Anda di halaman 1dari 8

Bahan bakar minyak (BBM) merupakan komoditas vital dan menguasai hajat

hidup orang banyak. Sebagai wujud perhatian pada masyarakat, maka sejak tahun
1970-an pemerintah selalu menggelontorkan dana APBN untuk subsidi BBM.
Masyarakat pun terbuai menggunakan BBM bersubsidi.
Masalahnya, subsidi BBM tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat
berpenghasilan rendah. Sebagian besar subsidi justru dinikmati masyarakat
mampu. Misalnya, masyarakat di perkotaan berpenghasilan tinggi juga
mendapatkan subsidi ketika membeli premium untuk kendaraannya.
Ketidakadilan seperti ini sebaiknya segera diakhiri. Subsidi yang diberikan
pemerintah melalui harga BBM yang murah mesti dialihkan menjadi subsidi
langsung yang dapat diterima dan dirasakan oleh masyarakat yang lebih berhak.
Kalau memiliki cetak biru BBM bersubsidi yang dibuat oleh BPH Migas, tahun
2010 adalah merupakan era liberalisasi industri hilir migas. Yakni, dengan
dimulainya pelepasan BBM bersubsidi untuk transportasi sepenuhnya pada
mekanisme pasar.
Namun, sampai saat ini, setelah program 100 harinya Pemerintahan Presiden SBY
dilewati, tanda-tanda kearah penghapusan subsidi harga BBM untuk transportasi
tidak terwujud. Momen ini sebetulnya sangat ditunggu-tunggu oleh pemain BBM
yang sudah membuka gerai ritel di Indonesia. BPH Migas selaku regulator industri
hilir migas telah melewatkan momentum penghapusan subsidi harga BBM.
Perlu Konsistensi
Program konversi minyak tanah ke elpiji 3 kilogram belum menuntaskan masalah
beban subsidi pemerintah yang ditanggung melalui beban APBN setiap tahun.
Masalah hanya berpindah dari subsidi bahan bakar minyak yang rawan
penyimpangan ke subsidi bahan bakar gas yang lebih terukur dan terhindar dari
praktik penyalahgunaan. Maka, untuk mencapai tujuan program pengurangan
subsidi BBM, pemerintah sebaiknya melakukan berbagai upaya yang serius dan
terencana melalui program aksi yang nyata.
Upaya pengurangan BBM bersubsidi harus dilakukan secara konsisten dan
terencana. Termasuk dalam pembangunan kota gas sesuai rencana pemerintah,
yang merupakan bagian dari konversi ketergantungan terhadap energi yang berasal
dari BBM bersubsidi. Begitu pula pembangunan desa mandiri energi, yang
memang telah dilaksanakan, tapi kemajuannya belum dapat dikatakan sukses.
Program ini dapat terus disempurnakan dan diperluas ke daerah lain.
Pembangunan infrastruktur penerimaan dan penyimpangan BBM juga mutlak
diperlukan. Nah, untuk mendukung infrastruktur tersebut, perlu peran swasta. Ini
karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam hal pendanaan.

Pembangunan sarana transportasi massal pun menjadi bagian strategi penyelesaian


masalah pemborosan energi yang harus segera diwujudkan, agar ke depan tingkat
pertumbuhan penambahan kendaraan bermotor dapat dikurangi.
Maklum, pengguna BBM terbanyak di Indonesia adalah sektor transportasi yang
sampai saat ini masih disubsidi oleh pemerintah. Sektor ini mengonsumsi BBM
sekitar 46,9% dari total konsumsi BBM nasional. Sedangkan sector industri
sebesar 19,4%, rumah tangga 20,2%, dan pembangkit listrik sbesar 13,5%.
Penyediaan pasokan dan distribusi bahan bakar nabati atau bahan bakar non-BBM
akan mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi bahan bakar minyak.
Meskipun secara kuantitas masih belum signifikan, namun jika dilaksanakan secara
konsisten dan terus menerus, maka posisi bahan bakar non-BBM akan meningkat
sejalan dengan program penyesuaian harga subsidi secara bertahap menuju ke
harga keekonomian. Jadi, ini harus dilakukan pemerintah secara konsisten.
Pengurangan volume BBM bersubsidi melalui pembatasan dasar kuota BBM
bersubsidi, yang ditenderkan BPH Migas melalui PSO, juga merupakan model
system pengetatan penggunaan BBM. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak
boros dalam mengonsumsi BBM bersubsidi dan dapat beralih ke BBM non-subsidi
yang tersedia di SPBU.
Selanjutnya, penggunaan kartu BBm bersubsidi yang pernah dilaksanakan BPH
Migas pada waktu pendistribusian minyak tanah untuk rumahtangga, dapat
dijadikan model pengalokasian BBM bersubsidi untuk sektor transportasi. Hal ini
dilakukan agar volume penyaluran kepada masyarakat pengguna bensin dan
minyak solar di SPBU lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Model system pendistribusian BBM bersubsidi dengan cara tertutup memakai
kartu pintar khusus yang ditujukan kepada golongan pengguna BBM sector
transportasi adalah suatu model yang telah diterapkan di Negara lain. Pola ini
berhasil menekan jumlah konsumsi dan penyaluran BBM bersubsidi melalui SPBU
pelaksana PSO BBM bersubsidi.
Goal atau hasil akhir yang diharapkan adalah terjadinya kesadaran masyarakat
untuk melakukan gerakan hemat energi yang dilakukan secara masif dan
berkelanjutan. Sehingga, program penurunan konsumsi jenis BBM bersubsidi
dapat dicapai dan selanjutnya akan terjadi penghematan anggaran bagi pemerintah.
Pelaksanaan subsidi langsung dapat terus berjalan dan semakin ditingkatkan
besaran anggarannya. Diharapkan pula terjadi pergeseran pola perilaku masyarakat
untuk beralih menggunakan bahan bakar non-BBM.

