Anda di halaman 1dari 16

MANTRA UPACARA NGABATI’ PADA UPACARA PERTANIAN

SUKU DAYAK KANAYATN DI DUSUN PAKBUIS DESA BANYING KECAMATAN


SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KALIMANTAN BARAT
(Kajian Etnopuitika)

Ursula Dwi Oktaviani


STKIP Persada Khatulistiwa, Jl Pertamina, Sengkuang, Sintang.
ursuladwioktaviani@yahoo.com

Abstrak
Nyangahatn merupakan bentuk ucapan syukur dan terima kasih serta permohonan kepada Jubata (sebutan Tuhan
bagi suku Dayak Kanayatn). Nyangahatn dilakukan oleh seorang Panyangahatn yang memahami seluk beluk
adat istiadat. Tidak semua orang bisa menjadi Panyangahatn. Nyangahatn yang diucapkan Panyangahatn
berupa doa yang berbentuk mantra. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan: 1) ragam panggung atau ragam
pentas mantra upacara Ngabati’ pada upacara pertanian suku Dayak Kanayatn di Dusun Pakbuis Desa Banying
Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak, 2) penguasaan budaya lokal mantra upacara Ngabati’ pada
upacara pertanian suku Dayak Kanayatn di Dusun Pakbuis Desa Banying Kecamatan Sengah Temila Kabupaten
Landak, 3) penguasaan materi mantra upacara Ngabati’ pada upacara pertanian suku Dayak Kanayatn di Dusun
Pakbuis Desa Banying Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak, 4) penguasaan nyanyian atau tembang
mantra upacara Ngabati’ pada upacara pertanian suku Dayak Kanayatn di Dusun Pakbuis Desa Banying
Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak, 5) makna mantra upacara Ngabati’ pada upacara pertanian suku
Dayak Kanayatn di Dusun Pakbuis Desa Banying Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak.
Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografis. Sumber data terkait subjek penelitian
dari mana data diperoleh. Subjek penelitian ini yaitu adalah mantra yang diucapkan oleh Panyangahatn. Untuk
sumber data primer pada penelitian ini adalah mantra upacara Ngabati’ yang diucapkan oleh Panyangahatn.
Sementara data sekunder pada penelitian ini yaitu data pendukung mantra upacara Ngabati’ yang diperoleh dari
Panyangahatn (informan) lain. Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) ragam panggung atau ragam pentas harus
memperhatikan penguasaan bahasa, sastra, vokal, tata krama, dan tata busana dalam melaksanakan upacara
Ngabati’, 2). penguasaan budaya lokal yaitu penguasaan bahasa dan perlengkapan untuk upacara Ngabati’, 3)
penguasaan materi yaitu Panyangahatn yang profesional harus menguasai semua bagian materi mantra upacara
Ngabati’ supaya pengucapan mantra benar dan berjalan dengan lancar, 4) penguasaan nyanyian atau tembang
memperhatikan lafal, intonasi dan transkripsi ala Tedlock (cara pengucapan mantra upacara Ngabati’), dan 5)
makna pada mantra upacara Ngabati’ adalah makna yang terdapat pada bagian mantra upacara Ngabati’ pada
Nyangahatn Manta’ dan Nyangahatn Masak.

Kata Kunci: Mantra Upacara Ngabati’, etnografi, ragam panggung atau ragam pentas, penguasaan budaya lokal,
penguasaan materi, penguasaan nyanyian atau tembang, dan makna.

Abstract
Accreditation is one form of assessment (evaluation) the quality and feasibility of the higher education institution
or study program conducted by an independent organization or entity outside of college. Forms penulaian other
external quality assessment is related to accountability, licensing, licensing by a particular agency, and surveys
to determine the ranking (ranking) universities. Accreditation is very influential in education and the world of
work, because if it is not accredited, it is difficult for someone to get a job. The method used in this study is
descriptive qualitative. should the government (Kemendikbud) more serious in an accredited higher education,
and the personnel who have been to accredit higher education should be more prepared for the task that has been
entrusted, as well as responsible and trustworthy, in the selection of experts should be able-bodied accreditation
and spiritual, as well as a focus on the implementation of the work that can be accredited, as well as higher
education to be accredited to be more prepared and further improve the quality of the institution, and not when
pengakreditasian progress, but continuously, so as not to impact on student . And according to the author should
Article 8 paragraph (4) shall also be over emphasized, in the act, too, and this problem is also related to the
future generations.
Nyangahatn is a gratitude and appel for Jubata (name of suku Dayak Kanayatn God). Nyangahatn is done by a
Panyangahatn who knows culture in detail well. Not all of people can be Panyangahatn. Nyangahatn that is said
by Panyangahatn usually in the form of incantation.
This research aims to describe: 1) various stages or various platforms of the incantation of Ngabati’ ceremony
in the agriculture ceremony of Suku Dayak Kanayatn at Dusun Pakbuis Desa Banying Kecamatan Sengah

