Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup
sistem limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan
kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali,
hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra
nodul yaitu diluar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus,
paru, kulit dan organ lain.
Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia
menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya
mengapa angka kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang
erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan
antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya.4
Secara umum, limfoma diklasifikasikan menjadi dua, yaitu limfoma
hodgkin dan limfoma non-hodgkin. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan
histopatologis dari kedua penyakit di atas, di mana pada limfoma hodgkin terdapat
suatu gambaran yang khas yaitu adanya sel Reed-Sternberg.5
Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan
penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih
merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis
kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini, angka harapan hidup 5 tahun
meningkat dan bahkan sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan
tersedianya kemoterapi dan radioterapi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Limfoma atau limfoma maligna adalah sekelompok kanker di mana sel-sel
limfatik menjadi abnormal dan mulai tumbuh secara tidak terkontrol. Karena
jaringan limfe terdapat di sebagian besar tubuh manusia, maka pertumbuhan
limfoma dapat dimulai dari organ apapun.2
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran histopatologisnya, limfoma dibedakan menjadi dua
jenis5, yaitu:
a. Limfoma Hodgkin (LH)
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang
dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian
mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang
menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang
lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai
dasar pembagian penyakit Hodgkin.3
Limfoma jenis ini memiliki dua tipe. yaitu tipe klasik dan tipe nodular
predominan limfosit, di mana limfoma hodgkin tipe klasik memiliki empat
subtipe menurut Rye, antara lain:

b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH)


Limfoma non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen
dengan spectrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai
kelainan indolen dengan perjalanan lama dan tidak aktif. Dalam perjalanan
waktu dikembangkan berbagai usaha untuk mendapatkan klasifikasi NHL yang
dapat diyakini dan dapat direproduksi. Semula klasifikasi ini didasarkan atas
sifat-sifat morfologik dan sitokimiawi. Kemudian bertambah dengan kriteria
imunologik dan biologi molekuler, yang dapat memberi gambaran yang lebih
tepat mengenai tipe sel dan stadium pertumbuhannya. Di Eropa pada umumnya
digunakan klasifikasi Kiel, di Amerika Serikat kebanyakan klasifikasi menurut
Lukes dan Collins dan kadang-kadang juga menurut Rappaport. Karena dengan
ini perbandingan hasil terapi dan prognosis mendapat banyak kesukaran, pada
tahun 1982 dikembangkan Working Formulation (WF). Ini bukanlah suatu
sistem klasifikasi baru melainkan suatu kompromi berdasarkan empiri klinik
yang dapat membedakan entities dengan implikasi prognostik.2,3
Limfoma non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi
menjadi 2, yaitu NHL limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi
sel plasma yang membentuk antibodi (prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T
yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi bentuk aktif.
Dibedakan 3 derajat malignitas klinis: rendah (30%), intermedier (40%)
dan tinggi (20%), dan dalam kategori ini digunakan pengertian dari klasifikasi
Dorfman, Lukes, dan Collins. Dua sistem klasifikasi morfologik yang umum
dipakai di Amerika Serikat ini didasarkan atas pola pertumbuhan dan tipe sel.
Kriteria imunologik, yang antara lain membedakan antara tipe sel-B dan sel-T,
belum dimasukkan disini. Tetapi, kepentingan besar WF adalah dalam
kenyataan bahwa WF ini mempunyai nilai prediktif yang baik untuk perilaku
klinis malignitas ini. Karena itu, sistem ini merupakan dasar untuk tindakan
terapeutik.3
Konsep

