Anda di halaman 1dari 4

Konsep Kritik Matan Para Fuqoha: Membandingkan Hadis

Dengan al-Quran
Anggi Gusela
Qiyas. I
Pemikiran untuk membandingkan hadis dengan al-Quran
sudah ada sejak dahulu, yang pertama memunculkan ide ini adalah
Imam Abu Hanifah. Nampak sekali bahwa Imam Abu Hanifah
berkontribusi besar bagi penerapan qiyas ini dengan menjadikan alQuran untuk mengingkari (mengritik) sebagian hadis-hadis. Bahkan
setelah membandingkan dengan al-Qurania menyebut riwayat
tersebut dengan sebagai pendustaan terhadap Rasulullah saw. Ini
nampak jelas sebagaimana ia tulis dalam kitab al-Alim wa alMutaallim. Beliau berkata:
Jika seseorang mengatakan, Saya beriman terhadap semua yang
diucapkan Nabi. Bahwa Nabi tidak akan mengatakan sesuatu yang lalim
dan menyalahi al-Quran, maka sesungguhnya perkataan ini membenarkan
Nabi dan al-Quran, mensucikannya dari pertentangan dengan al-Quran.
Kalaulah Nabi menyalahi al-Quran dan berkata atas nama Alloh sesuatu
yang bukan hak, niscaya Alloh tak akan membiarkannya, pasti Ia akan
pegang tangan kanannya dan memutuskan urat nadi jantungnya,
sebagaimana firmannya dalam al-Quran mengenai laki-laki dan
perempuan yang berzina. Maka, menolak setiap orang yang menceritakan
dari Nabi saw sesuatu yang menyalahi al-Quran bukanlah penolakan dan
pendustaan terhadap Nabi, akan tetapi merupakan penolakan terhadap
orang yang menceritakan sesuatu yang batil dari Nabi saw. Begitupu
tuhmah (tuduhan), bukan kepada Nabi tapi kepada orang tersebut...

Al-Ahnafsetelah Abu Hanifahberargumen dengan dalil


naqli (nash) dan aqli (akal) untuk qiyas ini. Argumen-argumen yang
palig terkenal dari mereka adalah sebagai berikut:
1) Sabda Nabi saw, Orang-orang setelahku akan banyak berbicara
hadis kepada kalian. Maka, jika diriwayatkanhadiskepada
kalian, hendaklah kalian membandingkannya dengan kitab Alloh
Azza wa jalla. Apa yang sesuai, terimalah oleh kalian. Dan
ketahuilah bahwasannya riwayat tersebut berasal dariku. Apa
yang menyalahinya tolaklah oleh kalian. Dan ketahuilah bahwa
aku berlepas darinya.
2) Dari Jabir bin Muthim bahwasannya Nabi saw bersabda, Apa
yang diceritakan kepada kalian dariku sesuatu yang kalian tahu,
maka benarkanlah oleh kalian. Apa yang diceritakan kepada
kalian dariku sesuatu yang kalian ingkari, maka janganlah kalian
benarkan. Sesungguhnya aku tidak akan pernah mengatakan
sesuatu yang munkar.
3) Dari Aisyah r.a berkata, Rasulullah saw bersabda, Manusia tak
henti-hentinya bersyarat dengan syarat yang bukan dari kitab
Alloh. Barang siapa yang bersyarat bukan dengan kitab Alloh
azza wa jalla, maka ia itu batil. Jika sesorang bersyarat dengan
seratus syarat, maka syarat Alloh itu paling benar dan paling
kuat. (Bukhori)

