Anda di halaman 1dari 24

9

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah. 4
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7
hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. 5
3.2
Epidemiologi
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid jarang terjadi di negara
industri. Namun, tetap menjadi masalah kesehatan serius di sebagian wilayah
dunia seperti Uni Soviet, India, Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika.
Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu berakhir
kematian. Sekitar 70% dari seluruh kasus kematian itu menimpa penderita demam
tifoid di Asia. 6
Pada tahun 2000 insidensi demam tifoid di Amerika Latin sebesar 53 per
100 ribu penduduk dan di Asia Tenggara sebesar 110 per 100 ribu penduduk. Di
Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Etiologi utama di
Indonesia adalah Salmonella subspesies enterika serovar typhi dan paratyphi A.
CDC Indonesia melaporkan insidensi demam tifoid mencapai 358-810 per 100 ribu
populasi pada tahun 2007 dengan 64% ditemukan pada usia 3-19 tahun dan angka
mortalitas antara 3,1-10,4% pada pasien rawat inap. 6, 7
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan
9
nyata antara insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi penderita

10

demam tifoid dengan usia 12-30 tahun sekitar 70-80%, usia 31-40 tahun sekitar
10-20%, dan usia > 40 tahun sekitar 5-10%. 7
3.3
Etiologi
Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi dari genus Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut getar).
Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41 o
C (suhu pertumbuhan optimal 37o C) serta pH pertumbuhan 6-8. Kuman ini
bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas seperti di air, es, sampah, dan
debu serta hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. Kuman
ini mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan, dan khlorinisasi. 8
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:
1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini tahan
2.

terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.


Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan

3.

terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.


Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Antigen tersebut di dalam

tubuh

penderita

akan

menimbulkan

pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. 7, 9


3.4
Patogenesis
Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di
masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella
typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau
minuman yang tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan jari

11

penderita yang terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus. Selain
itu, transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke janin.
Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus dan berkembang biak. 4, 7
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang
berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan
untuk imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk
membunuh kuman intraseluler. 10
Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum
distal dan ke kelenjar limfe mesenterika. Melalui duktus torasikus, kuman yang
terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di organ-organ ini kuman meninggalkan
sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid kemudian
masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan
disertai tanda dan gejala klinis. 4, 7
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak
kemudian disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus,
sebagian keluar bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan
difagosit oleh makrofag yang sudah teraktivasi dan hiperaktif sehingga
melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul demam, sakit

12

kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler, gangguan koagulasi,


dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque peyeri, makrofag hiperaktif
sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan perdarahan saluran cerna (erosi
vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman terus menembus lapisan usus
hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat mengakibatkan perforasi. 4
Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain. Kuman dapat menetap
atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh penderita. Hal ini mengakibatkan
PATHWAY
4
bakteri
Salmonella typhi atau Salmonella
terjadinya relaps atau karier.

paratyphi masuk ke saluran cerna

sebagian dimusnahkan asam lambung


peningkatan asam lambung

sebagian masuk usus halus


di ileum terminalis membentuk
limfoid plaque peyeri

mual, muntah
intake kurang

sebagian hidup
dan menetap

sebagian menembus
lamina propria

gangguan nutrisi

perdarahan

masuk aliran limfe

perforasi

masuk ke kelenjar
limfe mesenterikus

PERITONITIS

menembus aliran darah

nyeri tekan

masuk hepar dan lien


hepatomegali, splenomegali

3.7

Manifestasi Klinis

infeksi Salmonella typhi,


paratypi, dan endotoksin
dilepasnya zat pirogen
oleh leukosit
DEMAM TIFOID

13

Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu.


Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti panas
disertai diare sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala septik,
ensefalopati, atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan dan perforasi
usus. Hal ini mempersulit penegakkan diagnosis jika hanya berdasarkan gambaran
klinisnya. 1, 3
Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan
gejala yang menyerupai septikemia karena Streptococcus atau Pneumococcus
daripada Salmonella typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid
tetapi pada malaria. Namun, demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada
1 penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai
gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan dengan apendiksitis.
Pada tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat perforasi usus. 4
Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 oC), nyeri
kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut,
nyeri otot, dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas
berwarna putih (lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, atau
psikosis). 4, 10
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama
minggu ke-1, terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2
dan ke-3 demam terus-menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara
lisis. Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat,
dan kadang disertai epistaksis. Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering

14

dan pecah-pecah disertai lidah kotor, berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut
agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien membesar, lunak, dan nyeri tekan.
Pada awal penyakit umumnya terjadi diare kemudian menjadi obstipasi. 4, 10
3.6
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan
hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi
molekuler. Pemeriksaan ini untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan
prognosis, serta memantau perjalanan penyakit, hasil pengobatan, dan timbulnya
komplikasi.
1. Hematologi
a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi
perdarahan atau perforasi usus.
b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.
c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.
d. Laju endap darah (LED) meningkat.
e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 13
2. Urinalisis
a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).
b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi. 7

3. Kimia klinis
Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran radang
sampai hepatitis akut. 7
4. Imunoserologi

15

a. Widal
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap
antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen). Pada uji ini hasil
positif jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Oleh karena itu, antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile
agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat
disebabkan pernah vaksinasi, reaksi silang dengan spesies

lain

(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya


faktor reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan sudah
mendapatkan terapi antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1
minggu sakit, keadaan umum buruk, dan adanya penyakit imun lain. 3, 13
Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.
Makin tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita demam tifoid.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1 demam
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4
serta tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula
timbul aglutinin O dan diikuti aglutinin H. Orang yang sembuh, aglutinin
O masih dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama 9-12 bulan. 3, 13
Jika titer O sekali periksa 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4 kali,
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau sedangkan Vi untuk deteksi
pembawa kuman (karier). 13
b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM

16

Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk
mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut
sedangkan lgG positif menandakan pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi, atau
di daerah endemik. 7
5. Mikrobiologi (kultur)
Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk
demam tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika
hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif
palsu dapat disebabkan jumlah darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah tidak
segera dimasukkan ke media gall (darah membeku dalam spuit sehingga
kuman terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam
minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan sudah vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-7 hari, jika belum ada
ditunggu 7 hari lagi). Spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah
kemudian untuk stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan feses. 1, 3, 10
6. Biologi molekular
PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini
dilakukan dengan perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi dengan
DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang
terdapat dalam jumlah sedikit (sensitivitas) dan spesifisitas tinggi. Spesimen
yang digunakan berupa darah, urin, cairan tubuh lain, dan jaringan biopsi. 6
3.7
Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji sampel

17

feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan


membiakkan pada 14 hari awal setelah terinfeksi. 7
Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10 dan
titer akan meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2
hari jika peningkatan aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis
positif dari infeksi aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2
dan ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat mendukung diagnosis
dengan ditemukannya bakteri Salmonella. 3, 13
Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat
leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-10
dari demam, arah demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN,
berarti terdapat infeksi sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan cepat dari
leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak mudah
mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita yang setelah
terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh tanpa diberi obat.
Hal itu dapat terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja
menelan kuman langsung sakit, tergantung dari banyaknya kuman dan imunitas
seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang masuk saluran cerna, dapat langsung
dimatikan oleh sistem imun. 7
3.8
Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis dapat
menjadi diagnosis banding seperti influenza, bronkitis, bronkopneumonia, dan
gastroenteritis. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia,

18

shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan. Demam tifoid yang berat dapat
didiagnosis banding dengan sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin. 2, 7
3.9
Penatalaksanaan
Tatalaksana demam tifoid meliputi:
a. Non medikamentosa dan Medikamentosa
1. Tirah baring
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat
mempercepat penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai juga perlu dijaga. 5
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau 14 hari. Tirah baring bertujuan untuk
mencegah terjadinya

komplikasi perdarahan atau perforasi usus.