klasifikasi

Kiel

berdasar

atas

perbandingan

dengan

pertumbuhan sel-B dan sel-T normal. Limfoma non-Hodgkin dianggap sebagai


lawan maligna stadium spesifik dalam pertumbuhan ini dan dengan itu

mempunyai fenotipe yang cocok (morfologi dan pola penanda). Terutama


dalam hal NHL sel-B ini menyebabkan pengenalan entities biologic yang
disebut penyakit limfoma. Kepentingannya adalah pertama bahwa dalam
golongan NHL dengan derajat malignitas yang sama dapat dibuat prediksi
mengenai kelakuan tumornya dalam arti lokalisasi tumor yang diharapkan
(lien, sumsum tulang, ekstranodal, susunan saraf sentral) dan kemungkinan
terhadap relaps. Kedua, cara klasifikasi demikian merupakan dasar yang baik
untuk penelitian medik biologik dalam lapangan non-Hodgkin. Karena itu, di
Amerika Serikat makin besar antusiasme untuk penanganan demikian. Hal ini
belakangan ini menyebabkan usul bersama hematopatolog Eropa dan Amerika
untuk memodernisasi klasifikasi Kiel, berdasar atas kesatuan biologik yang
didefinisikan dengan menggunakan morfologi, imunohistologi, sitogenetika,
dan biologi molekuler. Klasifikasi baru ini berbeda dengan klasifikasi Kiel
sedemikian rupa, bahwa tekhnik pemeriksaan modern diimplementasikan
dalam diagnostik NHL dan bahwa juga NHL ekstranodal, yang dalam
klasifikasi Kiel tidak dapat dimasukkan dengan baik padahal kira-kira
merupakan 40% semua NHL, secara eksplisit diikutsertakan.3
Formulasi Kerja (Working Formulation) membagi limfoma non-hodgkin
menjadi tiga kelompok utama, antara lain:

Limfoma Derajat Rendah


Kelompok ini meliputi tiga tumor, yaitu limfoma limfositik kecil,
limfoma folikuler dengan sel belah kecil, dan limfoma folikuler
campuran sel belah besar dan kecil.

Limfoma Derajat Menengah


Ada empat tumor dalam kategori ini, yaitu limfoma folikuler sel
besar, limfoma difus sel belah kecil, limfoma difus campuran sel
besar dan kecil, dan limfoma difus sel besar.

Limfoma Derajat Tinggi

Terdapat tiga tumor dalam kelompok ini, yaitu limfoma


imunoblastik sel besar, limfoma limfoblastik, dan limfoma sel tidak
belah kecil.
Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel ReedSternberg yang bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel ReedSternberg adalah suatu sel besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda
(binucleated), berlobus dua (bilobed), atau berinti banyak (multinucleated) dengan
sitoplasma amfofilik yang sangat banyak. Tampak jelas di dalam inti sel adanya
anak inti yang besar seperti inklusi dan seperti mata burung hantu (owl-eyes),
yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.5

(a)

(b)

Gambar 1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed Sternberg
dan (b) Limfoma Non Hodgkin

2.3 Bentuk Khusus Limfoma Maligna


Jarang
limfoblastik dan

pada dewasa, tetapi lebih frekuen pda anak adalah NHL


limfoma burkitt. Limfoma limfoblastik pada usia dewasa

biasanya diterapi sebagai leukemia limfatik akut, termasuk profilaksis meningeal.


Limfoma burkitt disamping ciri-ciri morfologik dan kromosomal juga mempunyai
sifat-sifat klinis spesifik: limfoma ini sering menunjukkan pertumbuhan cepat,
lokalisasinya ekstranodal. Tempat preferensi adalah abdomen yaitu sudut