Terdapat beberapa anggapan yang keliru mengenai energi di


Indonesia diantaranya: 1. Indonesia adalah Negara yang kaya
minyak, padahal tidak. Kita lebih banyak memiliki energi lain
seperti batubara, gas, CBM (Coal Bed Methane), panas bumi, air,
BBN (Bahan Bakar Nabati) dan sebagainya, 2. harga BBM (Bahan
Bakar Minyak) harus murah sekali tanpa berpikir bahwa hal ini
menyebabkan terkurasnya dana Pemerintah untuk subsidi harga
BBM, ketergantungan kita kepada BBM yang berkelanjutan serta
kepada impor minyak dan BBM yang makin lama makin besar
serta makin sulitnya energi lain berkembang, 3. investor akan
datang dengan sendirinya tanpa perlu kita bersikap bersahabat
dan memberikan iklim investasi yang baik, 4. peningkatan

kemampuan Nasional akan terjadi dengan sendirinya tanpa


keberpihakan Pemerintah.
Potensi Energi Nasional 2008 (Sumber: ESDM 2009) diberikan
pada Tabel 1 yang terdiri dari energi fosil dan energi non fosil.
Terlihat bahwa cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,7
milyar barel. Justru, kita lebih banyak memiliki energi non
minyak.
Indonesia memproduksi minyak sebesar 357 juta barel,
mengekspor minyak mentah sebesar 146 juta barel, mengimpor
minyak mentah sebesar 93 juta barel dan Bahan Bakar Minyak
(BBM) sebesar 153 juta barel pada tahun 2008 (Sumber ESDM
2009) dan mengkonsumsi 457 barel. Terdapat defisit sebesar 100
juta barel per tahun. Cadangan terbukti minyak kita hanya 3,7
milyar barel atau 0,3 % cadangan terbukti dunia. Sebagai Negara
net importer minyak dan yang tidak memiliki cadangan terbukti
minyak yang banyak, kita tidak bijaksana apabila mengikuti harga
BBM murah di Negara-negara yang cadangan minyaknya
melimpah.
Tabel 2 memperlihatkan Produksi & Cadangan, Revenue, Cost
Recovery, R/C dan Penerimaan Negara Migas (Sumber: BP Migas
2010). Dapat dilihat bahwa penemuan cadangan minyak sedikit
sekali mulai tahun 2003, Akibatnya, produksi kita turun menjadi
dibawah 1 juta barel per hari. Memang biaya (Cost Recovery)
meningkat dari tahun ke tahun berikutnya, tetapi Harga Minyak,
Gross Revenue, Revenue to Cost Ratio dan Penerimaan Negara
juga
meningkat
dari
tahun
ke
tahun
berikutnya.
Cadangan dan produksi minyak yang turun tidak dapat
diinterpretasikan dengan minyak kita sudah habis atau prospek
eksplorasi di Indonesia rendah, karena di Malaysia telah
ditemukan prospek Kikeh di laut dalam dengan cadangan 1 Milyar
BOE (Barrel of Oil Equivalent) sehingga laut dalam di Indonesia
terutama selat Makasar menjadi perhatian perusahaanperusahaan raksasa. Proyek-proyek raksasa LNG (Liquefied
Natural Gas) di Australia yang sedang dikembangkan adalah
Evans Shoal, Gorgon, Ichthys, Pluto, Browse dan Bay Undan,
sedangkan di Indonesia hanya Tangguh. Perlu dicatat bahwa
Australia termasuk low risk dan Malaysia adalah medium risk.
Informasi ini diperoleh dari Top 135 Projects yang diterbitkan oleh
GSRI, 2007.5 Tingginya resiko di Indonesia mengakibatkan
perusahaan-perusahaan migas hanya berkonsentrasi pada