1
URSULA DWI OKTAVIANI

Temila Kabupaten Landak, 2) mastering local culture of the incantation of Ngabati’ Ceremony Suku Dayak
Kanayatn at Dusun Pakbuis Desa Banying Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak 3) mastering material
of the incantation Ngabati’ ceremony in the agriculture ceremony of suku Dayak Kanayatn at Dusun Pakbuis
Desa Banying Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak, 4) mastering incantation songs of Ngabati’
ceremony in the agriculture ceremony of suku Dayak Kanayatn at Dusun Pakbuis Desa Banying Kecamatan
Sengah Temila Kabupaten Landak, 5) the meaning incantation of Ngabati’ ceremony in the agriculture
ceremony of suku Dayak Kanayatn at Dusun Pakbuis Desa Banying Kecamatan Sengah Temila Kabupaten
Landak.
This research is descriptive qualitative through ethnography approach. Source of data is related to the research
subject where we find the data. Research subject is the incantation that is revealed by Panyangahatn. The
primary data source in this research is incantation of Ngabati’ ceremony that is revealed by Panyangahatn. The
secondary data source from this research is supporting data of the incantation of Ngabati’ ceremony that is got
from another Panyangahatn (informant).
The result of this research indicates that: 1) various stages or various platforms should pay attention in mastering
language, literature, vocal, manner, and clothes in Ngabati’ ceremony, 2). Mastering local culture is mastering
language and equipment for Ngabati’ ceremony, 3) mastering material, such as professional Panyangahatn
should master all of the parts of incantation in order to make it true and fluently, 4) mastering songs should pay
attention in pronunciation, intonation, and Tedlock transcription (the way to say incantation of Ngabati’
ceremony), and 5) the meaning in the incantation of Ngabati’ ceremony is the meaning which is located in the
incantation of Ngabati’ ceremony at Nyangahatn Manta’ and Nyangahatn Masak.

Keywords: The Incantation of Ngabati’ Ceremony, etnography, various stages or various platforms, mastering
local culture, mastering material, mastering songs, and meaning.

Masyarakat Dayak Kanayatn mengenal


PENDAHULUAN tradisi bersyukur dan meminta dengan sebutan
Suku Dayak Kanayatn memiliki salah satu Nyangahatn yang berupa mantra. Tradisi ini
data budaya yang berupa sastra lisan. Sastra menjadi sarana untuk ‘berbicara’ dengan
lisan Dayak Kanayatn adalah salah satu bagian pencipta. Ada pepatah yang selalu di pegang
kecil dari seluruh tradisi lisan yang dimiliki teguh, “Adat nang dinunak, dinali, dinamputn”.
suku Dayak di pulau Kalimantan. Sastra lisan (Adat yang ada sejak manusia ada yang diikuti
merupakan produk budaya yang bersifat dan disambung secara turun-temurun).
komunal, milik bersama seluruh rakyat; Nyangahatn menunjukkan perbuatan
merupakan ekspresi karya budaya yang Panyangahat untuk menuturkan mantra yang
disebarkan secara lisan, turun-temurun. Dalam merupakan ucapan syukur dan terima kasih
kehidupan sehari-hari, sastra lisan berfungsi serta permohonan kepada Jubata (Sebutan
memelihara keutuhan dalam kebersamaan. Sang Tuhan bagi suku Dayak Kanayatn)
penutur, menuturkan sastra lisan yang berisi Sastra Dayak Kanayatn tampil dominan
kebijaksanaan hidup baik ketika menidurkan dalam upacara-upacara adat yang menyatu
anak, upacara ritual maupun ketika menasehati dalam segala kegiatan rutin, seperti pada
kaum muda. Sastra lisan pada suku Dayak rangkaian pekerjaan berladang (ngawah, mato’,
Kanayatn terdiri dari dua jenis yaitu: (a) sastra bahuma, ngarumput, more panyakit uma,
lisan bercorak cerita: singara, gesah, osolatn, bahanyi, naik dango). Semua diawali dengan
batimang, pantutn, sungkaatn/sungkalatn, dan Nyangahatn. Masyarakat adat menganggap,
salong, serta jenis sastra lisan yang kedua yaitu bahwa Nyangahatn bukanlah penyembahan
(b) sastra lisan bercorak bukan cerita: sampore’, berhala apalagi animisme, tetapi merupakan
lala’, tanung, baremah, renyah, bacece’, cara berdoa. Mereka percaya adanya dua
pangka’, mura’atn, liatn, mulo, gawe, totokng, kekuatan: (1) pelindung, pembawa rejeki,
nyangahatn, dendo/lenggang. Kedua jenis sumber kekuatan dari Jubata, Ne’ Patampa
sastra lisan tersebut yang paling sering Yang Maha Kuasa, dan (2) pembawa
digunakan dan sakral adalah Nyangahatn, malapetaka, penyakit atau bencana alam.
karena terdapat pada upacara-upacara penting Dengan sastra lisan tersebut manusia menyadari
(upacara adat) suku Dayak Kanayatn. dirinya harus berserah dan memohon

