Anda di halaman 1dari 5
Setelah Kata, Lalu Nada 18 Oktober 2011 | (2565 view) EBUAH grand piano, seorang gadis, dan tumpukan buku raksasa, bola dunia, dan rak buku berukuran raksasa. Gadis itu adalah Leilani Hermiasih Suyenaga, yang menyebut dirinya Frau-kata dari bahasa Jerman yang berarti "puan", Dia menyapa penonton dan memperkenalkan diri dengan agak gugup di ruang Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu malam dua pekan Lalu, "Saya merasa bukan penulis lirik yang bagus, tapi sedang mencoba. Dan ini merupakan tantangan besar bagi saya untuk menulis bagian musik untuk karya sastra, Yang pertama say persembahkan, ci..., puisi Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar,"kata remaja berusia 22 tahun itu, yang disambut gelak tawa penonton, Jari-jarinya langsung bermain di bilah-bilah piano hitam itu, Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali.Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.. Musiknya ringan, cepat, dan mengentak-entak, Leilani setia pada baris-baris puisi Chairil. Tapi, ini lagu, bukan pembacaan puisi. Penckanan-penckanan pada kata dan tanda baca jadi hablur, terseret kelangsungan ritme musik, Saat membawakan Dongeng buat Bayi Zus Pandi karya Astul Sani, mahasiswa Fakultas Tmu Budaya Universitas Gadjah Mada itu mengisi ruang antarbait dengan permainan nada di piano. Adapun pada Berdiri Aku karya Amir Hamzah, musiknya mengalunkan suasana senja yang dilukiskan Amir dalam bait-baitnya yang rapi bersusun empat-empat baris. Leilani juga menyisipkan beberapa lagu dari album perdananya, Starlit Carousel, sepertiSepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa, Penampilan Frau ini membuka Bienal Sastra Utan Kayu-Salihara bertema "Klasik nan Asyik" yang berlangsung hingga akhir bulan ini, Dalam perhclatan yang kelima ini, beberapa acara serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti musyawarah buku, yang membahas novelLenka karya 17 penulis yang tergabung dalam Sarekat Penulis Kuping Hitam dan novelMatinya Seorang Atheis karya Zaim Rofiqi. Ada pula pembacaan arya dan diskusi dengan sastrawan Indonesia, seperti Avianti Armand, Bre Redana, Danarto, D. Zawawi Imron, Joko Pinurbo, Clara Ng, Linda Christanty, dan Yusi Pareanom. Sastrawan asing yang hadir antara lain Tariq Ali, Lan Bamforth, Shirley Lim, Steven Conte, M.K. Singh, Georgios Veis, dan Thorsten Becker. Bienal ditutup dengan adu puisi di ‘Teater Atap Salihara, yang mengundang siapa saja untuk membacakan karyanya. ‘Namun tahun ini panitia memasukkan acara baru penafsiran sastra dalam musik. Para kurator, yang, terdiri atas Ayu Utami, Nirwan Dewanto, Hasif Amini, Sitok Srengenge, Guntur Romli, dan Tony Prabowo, telah memilih sejumlah puisi dan menawarkannya kepada beberapa musikus untuk menggubahnya ke dalam komposisi musik. Dari segi musik, kata Tony Prabowo, memang dipilih para musikus dari "semua aliran", Musik "pop alternatif’, misalnya, diwakili Frau dan Dian H.P., jazz oleh Bandanaira, bluesoleh Gugun & The Blues Shelter, pop world music oleh Ivan Nestorman, dan musik kontemporer oleh Gatot Danar Sulistiyanto dan Matius Shan Boone, Mercka kebanyakan mengangkat sastra klasik, Indonesia, kecuali Dian, yang menafsir puisi Nirwan dan Sitok yang sudah pula direkam dalam album Komposisi Delapan Cinta, Gugun dan kelompoknya akan menampilkan musik dari tiga p Chairil, Cemara Berderai Sampai Jauh, Sajak Putih, dan Penerimaan pada penutupan Bienal. Menurut Tony, program ini dibikin karena selama ini musik hanya menjadi "pelengkap’, seperti pengiring atau jeda di antara pembacaan puisi. Kini saatnya musik masuk ke pertunjukan dari karya sastra tersebut. Pilihan berbagai aliran juga ditimbang untuk menarik minat berbagai kalangan. “Tapi fokusnya adalah bagaimana Frau dan Gugun, misalnya, menafsir puis yang serius, entah mereka pernah melakukan sebelumnya entah tidak,” kata Tony, yang telah beberapa kali menatsir puisi karya Goenawan Mohamad ke dalam komposisi musik kontemporer. "Soal apakah karya mereka itu kena atau tidak di telinga penonton, itu