselium jamur mikoriza yang tumbuh keluar dari akar
sehingga daya jangkau dan luas permukaan perakaran meningkat, akibatnya dapat
memperbesar daya serap akar. Diduga bahwa hifa eksternal mikoriza menyerap ion secara
intersepsi dan melalui pertukaran kontak langsung, sehingga penyerapan ion oleh tanaman
dengan cara tersebut menjadi lebih besar, sedangkan penyerapan secara difusi dan aliran
massa tetap berlangsung. Dengan demikian pada ketersediaan P yang sama, maka tanaman
bermikoriza dapat menyerap P yang lebih besar apabila dibandingkan dengan tanaman tanpa
mikoriza.
Tanaman bermikoriza mempunyai daya serap akar yang lebih besar sehingga
mengakibatkan unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman juga meningkat. Oleh karena sifat
dan cara penyerapan unsur hara yang berbeda satu sama lain, maka jumlah unsur hara yang
dapat diserap oleh adanya miselium jamur mikoriza ini kemungkinan juga berbeda, dan hal ini
dapat menyebabkan respon mikoriza pada serapan unsur hara tertentu sangat besar tetapi
untuk unsur hara yang lain tidak sama.
Penyerapan unsur hara oleh tanaman dapat secara pasif dan aktif, ada yang berpendapat
bahwa pengaruh mikoriza lebih nyata pada unsur hara yang terutama diserap tanaman secara
pasif dan sifat ionnya tidak lincah, seperti fosfor yang terutama diserap oleh akar secara difusi.
Fosfor merupakan unsur penting penyusun ATP, dan ATP merupakan bentuk energi tinggi yang
sangat berperanan dalam penyerapan unsure hara secara aktif, sehingga peningkatan serapan
fosfor memungkinkan peningkatan serapan unsur hara lain yang diserap secara aktif oleh
perakaran tanaman.
Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara jamur (mykus) tanah
kelompok tertentu dan perakaran (rhiza) tumbuhan tingkat tinggi. Berdasarkan struktur
tubuhnya dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat dikelompokkan ke dalam 3
golongan besar yaitu Endomikoriza, Ektomikoriza, dan Ektendomikoriza. Endomikoriza lebih
dikenal dengan Vesikular Arbuskular Mikoriza atau disingkat VAM, karena pada simbiosis dengan
perakaran dapat membentuk arbuskul dan vesikula di dalam akar tanaman. Berdasarkan
struktur arbuskul atau vesikula yang dibentuk, maka VAM dapat digolongkan ke dalam 2 sub
ordo, yaitu Gigaspoinae dan Glominae. Sub ordo Gigaspoinae terdiri atas satu famili Gigaspoceae
yang beranggotakan 2 genus yaitu Gigaspora sp. dan Scutellospora sp. Kedua genus ini tidak
membentuk struktur vesikula tetapi hanya membentuk arbuskul apabila berasosiasi dengan akar
tumbuhan. Salah satu anggota sub ordo Glominae adalah Glomus sp.
Vesikular Arbuskular Mikoriza merupakan simbiosa antara jamur tanah yang termasuk
kelompok Endogonales dengan semua tanaman yang termasuk dalam Bryophyta, Pteridophyta,
Gymnospermae dan Angiospermae, kecuali pada family Cruciferae, Chenopodiaceae dan
Cyperaceae yang belum diketahui adanya simbiosis dengan jamur tersebut. Simbiosis antara
tanaman dengan mikoriza terjadi dengan adanya pemberian karbohidrat dari tanaman kepada
jamur dan pemberian unsur hara terutama P dari jamur kepada tanaman. Oleh karena itu
perkembangan mikoriza pada akar sangat tergantung pada tingkat fotosintesis tanaman inang.