Mobilisasi pasien dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan


pasien. 5
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada
waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang
terjadi obstipasi dan retensi urin. 5
2.

Managemen nutrisi
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan

mengikuti petunjuk diet berikut:


a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.

19

d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.


Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan
tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk
menghindari terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus. 11
3. Managemen medis
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti demam,
diare, obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3 hari,
perlu dibantu dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat laksansia
atau enema tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan perdarahan
maupun perforasi usus. 11
Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita
seperti

pemberian

cairan

dan

elektrolit

jika

terjadi

gangguan

keseimbangan cairan. Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan


pada toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan
neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau demam
tifoid yang mengalami syok septik. Regimen yang digunakan adalah
deksametason dengan dosis 3 x 5 mg. Pada anak digunakan deksametason
intravena dengan dosis 3 mg/kg BB dalam 30 menit sebagai dosis awal
dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam hingga 48 jam. 3, 11, 12
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:
b. Kloramfenikol.
Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena sampai 7
hari bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan karena dapat
terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri. Tingginya angka
kekambuhan (10-25%), masa penyakit memanjang, karier kronis, depresi

20

sumsum tulang (anemia aplastik), dan angka mortalitas yang tinggi


merupakan perhatian yang perlu terhadap kloramfenikol. Kekambuhan
dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi pada hari
ke-5. 11, 12
c. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol 4 x
500 mg. Demam menurun pada hari ke-6. 11, 12
d. Ampisilin dan kotrimoksazol
Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis orang
dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan
trimetoprin 80 mg) diberikan selama 2 minggu. Diberikan karena
meningkatnya

angka

mortalitas

akibat

resistensi

kloramfenikol.

Munculnya strain Salmonella typhi MDR menjadikan ampisilin dan


kotrimoksazol resisten. 11, 12
e. Kuinolon
Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in vitro
serta mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu.
Siprofloksasin mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain Salmonella
typhi MDR dan tidak menyebabkan karier. Kuinolon yang dapat
digunakan untuk demam tifoid meliputi:
1. Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.
2. Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.
3. Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.
4. Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
5. Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam
sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin. 11, 12

21

f. Sefalosporin generasi III


Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3 hari dan
memberikan efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14 hari.
Respon baik juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x diberikan selama 3-5
hari. 11, 12
g. Antibiotik lainnya
Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam tifoid
dengan aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif daripada
kloramfenikol. Azitromisin (makrolid) diberikan dengan dosis 1 x 1 gram
per hari selama 5 hari. Aztreonam dan azitromisin dapat digunakan anakanak, ibu hamil, dan menyusui. 11, 12
h. Kombinasi antibiotik
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok septik di mana
pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain
bakteri Salmonella typhi. Kepekaan kuman terhadap antibiotik yaitu:
1. Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin
mempunyai kepekaan 95,12%.
2. Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. 11,12

Tabel 3.1 Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid

22

demam tifoid sensitif fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari


MDR fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari
tanpa
resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14
komplikasi
hari
demam tifoid sensitif fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari
MDR fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari

23

dengan

resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14

komplikasi
hari
Tabel 4. Rekomendasi DOC Pengobatan Antibiotik untuk Demam Tifoid
b.

Upaya Pencegahan

1. Peningkatan Higiene dan Sanitasi


a. Sanitasi Lingkungan
Salah satu upaya pencegahan penularan demam tifoid adalah perbaikan
sanitasi lingkungan. Dengan melibatkan lintas program dan lintas
sektor, mitra terkait serta peran serta aktif seluruh lapisan masyarakat
melalui :
- Akses terhadap jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat
kesehatan, yaitu tidak mencemari lingkungan, memutus kontak
dengan vector dan tidak menyebarkan bau.
- Perilaku cuci tangan pakai sabun dan air mengalir dengan benar.
- Pengelolaan makanan dan minuman serta penyimpanan dengan
benar.
- Pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang benar sehingga
tidak mencemari lingkungan.
- Penyediaan air bersih untuk seluruh warga.
- Kontrol dan pengawasan terhadap sanitasi lingkungan, terlaksana
dengan baik dan berkesinambungan.
- Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat serta selalu menjaga
kondisi sanitasi dan lingkungan bersih.