tergantung pada setiap individu.” Dalam acara ini, Bandanaira tampil membawakan Lagu Gadis Itali karya Sitor Situmorang,Cintaku Jauh di Pulau karya Chairil Anwar, dan Dibawa Gelombang karya Sanusi Pane. Bandanaira dibentuk oleh pianis Irsa Destiwi dan vokalis Lea Simanjuntak untuk melestarikan lagu perjuangan dalam irama jazz kepada generasi muda. Album perdana mereka, The Journey of Indonesia, memuat lagu seperti Indonesia Pusaka, Sepasang Mata Bola, dan Desaku, Namun, karena Lea sedang hamil besar, posisi vokalis dipegang Nyak "Ubiet” Ina Raseuki. Adapun pertunjukan yang paling membetot perhatian adalah penampilan kuartet instrumen dan vokal dari IST Yogyakarta yang membawakan komposisi karya dua komponis Klasik kontemporer muda, Gatot Danar Sulistipanto dan Matius Shan Boone. Keduanya mendekati sastra dengan cara yang berbeda. Gatot adalah lulusan Jurusan Musik ISI Yogyakarta yang bergabung dalam kelompok seni multimedia Musica Teatrica Nova. Dia menafsir Sunyi Itu Duka karya Amir Hamzah danRasa Dosa karya Subagyo Sastrowardoyo dengan mendorong suara instrumen gesck dan perkusi serta vokal penyanyi untuk bahu-membahu membawa puisi itulebur dalam musik, Pada sajak Amir yang sangat pendek itu, misalnya, suasana sunyi dibangun pada mulanya dengan kelengangan dan sesekali suara instrumen, lalu masuk pada litik yang setiap kata mendapat tekanan dalam vokal dan musik. Sunyi itu duka ‘Sunyi itu kudus Sunyi itu luka ‘Sunyi itu lampus Tapi lirik itu dinyanyikan, atau tepatnya ditembangkan, dalam nada sangat tinggi dan bergelombang, yang bahkan diakhiri dengan serupa jeritan yang mengguncang. Matius adalah pengajar Universitas Pelita Harapan yang karyanya, Mukena, meraih penghargaankarya terbaik dalam Festival Komponis Muda Asia ‘Tenggara. Dia kali ini menafsir puisi Padamu Jua karya Amir dan Adam di Firdaus karya Subagyo dalam bentuk resitasi. Puist itu Gideklamasikan oleh seseorang dan musik membangun ilustrasi bersama untaian kata-katanya, Bagi Tony, proyek ini menarik karena di luar negeri karya sastra yang serius atau klasik kebanyakan ditatsir oleh komponis kontemporer, mulai era musik klasik sampai modern, meskipun ada juga grup rock era 1970 yang pernah menafsir puisi serius, seperti kelompok Blueground Undergrass dan Gentle Giant. Beberapa musikus kontemporer yang pernah menafsir karya sastra klasik itu katakanlah komponis Prancis, Pierre Boulez, yang menulis Le Marteau sans maitre (Palu Tak Bertuan) dari puisi Rene Char dan Pli selon pli (Lipatan demi Lipatan), komposisi sepanjang satu jam lebih dari puisi-puisi Stephanie Mallarme, pada tahun 1950-an, Sedangkan } ka Serikat pernah menafsir puisi-puisi La Piedras del cielo (Batu-batu Surga)karya Pablo Neruda. farco Katz dari Amet Tak banyak komponis Indonesia yang menafsir sastra, tapi beberapa komponis ternama sudah memulainya, seperti F.X. Soetopo, si pencipta Mars Wajib Belajar 9 Tahun, yang pernah menulis komposisi vokal klasik dari karya Chairil Anwar; Mochtar Embut, yang mengangkat sajak-sajak karya R.A.J. Sudjasmin; Trisutji Kamal, yang banyak menulis tembang puitis; dan Slamet Abdul Syukur, yang menulis komposisi dari Beta Pati Rajawanekarya Chairil. Untuk itu Sabtu lalu karya beberapa dari musikus itu dimainkan, Namun kurang afdal rasanya bila bienal sastra tak menampilkan sastrawan. Pekan lalu beberapa, penyair telah tampil membacakan puisinya, seperti Hanna Fransisca, yang membacakan beberapa karya terbarunya, seperti Sembahyang Cahaya dan Ayam Putih; dan F. Rahardi, yang membacakan karya lamanya dari kumpulanpuisi Tuyul(1990), yang merupakan kritik sosial padamasanya. Meski karya lama, pembacaan puisi Definisi Tuyulmendapat sambutan meriah penonton. Inilah puisi itu: (Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta 1988- Entri terakhir huruf T-halaman 978) Tuyul (kKonon berdasarkan cerita masyarakat yang ada) makhluk halus berupa bocah berkepala gundul yang oleh orang yang memeliharanya dapat diperintah untuk mencuri uang dan sebagainya. Kurniawan Majalah TEMPO, 17 Oktober 2011

Anda mungkin juga menyukai