2
perlindungan Yang Maha Kuasa, Sang Pemilik dengan waktu dan tujuannya mantra tersebut
langit dan bumi ini, Jubata (Andasputra dkk, tidak bermanfaat dan hilang kekuatannya. Jadi,
1997:100). bisa dikatakan bahwa konteks dapat
Nyangahatn adalah upacara dalam bentuk menunjukkan kesakralan pengucapan mantra,
doa atau sembahyang dalam adat/agama lama dan yang paling utama pada mantra adalah
(Djuweng dkk, 2003: 59-67). Nyangahatn keampuhan/kemanjurannya. Hal tersebut yang
merupakan bentuk ucapan syukur dan terima menjadikan sebuah mantra bermakna,
kasih serta permohonan kepada Jubata (sebutan bermanfaat dan berkhasiat bagi masyarakat
Tuhan bagi suku Dayak Kanayatn). penggunanya khususnya Dayak Kanayatn.
Nyangahatn dilakukan oleh seorang Tradisi Dayak Kanayatn tidak terlepas dari
Panyangahatn yang memahami seluk beluk siklus pertanian. Karena sebagian besar
adat istiadat. Tidak semua orang bisa menjadi masyarakat Dayak Kanayatn di Dusun Pakbuis
Panyangahatn. Nyangahatn yang diucapkan adalah petani. Hampir semua upacara adat
Panyangahatn berupa doa yang berbentuk dilakukan dan bermula dari tanam padi.
mantra. Upacara adat sudah ada sejak mempersiapkan
Nyangahatn yang berbentuk mantra sering lahan untuk ditebas. Biasanya secara bersama-
digunakan pada upacara-upacara penting sama masyarakat dalam sebuah kampokng
(upacara adat) yaitu upacara adat yang (dusun) akan berangkat ke Panyugu (tempat
berkaitan dengan pertanian, dan kehidupan berdoa). Disana seorang panyangahatn akan
manusia. Upacara adat yang berkaitan dengan meminta kepada Jubata agar patahunan (proses
pertanian yaitu: (1) upacara nabo’ panyugu lingkaran satu tahun padi dari mulai menebas
nagari, (2) upacara nabo’ panyugu tahutn/naik hingga panen) baik.
dango, (3) upacara ngawah, (4) upacara Penggunaan mantra pada suku Dayak
batanam padi (yang terdiri dari: upacara Kanayatn disesuaikan dengan upacara adat
ngalabuhatn, upacara ngamalo lubakng tugal, yang dilaksanakan, misalnya pada upacara yang
dan upacara ngiliratn panyakit padi) (5) dilakukan sesudah panen padi (upacara nabo’
upacara ngaladakng buntikng padi, (6) upacara panyugu nagari), upacara tahun baru padi
ngabati’, dan (7) upacara ngaleko. Dan upacara (upacara nabo’ panyugu tahutn/naik dango),
adat yang berkaitan dengan kehidupan manusia upacara untuk mencari ladang yang cocok
yaitu: (1) upacara adat panganten, (2) upacara untuk bertani (upacara ngawah), upacara saat
ngaladakng buntikng, (3) upacara batalah, (4) akan menanam padi (upacara batanam padi
upacara batenek, (5) upacara babalak/sunat, (6) yang terdiri dari: upacara ngalabuhatn, upacara
upacara adat karusakatn. Semua upacara ngamalo lubakng tugal, dan upacara ngiliratn
merupakan upacara sakral bagi suku Dayak panyakit padi), upacara untuk padi yang akan
Kanayatn, dan isi dari doa atau ucapan syukur segera berbuah (upacara ngaladakng buntikng
pada mantra yang diucapkan Panyangahatn padi), upacara pada saat menjelang panen padi
merupakan doa yang bersifat positif. (upacara ngabati’), dan upacara saat panen padi
Mantra yang diucapkan oleh Panyangahatn (upacara ngaleko). Ketujuh upacara adat
pada suku Dayak Kanayatn disesuaikan dengan pertanian tersebut memiliki mantra yang sesuai
waktu, jenis mantra dan pada upacara adatnya. dengan upacara yang dilaksanakan. Mantra
Kepercayaan masyarakat Dusun Pakbuis bahwa berupa puisi lisan yang berpotensi memiliki
terkabulnya mantra yang diucapkan kekuatan gaib atau doa yang memanfaatkan
Panyangahatn tergantung konteks waktu dan bahasa lokal (Dayak Kanayatn) dengan didasari
tempatnya. Mantra pada setiap suku ataupun oleh keyakinan yang telah diwariskan oleh para
budaya berbeda dan memiliki kekhasan leluhur. Agar mantra-mantra tersebut
terutama dari bahasa, ritual, serta orang yang bermanfaat, mantra tidak cukup untuk sekedar
mengucapkannya, karena jika mantra diucapkan dihafalkan, tetapi harus disertai laku mistik
oleh seorang yang bukan ahli atau bukan (Saputra, 2007:xxv).
Panyangahatn maka mantra tersebut tidak Mantra merupakan salah satu tradisi yang
berarti apa-apa. Begitu juga apabila tidak sesuai berkembang secara lisan dan tergolong ke