ileosekal. Kadang-kadang menampakkan diri sebagai perut akut sebagai akibat


invaginasi. Untuk tipe limfoma ini sering digunakan pembaian stadium lain
daripada klasifikasi Ann Arbor.3,10
Limoma burkitt terbagi 2, yaitu limfoma burkitt endemic dan sporadic.
Tipe endemic ini terjadi di Afrika. Berhubungan erat dengan virus Epstein Barr
(EBV). Umumnya melibatkan ulang rahang, yang sangat jarang terjadi ada tipe
sporadic. Tipe ini juga umumnya melibatka abdomen. Sedangkan tipe sporadic
terjadi di bagian dunia lain di luar Afrika. Pengruh EBV tidaklah sekuat jenis
endemic meskipun bukti infeksi EBV didapatkan pada satu dari lima pasien. 90%
kasus melibatkan abdomen.10
2.4 Epidemiologi
Pada tahun 2002, tercatat 62.000 kasus LH di seluruh dunia. Di negaranegara berkembang ada dua tipe limfoma hodgkin yang paling sering terjadi, yaitu
mixed cellularity dan limphocyte depletion, sedangkan di negara-negara yang
sudah maju lebih banyak limfoma hodgkin tipe nodular sclerosis. Limfoma
hodgkin lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dengan distribusi usia
antara 15-34 tahun dan di atas 55 tahun.1
Berbeda dengan LH, LNH lima kali lipat lebih sering terjadi dan
menempati urutan ke-7 dari seluruh kasus penyakit kanker di seluruh dunia.
Secara keseluruhan, LNH sedikit lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita.
Rata-rata untuk semua tipe LNH terjadi pada usia di atas 50 tahun.6
Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia
menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya
mengapa angka kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang
erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan
antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya.4

2.5 Etiologi

Penyebab limfoma hodgkin dan non-hodgkin sampai saat ini belum


diketahui secara pasti1,2,6. Beberapa hal yang diduga berperan sebagai penyebab
penyakit ini antara lain:
a. Infeksi (EBV, HTLV-1, HCV, KSHV, dan Helicobacter pylori)
b. Faktor lingkungan seperti pajanan bahan kimia (pestisida, herbisida,
bahan kimia organik, dan lain-lain), kemoterapi, dan radiasi.
c. Inflamasi kronis karena penyakit autoimun
d. Faktor genetik
Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya peran
infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya, negara non
industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur
lebih muda, puncak insidensi pertama morbus Hodgkin juga terjadi jauh lebih dini
(antara 5 dan 15 tahun) daripada di negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan
terhadap virus umum terjadi belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status
ekonomi social yang lebih tinggi) insidensi morbus Hodgkin relatif lebih tinggi.
Ini dapat menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu mempunyai efek
predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih
belakangan. Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang
peran pada patogenesis morbus Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi
molecular pada persentase yang cukup tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali
bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan adanya DNA EBV dalam sel ReedSternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV tertentu. Tetapi, apakah
ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya morbus
Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan
kausa langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.2,3,4
Pada tipe NHL tertentu, infeksi virus tampaknya memegang peran. Yang
paling banyak diketahui adalah peran virus Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung
untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik) pada anakanak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV,
infeksi malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t(8; 14),
yang menyebabkan berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV
dapat ditunjukkan dalam berbagai tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan NHL sel-

T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis NHL ini jauh kurang jelas daripada
untuk limfoma Burkitt tipe endemik.3,4,7,8
HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada
hubungan dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah
Karibia. Di Eropa, virus ini tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di
samping infeksi virus imunosupresi yang lama merupakan faktor etiologi yang
lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi congenital, seperti misalnya pada
ataksia, teleangiektasia, atau kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi
imunosupresif pada penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini
mendapat limfoma sel-B derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih
banyak diketahui mengenai peran onkogen dalam terjadinya NHL. Pada NHL
terdapat translokasi kromosom. Yang khas di sini adalah bahwa bagian kromosom
spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor immunoglobulin atau sel T
terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen. Bahwa disini justru
terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah suatu kebetulan. Dalam
perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses pengaturan kembali
pada niveau DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional dari berbagai
komponen gen pada kromosom. Pada proses ini terjadi sementara patah
kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan patah dalam kromosom asli malahan dapat
juga terjadi penggabungan yang keliru ke kromosom lain. Hasilnya adalah suatu
translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi dan
teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t(8; 14) tersebut di atas, dimana
satu dari gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom 14 tergabung ke
onkogen c-myc pada kromosom 8. Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi hebat.
Translokasi t(8; 14) secara spesifik terdapat pada limfoma Burkitt (endemik dan
sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL sel-B derajat tinggi.2,3,8
Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t(14; 18) yang
terdapat dalam kira-kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam
tipe yang berasal dari ini). Onkogen bcl-2 yang bersangkutan dengan ini
menyebabkan sentrosit dalam keadaan normal mempunyai jangka hidup sangat
terbatas, dapat hidup lebih lama karena blokade terhadap apa yang disebut

