Anda di halaman 1dari 8

KRITIK ARSITEKTUR

AKSESIBILITAS PERON PADA STASIUN


PURWOSARI SURAKARTA

Disusun Oleh :

VIVI AIDA NILAM CAHYANI


I0212083

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA

A. LATAR BELAKANG

Aksesibilitas pada Stasiun Purwosari


Stasiun Purwosari adalah stasiun penting yang ada di Kota Surakarta.
Stasiun ini merupakan stasiun yang digunakan untuk melayani KA jarak
jauh kelas ekonomi dan KA reguler jarak dekat seperti Yogyakarta,
Semarang dan Kutoarjo menuju Solo dan sebaliknya. Stasiun ini sesuai
dengan fungsinya merupakan sarana perkeretaapian yang merupakan
tempat yang sangat strategis untuk naik-turun penumpang serta bongkar
muat barang pada system transportasi kereta api ini. Dengan banyaknya
aktivitas yang terdapat dalam stasiun maka tidak dapat dipungkiri stasiun
dituntut untuk mewadahi semua aktivitas yang terjadi serta memenuhi
kebutuhan penggunanya. Seperti halnya yang terjadi pada Stasiun
Purwosari, pada stasiun ini seharusnya memang memiliki fasilitas yang
mewadahi sesuai perundangan daerah yang ada namun justru sebaliknya,
pada Stasiun Purwosari tertangkap adanya indikasi-indikasi yang tidak
memnuhi standar Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/ PRT/M /
2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan.
Salah satu indikasi yang ditangkap adalah susahnya para penumpang
untuk naik dan turun dari kereta api. Hal ini ditunjukkan pada saat
penumpang hendak naik ke dalam kereta mereka akan berdesak-desakan
dan saling berebut memanjat ke pintu kereta karena memang pada kereta
ekonomi tidak terdapat fasilitas tangga yang digunakan serta tidak adanya
peron yang sejajar dengan pintu kereta. Jika ada hanya pijakan namun
hanya sebatas luang yang cukup untuk kaki saja itupun hanya 5cm
dibawah pintu kereta. Tidak jauh berbeda pada saat penumpang

turun

dari kereta, dengan tidak adanya fasilitas tangga dan peron yang sangat
rendah dari pintu kereta banyak banyak dintara mereka yang turun
dengan cara melompat dari pintu langsung menuju peron, hal ini dipilih
untuk menyingkat waktu agar tidak berdesak-desakan. Fenomena ini
terjadi pada kereta ekonomi Prameks dari Yogyakarta menuju Surakarta
yang berhenti di Stasiun Purwosari.
Dari uraian diatas diketahui mereka adalah penumpang yang normal,
padahal

tidak

dapat

dipungkiri

bahwa

tidak

semua

penumpang

mempunyai anggota tubuh yang normal. Maka pada uraian diatas akan
timbul pertanyaan, Bagaimana kaum difabel bias mengakses pintu masuk
ke dalam kereta ? Bagaimana kaum difabel bias turun dari kereta tanpa

Aksesibilitas pada Stasiun Purwosari


bantuan orang lain ?. Pertanyaan inilah yang kemudian akan muncul
diakibatkan oleh fasilitas aksesibilitas bagi kaum difabel yang tidak
diperhatikan sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/
PRT/M /2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan.
B. PEMBAHASAN
Hal yang akan dibahas pada pembahasan kali ini adalah tidak adanya
fasilitas aksesibilitas yang mewadahi pada Stasiun Purwosari yang
seharusnya sudah diatur pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
30/ PRT/M /2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan. Fasilitas yang akan dibahas adalah
fasilitas peron yang merupakan tempat penumpang naik-turun kereta api.
Dalam pembahasan kali ini metode yang akan digunakan adalah metode
Kritik

Normatif

Terukur,

yaitu

sekumpulan

dugaan

yang

mampu

mendefinisikan bangunan dengan baik secara kuantitatif.


1. Peron di Stasiun Purwosari
Peron adalah lantai pelataran stasiun yang berfungsi sebagai tempat
penumpang

naik

dan

turun

dari

maupun

ke

dalam

kereta.