3
URSULA DWI OKTAVIANI

dalam salah satu bentuk tradisi lisan. Mantra Kanayatn yang dimiliki bersama-sama dan
merupakan jenis sastra lisan yang berbentuk harus dipelihara. Mantra tersebut merupakan
puisi dan bagian dari genre sastra lisan budaya bersama yang seharusnya diwariskan
kelompok folklor. Folklor adalah sebagian secara turun-temurun.
kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan Peneliti para ahli, salah satunya Danandjaja
diwariskan secara turun-temurun, di antara (2002:153-154) menerangkan tentang bantahan
macam kolektif macam apa saja, secara orang awam berpendidikan Barat yang
tradisional dalam versi yang berbeda, baik menyebutkan perilaku yang ditimbulkan
dalam bentuk lisan maupun contoh yang mantra, salah satunya, adalah takhayul belaka
diseratai dengan gerak isyarat atau alat dan merupakan perbuatan bodoh. Danandjaja
pembantu pengingat, menemonic device membantah penilaian orang tersebut dengan
(Danandjaja, 2002: 46). menyertakan fakta bahwa tidak ada orang (yang
Kusni (dalam Djuweng 2008:170) bagaimanapun modernya) dapat bebas dari
berpendapat bahwa tradisi lisan bisa dipandang takhayul, baik dalam hal kepercayaan maupun
sebagai rangkaian berkesinambungan dari dalam hal kelakuannya. Suara katak terdengar
dokumen sejarah yang kemudian dapat dipercayai masyarakat Amerika Serikat sebagai
dijadikan sebagai bukti sejarah, sejarah tanda akan turun hujan, begitu juga dengan
keberlangsungan hidup dan kehidupan sebuah kepercayaan orang Sunda, jika kita
suku bangsa. Mantra merupakan tradisi lisan memandikan kucing, maka akan segera turun
sebagai data kebudayaan yang diwariskan hujan.
secara turun-temurun. Hal itu terbukti pada Mantra sebagai bentuk sastra lisan
masyarakat di Dusun Pakbuis yang masih merupakan hasil atau sumber kebudayaan
menggunakan mantra dalam kehidupan sehari- daerah yang sarat dengan nilai-nilai luhur moral
hari, misalnya dalam hal pertanian dan dan merupakan cerminan hidup kebudayaan
kehidupan manusia. dan warisan bagi generasi berikutnya. Mantra
Hal yang esensial dalam sebuah tradisi harus dilestarikan seiring dengan peradaban
lisan adalah unsur kelisanannya dan prosesnya, manusia yang selalu berkembang dan berubah.
Sukatman (2009:4) mengemukakan bahwa Oleh karena perkembangan tradisi lisan
tanpa kelisanan suatu budaya tidak bisa disebut khususnya mantra mulai terdesak,
tradisi lisan. Oleh karena itu, secara utuh tradisi dikhawatirkan sastra lisan (mantra) mulai
lisan mempunyai dimensi (1) kelisanan; (2) ditinggalkan masyarakat pemiliknya secara
kebahasaan; (3) kesastraan, dan (4) nilai perlahan-lahan. Pernyataan-pernyataan tersebut
budaya. Ciri sebuah tradisi lisan adalah juga diperkuat oleh Saputra (2007:5) yang
kelisanannya dalam hal ini proses pewarisannya menyatakan bahwa eksistensi tradisi lisan
dengan menggunakan bahasa atau komunikasi dalam masyarakat tertentu senantiasa
secara lisan. menimbulkan pandangan yang pro dan kontra,
Endaswara (2008: 150) mengatakan bahwa yakni pandangan yang ingin melestarikan
sastra lisan adalah karya yang penyebarannya (bersifat positif dan pandangan yang ingin
disampaikan dari mulut ke mulut secara turun- meninggalkannya (bersifat negatif)
temurun. Sastra lisan disebut juga dengan Mantra mempunyai kekuatan gaib karena si
tradisi lisan yaitu hasil budaya kolektif pengguna atau Panyangahatn mempunyai bekal
masyarakat tradisional, artinya hasil budaya serta kepercayaan yang kuat terhadap mantra
tersebut tidak hanya dihasilkan oleh yang diucapkannya, Panyangahatn juga patuh
perseorangan melainkan secara bersama-sama menaatti seluruh persyaratan yang harus
(kolektif). Berdasarkan paparan tersebut, dipenuhi. Dengan bekal keyakinan, segenap
sebuah sastra lisan tidak dimiliki oleh satu rasa dicurahkan demi tercapainya segala tujuan.
orang saja, melainkan dimiliki oleh semua Dengan demikian, secara psikologis pada tahap
orang khususnya masyarakat penggunanya, awal sekalipun si pengguna atau Panyangahatn
mantra yang diucapkan oleh Panyangahatn telah berada dalam posisi siap mental yang
adalah sebuah sastra lisan pada suku Dayak tinggi membentuk kesiapan yang tinggi pula