mempertahankan produksi lapangan-lapangan yang sudah ada,


akibatnya produksi turun. Perlu usaha untuk memperbaiki
keadaan
tersebut
degan
mengundang
investor
guna
meningkatkan cadangan dan produksi migas di Indonesia.
Mengundang investor adalah seperti mengundang pelanggan
untuk rumah makan. Seseorang akan menjadi pelanggan apabila
dia tahu, sehingga promosi penting. Promosi saja tidak cukup
karena pelanggan tersebut tidak akan datang lagi apabila yang
dipromosikan tidak sesuai dengan kenyataan. Rumah makan
hanya akan laku apabila makanannya enak, harganya bersaing,
pelayanannya dan lingkungannya baik. Perlu Peningkatan Kualitas
informasi untuk wilayah kerja yang ditawarkan, dengan seismik
serta studi geofisika dan geologi yang lebih baik.
Harga bersaing dapat dianalogikan dengan sistem fiskal yang
menarik. Kontrak bagi hasil dan Kontrak lainnya akan bermasalah
apabila tidak dijiwai kemitraan (partnership) atau pelayanannya
tidak baik. Perlu sistem fiskal yang fleksibel dan lebih menjamin
keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor dengan
memberikan Bagian Pemerintah atau GT (Government Take) yang
kecil untuk R/C (Revenue/Cost) yang kecil dan GT yang besar
untuk R/C yang besar yang berlaku untuk minyak, gas dan CBM
(Coal Bed Methane) supaya Kontraktor lebih bersemangat untuk
mengembangkan prospek perminyakan biaya tinggi seperti
daerah terpencil dan laut dalam, proyek EOR dan lapanganlapangan yang menengah dan kecil seperti di Malaysia dan
Negara-negara lain.
Pada masa lalu sistem fiskal yang Bagian Pemerintahnya tetap
berapapun keuntungannya tidak mempunyai masalah karena
kegiatan-kegiatan dilakukan di daratan dan laut dangkal, primary
recovery
dan
lapangan
yang
relatif
besar.
Kontrak Bagi Hasil memerlukan perlakuan lex specialist karena
Pemerintah mendapat bagian yang sangat tinggi yaitu 85 persen
untuk minyak dan 70 persen untuk gas dari Pendapatan Bersih
yaitu Revenue dikurang Cost Recovery. Sebaiknya, tidak
dikenakan pungutan-pungutan tambahan. Cost recovery adalah
untuk meningkatkan produksi dan dibayar oleh pendapatan dari
produksi yang juga berlaku di pajak biasa. Membatasi cost

recovery dapat membatasi produksi. Eksplorasi belum tentu


menemukan minyak. Mengenakan pajak pada waktu eksplorasi
akan
menurunkan
peringkat
investasi
Indonesia.
Perlu
peningkatan pelayanan untuk Penawaran Wilayah Kerja dan POD
Pertama serta untuk Persetujuan WP&B dan POD.
Perlu diatasi permasalahan- permasalahan yang terdapat di
daerah operasi, yaitu: 1. Pembebasan Tanah 2. Kehutanan 3.
Masalah perijinan dan biokrasi, 4. Desentralisasi, 5. Koordinasi
Pembebasan tanah sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah dan
Kontraktor yang membayarnya. Dalam pandangan sebagian
Masyarakat, Kontraktor itu kaya dan serakah sehingga selayaknya
dimintai
sebanyak-banyaknya.
Perlu disadari kegiatan Migas dan Panasbumi tidak seperti
kegiatan Pertambahan Umum yang mengelupas tanah sehingga
membutuhkan lahan yang luas. Disini kegiatannya adalah
mengebor tanah. Pada waktu diskusi Panasbumi di Universitas
Udayana Bali didapat informasi bahwa Proyek Panasbumi di
Bedugul hanya membutuhkan lahan seluas 80 hektar. Lebih baik
Perusahaan Migas diperbolehkan untuk melakukan kegiatan di
hutan tetapi diberi tugas untuk membantu menanam pohon
disitu.
Perlu disadari bahwa perusahaan yang melakukan pemboran di
laut selalu berpindah. Misal, sekarang di Indonesia, kemudian ke
Vietnam dan berikutnya ke Afrika. Cabotage yang mengharuskan
kapal yang beroperasi di Indonesia harus berbendera di Indonesia
mempersulit usaha perminyakan di offshore. Padahan 70 persen
dari wilayah Indonesia terdiri dari laut.
Di Indonesia ada sindiran: Kalau bisa dipersulit kenapa tidak.3
Ijin kadang-kadang dipersulit dengan maksud supaya mendapat
upeti sehingga biaya menjadi lebih mahal. Disamping itu
Perusahaan Multinasional kebanyakan melarang penyogokan
sehingga Ijin menjadi berlarut- larut.