24

b. Higiene dan Sanitasi Makanan


Transmisi utama basil Salmonella melalui air minum dan makanan.
Higiene makanan dan minuman yang terjamin merupakan faktor yang
utama dalam pencegahan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara
lain menerapkan prinsip hygiene dan sanitasi makanan dengan
pengendalian titik kritis pada pengelolaan makanan, mulai dari
pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan
makanan, penyimpanan makanan matang, pengangkutan makanan
matang, dan penyajian makanan.
Titik-titik kritis yang mungkin terjadi pada setiap langkah pengelolaan
makanan harus dapat dikendalikan untuk menjamin makanan matang
yang disajikan memenuhi persayaratan hygiene dan sanitasi, sebagai
berikut :
-

Memilih bahan makanan yang baik, bermutu, dan berkualitas


sesuai dengan jenis bahan makanan.

Menyimpan bahan makanan pada tempat, suhu dan waktu yang


tepat serta menerapkan sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO
(First Expired First Out).

Mengolah bahan makanan dengan tepat sesuai urutan dan sampai


masak sempurna.

Menyimpan makanan matang pada wadah/tempat dan suhu yang


tepat. Makanan matang yang harus disimpan dalam keadaan dingin,
beku maupun dalam keadaan hangat/panas.

25

Apabila makanan matang sebelum disajikan perlu dilakukan


pengangkutan maka diangkut dengan menggunakan wadah dan alat
yang tepat, tertutup, terlindung, dan aman dari pencemaran.

Menyajikan

makanan

pada

waktu

yang

tepat

dengan

memperhatikan tempat penyajian, pewadahan, suhu dan waktu


tunggu (lamanya waktu mulai dari makanan matang sampai dengan
makanan dikonsumsi).
Perlu diingat 5 (lima) kunci keamanan makanan (WHO) :
1. Gunakan bahan makanan yang baik
2. Gunakan air bersih
3. Masak bahan makanan dengan sempurna
4. Pisahkan makanan matang dengan makanan mentah
5. Simpan makanan matang pada suhu yang tepat.
Peningkatan pengawasan dan pembinaan tempat-tempat pengelolaan
makanan, yaitu jasa boga/catering, rumah makan, restauran, kantin,
depot, warung makan, makanan jajanan siap saji dan depot air minum,
mulai dari tempat bangunan, peralatan, penjamah makanan serta bahan
dari makanannya.
c. Higiene perorangan
Higiene perorangan merupakan salah satu faktor pencegahan dan
perlindungan diri terhadap penularan demam tifoid. Oleh karena itu
perilaku hidup bersih dan sehat harus benar-benar dilaksanakan oleh
setiap orang. Cuci tangan pakai air mengalir dan sabun harus dilakukan

26

sesering mungkin, khususnya sebelum memegang makanan, setelah


BAB, setelah keluar dari toilet, setelah melakukan kegiatan, setelah
memegang binatang peliharaan, setelah mengganti popok bayi, dan
sebagainya.
Syarat utama bagi penjamah makanan adalah sehat jasmani dan rohani,
tidak menderita penyakit menular serta berperilaku hidup bersih dan
sehat. Pemeriksaan kesehatan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun
dalam rangka pencegahan dan perlindungan terhadap penularan demam
tifoid dan penyakit menular lainnya.
2. Pencegahan dengan Imunisasi
Membuat tubuh kebal (imunisasi) merupakan pilar perlindungan diri dari
penularan tifoid. Sampai saat ini vaksin tifoid baru diprioritaskan untuk
pelancong,

tenaga

laboratorium

mikrobiologis

dan

tenaga

pemasak/penyaji makanan di restoran-restoran. Namun mengingat demam


tifoid dengan angka kesakitan cukup tinggi maka vaksinasi terhadap tifoid
sudah harus dipertimbangkan pemberiannya sejak anak-anak setelah
mengenal jajanan yang tidak terjamin kebersihannya.
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid yakni :
-

Vaksin dengan Salmonella yang telah dimatikan (Tab Vaccine).