4
dengan harapan mantra yang disampaikan etnopuitika menguasai bahasa dan sastra, serta
terkabul. penguasaan vokal. Pringgawidagda (dalam
Mantra sebagai kategori puisi lisan Suwarna, 2011) menyebutnya olah basa lan
memiliki maksud dan manfaatnya dengan sastra dan olah swara (olah bahasa dan sastra
bahasa sebagai mediumnya. Sudikan (2007:52) dan olah suara). Sebagai ragam panggung,
menyatakan bahwa penampilan puisi lisan persyaratan tersebut telah memenuhi
secara umum meliputi ritual penyembuhan, persyaratan minimal dan utama seorang
menyelesaikan perselisihan (baik meningkatkan Panyangahatn pada kajian etnopuitika ini.
maupun menyelesaikan), pemberlakuan sanksi Selain ragam panggung atau ragam pentas yang
atau hukuman bagi pelanggar atau orang luar, didukung oleh bahasa dan sastra, juga
pengkomunikasian sebuah bentuk kebenaran memperhatikan penampilan Panyangahatn tata
yang agak miring, memberikan artikulasi atas busana dan tata krama.
pendapat seseorang, mengemukakan keindahan Penguasaan budaya lokal juga sangat
dunia, menambahkan kehikmatan dalam penting dalam kajian etnopuitika, karena
upacara-upacara seremonial, memberikan etnopuitika adalah bahasa puitis yang
kenyamanan, dan beberapa alat tindakan sosial dipentaskan dengan diwarnai budaya lokal.
bagi orang atau yang kehilangan atau putus asa Pada penguasaan budaya lokal ini sangat perlu
atau yang sedang mengalami tekanan batin. karena seorang Panyangahatn harus menguasai
Mantra upacara Ngabati’ pada upacara budaya lokal yang dimilikinya dan harus paham
pertanian suku Dayak Kanayatn akan dikaji dan mengerti serta pandai adat terutama adat
dengan kajian etnopuitika, dimana etnopuitika suku Dayak Kanayatn, karena jika dengan
itu sendiri adalah tinjauan keilmuan folklor mengerti dan memahami adat suku Dayak
yang berasal dari kata etno dan puitika. Etno Kanayatn maka Panyangahatn akan mudah
berarti kebangsaan (suku tertentu) dan puitika mendeskripsikan dan menjelaskan secara tuntas
berarti keindahan. Etnopuitika berarti tinjauan upacara ngabati’. Selanjutnya penguasaan
folklor dari sisi keindahan dikaitkan dengan materi upacara, pada penguasaan materi
bangsa pemiliknya. upacara ini menunjukan keprofesionalan
Secara lebih luas, Koster (dalam seorang Panyangahatn, penguasaan materi
Endraswara, 2009: 79) mencoba memaparkan upacara ini mempengaruhi diksi, ragam, dan
konsep kajian puitika, khusus pada sastra lisan. gaya susastra.
Konsep kajian ini dapat sebenarnya digunakan Penguasaan nyanyian atau tembang sangat
pada penelitian folklor sebab sastra lisan juga berpengaruh pada kajian etnopuitika.
merupakan bagian dari folklor. Oleh sebab itu, Panyangahatn yang baik dapat memposisikan
pemahaman dari aspek puitika terhadap sastra olah vokal. pada mantra upacara ngabati’ ini
lisan juga sekaligus pemahaman folklor. Hanya Nyangahatn tidak perlu menggunakan musik,
saja, dalam studi sastra lisan memang aspek jadi Panyangahatn hanya perlu mengatur atau
folk, relatif kecil. meskipun demikian, memposisikan olah vokal saja. Sedangkan pada
sebenarnya peneliti akan amat tergantung makna mantra upacara ngabati’ peneliti lebih
bagaimana pemfokusan aspek yang akan melihat pada hakikat, simbolik, dan filosofis
didalami saja. mantra upacara ngabati’. Husserl (1962)
Kajian etnopuitka dalam hal ini akan mengungkapkan bahwa setiap objek memiliki
mengkaji ragam pentas atau panggung, hakikat, dan hakikat tersebut berkomunikasi
penguasaan budaya lokal, penguasaan materi, dengan manusia, jika manusia membuka diri
penguasaan nyanyian dan makna. Pada upacara kepada gejala-gejala yang diterimanya (dalam
ngabati’, Panyangahatn merupakan penampil Setyani, 2013). Pendapat Husserl ini dianggap
tunggal ragam panggung atau ragam pentas. tepat untuk mengkaji mantra yang telah di
Agar dapat menjadi etnopuitika tunggal (single transkrip, karena mantra adalah objek yang
etnopuitica) yang baik, Panyangahatn harus mengungkap sebuah realitas kehidupan dalam
menguasai persyaratan utama dalam hal ajaran ilmu pengetahuan. Simbol adalah tanda
etnopuitika. Persyaratannya yaitu pelaku yang paling canggih karena sudah berdasarkan

5
URSULA DWI OKTAVIANI

persetujuan dalam masyarakat (konvensi) dilestarikan akan punah seiring berjalannya