Desentralisasi (kewajiban dan dana) sebaiknya tidak hanya


berhenti di tingkat elit saja. 40% Bagian Kabupaten Penghasil

(40% Bagian Daerah) sebaiknya diberikan ke Kecamatan


Penghasil, lebih lanjut 40% Bagian Kecamatan Penghasil diberikan
ke Kelurahan Penghasil sehingga rakyat bisa menikmati manfaat
dari kegiatan migas di depan matanya. Akibatnya rakyat akan
mendukung
dan
bukan
menghambatnya.
Perlu peningkatan kualitas aturan hukum, stabilitas politik,
kepastian regulasi, sistem birokrasi dan informasi di lingkungan
ESDM dan koordinasi antar institusi terkait (Kementerian
Keuangan,
Kementerian
ESDM,
Bappenas,
Kementerian
Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam
Negeri dan lain lain) serta antar Pusat dan Daerah dan antar
Daerah
di
bidang
migas.
Peningkatan Kemampuan Nasional migas akan terjadi apabila
terdapat keperpihakan pemerintah misalnya untuk kontrakkontrak migas yang sudah habis maka pengelolaannya
diutamakan
untuk
perusahaan
nasional
dengan
mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan
keuangan. Tidak tertutup kemungkinan tetap bekerjasama
dengan Operator sebelumnya. Hal lain yang perlu dilakukan
adalah pinjaman dari bank nasional untuk membiayai kegiatan
produksi energi nasional dengan kehati-hatian. Perlu ditingkatkan
partisipasi Indonesia untuk kegiatan migas Internasional.

Lapangan-lapangan yang sudah ditemukan tetapi tidak mulai


dikembangkan dalam waktu tertentu (misal: 5 tahun)
dikembalikan kepada pemerintah. Hal ini mempertegas Peraturan
Menteri ESDM Nomor 03 Tahun 2008 yang meminta kontraktor
untuk melepaskannya (carved out) lapangan yang tidak
diproduksikan dan kemudian dioperasikan oleh perusahaan
terpilih yang bersedia memproduksikannya. Perlu diketahui
bahwa di Indonesia banyak terdapat lapangan yang tidak
dikembangkan, bukan karena tidak ekonomis tetapi karena tidak
masuk prioritas (portofolio) perusahaan. Padahal lapangan
tersebut kalau dikerjakan oleh perusahaan lain (terutama
nasional) masih sangat menguntungkan. Hal ini akan
meningkatkan
produksi
migas
kita
dan
meningkatkan
kemampuan
nasional.
Perlu dijajagi kemungkinan Kerjasama Energi di Luar Negeri baik
untuk minyak dan gas. Untuk minyak dengan Negara-negara

Timur Tengah dan Afrika. Untuk gas misal dengan Iran yang
memiliki cadangan gas nomor dua terbesar di dunia yaitu 982
TCF, Algeria 159 TCF, Nigeria 187 TCF sedangkan Indonesia
mempunyai pengalaman memproduksikan gas dan LNG lebih dari
30 tahun. Dengan membantu memproduksikan gas dan LNG dari
Iran, Algeria, Nigeria dan negara-negara lain. maka Indonesia bisa
mendapatkan Bagi Hasilnya sehingga dapat mengimpor gas.
Lebih baik mengimpor gas daripada mengimpor minyak dan BBM
karena harganya lebih murah. Perlu dicatat Negara tetangga kita,
Australia, mempunyai cadangan gas 89 TCF dengan penduduk
sedikit. Syarat untuk mengimpor gas adalah adanya LNG
Receiving Terminal.
Kontrak Karya seyogyanya tidak diberikan pada pihak asing dan
hanya diberikan untuk membantu peningkatan kemampuan
BUMN,
BUMD,
swasta
nasional,
dan
koperasi.
Dihilangkan monopoli di sektor hilir hendaknya tidak
menyebabkan lemahnya kontrol pemerintah atas pemasokan
bahan bakar minyak untuk kepentingan masyarakat misalnya
dengan peraturan bahwa paling tidak 51% pemasokannya masih
dilakukan oleh BUMN dan dengan peraturan yang mendukung
peningkatan kemampuan nasional di sektor tersebut. Hal ini perlu
dilakukan supaya tidak terjadi monopoli sektor hilir oleh pihak
asing.
Perlu adanya keberpihakan yang adil bagi swasta nasional
penunjang kegiatan migas. Persyaratan lelang yang diskriminatif
(misalnya harus dalam skala ekonomi yang besar) dalam
pengadaan jasa dan barang dapat mengakibatkan hambatan
untuk ikut (barrier to entry) untuk mereka yang lebih baru atau
lebih kecil modalnya yang biasanya adalah swasta nasional.
(bersambung)

Anda mungkin juga menyukai