Diberikan

secara

subkutan.

Menurut

evaluasi

yang

telah

dilaksanakan, daya perlindungan vaksin ini terbatas dan adanya efek


samping pada tempat suntikan.

27

Vaksin dengan Salmonella yang dilemahkan (T4 212). Diberikan


peroral, selang sehari 3 kali dosis. Daya lindung kurang lebih 6 tahun
(pada anak).

Vaksin berisi komponen Vi basil Salmonella. Diberikan secara


suntikan intra muskular dengan daya lindung 3 tahun dan efikasi
diperkirakan 60 - 70 %. Umur minimal untuk pemberian 2 tahun dan
booster dilakukan setiap 3 tahun.

3. Pencegahan Karier
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang
baik berarti melaksanakan pencegahan yang baik pula. Bila pengobatan
tifoid terlaksana dengan sempurna, maka dapat mencegah karier yang
merupakan sumber penularan di masyarakat.
Masalah rumit yang sering timbul sehubungan penanganan kasus tifoid
yang tidak optimal adalah Karier (Carrier), Relaps dan Resistensi.
-

Karier tifoid adalah seseorang yang mengandung basil Salmonella dan


menjadi sumber infeksi (penular) untuk orang lain. Karier terjadi pada
penderita yang tidak diobati dengan adekuat, atau ada faktor-faktor
predisposisi pada penderita sehingga basil susah dimusnahkan dari
tubuh. Seseorang disebut karier bila basil kultur feses atau urin masih
positif sampai 3 bulan setelah sakit, dan disebut karier kronik bila
basil masih ada sampai 1 tahun atau lebih. Bagi penderita yang tidak
diobati dengan adekuat, insidens karier dilaporkan 5-10 % dan kurang
lebih 3% menjadi karier kronik.

28

Relaps adalah kambuh kembali gejala-gejala klinis demam tifoid


setelah 2 minggu masa penyembuhan. Relaps terjadi sehubungan
dengan pengobatan yang tidak adekuat, baik dosis atau lama
pemberian antibiotika. Relaps dapat timbul dengan gejala klinis lebih
ringan atau lebih berat.

Resistensi adalah basil yang tidak peka lagi dengan antimikroba yang
lazim dipakai. Resisten timbul karena adanya perubahan atau mutasi
genetika kuman, tanpa perubahan patogenitas danvirulensinya. Tifoid
resisten terhadap kloramfenikol sering diambil sebagai standar
penelitian karena obat ini adalah obat yang menjadi pilihan utama
untuk tifoid (drug of choice). Dalam perkembangannya, sejak tahun
50an telah dilaporkan tifoid resisten di Mexico, Vietnam dan India
dan hingga saat ini, tifoid resisten dengan kloramfenikol makin
meningkat, bahkan pernah ada laporan peningkatan resisten dari 16%
s/d 81% dalam 1 tahun dalam satu lokasi. Resisten makin berkembang
pada anti mikroba lain seperti Ampisillin, Kotrimoksazol dan
Quinolone (Multi drug resistance Salmonella typhi/MDRST).
Beberapa faktor yang menunjang kejadian resisten:
- Pemakaian antibiotika yang bebas oleh masyarakat (tanpa resep)
- Pemakaian antibiotika oleh dokter tanpa pedoman dan tanpa
kontrol
- Pilihan antibiotika lini pertama yang kurang tepat
- Dosis yang tidak tepat