(Pusat Bahasa, 2008:6). Penelitian ini lebih waktu dan jaman. Dengan penelitian ini akan
pada persetujuan masyarakat pengguna yaitu mampu membuka cakrawala pengetahuan bagi
bahasa yang digunakan oleh masyarakat masarakat untuk mengenal dan mengetahui
setempat. Selanjutnya adalah makna filosofis salah satu harta berharga negeri ini, sebuah aset
pada mantra, disini makna yang dimaksud kebudayaan yang harus diwari dan diwariskan
adalah makna kata yang berhubungan dengan secara turun temurun oleh masyarakat
simbol yang diucapkan pada mantra. pendukung.dah hasil dari penelitian ini dapat
Penelitian sastra lisan khususnya mantra menyajikan dan mengeksplorasi ritual-ritual
perlu dilakukan, penelitian berfungsi sebagai pembacaan mantra suku Dayak Kanayatn di
bentuk pemertahanan budaya. Perkembangan Dusun Pakbuis Desa Banying Kabupaten
jaman dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Landak Kalimantan Barat.
Teknologi) memungkinkan akan membuat
sastra lisan khususnya mantra akan ditinggalkan METODE
oleh masyarakatnya. Tidak menutup Metode yang digunakan dalam penelitian
kemungkinan masyarakat menganggap mantra ini adalah metode deskriptif kualitatif dan
sebagai hal yang tidak penting. Dengan alasan metode etnografi (Spradley dalam Elizabeth
tersebut peneliti ingin mendokumentasikan 1997). Penelitian ini berusaha mendeskripsikan
sekaligus memperkenalkan mantra upacara dan menjelaskan ragam panggung atau ragam
ngabati’ pada upacara pertanian sebagai salah pentas, penguasaan budaya lokal, penguasaan
satu sastra lisan suku Dayak Kanayatn. Kajian materi, penguasaan nyanyian atau tembang, dan
mantra tersebut melalui kajian etnopuitika yang makna, berdasarkan konteks sosial budaya.
berdasar pada ragam panggung atau ragam Makna mantra itu juga dikaitkan dengan budaya
pentas, penguasaan budaya lokal, penguasaan yang ada pada daerah yang menjadi lokasi
materi, penguasaan nyanyian atau tembang, dan penelitian..
makna mantra upacara ngabati’. Bagi suku
Dayak Kanayatn mantra adalah sebuah doa HASIL DAN PEMBAHASAN
yang sangat sakral kepada Jubata (Tuhan), 1. Ragam Panggung atau Ragam Pentas
karena mantra merupakan ucapan syukur dan Mantra Upacara Ngabati’
terima kasih masyarakat pengguna di Dusun Mantra Upacara Ngabati’ pada upacara
