Materi Komunikasi Maalah
Materi Komunikasi Maalah
penggemar. Popularitas yang dibangun dengan kualitas, berbungkus performance dan totalitas.
Begitulah definisi lain popularitas yang saya temukan disini.
Kenapa saya membahas tentang popularitas? Haha.. Mungkin ini karena fenomena yang tidak
jarang, bahkan sering saya temukan dalam keseharian saya. Satu per satu teman saya menjadi
orang yang terkenal.
Saya jadi kepikiran, popular atau terkenal itu memangnya harus ya? Lalu kenapa mereka
mengejarnya? Kemudian saya mencari di mesin pencari tentang popular. Kecewa. Tidak ada
artikel yang tepat yang memberikan jawaban dari apa yang saya pertanyakan. dan akhirnya
menemukan link diatas yang mengatakan popularitas sebagai salah satu perilaku gangguan jiwa.
Meski memang tidak sepenuhnya benar seperti itu. Untuk manusia-manusia yang haus akan
popularitas mungkin memang benar dan tepat jika dianggap seperti itu.
Sejauh ini, saya kira orang-orang yang saya kenal tidak seperti itu. Saya merasa mengenal
mereka, meski tidak begitu dekat dan mereka tidak haus popularitas.
Sekarang keresahan saya adalah ketika mereka yang sedang mengejar popularitas akhirnya lupa
terhadap segalanya dan lupa untuk melihat dimana dan darimana dia berasal. Saya khawatir
mereka yang sedang menikmati popularitas itu berubah menjadi oak, dan lupa dengan sifat padi
yang diajarkan oleh orang-orang tua tentang kehidupan.
Saat mereka pun resah dan akhirnya bahagia dan bangga dengan apa yang mereka ciptakan, apa
yang mereka lakukan maka mereka akan menjadikan popularitas sebagai Tuhan.
Berubah menjadi jaim alias jaga image dan semakin tidak bisa dikenali. Semoga saja, tidak
seperti itu.
Dalam buku Psikologi Komunikasi, ada sebuah Teori Ekspresif yang menyatakan bahwa orang
memperoleh kepuasan dalam mengungkapkan eksistensi dirinya, menampakkan perasaan dan
keyakinannya.
Dalam hal ini tidak lepas dari peran media massa. Media massa (masih dalam buku yang sama)
bukan saja membantu orang untuk mengembangkan sikap tertentu, tetapi juga menyajikan
berbagai macam permainan untuk ekspresi diri.
Nah, jelas bukan? Bahwa popularitas itu bisa dan mampu merubah seseorang terlebih dengan
bantuan media. Ada juga teori yang sengaja saya kaitkan, karena sepertinya memang berkaitan
antara popularitas, ekspresif dan asersi. Pembahasan ini sedikit berbeda dengan anggapan saya
sebelumnya.
Teori Asersi (Assertion) atau penonjolan memandang manusia sebagai makhluk yang selalu
mengembangkan seluruh potensinya untuk memperoleh penghargaan dari dirinya dan dari orang
lain. Manusia ingin mencapai prestasi, sukses dan kehormatan. Masyarakat dipandang sebagai
suatu perjuangan dimana setiap orang lain menonjol dari orang lain. Dalam bahasa Hobbes:
manusia adalah serigala bagi manusia lain (Homo homini lupus)
Maka, ya begitulah popularitas. dari awalnya saya berspekulasi tanpa dasar, kemudian dikaitkan
dengan teori-teori yang ada maka popularitas ya anggaplah lumrah bagi manusia. Hanya seperti
tadi dikatakan diawal, semoga saja tidak ada yang lupa dengan tangan-tangan yang membantu
dia berdiri, juga doa-doa dan harapan yang mengantarnya hingga mereka bisa berdiri dan berada
ditempat yang tidak semua orang bisa menempatinya: popularitas
May 19, '08 9:01 AM
untuk
kekuatan
sebagai
katalisator
bagi
penegakan
hukum
di
Indonesia.