29

- Lama pemberian yang kurang tepat


- Ada penyakit lain (komorbid) yang menurunkan imunitas, serta
kelainan-kelainan yang merupakan predisposisi untuk karier tifoid,
dll.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat direkomendasikan beberapa
langkah-langkah strategis yang bermanfaat untuk mengatasi ketiga
permasalahan tifoid ini, diantaranya :
- Terlaksananya monitoring dan kontrol yang ketat terhadap
pemakaian antibiotika yang bebas (tanpa resep) oleh masyarakat.
- Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang merawat pasien, memiliki
standar medis penatalaksanaan tifoid (Pedoman Tatalaksana Klinis)
dan konsisten mengimplementasikannya.
- Setiap fasilitas pelayanan kesehatan memiliki aturan-aturan
pemakaian antibiotika yang terpola dengan baik,yang memiliki
kepekaan

yang

dibuat

secara

berkala

(antibiogram)

serta

menetapkan antibiotika yang dipergunakan sebagai terapi empiris


lini pertama dan kedua, baik untuk dewasa maupun anak.
- Terhadap setiap kasus tifoid, agar dilakukan :
a. Perawatan yang adekuat
b. Penggunaan antibiotika dengan efikasi dan daya pencegahan
karier yang baik
c. Dosis dan lama pemberian yang tepat

30

d. Pengawasan kemungkinan terjadinya karier dengan biakan


feses secara serial. Sekurang-kurangnya pada saat pulang, 4
minggu dan 3 bulan kemudian dilaksanakan biakan lanjutan
untuk mendeteksi karier.
e. Bila ada kasus karier berikan tatalaksana yang tepat sesuai
pedoman.
c. Upaya Promotif
Penyakit tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat tetapi sebagian
besar masyarakat masih belum mengetahui tentang penyakit tersebut seperti
gejala, cara pencegahan, dan penanggulangan yang benar, sehingga masih
diperlukan upaya promosi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku
dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ini.
Upaya
penyuluhan,

peningkatan
konseling,

promosi

kampanye

kesehatan
dan

dapat

dilakukan

melalui

penyebaran

informasi

dengan

menggunakan berbagai media KIE baik berupa media cetak maupun media
elektronik. Untuk mempercepat penyebarluasan informasi tersebut dapat juga
dilakukan kerja sama dengan media massa seperti majalah, koran, televisi, radio,
website dan jejaring sosial lainnya yang mengeluarkan informasi mengenai
pencegahan dan pengendalian demam tifoid. Penyuluhan dapat dilakukan di
Puskesmas dan di masyarakat melalui
taruna dan sebagainya serta

Posyandu, UKS, Rapat PKK, Karang

melalui media Komunikasi baik cetak maupun

elektronik.
3.10

Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:

31

1. Intestinal
a. Perdarahan usus
Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak. Jika tukak menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah, terjadi perdarahan. Jika tukak menembus dinding usus,
terjadi perforasi. Perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan
koagulasi darah (DIC). Sekitar 25% penderita mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun, perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Jika transfusi dapat
mengimbangi perdarahan yang terjadi, biasanya perdarahan ini
merupakan suatu proses self limiting yang tidak perlu bedah. 1, 3, 10
b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke-1. Penderita
demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut hebat terutama di
kuadran kanan bawah yang menyebar ke seluruh perut dan disertai
tanda ileus. Peristaltik melemah pada 50% penderita dan pekak hepar
kadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda
perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan syok.
1, 3, 10

Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya


perforasi. Jika pada foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada
rongga peritoneum, hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan
terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. 1, 3, 10
c. Ileus paralitik
d. Pankreatitis
2. Ekstraintestinal

32

a. Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis,


dan tromboflebitis.
b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan DIC.
c. Paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis.
e. Ginjal: glomerulonefritis dan pielonefritis.
f. Neuropsikiatrik atau toksik tifoid. 1, 3, 10
3.11

Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status

imunitas, jumlah dan virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Prognosis buruk jika terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia atau
febris kontinyu, kesadaran menurun, malnutrisi, dehidrasi, asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia, dan komplikasi lain. Di negara maju dengan terapi antibiotik
yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang angka mortalitas >
10%, biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Angka
mortalitas pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% dengan rata-rata
5,7%. 6, 7
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko
menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis
terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidensi penyakit traktus
biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum.
Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai
terutama pada individu dengan skistosomiasis. 7, 13

Anda mungkin juga menyukai