Jamur membutuhkan senyawa carbon yang dihasilkan oleh tanaman inang, sehingga
kemampuan tanaman untuk mensuplai senyawa carbon dari hasil fotosintesis menentukan
keberhasilan tanaman bersimbiosis dengan jamur. Akar tanaman dapat menghasilkan senyawa
yang dapat merangsang pertumbuhan jamur VAM. Senyawa tersebut berupa flavonoid yang
disebut eupalitin (3,5-dihidroksi-6,7-dimetoksi-4-hidroksi flavon) yang dapat merangsang
pertumbuhan hifa VAM, selain itu ada senyawa lain yang belum teridentifikasi yang dapat
berfungsi sebagai molekul sinyal untuk terjadinya simbiosis tanaman-VAM.
Bagian penting dari VAM adalah adanya hifa eksternal yang dibentuk diluar akar tanaman.
Hifa ini membantu memperluas daerah penyerapan akar tanaman. Jumlah miselium eksternal
dapat mencapai 80 cm per cm panjang akar, yang perkembangannya dipengaruhi oleh keadaan
tanah terutama aerasi. Dengan semakin luasnya daerah penyerapan akar maka semakin besar
pula daya serap akarnya, sehingga adanya mikoriza pada perakaran tanaman akan dapat
meningkatkan penyerapan unsur hara. Penyerapan air oleh akar juga menjadi lebih besar,
sehingga tanaman lebih tahan terhadap kekeringan. Manfaat lain adanya mikoriza adalah dapat
meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen akar, dan dapat memproduksi hormon dan
zat pengatur tumbuh yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
Vesikular Arbuskular Mikoriza mempunyai struktur hifa eksternal dan hifa internal, hifa
gulung, arbuskul dan vesikula. Hifa jamur mikoriza tidak bersekat, tumbuh diantara sel-sel
korteks dan bercabang-cabang di dalam sel tersebut. Di dalam jaringan yang diinfeksi dibentuk
hifa yang bergelung-gelung atau bercabang-cabang yang sering disebut arbuskul. Arbuskul
merupakan cabang-cabang hifa dikotom, struktur ini akan tampak sebagai massa protoplasma
yang berbutir-butir dan bercampur baur dengan protoplasma sel tanaman. Arbuskul mempunyai
hifa bercabang halus yang dapat meningkatkan 2-3 kali luas permukaan plasmolema akar, dan
diduga berperan sebagai pemindah unsur hara antara jamur dan tanaman inang. Arbuskul dapat
dibentuk dua sampai tiga hari setelah infeksi jamur terjadi pada perakaran. Vesikula
mengandung lipida, terutama berfungsi sebagai organ penyimpan. Apabila sel kortek rusak,
vesikula dapat dibebaskan ke dalam tanah, dan selanjutnya dapat berkecambah dan merupakan
propagul infektif. Perakaran yang terinfeksi VAM tidak terjadi perubahan nyata secara fisik,
sehingga hanya dapat dideteksi dengan teknik pewarnaan dan diamati dengan mikroskop. Di
dalam tanah, mikoriza dapat membentuk spora yang tumbuh satu-satu atau berkelompok yang
disebut sporokarp. Berdasarkan tipe sporanya, dibedakan yang dapat membentuk klamidospora,
yaitu genera Glomus, Sclerocystis, dan Complexipes. Sedangkan yang membentuk asigospora
adalah genera Gigaspora, Acaulospora dan Entrophospora.
Pengaruh yang menguntungkan dari mikoriza untuk pertumbuhan tanaman, yang
menunjukkan bahwa tanaman yang bermikoriza mempunyai berat kering yang lebih besar dari
tanaman yang tidak bermikoriza. Tanaman yang bermikoriza tumbuh normal sedangkan
tanaman tanpa mikoriza menunjukkan gejala defisiensi P. Mikoriza memperbaiki pertumbuhan
tanaman dengan jalan meningkatkan penyerapan unsurunsur hara dari dalam tanah, terutama
unsur P. Oleh karena P merupakan hara utama untuk pertumbuhan tanaman, maka pengaruh
infeksi mikoriza sangat nyata. Dengan demikian respon pertumbuhan tanaman merupakan
akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbaikan penyerapan P. Selain itu juga didukung
oleh peningkatan serapan unsur-unsur lain, seperti N, S, Zn dan Cu.