Dikatakan
bahwa
media
massa
mempunyai
kekuatan
sebagai
banyak kasus-kasus yang ada di Indonesia yang di proses secara cepat dan
tepat oleh para penegak hukum akibat adanya pemberitaan media massa
tersebut.
Kasus penganiayaan di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negri
(STPDN), kasus korupsi yang dilakukan oleh Mulyana, kasus pembunuhan
Munir, kasus kesalahan penerapan hukum bagi Raju, merupakan sebagian
kecil
dari
kasus
yang
terus
diberitakan
oleh
media
massa,
yang
membaiknya
keaadan
Indonesia
yang
sudah
carut
marut.
Ke-
ada pihak-pihak lain yang dapat disebut sebagai penegak hukum eksternal,
yaitu Masyarakat, mahasiswa dan media massa.
Dari ketiga element penegak hukum eksternal tersebut, element yang
mempunyai kekuatan paling besar adalah media massa, betapa tidak, media
massa mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi opini masyarakat
dan mahasiswa dan menggerakkan mereka dengan pemberitaan yang
dilakukannya secara transparan dan tajam.
Peran media massa sebagai katalisator atau pemicu atau penggerak
penegakan hukum, secara konkrit dapat kita lihat dari kasus penganiayaan
yang dilakukan oleh mahasiswa Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negri
(STPDN) pada tahun 2003.
Kita tentu masih ingat, bahwa di tahun 2003 ada sebuah kasus yang
sangat menggemparkan masyarakat
dari
Surya
video
yang
ditampilkan
oleh
Citra
Televisi
(SCTV)
yang
pemukulan
senior
terhadap
junior
STPDN
bukanlah
sebuah
SCTV,
tapi
semua
media
massa
juga
berlomba-lomba
mengarahkan pemikiran
masuk
dalam
tindak
pidana.
Pemberitaan
media
massa
ini
lagi
dilakukan,
karena
sesungguhnya
proses
itu
merupakan
2.)
media
massa
berperan
dalam
mengembangkan
wacana
demokrasi.
semakin tinggi penghargaan terhadap demokrasi, semakin nyata
perwujudan supremasi hukum (penegakan hukum), pernyataan tersebut
bukanlah sebuah slogan semata, tetapi merupakan sebuah teori yang sudah
demokrasi adalah
demokrasi
menjadi
wahana
pemikiran
masyarakat
dalam
Media
massa
membuka
peluang
sebesar-besarnya
bagi
Setiap
masyarakat
bahkan
mempunyai
hak
untuk
berpendapat
sehingga bukan hanya pasal 28 UUD 1945 yang diterapkan, tetapi juga sila 5
dari Pancasila, yaitu keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kebebasan berpendapat ini, ternyata menjadi kekuatan yang sangat
besar bagi para penegak hukum untuk menuntaskan kasus tersebut secara
cepat dan tepat, serta memicu pemerintah untuk membenahi tatanan
STPDN.
Maka dapat kita simpulkan bahwa, semakin besar nilai demokrasi
dalam suatu negara, maka kebebasan berpikir dan berpendapat pun
semakin meluas, pada akhirnya pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi
alat pemicu
paling
efekti
bagi
para
penegak
hukum untuk
segera
profesional
dalam
menjalankan
tugasnya,
karena
apabila
ia
tidak
menjalankan tugasnya dengan profesional, hal ini akan menuai kritik yang
keras dari masyarakat, karena media massa selalu siap dalam menyoroti
atau mengedarkan fakta tentang kinerja para penegak hukum kita.
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan, bahwa penegakan hukum
atas kasus-kasus yang ada di Indonesia, merupakan
kontribusi yang
diberikan oleh media massa secara konkrit. Media massa memang pantas
dianggap sebagai katalisator atau pemicu atau penggerak bagi penegakan
hukum di Indonesia dengan menjalankan amanah Pancasila dan UUD 1945.
hidup media massa!!