kematian sel terprogram (apoptosis). Efek ini memegang peran penting pada
terjadinya tipe NHL ini. Jadi perlu dipahami bahwa onkogen dapat menstimulasi
proliferasi maupun menghambat kematian sel. Kedua faktor itu dapat
menimbulkan replikasi sel neoplastik.3,6
2.6 Anatomi Sistem Limfatik
Sistem limfatik terdapat di seluruh bagian tubuh manusia, kecuali sistem
saraf pusat. Bagian terbesarnya terdapat di sumsum tulang, lien, kelenjar timus,
limfonodi dan tonsil. Organ-organ lain termasuk hepar, paru-paru, usus, jantung,
dan kulit juga mengandung jaringan limfatik.

Gambar 2. Anatomi Sistem Limfatik

Limfonodi berbentuk seperti ginjal atau bulat, dengan diameter sangat


kecil sampai dengan 1 inchi. Limfonodi biasanya membentuk suatu kumpulan

(yang terdiri dari beberapa kelenjar) di beberapa bagian tubuh yang berbeda
termasuk leher, axilla, thorax, abdomen, pelvis, dan inguinal. Kurang lebih dua
per tiga dari seluruh kelenjar limfe dan jaringan limfatik berada di sekitar dan di
dalam tractus gastrointestinal.
Pembuluh limfe besar adalah ductus thoracicus, yang berasal dari sekitar
bagian terendah vertebrae dan mengumpulkan cairan limfe dari extremitas
inferior, pelvis, abdomen, dan thorax bagian inferior. Pembuluh limfe ini berjalan
melewati thorax dan bersatu dengan vena besar di leher sebelah kiri. Ductus
limfatikus dextra mengumpulkan cairan limfe dari leher sebelah kanan, thorax,
dan extremitas bagian superior kemudian menyatu dengan vena besar pada leher
kanan.
Limpa berada di kuadran kiri atas abdomen. Tidak seperti jaringan limfoid
lainnya, darah juga mengalir melewati limpa. Hal ini dapat membantu untuk
mengontrol volume darah dan jumlah sel darah yang bersirkulasi dalam tubuh
serta dapat membantu menghancurkan sel darah yang telah rusak.2
2.7 Patofisiologi
Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada
sel-sel tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi
terjadinya keganasan. Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor
tumor, gen yang mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA.
Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat bermutai menjadi onkogen yang
produknya dapat menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor
tumor adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya,
kedua gen ini bekerja secara sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat
dicegah. Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta terjadi
inaktivasi gen supresor tumor, maka suatu sel akan terus melakukan proliferasi
tanpa henti.
Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur
apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen

yang mengatur apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang


terprogram, sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi
regenerasi. Jika gen ini mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan
seharusnya sudah mati menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi
regenerasinya, sehingga proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya
gen yang mengatur perbaikan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan
menginduksi terjadinya mutasi sel normal menjadi sel kanker.5
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang
dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian
mononuklear) dengan

gambaran dasar

yang cocok merupakan hal yang

menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang


lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai
dasar pembagian penyakit Hodgkin.3

Gambar 3. Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan

2.8 Gejala Klinis

10

Baik tanda maupun gejala limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin


dapat dilihat pada tabel berikut ini.1,7
Tabel 1. Manifestasi Klinis dari Limfoma

Anamnesis

Limfoma Hodgkin
Asimtomatik limfadenopati

Limfoma Non-Hodgkin
Asimtomatik limfadenopati

Gejala sistemik (demam

Gejala sistemik (demam

intermitten, keringat malam,

intermitten, keringat malam,

BB turun)

BB turun)

Nyeri dada, batuk, napas


pendek

Mudah lelah
Gejala obstruksi GI tract dan

Pruritus

Urinary tract.