b. Mikroba Pelarut Fosfat
Bakteri yang diketahui dapat melarutkan fosfat adalah bermacam-macam spesies dari
genera Bacillus, Pseudomonas, Arthrobacter, Micrococcus, Streptomyces, dan Flavobacterium. Spesiesspesies bakteri yang mempunyai daya tinggi untuk melarutkan fosfat adalah Pseudomonas striata,
P. rathonis, Bacillus polymyxa, dan Bacillus megaterium. Semua bakteri tersebut mempunyai
kemampuan yang stabil dalam melarutkan P tidak tersedia dalam tanah dan batu fosfat.
Kebanyakan bakteri yang dapat melarutkan fosfat adalah bakteri pembentuk spora. Selain
bakteri, berbagai jamur yang diketahui dapat melarutkan fosfat adalah bermacam-macam
spesies dari genera Aspergillus, Penicillium dan khamir. Beberapa varitas dari spesies jamur
Aspergillus niger mempunyai daya tinggi untuk melarutkan fosfat.
Mikroba pelarut fosfat heterotrof dapat menghasilkan asam-asam organik. Berbagai asam
organik tersebut terutama asam-asam hidroksi dapat mengikat secara khelat dan membentuk
kompleks yang relatif stabil dengan kation-kation Ca 2+, Mg2+, Fe3+, dan Al3+, sehingga fosfat
yang semula terikat oleh kation-kation tersebut menjadi terlarut. Beberapa bakteri disamping
menghasilkan asam organik non-volatil juga dapat membentuk asam volatil. Asam organik yang
dihasilkan oleh satu jenis bakteri dapat bermacam- macam, seperti asam glukonat.
Pembentukan asam organik seperti asam-asam karboksilat yang terjadi selama perombakan
bahan organik oleh jamur dapat menyebabkan larutnya batu fosfat. Pelarutan batu fosfat dapat
diketahui dengan meningkatnya Ca yang terlepas dari batu fosfat. Dari metode tersebut
diketahui bahwa pelarutan batu fosfat meningkat terus sampai hari ke 90. Peningkatan jumlah
asam karboksilat dan total keasaman organik sebanding dengan peningkatan pelarutan batu
fosfat.
Beberapa mikroba yang bersifat khemolitotrofik juga berperan dalam proses pelarutan
fosfat tidak tersedia dalam tanah. Bakteri kelompok Nitrosomonas dan Thiobacillus berturut-turut
dapat menghasilkan asam nitrat dan asam sulfat. Asam-asam tersebut merupakan asam kuat
yang mampu melarutkan fosfat yang berbentuk tidak larut.
Soil organisms, from bacteria and fungi to protozoans and nematodes, on up to mites, springtails and
earthworms, perform a vast array of fertility-maintenance tasks. Organic soil management aims at helping soil
organisms maintain fertility; conventional (non-organic) soil management merely substitutes a simplified
chemical system to provide nutrients to plants. Once a healthy soil ecosystem is disrupted by the excessive
use of soluble synthetic fertilizers, restoring it can be a long and costly process. In many cases, the excessive
use of energy-intensive petroleum-based fertilizers and pesticides has destroyed the biological fertility of soil,
so growers use ever-larger amounts of these materials to sustain crop growth. Like all living things, the
creatures of the soil community need food, water, and air to carry on their activities A basic diet of plenty of
organic material, enough moisture, and well-aerated soil will keep their populations thriving.
Soil creatures thrive on raw organic matter with a balanced ratio of carbon to nitrogen, about 25 to
30 parts carbon to 1 part nitrogen. Carbon, the form of carbohydrates, is the main course for soil organisms.