Share:
cyberdharma.net ilustrasi
GORONTALO, KOMPAS.com - Kejati Gorontalo melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum
dan Hubungan Masyarakat, Mulyadi menilai, peranan media massa dalam menegakan hukum,
merupakan hal yang penting.
<a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?
n=a3126491&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img
src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?
zoneid=951&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a3126491' border='0'
alt='' /></a>
Dalam proses penegakan hukum, media massa memegang peranan yang cukup penting, yaitu
dengan menjalankan fungsi kontrol dan penghubung antara masyarakat dan Kejati.
Menurutnya, fungsi kontrol tersebut akan berjalan ideal, bila pekerja media menjalankan
tugasnya, berdasarkan kode etik yang ada.
"Pers juga menjadi fasilitator, yang membantu kami memberikan laporan tentang terjadinya
suatu tindak pidana," jelasnya, Kamis (25/11/2010).
Media massa harus memberikan laporan kepada masyarakat tentang terjadinya suatu tindak
pidana, dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Media massa juga dapat mempengaruhi opini publik, sehingga apapun yang diberitakan oleh
para media, harus didasarkan apada keakuratan dan sumber yang pasti.
"Hal ini bisa dilihat dari peranan media massa, yang dapat melaporkan kinerja yang dilakukan
oleh para penegak hukum," tambahnya.
Politikindonesia - PDI Perjuangan dan Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri
dianggap tidak memberi contoh yang baik dalam penegakan hukum. Penolakan Mega
menghadiri panggilan KPK, Senin (21/02) untuk bersaksi dalam Kasus Miranda, tak
sejalan dengan upaya membongkar kasus korupsi itu secara tuntas.
Petrus Salestinus, pengacara Max Moein, tersangka kasus suap, Sabtu (19/02), terang-terangan
mengkritik
sikap
Megawati
itu.
Petrus Salestinus menyayangkan sikap Megawati dan pihak PDI Perjuangan yang menolak
panggilan KPK itu. Menurut dia, sikap itu tidak pantas dan tidak memberi contoh penegakan
hukum yang baik. Ketua Umum partai besar kok takut? Seorang ketua umum, pernah jadi wakil
presiden,
presiden,
calon
presiden,
sikap
itu
tak
pantas."
Karena itu, jika Megawati benar-benar tidak memenuhi panggilan itu, Petrus Salestinus berjanji
akan meminta jadwal ulang pemanggilan Mega. Ia mengatakan, bagi kliennya, Max Moein,
mantan kader PDIP, keterangan meringankan dari Mega diperlukan untuk mengungkap kasus
siap terpilihnya Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004
itu.
Sebelumnya, Ketua Departemen Hukum DPP PDIP Gayus Lumbuun mengatakan, Megawati
tidak mesti hadir di KPK. Saksi meringankan, kata anggota Komisi III DPR itu, bisa menolak
untuk dimintai keterangan. Karena itu, hak yang bersangkutan untuk memilih apakah hendak
meringankan
orang
yang
memintanya
bersaksi,
atau
tidak.
Yang wajib memenuhi panggilan pemeriksaan, kata Gayus Lumbuun, saksi ahli. Bekas Kepala
Badan Kehormatan DPR itu menjelaskan ada perbedaan antara saksi meringankan dan saksi
ahli. Saksi meringankan bisa menolak dimintai keterangan, karena itu hak yang bersangkutan
untuk memilih apakah hendak meringankan orang yang memintanya bersaksi, atau tidak.
Kepada pers, Petrus membantah argumen Gayus Lumbuun itu. UU, kata dia, tidak
mengecualikan soal kewajiban saksi. Intinya, jika diminta untuk kepentingan penyidikan
perkara, semua saksi tanpa kecuali, harus hadir. Saksi ahli harus hadir jika dimintai keterangan,
saksi meringankan juga harus hadir. Apalagi, ia menggolongkan Megawati itu, tergolong saksi
fakta
dalam
Kasus
Miranda
itu.
Kami tidak mengerti cara berpikir PDIP yang terbalik-balik seperti itu. Bisa jadi itu bentuk
ketakutan,
bisa
juga
bentuk
arogansi,"
tegas
Petrus
Salestinus.