Nyeri tulang atau nyeri


punggung
Teraba pembesaran limonodi

Melibatkan banyak kelenjar

pada satu kelompok kelenjar

perifer

(cervix, axilla, inguinal)

Cincin Waldeyer dan kelenjar

Cincin Waldeyer & kelenjar

mesenterik sering terkena

mesenterik jarang terkena

Hepatomegali &

Pemeriksaan Fisik Hepatomegali &


Splenomegali

Splenomegali
Massa di abdomen dan testis

Sindrom Vena Cava Superior


Gejala susunan saraf pusat
(degenerasi serebral dan
neuropati)

Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga
dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi
Costwell.1,3,6

Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell
Keterlibatan/Penampakan
11

Stadium
I

Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ

II

ekstralimfatik (IE)
Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio yang

III

letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang sama (IIE)
Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi diafragma

IV

ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau limpa (IIIES)


Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ
ekstralimfatik

Suffix
A
B

Tanpa gejala B
Terdapat salah satu gejala di bawah ini:

Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan

sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui penyebabnya


Demam intermitten > 38 C
Berkeringat di malam hari
Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10 cm,
atau , massa mediastinum dengan ukuran > 1/3 dari diameter transthoracal
maximum pada foto polos dada PA

Gambar 4. Penentuan Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor


2.9 Diagnosis
Diagnosis limfoma hodgkin maupun non-hodgkin dapat ditegakkan
melalui prosedur-prosedur di bawah ini.3
1. Anamnesis lengkap yang mencakup pajanan, infeksi, demam, keringat
malam, berat badan turun lebih dari 10 % dalam waktu kurang dari 6
bulan.
12

2. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada sistem limfatik (kelenjar


getah bening, hati, dan lien dengan dokumentasi ukuran), infiltrasi kulit
atau infeksi.
3. Hitung sel darah rutin, pemeriksaan differensiasi sel darah putih, dan
hitung trombosit.
4. Pemeriksaan kimia darah, mencakup tes faal hati dan ginjal, asam urat,
laktat dehidrogenase (LDH), serta alkali fosfatase.
5. Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hilus
(pembesaran kelenjar getah bening bronkus, efusi pleura, dan penebalan
dinding dada.
6. CT scan atau MRI dada, abdomen, dan pelvis.
7. Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang.
8. Scan galium, dilakukan sebelum dan sesudah terapi, dapat menunjukkan
area penyakit atau penyakit residual pada mediastinum.
9. Biopsi dan aspirasi sumsum tulang pada limfoma stadium III dan IV.
10. Evaluasi sitogenetik dan sitometri aliran.
2.10 Diagnosis Banding

Citomegalovirus
Mononukleosis infeksiosa
Ca Paru
Artritis rheumatoid
Sarkoidosis

Serum Sickness
Sifilis
Lupus Eritematosus Sistemik
Toxoplasmosis
Tuberculosis

2.11 Penatalaksanaan
Pilihan terapi pertama pada Limfoma Maligna adalah sebagai berikut:
Terapi pertama

13

Stadium I II

- Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan


radiasi kelenjar paraaorta dan limpa; kadangkadang hanya lapangan mantel saja
- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan
dengan radioterapi
- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan
involved field radiation

Stadium IIIA

Kemoterapi ditambah dengan radioterapi

Stadium IIIB IV

Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi

Penatalaksanaan limfoma maligna dapat dilakukan melalui berbagai cara,


yaitu:
a.