Given lots of it, they grow quickly scavenging every scrap of nitrogen from the soil system to go with it. Thats
why adding lots of high-carbon materials to your soil can cause nitrogen deficiencies in plants. In the long
term, carbon is the ultimate fuel for all soil biological activity and therefore of humus formation and productivity.
A balance supply of mineral nutrients is also essential for soil organisms, and micronutrients are important to
the many bacterial enzymes involved in their biochemical transformations
Jaring-jaring
makanan
dalam
tanah
(Sumber:
DAFTAR PUSTAKA
Anderson J.M. 1994. Functional Attributes of Biodiversity in Landuse System: In D.J. Greenland and I.
Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon
Andre. 2010. http://boymarpaung. wordpress. com/ 2009/ 02/ 19/ sifat-biologi-tanah/ 19 Februari 2009.
[Diakses pada 17 Maret 2010].
Annisa. 2008. http://www.lihatkita.co.cc/2010/01/filum-arthropoda.html. [Diakses pada 20 Juni 2011].
Atkinson, C. F., D.D. Jones and J.J. Gauthier. 1996. Biodegradabilities and microbial activities during
composting of municipal solid waste in bench-scale reactors. Compost Science and Utilization. 4,4: 1423.
Baker G.H. 1998. Recognising and responding to the influences of agriculture and other land use practices on
soil fauna in Australia. App.Soil Ecol. 9,303-310.
Bear, F.E. 1964. Chemistry of the soil, ACS Monograph series No. 160, P. 258.
Chefetz, B., F. Adani, P. Genevini, F. Tambone, Y. Hadar, and Y. Chen. 1998. Humic acid transformation during
composting of municipal solid waste. Journal of Environmental Quality 27: 794-800.
Crossley Jr. D.A., B.R.Mueller dan J.C. Perdue. 1992. Biodiversity of microarthopds in agricultural soil:
relations to processes. Agric. Ecosyst. Environ. 40,37-46
Day, D.L., M. Krzymien, K. Shaw, W.R. Zaremba, C. Wilson, C. Botden, and B. Thomas. 1998. An
investigation of the chemical and physical changes occurring during commercial composting. Compost
Science and Utilization 6 (2): 44-66.
Doran J.W. dan Parkin. 1994. Definning and assessing soil quality, in J.W. Doran D.C. Coleman D.F. Bezdick
and B.A Stewart (eds). Defining Soil Quality for Sustainable Enironment. SSSA Special Publication 35.
SSSA. Madison pp 3 -21
Epstein E. 1997. The science of composting. Technomic Publishing, Inc., Lancaster, Pennsylvania, p. 83.
Finstein , M. S., F.C. Miller, P.F. Strom. 1986. Waste treatment composting as a controlled system. pp. 363398. In: W. Schenborn (ed). Biotechnology. Vol. 8-Microbial degradations. VCH Verlaqsgedellschaft
(German Chemical Society): Weinheim F.R.G.
Hairiah, K., Widianto., D. Suprayogo., R. H. Widodo., P. Purnomosidhi., S. Rahayu., M. V. Noordwijk. 1986.
Ketebalan
Serasah
Sebagai
Indikator
Daerah
Aliran
Sungai
(DAS)
Sehat.
http://fisika.brawijaya.ac.id/bss-ub/PDF%20FILES/BSS_199_1.pdf. [Diunduh pada 13 Juni 2011].
Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. A. Dika, Go Ban Hong, H. H. Bailley. 1986. DasarDasar Ilmu Tanah. Lampung : Penerbit Universitas Lampung.
Hamoda, M. F., H.A. Abu Qdais and J. Newham. 1998. Evaluation of municipal solid waste composting
kinetics. Resources, Conservation and Recycling 23: 209-223.
Hanafiah, K. A., A. Napoleon dan N. Ghofar., 2005. Biologi Tanah. Ekologi dan Makrobiologi Tanah. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Haug, R. T. 1993. The practical handbook of compost engineering. Lewis publishers, Boca Raton. Florida. 717
p.