Padastasiun purwosari terdapat 3 peron yang semuanya merupakan


peron rendah. Peron-peron yang ada memang diperuntukkan untuk
kelas ekonomi karena memang pada stasiun Purwosari hanya
melayani keberangkatan dengan kereta ekonomi saja.
Peron yang ada di Stasiun Purwosari mempunyai ketinggian yang
jauh di bawah pintu kereta api yaitu hanya 30 cm yang memang
masih jauh dari standar yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah kota Surakarta. Dengan ketinggian yang
hanya 30cm maka akan menyulitkan penumpang baik penumpang
normal maupun penumpang difabel. Untuk difabel tentunya peron
yang seperti ini tidak akan membantunya masuk ke dalam pintu
kereta api.

Aksesibilitas pada Stasiun Purwosari

Peron hanya
mempunyai tinggi
30 cm. Ketinggian
ini masih jauh dari
ketinggian standar
yaitu 0.9-1.00 m
diukur dari pintu

Gambar 01. Peron Stasiun Purwosari


Sumber. Dok.Pribadi, 2012

Dengan ketinggian peron yang hanya 30cm maka pengguna kursi


ruda maupun kruk akan kesulitan karena letak peron yang sangat
rendah jauh di bawah pintu kereta api. Selain itu, tidak adanya
fasilitas

seperti

tangga

pembantu

juga

tidak

ditemukan

saat

penumpang turun ataupun naik ke dalam kereta.

Penumpang
memanjat saat
masuk ke dalam
kereta karena
ketinggian peron
yang jauh dari
Gambar 02.Penumpang saat Naik ke
dalam Kereta
Sumber. Joglosemar.com

Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa bagi penumpang normal


saja peron yang hanya memiliki ketinggian 30cm sangat sulit untuk
diakses, itulah mengapa muncul berbagai dugaan bahwa kaum
difabel tentu tidak bisa mengakses pintu kereta seorang diri. Karena
memang menurut Peraturan yang ada, tinggi peron yang ideal adalah
antara 0.9-1.00 m sejajar dengan pintu kereta sehingga kaum difabel
mudah dalam mengakses pintu kereta dan masuk ke dalam kereta.
Selain tinggi peron yang sangat rendah akses menuju ke peron juga
tidak disediakan dengan baik oleh kaum difabel. Kemiringan ramp
tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan yaitu kemiringan yang
landai dengan perbandingan 1:3. Kemiringan ramp pada stasiun
4

Aksesibilitas pada Stasiun Purwosari


purwosari sangat tinggi yaitu mencapai 30 0. Namun pada peron
stasiun purwosari memang tidak di desain dengan standar yang ada
seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini :
Akses peron pada
stasiun purwosari
hanya menggunakan
ramp namun, ramp
yang ada belum
memenuhi standar
kemiringan 1:3 sesuai
peraturan pemerintah

Gambar 03. Peron Stasiun


Purwosari
Sumber. Dok.Pribadi 2013

karena kemiringan
ramp 300.

2. Peraturan Ketinggian Peron

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/ PRT/M /2006 tentang


Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung
dan

Lingkungan,

maka

sudah

seharusnya

semua

stasiun

KA

menyediakan sarana bagi difabel. Memang peraturan tersebut tidak


secara tersurat mengatur bahwa stasiun KA harus aksesibel, tetapi di
dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa fasilitas dan aksesibilitas
pada bangunan gedung dan lingkungan harus memenuhi persyaratan
untuk memudahkan bagi penyandang difabel.

Pada peraturan

menteri ini juga menjelaskan bahwa pada peron harus dilengkapi


dengan ramp dengan ketinggian yang landai dengan perbandingan
1:3.
Selain itu menurut Persyaratan Pembangunan Peraturan Menteri
Perhubungan

No.