Menurut Petrus Salestinus, Megawati memegang posisi penting saat terjadi kasus suap cek
perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, yang dimenangkan Miranda Goeltom
itu. Kini 24 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, jadi tersangka dan ditahan KPK.
Termasuk Max Moein, klien Petrus. Malah 4 orang politisi sudah dijatuhi hukuman atas kasus
itu.
Megawati ketika itu, menjabat Presiden RI, sekaligus Ketua Umum PDIP. Kata Petrus Salestinus,
sebagai Presiden, Megawati mengusulkan tiga nama calon Deputi Gubernur Senior BI untuk
dipilih DPR. Tetapi, sebagai Ketua Umum PDIP, kata dia, Mega memerintahkan kepada fraksi
memilih Miranda. Anggota yang melawan dan tidak memilih Miranda, bahkan diancam diberi
sanksi
pemecatan.
Dengan fakta seperti itu, Petrus memastikan, keterkaitan Megawati dengan kasus yang menimpa
kliennya itu, sangat jelas. Menurut dia, hubungan hukum kasus suap itu dengan istri Ketua MPR
Taufiq Kiemas itu sangat jelas. Dengan begitu, ia ngotot agar Mega tetap hadir di KPK
memberikan
kesaksian
atas
terjadinya
kasus
suap
itu.
Petrus Salestinus mengingatkan, kesaksian Megawati sangat diperlukan agar perkara suap
tersebut menjadi terang. Kasus suap, katanya, tentu harus ada penyuap dan penerimanya. Di
mana-mana ada kompromi dulu, mau berikan berapa, terima berapa, baru deal. Itu yang harus
dibongkar PDIP."
(nam/rin/nis)
PENEGAKAN HUKUM YANG MENJAMIN KEPASTIAN HUKUM DAN RASA
KEADILAN MASYARAKAT
SUATU SUMBANGAN PEMIKIRAN
Oleh: Prof. Dr. H. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum.
Pendahuluan
Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap
masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing,
mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan
hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat
tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu pihak terdapat ketertiban antar pribadi
yang bersifat ekstern dan di lain pihak terdapat ketenteraman pribadi intern. Demi tercapainya
suatu ketertiban dan kedamaian maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi
seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Jika kepentingan itu
terganggu, maka hukum harus melindunginya, serta setiap ada pelanggaran hukum. Oleh
karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa membeda-bedakan atau tidak
memberlakukan hukum secara diskriminatif.
Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja
dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa membeda-bedakan. Meskipun ada pengecualian
dinyatakan secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan.
Pada dasarnya hukum itu tidak berlaku secara diskriminatif, kecuali oknum aparat atau
organisasi penegak hukum dalam kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu secara
diskriminatif. Akhirnya penegakan hukum tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan
rasa keadilan dalam masyarakat.
Penegakan hukum, tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin
sekali disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan,
asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem,
yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum.
Tetapi kita juga membutuhkan kontrol sosial terhadap pemerintah, karena
tidak dapat kita pungkiri, bahwa tiada kuda tanpa kekang. Begitu juga tiada
penguasa dan aparaturnya yang bebas dari kontrol sosial. Semua tahu ada orang
yang berwenang menyalahgunakan jabatannya, praktek suap dan KKN sering
terjadi dalam tirani birokrat. Maka untuk memperbaiki harus ada kontrol yang
dibangun dalam sistim. Dengan kata lain, hukum mempunyai tugas jauh mengawasi
penguasa itu sendiri, kontrol yang dilakukan terhadap pengontrol. Pemikiran ini
berada di balik pengawasan dan keseimbangan (check and balance) dan di balik
Peradilan Tata Usaha Negara, Inspektur Jenderal, Auditur dan lembaga-lembaga
seperti, KPK, Komisi Judisial. Kesemuanya ini harus mempunyai komitmen yang
tinggi untuk memberantas segala bentuk penyalahgunaan wewenang dari pihak
penguasa.
budaya
hukum
(legal
culture),
untuk
memahami
sikap,
kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam
sistim hukum yang berlaku.
Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau
berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga
mengharapkan
adanya
penegakan
hukum
untuk
mencapai
suatu
keadilan.
Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna
(secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil
(secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya
suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi
kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak.
Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan
secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak
sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan
peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan
lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau
pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin
dalam
Pancasila
dan
Undang-undang
Dasar
1945
kemudian
undang-undang.
Semua
peraturan-peraturan
hukum
yang
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau
dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan
dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu
sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna
bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga
jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai
ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang
penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat
atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang
pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan
kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum
ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum
tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.[10] Dengan demikian
kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat
mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan
selaras antara ketiga nilai tersebut.
Keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan
satu segi, bukan merupakan satu-satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai
dengan potensi ketiga nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah
dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya,
bisa saja dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat.
Dalam menyesuaikan peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau
kenyataan yang berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid), bukanlah merupakan
hal yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari hukum itu. Oleh karena
itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan antara
ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh
tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam masyarakat.
Misalnya; seorang pemilik rumah menggugat penyewa rumah ke pengadilan,
karena waktu perjanjian sewa-menyewa telah lewat atau telah berakhir sesuai
dengan waktu yang diperjanjikan. Tetapi penyewa belum dapat mengosongkan
rumah tersebut karena alasan belum mendapatkan rumah sewa yang lain sebagai
tempat penampungannya. Ditinjau dari sudut kepastian hukum, penyewa harus
mengosongkan
rumah
tersebut
karena
waktu
perjanjian
sewa
telah
lewat
mengosongkan
rumah
tersebut.
Ini
merupakan
kompromi
atau
kesebandingan antara nilai kepastian hukum dengan nilai keadilan, begitu juga nilai
manfaat atau kegunaan terasa juga bagi si penyewa yang harus mengosongkan
rumah tersebut.
Adalah lazim bahwa kita melihat efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut
peraturan hukumnya, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan
hukum antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada
peraturan hukumnya. Tetapi sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian
hukum itu terlalu dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan.
Kalau kita bicara tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai
tuntutannya
adalah
semata-mata
peraturan
hukum
positif
atau
peraturan
[2]
Ibid, hal. 7.
[4]
[8]
Hakim diberi kesempatan menggolongkan peristiwa-peristiwa hukum
sebanyak-banyaknya di dalam suatu golongan, yakni golongan peraturan hukum
itu. Yakni, hukum yang berlaku pada saat ini atau hukum yang berlaku pada saat
yang tertentu. Misalnya, peraturan-peraturan hukum dalam KUH Pidana, peraturanperaturan pemerintah daerah yang berlaku sekarang atau yang berlaku pada masa
lalu sebagai hukum positif dan hukum alam serta hukum tidak tertulis lainnya.
Peraturan hukum sebagai peraturan yang abstrak dan hypotetis, dengan demikian
hukum itu harus tetap berguna (doelmatig). Agar tetap berguna hukum itu harus
sedikit mengorbankan keadilan. E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962), hal. 24-28.
[9]
12
menyebabkan perlunya sebuah media yang dapat menyentuh komunitas yang terpinggirkan tersebut. Karena media massa
saat ini tidak dapat memberdayakan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Gagasan mengenai media komunitas sesuangguhnya berakar dari kritik-kritik terhadap pendekatan media
komunikasi model liberal/mekanistik/vertikal/linear yang banyak dipakai dalam model pembangunan. Asumsi dasarnya
adalah bahwa akar permasalahan bagi dunia ketiga dan penduduknya (perilaku, nilai-nilai yang tidak inovatif, rendahnya
produktivitas, dll) adalah berakat pada kurangnya pendidikan dan informasi. Konsekuensinya akan permasalahan yang
dihadapi dunia ketiga akan selesai jika informasi ditingkatkan. Atas dasar itu, sistem media massa yang ada lantas
dirancang pesannya secara baku dan ditempatkan sebagai objek.