Pembedahan
Tata laksana dengan pembedahan atau operasi memiliki peranan yang
terbatas dalam pengobatan limfoma. Untuk beberapa jenis limfoma,
seperti limfoma gaster yang terbatas pada bagian perut saja atau jika ada
resiko perforasi, obstruksi, dan perdarahan masif, pembedahan masih
menjadi pilihan utama. Namun, sejauh ini pembedahan hanya dilakukan
untuk mendukung proses penegakan diagnosis melalui surgical biopsy.7

b.

Radioterapi
Radioterapi memiliki peranan yang sangat penting dalam pengobatan
limfoma, terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran penyakit ini
lebih sulit untuk diprediksi. Beberapa jenis radioterapi yang tersedia telah
banyak

digunakan

untuk

mengobati

limfoma

hodgkin

seperti

radioimunoterapi dan radioisotope. Radioimunoterapi menggunakan


antibodi monoclonal seperti CD20 dan CD22 untuk melawan antigen
spesifik

dari

menggunakan

limfoma

secara

langsung,

sedangkan

radioisotope

131

Iodine atau 90Yttrium untuk irradiasi sel-sel tumor secara


14

selektif7. Teknik radiasi yang digunakan didasarkan pada stadium limfoma


itu sendiri1, yaitu:
Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
Untuk stadium IV secara total body irradiation

Gambar 5. Berbagai macam teknik radiasi


c.

Kemoterapi1,6,7
Merupakan teknik pengobatan keganasan yang telah lama digunakan dan
banyak obat-obatan kemoterapi telah menunjukkan efeknya terhadap
limfoma.
Pengobatan Awal:
1. MOPP regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus atau lebih.
o

Mechlorethamine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 8

Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2 hari ke 1 dan 8

Procarbazine: 100 mg/m2, hari 1-14

Prednisone: 40 mg/m2, hari 1-14, hanya pada siklus 1 dan 4

2. ABVD regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus


o

Adriamycin: 25 mg/m2, hari ke 1 dan 15

Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke 1 dan 15

Vinblastine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 15

Dacarbazine: 375 mg/m2, hari ke 1 dan 15

3. Stanford V regimen: selama 2-4 minggu pada akhir siklus


15

Vinblastine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 7, 9, 11

Doxorubicin: 25 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 9, 11

Vincristine: 1,4 mg/m2, minggu ke 2, 4, 6, 8, 10, 12

Bleomycin: 5 units/m2, minggu ke 2, 4, 8, 10, 12

Mechlorethamine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 5, 9

Etoposide: 60 mg/m2 dua kali sehari, minggu ke 3, 7, 11

Prednisone: 40 mg/m2, setiap hari, pada minggu ke 1-10, tapering


of pada minggu ke 11,12

4. BEACOPP regimen: setiap 3 minggu untuk 8 siklus


o

Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke- 8

Etoposide: 200 mg/m2, hari ke 1-3

Doxorubicin (Adriamycine): 35 mg/m2, hari ke-1

Cyclophosphamide: 1250 mg/m2, hari ke-1

Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2, hari ke-8

Procarbazine: 100 mg/m2, hari ke 1-7

Prednisone: 40 mg/m2, hari ke 1-14

Jika pengobatan awal gagal atau penyakit relaps:


1. ICE regimen
a. Ifosfamide: 5 g/m2, hari ke-2
b. Mesna: 5 g/m2, hari ke-2
c. Carboplatin: AUC 5, hari ke-2
d. Etoposide: 100 mg/m2, hari ke 1-3

2. DHAP regimen
a. Cisplatin: 100 mg/m2, hari pertama
b. Cytarabine: 2 g/m2, 2 kali sehari pada hari ke-2
c. Dexamethasone: 40 mg, hari ke 1-4

16

3. EPOCH regimen Pada kombinasi ini, etoposide, vincristine, dan


doxorubicin diberikan secara bersamaan selama 96 jam IV secara
berkesinambungan.
a. Etoposide: 50 mg/m2, hari ke 1-4
b. Vincristine: 0.4 mg/m2, hari ke 1-4
c. Doxorubicin: 10 mg/m2, hari ke 1-4
d. Cyclophosphamide: 750 mg/m2, hari ke- 5
e. Prednisone: 60 mg/m2, hari ke 1-6
d.