Al-Syarkhosi berkata, Yang dimaksud dengan setiap syarat


adalah yang menyalahi kitab Alloh taala. Maksudnya bukan
yang tidak ada dalam kitab Alloh taala, karena hadis juga tidak
ada dalam kitab Alloh taala. Berdasarkan ijma (konsensus),
termasuk di antara hukum-hukum adalah apa yang ditetapkan
oleh khobar ahad dan qiyas. Jika tidak ada dalam kitab Alloh
taala, maka kitab bisa mengetahui bahwa yang dimaksud
adalah apa yang menyalahi kitab Alloh. Ini adalah nash (dalil)
bahwa setiap hadis yang menyalahi kitab Alloh itu tertolak.
4) Sesungguhnya asal dari bidah dan hawa nafsu itu dilihat dari
segi ditinggalkannya membandingkan khabar ahad dengan kitab
dan sunnah yang masyhur. Satu kaum menjadikannya sebagai
dasar bersama syubhat ketersambungnnya kepada Rasulullah
saw. Serta tidak mewajibkan ilmu yakin, kemudian mereka
menakwilkan kitab dan sunnah yang masyhur, mereka
menjadikan tabi sebagai matbu dan menjadikan dasar sebagai
sesuatu yang tidak yakin, maka jatuhlah mereka kepada bidah
dan hawa nafsu...
Imam Syafii Dan Pembandingan Hadis Dengan Al-Quran
Imam Syafii berkomentar tentang hadis, Maa ja-akum anni
faridhuuh ala kitabillah... tidak seorang pun yang kuat hadisnya
meriwayatkan hadis ini dalam sesuatu yang kecil atau pun besar.
...ini adalah riwayat terputus dari sesorang yang tidak dikenal. Kami
tidak menerima riwayat seperti ini dalam sesuatu pun.
Imam Syafii menjelaskan bahwa hadis dapat menjadi
penghusus keumuman al-Quran, contoh:
Hurrimat alakum ummahatukum... wa uhilla lakum ma waroa
dzalikum. (QS. Annisa: 23-34). Sabda Rasulullah saw
mengkhususkannya, Tidak boleh menggabungkan antara seorang
perempuan dan pamannya. Tidak pula ia dengan bibinya.
Kemudia ia berkata, dalam ayat di atas ada dua dalil. Dalil
bahwa sunnah tidak bertentangan dengan al-Quran, tapi
menjelaskan keumuman dan kekhususannya. Serta dalil bahwa
mereka menerima khobar ahad.
Imam Syafii juga berkata dalam kitab Ikhtilaful Hadits,
Sesungguhnya perkataan orang yang mengatakan,
membandingkan sunnah dengan al-Quran; jika dzahirnya sesuai
dengan al-Quran. jika tidak, maka kami mengamalkan dhahirnya alQuran dan meninggalkan hadis yang jahl (tidak dipahami?).
karena sunnah dalam setiap tempat tidak akan menyalahi alQuran...
Dari sini, kita tahu bahwa Imam Syafii tidak menerima
pembandingan hadis dengan al-Quran. Namun dalam kitab al-Umm,
ada pendapatnya yang menyalahi perkataan di atas dengan
sempurna. Imam Syafii berargumen dengan hadis dari Rasulullah
saw dari Ali dan dari Umar, kemudian setelanya ia menyatakan,

bahwa suatu hadis jika menyalahi al-Quran maka bukan dari


Rasululla saw, sekalipun para rawi meriwayatkannya...
Imam Malik dan Pembandingan Hadis Dengan al-Quran
Syaikh Abu Zahroh menyatakan bahwasannya Imam Malik
rahimahullah mirip dengan penduduk Irak dalam membandingkan
hadis Ahad dengan al-Quran. beliau berkata:

Dengan menisbatkan keumuman al-Quran berarti mirip/mendekati


penduduk Irak, meskipun tidak menempuh jalan yang sama dengan
mereka. Maka ia itu terkadang dalam sebagian keadaan menjadikan hadis
sebagai perbandingan dengan dhahir al-Quran dan menghususkannya.
Serta dalam beberapa keadaan menolak khabar Ahad dengan al-Quran.
Para ulama Malikiah menjadikan pernyataan ini sebagai alasan bahwa
Imam Malik mendahulukan dhahir al-Quran atas sunnah. Dalam hal yang
demikian, ia seperti Abu Hanifah, kecuali ia memilih sunnah dari pada
qiyas atau amal ahli madinah. Hal ini menggambarkan kepada
penghususan keumuman al-Quran atau pembatas ke muthalakannya. Jika
amal pendudukan madinah dapat membantu sunnah, maka ia
mendahulukan sunnah, seperti pada kasus memakan hewan yang
bertaringa Beliau memilih sunnah bersama penyelisihan sunnah tersebut
terhadap keumuman al-Quran, karena setiap amal ahli madinah sesuai
dengan hal tersebut. Jika sunnah sama sekali tidak membantu amal
penduduk Madinah atau qiyas, nash (al-Quran) meninggalkan dhahirnya.

Apa yang dikatakan Syaikh Abu Zahroh tidak jauh dari


kebenaran, karena Imam Malik memang meninggalkan sebagian
khabar apabila bertentangan dengan keumuman al-Quran dan tidak
membantu/sesuai dengan amal penduduk Madinah. Atau karena
amal penduduk Madinah tersebut membantu makna dhahir; bukan
khabar.
Diantara masalah-masalah yang dikatakan bahwa Imam Malik
meninggalkan khabar karena dhahir al-Quran adalah jumlah susuan
yang menyebabkan jadi mahrom, haji dari mayyit, dan jilatan anjing
terhadapa bejana.
Pandangan Atas Pembandingan Sunnah Terhadap al-Quran:
Yang Bersesuaian dan Bertentangan
Setelah saya membahas tema ini, maka jelaslah ada yang
menolak qiyas inimemandingkan sunnah dengan al-Quran
karena pemahaman yang keliru, yaitu memhami bahwa makna
qiyas ini adalah menolak setiap yang tidak ada dalam al-Quran, saat
itu pula kebanyakan hukum-hukum ditetapkan oleh sunnah
hususnya khabar ahadhal ini, menurut mereka, sama dengan
menolak banyak hukum syara. Dalam konteks ini pula sama
dengan menolak dan mendustakan Rasulullah saw di samping Alloh
telah mewajibkan kita taat kepadanya dan melarang kita menyalahi
beliau saw. Oleh karena itu, saya memandang orang yang beralasan
dengan hadis Laa ulfina ahadukum muttakian ala arikatih ya-tihil
amru min amri mimma umirta bihi nuhiita anhu, fayaquulu, la adri
ma wajadna fii kitabillahi ittabanahu. Bersamaan dengan mereka
yang mengatakan tentang pembandingan tersebut, mereka tidak
mengatakan, sesungguhnya kitab Alloh cukup untuk kita, dan tidak

ada alasan bagi kami untuk berpegang pada sunnah. Bahkan


mereka berkata, Sesungguhnya al-Quran dan sunnah yang
mutawatir adalah dasar syariat yang tidak diperselisihkan. Hanya
saja perselisihan pendapat terjadi mengenai sebagian hukum yang
ditetapkan dengan khabar ahad yang tidak mungkin bisa diamalkan
bersamaan dengan nash al-Quran. kami mengatur hal tersebut di
antara dua perkara, yaitu meninggalkan nash al-Quran lalu
mengikuti khabar ahad dan meninggalkan khabar ahad lalu
mengambil al-Quran.
Tidak diragukan bahwa mengambil al-Quran yang qathi lebih
utama dari pada mengambil khabar ahad yang diragukan.
Jika demikian, makna qiyas ini lebih luas, yaitu melihat khabar
yang diriwayatkan, jika mutawatir atau masyhur maka ia
dibandingkan dengan al-Quran; dengan makna bahwa khabar itu
atas penghususan keumumannya, pembatasan kemuthlakannya,
atau penghapusannya. Namun jika khabar ahad maka tidak
menguatkan al-Quran, karena khabar ahad itu dzan sedang alQuran Qathi.

Anda mungkin juga menyukai