Anda di halaman 1dari 3

Trilogi Kisah Iran dan Daulah Shafawi:

Republik Syiah Iran, Daulah Shafawi


Modern (3/3)
admin April 15, 2014
0090

Telah kita simak di tulisan-tulisan sebelumnya bagaimana Daulah Shafawiyah


didirikan, ideologi yang mereka sebarkan, dan kebijakan-kebijakan yang mereka
terapkan terhadap umat Islam di negaranya maupun di dunia secara umum. Di era
modern ini, ada sebuah negara yang mengusung ideologi sama dengan Daulah
Shafawi yakni ideologi Syiah, negara tersebut menamakan diri mereka dengan
Republik Islam Iran.
Terletak di geografi yang sama dengan pusat pemeritanhan Daulah Shafawi, Iran
berusaha menggantikan peranan kerajaan Syiah di abad pertengahan itu dengan
mengaplikasikan kebijakan keluarga Shafawi di era modern ini. Pada tulisan ketiga
ini, topik utamanya adalah tentang siapakah yang memerintah Iran. Dengan
mengetahui siapakah yang memerintah Iran, akhirnya penulis serahkan kepada para
pembaca menggeliat dalam daya kritisnya mendudukkan posisi Iran di dunia Islam
atau bahkan politik internasional.
Khomeini Pemimpin Revolusi
Pada tahun 1979, Khomeini memimpin revolusi Syiah di Iran yang menggulingkan
diktator Syah Pahlevi. Dengan jatuhnya Syah Pahlevi, tokoh utama Syiah ini
menduduki posisi tertinggi di tanah Persia tersebut. Khomeini memiliki kekuasaan

sebagai tokoh politik dan juga memegang otoritas penuh dalam permasalahan agama,
bisa Anda bayangkan betapa besarnya kekuasaan yang dipegang Khomeini. Namun
ternyata kekuasaan yang dimilikinya tidak membuatnya lebih baik dari Syah Pahlevi,
bahkan Khomeini lebih diktator dibanding pendahulunya ini.
Pada masa pemerintahannya, Khomeini memunculkan sebuah konsep baru dalam
tatanan negara Iran, ia menamakan konsep dengan wilayatul faqih. Wilayatul faqih
adalah sebuah otoritas yang semestinya disandang oleh imam mashum (yang terjaga
dari dosa). Orang-orang Syiah meyakini kemashuman Ali bin Abi Thalib, kedua
putranya Hasan dan Husein, kemudian para imam dari keturunan Husein bin Ali
radhiallahu anhuma yang mereka sebut dengan imam yang dua belas. Namun, pada
masa imam ke-11, Imam Hasan al-Askari wafat pada tahun 260 H, ia wafat dalam
keadaan tidak ada seorang yang disebut imam mashum. Syiah pun berpecah menjadi
banyak kelompok karena permasalahan ini. Di antara kelompok tersebut adalah
Syiah Itsna Asyariyah (Syiah 12 imam).
Syiah Itsna Asyariyah meyakini bahwa Imam al-Askari menunjuk anaknya yang
masih kecil, yang usianya belum genap 5 tahun, sebagai imam mashum penerusnya.
Kemudian imam ke-12 memasuki sebuah ruangan bawah tanah dan menghilang.
Orang-orang Syiah 12 imam meyakini bahwa sang imam masih berada di tempatnya
dan akan keluar di akhir zaman kelak. Dialah yang disebut Mahdi al-Muntazhar
(sang Mahdi yang ditunggu). Menurut keyakinan Syiah tidak diperbolehkan
mendirikan negara, menunjuk pemimpin, menegakkan syiar-syiar agama, berjihad,
dll. tanpa adanya komando dari Imam Mahdi yang masih ditunggu kehadirannya.
Nah di sinilah wilayatul faqih hasil ijtihad dari Khomeini memainkan peranannya.
Wilayatul Faqih
Khomeini membuat wilayatul faqih yang ia anggap memiliki fungsi yang sama
dengan funsi imamah (kepemimpinan para imam) di saat mereka ada mendirikan
negara, mengangkat pemimpin, dll.-. Imamah juga memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh kenabian. Kenabian terbatas oleh waktu-waktu tertentu sedangkan
imamah terus belangsung hingga sekarang. Dari sini, muncul klaim yang lancang
dari Khomeini dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyah, ia mengatakan, Salah satu
hal yang penting dalam madzhab kami bahwa para imam memiliki kedudukan yang
tidak dicapai oleh seorang malaikat yang paling mulia dan nabi-nabi yang diutus..
Maksudnya imam kami lebih mulia dari malaikat yang paling mulia sekalipun
semisal Jibril dan lebih mulia dari para nabi-nabi termasuk Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, ketaatan kepada wilayatul faqih adalah ketaatan yang mutlak.
Doktrin ini benar-benar menjadikan kekuasaan Khomeini adalah kekuasaan yang
absolut lebih dari diktator Syah Pahlevi bahkan lebih diktator dari diktator-diktator
Arab semisal Husni Mubarak, Muamar Kadafi, Sadam Husein, dll. karena kebijakan
wilayatul faqih adalah kebijakan para imam mashum atau bahkan kebijakan Tuhan,
melanggarnya berarti melanggar perintah imam mashum atau perintah Tuhan. Tidak