Inilah yang diistilahkan Paulo Freire sebagai model komunikasi gaya bank. Artinya, komunikasi di mana
segelintir orang pintar memberi pesan, mengalihkan tabungan pengetahuan, nilai dan norma-norma mereka kelak
membelanjakan segenap tabungan tersebut untuk kehidupan dan gaya hidup modern. Akibatnya masyarakat atau
komunitas teralienasi dari konteks struktural dan kulturalnya. Masyarakat juga kehilangan kontrol atas media dan isinya
(Oepen, 1988).
Dalam prakteknya, model komunikasi yang pada massa orde baru diterapkan dalam, misalnya, program koran
masuk desa, itu ternyata menimbulkan sejumlah dampat.
Pertama, sifatnya yang top down, elitis, searah telah menciptakan jurang informasi
antara elit dan masyarakat kebanyakan. Elit yang jumlahnya sedikit menjadi kaya media/informasi karena memiliki akses
besar terhadap media; mampu membaca dan membeli. Sementara masyarakat kebanyakan tetap miskin media/informasi
karena tidak memiliki akses yang cukup, baik dari sisi ekonomi maupun budaya (Agrawal, 1986; Jayawera &
Amunugama, Eds. 1987).
Kedua, struktur komunikasi yang feodalistik pada model tersebut juga cenderung
manipulatif/eksploitatif karena adanya monopoli sumber-sumber media dan dominasi
pemberi pesan terhadap masyarakat sebagai penerima.
Kritik atas kegagalan model komunikasi di atas mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif. Jadi
mengembangkan model komunikasi partisipatif pada dasarnya mengembangkan model alternatif dan model komunikasi
paradigma
13
dominan. Karena itu bertolak belakang dengan model komunikasi paradigma dominan kaum elitis, model ini menekankan
partisipasi grassroots dalam proses komunikasi. Dalam penekanan model komunikasi partisipatif, komunitas diharapkan
mampu merancang standar dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Peran komunikasi dalam model ini memang lebih kompleks dan bervariasi. Tidak seperti model komunikasi
paradigma dominan di mana peran kaun komunikasi bersifat exact, dalam model komunikasi partisipatif peran komunikasi
akan sangat tergantung pada standar dan tujuan normatif komunitas. Akan tetapi, menurut model ini, komunikasi
partisipatif setidaknya dapat membantu pengembangan identitas kultural; bertindak sebagai wahana ekspresi diri
masyarakat dalam komunitas; menyediakan sarana sebagai alat untuk mendiagnosis masalah-masalah komunitas; serta
memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas (Srinivas, 1991).
Prinsip dasar model ini adalah partisipasi anggota. Dalam konteks komunikasi pembangunan, partisipasi
tersebut terkait beberapa hal, yaitu akses, partisipasi, serta swakelola dan swadaya.
Pertama, soal akses. Secara singkat akses dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menikmati sistem
komunikasi yang ada. Dalam prakteknya hal ini dua tingkata yaitu kesempatan untuk ikut memilih dan memperoleh
umpan balik dari sistem komunikasi yang ada.
Kedua, soal partisipasi. Partisipasi mengandung pengertian pelibatan anggota komunitas dalam proses
pembuatan dan pengelolaan sistem komunikasi pembangunan yang ada. Dalam penerapannya pelibatan ini dilaksanakan
pada semua tingkatan mulai dari perencanaan, tingkat pengambilan keputusan, serta tingkat produksi.
Ketiga, soal swakelola dan swadaya. Ini adalah partisipasi yang paling maju. Dalam konteks ini, anggota
komunitas mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut komunikasi. Kekuasaan ini tidak
hanya berkenaan dengan akses untuk memperoleh informasi dan untuk berperan dalam mengelola sarana produksi,
melainkan juga menyangkut pengelolaan komunitas terhadap sistem komunikasi dan pengembangan kebijakan
komunikasi.