Imunoterapi
Bahan yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-, di mana
interferon- berperan untuk menstimulasi sistem imun yang menurun

e.

akibat pemberian kemoterapi.7


Transplantasi sumsum tulang
Transplasntasi sumsum tulang merupakan terapi pilihan apabila limfoma
tidak membaik dengan pengobatan konvensional atau jika pasien
mengalami pajanan ulang (relaps). Ada dua cara dalam melakukan
transplantasi sumsum tulang, yaitu secara alogenik dan secara autologus.
Transplantasi secara alogenik membutuhkan donor sumsum yang sesuai
dengan sumsum penderita. Donor tersebut bisa berasal dari saudara
kembar, saudara kandung, atau siapapun asalkan sumsum tulangnya sesuai
dengan sumsum tulang penderita. Sedangkan transplantasi secara
autologus, donor sumsum tulang berasal dari sumsum tulang penderita
yang masih bagus diambil kemudian dibersihkan dan dibekukan untuk
selanjutnya ditanamkan kembali dalam tubuh penderita agar dapat
menggantikan sumsum tulang yang telah rusak.2

2.12 Komplikasi
Ada dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma
maligna, yaitu komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi
karena penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu
sendiri dapat berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung,
kelainan pada paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord,

17

kelainan neurologis, obstruksi hingga perdarahan pada traktus gastrointestinal,


nyeri, dan leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap leukemia. Sedangkan
komplikasi akibat penggunaan kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan
muntah, infeksi, kelelahan, neuropati, dehidrasi setelah diare atau muntah,
toksisitas jantung akibat penggunaan doksorubisin, kanker sekunder, dan sindrom
lisis tumor.1,6

18

2.13 Prognosis
Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma hodgkin
ditentukan oleh beberapa faktor di bawah ini, antara lain:

Serum albumin < 4 g/dL

Hemoglobin < 10.5 g/dL

Jenis kelamin laki-laki

Stadium IV

Usia 45 tahun ke atas

Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3

Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih

Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%,
sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan
hidupnya hanya 59%.1
Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi
prognosisnya antara lain:

usia (>60 tahun)


Ann Arbor stage (III-IV)
hemoglobin (<12 g/dL)
jumlah area limfonodi yang terkena (>4) and
serum LDH (meningkat)

yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah
(memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan
resiko buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas).6

DAFTAR PUSTAKA
19

1.

Dessain,

S.K.

2009.

Hodgkin

Disease.

[serial

online].

2.

http://emedicine.medscape.com/article/20188-overview [15 Desember 2013].


Ford-Martin, Paula. 2005. Malignant Lymphoma. [serial online].

3.

http://www.healthline.com /malignant-lymphoma/. [15 Desember 2013].


Price, S.A dan Wilson, L.M. 2005. Pathophysiology: Clinical Concepts of
Disease Processes, Sixth Edition. Alih bahasa Pendit, Hartanto, Wulansari
dan Mahanani. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.

4.

Jakarta: EGC
Reksodiputro, A. dan Irawan, C. 2006. Limfoma Non-Hodgkin. Disunting
oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

5.

Universitas Indonesia.
Kumar, Abbas, dan Fausto. 2005. Phatologic Basis of Diseases 7th Edition.

6.

Philadelphia: Elsevier & Saunders


Vinjamaram, S. 2010. Lymphoma,

7.

http://emedicine.medscape.com/article/20339-overview. [15 Desember 2013].


Berthold, D. dan Ghielmini, M. 2004. Treatment of Malignant Lymphoma.

Non-Hodgkin.

[serial

online].

Swiss Med Wkly (134) : 472-480.

20

Anda mungkin juga menyukai