ada seorang diktator pun semisal nama-nama di atas menyebutkan bahwa melanggar
perintah mereka berarti melanggar perintah Tuhan. Tidak heran, ulama-ulama Syiah
yang menjabat di wilayatul faqih termasuk Khomeini digelari ayatollah sebagai
legalisasi kebijakan-kebijakan dan image di mata rakyat. Agar kediktatoran wilayatul
faqih sedikit tertutupi, maka ditunjuklah seorang presiden yang dikesankan sebagai
pemimpin Negara Iran.
Sebagai contoh bahwa presiden Iran tidak memiliki otoritas terhadap negaranya dan
wilayahtul faqih lah yang memiliki peranan. Pasca revolusi, Iran dipimpin oleh
Presiden Bani Sadr. Ia memenangkan pemilu dengan mendapatkan 78,9 %. Ia
bukanlah seorang mullah (pemuka agama), ia seoarang ekonom lulusan dari
Universitas Sorbone, Paris, Perancis. Dengan suara yang begitu besar Bani Sadr
mengira ia akan begitu leluasa menenutkan kabinetnya. Namun suara kemenangan
yang begitu besar itu tidak berarti apa-apa, Sadr tidak memiliki daya dan upaya
sedikit pun menentukan kebijakan pemerintahannya. Setiap permasalahan kecil
maupun besar haruslah sesuai dengan yang digariskan oleh Khomeini sang pemimpin
revolusi. Satu tahun menjabat sebagai presiden Iran, Bani Sadr pun dilengserkan oleh
parlemen. Ini nasib seorang presiden yang tidak sejalan dengan Khomeini dan
wialyatul faqihnya walaupun suaranya pendukungnya luar biasa besar, 78,9%.
Ahlussunnah di Masa Republik Syiah Iran
Ahlussunnah di Iran memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan Ahlussunnah di
masa Daulah Shafawi. Mereka mengalami penyiksaan, dijebloskan ke penjara, dan
dibunuh, mereka yang bebas pun hidup layaknya di penjara tidak memiliki
kebebasan. Semua itu dengan sebab mereka seorang Ahlussunnah wal Jamaah atau
Sunni.
Di Teheran, ibu kota Iran, tidak ada satu pun masjid Ahlussunnah yang
diperkenankan untuk didirikan, padahal ada 7 juta orang Sunni yang berdomisili di
kota ini. Sedangkan orang-orang Nasrani saja memiliki 12 gereja dan Yahudi
diizinkan membangun 4 tempat ibadah di ibu kota negeri para mullah ini (Ahwal
Ahlussunnah fi Iran, Hal. 45-73).
Demikianlah ketika ideologi Daulah Shafawi dan Iran saat ini sama, maka kebijakan
yang dilakukan pun akan sama yang membedakan hanyalah cara penerapannya
karena menyesuaikan perkembangan zaman.
Sumber: islamstory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com http://kisahmuslim.com/trilogi-kisah-iran-dandaulah-shafawi-republik-syiah-iran-daulah-shafawi-modern-33/

Anda mungkin juga menyukai