Howe, C.A. and C.S. Coker. 1992. Co-composting municipal sewage sludge with leaves, yard wastes and
other recyclables a case study. In: Air Waste Management Association. 85th Annual Meeting and
Exhibition, Kansas City, Missouri, 21-26 June 1992.
Iswandi, A. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. IPB. Bogor.
Kaiser, J.. 1996. Modeling composting as a microbial ecosystem: a simulation approach. Ecological Modeling,
91 25-37.
Kartini, N. L., 2008. Cacing Tanah Indikator Kesuburan Tanah. http://wordpress.com/2008/10/cacing-tanahindikator-kesuburan-tanah/. [Diakses pada 1 Juni 2011].
Komilis, D. P., R.K. Ham and J.K. Park. 2004. Emission of volatile organic compounds during composting of
municipal solid wastes. Water Research 38: 1707-1714.
Liao, P. H., May, A. C. and Chieng S. T. 1995. Monitoring process efficiency of full-scale in-vessel system for
composting fisheries wastes. Bioresource Technology 54: 159-163.
Makalew, A. D. N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah Pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah (TOT).
Makalah Falsafah sains program pasca sarjana /S3. Bogor:IPB.
Mc Kinley, V. L., J.R. Vestal and A.E. Eralp. 1985. Microbial activity in composting. Biocycle 26 (10): 47-50.
McKinley V.L., and J.R. Vestal. 1984. Biokinetic analyses of adaptation and succession: Microbial activity in
composting municipal sewage sludge. Applied and Environmental Microbiology. 47 (5). pp.933-941
Naylor, L. M. 1996. Composting. Environmental and Science and Pollution series 18 (69): 193-269.
Neto, J. T. P., E.I. Stentiford dan D.D. Mara. 1987. Comparative survival of pathogenic indicators in windrow
and static pile. pp. 276-295. In: M.de Bertoldi, M. P. Ferranti, P. L' Hermite and F. Zucconi (eds.).
Compost: Production, Quality and Use. Elsevier Applied Science, London, United Kingdom.
Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pace, M.G., B.E. Miller dan K.L. Farrel-Poe. 1995. The Composting Process October 1995. Extension, Utah
State University. AG- WM 01
Palmisano, A C dan M.A. Bartaz. 1996. pp.125-127. In: Microbiology of solid waste. CRC Press.Inc. 2000.
Corporate Bld. N.W. Boca Raton. FL 33431 USA.
Palmisano, A. C., D.A. Maruscik, C.J. Ritchie, B.S. Schwab, S.R. Harper and R.A. Rapaport. 1993. A novel
bioreactor simulating composting of municipal solid waste. Journal of Microbiological Methods 56:135140.
Primack B.R., J.Supriatna , M.Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Reddy, K. R., T.C. Feijtel dan W.H. Patrick. 1986. Effect of soil redox conditions on microbial oxidation of
organic matter. pp. 117-153. In: Y. Chen and Y. Avnimelech (eds.). The Role of Organic Matter in
Modern Agriculture. Nijhoff, Dordrecht.
Rukmana R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Kanisius. Yogyakarta
Sharma, V.K., M. Canditelli, F. Fortuna dan Cornacchia. 1997. Processing of urban and agro-industrial
residues by aerobic composting: review. Energy Conversion and Management 38 (5): 453-478.
Suin,
N.
M.
1997.
Ekologi
Hewan
tanah.
Jakarta
:
Penerbit
Bumi
Aksara.
Wood M. 1989. Soil Biology. Chapman and Hall. New York.
Warman, P. R. dan W.C. Termeer. 1996. Composting and evaluation of racetrack manure, grass clippings and
sewage sludge. Bioresource Technology 55: 95-101.
Young, C. C dan C.H. Chou. 2003. Allelopathy, plant pathogen and crop productivity. pp. 89-105. In: H. C.
Huang and S. N. Acharya (eds.). Advances in Plant Disease Management. Research Signpost,
Trivandrum, Kerala, India.