29

tahun

2011

tentang

Persyaratan

Teknis

Bangunan Stasiun Kereta Api mengenai ketinggian peron adalah


sebagai berikut :
a. Peron tinggi, tinggi peron 1000 mm, diukur dari kepala rei;
b. Peron sedang, tinggi peron 430 mm, diukur dari kepala rei; dan
c. Peron rendah, tinggi peron 180 mm, diukur dari kepala reI.
3. Perbandingan dengan Stasiun Lainnya

Aksesibilitas pada Stasiun Purwosari


Salah satu stasiun yang sudah memiliki ketinggian peron standar
adalah stasiun Tugu Yogyakarta, pada stasiun ini ketinggian peron
sudah sejajar dengan pintu kereta api sehingga memudahkan
pengguna untuk naik atau turun dari kereta, terlebih bagi kaum
difabel. Ketinggian peron pada stasiun Tugu berkisar 90cm dari
ambang

pintu

kereta sehingga sudah

sesuai

dengan

standar

Persyaratan Pembangunan Peraturan Menteri Perhubungan No. 29


tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Stasiun Kereta Api.
Jika dilihat dengan seksama, penumpang dengan mudah mengakses
pintu kereta tanpa harus memanjat maupun melompat ke peron saat
turun. Kemudahan ini memang disebabkan oleh ketinggian peron
yang sudah memenuhi standar yang ada. Tidak seperti peron di
Stasiun Purwosari yang hanya memiliki ketinggian 30cm sehingga
jauh dari ambang pintu kereta api dan menyebabkan penumpang
harus memanjat atau melompat saat naik atau saat turun dari kereta
api.

Gambar 04. Peron Stasiun Tugu


Sumber. Dok.Pribadi, 2015

Gambar 01. Peron Stasiun


Purwosari
Sumber. Dok.Pribadi, 2012

Dari gambar diatas dapat dilihat suatu perbedaan antara ketinggian


peron di stasiun Tugu dan stasiun Purwosari. Dari gambar dapat
terlihat peron stasiun Tugu lebih tinggi dibandingkan dengan peron
stasiun Purwosari karena peron pada stasiun Tugu mempunyai tinggi
90cm sedangkan stasiun Purwosari hanya memiliki ketinggian peron
30 cm. Dengan tinggi peron 90cm maka penumpang normal maupun
difabel pada stasiun Tugu lebih mudah mengakses pintu kereta api
dibandingkan penumpang stasiun Purwosari seperti yang tergambar
pada gambar 05 dan gambar 02.

Aksesibilitas pada Stasiun Purwosari

Gambar 05. Penumpang saat Naik


kedalam kereta pada Stasiun Tugu
Sumber. Dok.Pribadi, 2015

Gambar 02.Penumpang saat Naik


ke dalam Kereta
Sumber. Joglosemar.com

Pada stasiun Tugu penumpang dapat mengakses pintu kereta dengan


mudah bahkan untuk anak-anak kecil, namun hal yang sangat
berbanding terbalik dengan penumpang di stasiun Purwosari yang
harus bersusah payah memanjat pintu kereta saat akan naik ke
dalam kereta. Kedua fenomena diatas terjasi pada Kereta Ekonomi
Prambanan Ekspres Yogyakarta-Surakarta.

C. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Stasiun Purwosari belum
memenuhi standar pelayanan kereta api menurut Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 30/ PRT/M /2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas
dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, serta standar
Persyaratan Pembangunan Peraturan Menteri Perhubungan No. 29 tahun
2011 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Stasiun Kereta Api. Stasiun
Purwosari belum menyediakan peron yang sesuai standar yaitu 90-100
cm, ketinggian peron yang dimiliki oleh stasiun Purwosari hanya 30 cm
jauh dibawah ambang pintu masuk kereta api serta tidak adanya ramp
yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Hal ini dapat menyebabkan penyandang difabel kesulitan mengakses
stasiun kereta api. Karena hal tersebut, maka kereta api yang oleh

Aksesibilitas pada Stasiun Purwosari


sebagian besar orang dianggap sebagai sarana transportasi yang banyak
disukai tetapi bagi penyandang difabel yang terjadi adalah sebaliknya
yaitu menakutkan.

Sehingga pihat stasiun kereta api harus lebih

memperhatikan fasilitas bagi pecandang difabel untuk kemudahan akses


pada stasiun kereta api.

Anda mungkin juga menyukai