Pakbuis yang diwakilkan oleh Panyangahatn. pertanian suku Dayak Kanayatn merupakan
Setiap siklus kehidupan dan siklus pertanian mantra yang diucapkan oleh Panyangahatn.
memiliki mantra, misalnya pada kehidupan Panyangahatn adalah penampil tunggal
manusia yaitu dari sebelum lahir dan sampai (etnopuitika tunggal) ragam panggung atau
akhir hayat, begitu juga dalam hal pertanian ragam pentas. Pada suku Dayak Kanayatn,
dari mempersiapkan sebuah lahan untuk khususnya di Dusun Pakbuis terdapat beberapa
pertanian sampai dengan panen padi, semuanya orang Panyangahatn, tetapi keluarga Pak Ratius
menggunakan mantra yang sesuai dengan (yang melaksanakan Upacara Ngabati) selalu
upacara yang diadakan. mengundang Pak Acap untuk jadi imam
Rusyana (2006:5) bahwa tradisi yang tidak Panyangahatn di Uma (Sawah/Ladang) yang
dapat mengalami keadaan atau perkembangan, Pak Ratius olah, karena keluarga Pak Ratius
maka akan mengakibatkan (1) tidak dapat sudah mempercayai Pak Acap sebagai imam
mengikuti perjalanan kehidupan yang menjadi Panyangahatn pada setiap upacara adat yang
konteksnya, lalu terdiam, membeku, dan tersisa mereka adakan. Pak Acap adalah seorang yang
sebagai kepingan masa lalu, (2) kehadirannya memahami seluk beluk adat. Karena
dalam kehidupan masyarakat semakin jarang pengalaman Nyangahatn yang cukup lama yaitu
dan sampai pada akhirnya hilang. Pernyataan dari tahun 1979-sekarang, maka Pak Acap
tersebut akan berusaha membuka mata Nyangahatn bukan cuma di Dusun Pakbuis
masyarakat bahwa sebuah tradisi yang saja, tetapi di dusun-dusun tetangga yang
merupakan wujud dari kebudayaan jika tidak memerlukan.

6
Ragam panggung atau ragam pentas sangat Kita’ Urakng Tuha
memperhatikan beberapa syarat yaitu: NMta, NMsk
penguasaan bahasa, sastra, serta penguasaan Semua bagian mantra memiliki kutipan
vokal, serta didukung oleh cara berbusana dan tersebut, termasuk dalam Nyangahatn Manta’
tata krama pelaku etnopuitika tunggal. Sebagai dan Nyangahatn Masak. Kutipan mantra di atas
pelaku etnopuitika tunggal, Panyangahatn juga merupakan kalimat yang mempunyai satu
harus menguasai syarat-syarat tersebut. Pada makna, yaitu “Ya Tuhan”, dengan menyebutkan
mantra upacara Ngabati’ ini menggunakan salah satu dari kalimat tersebut sebenarnya
bahasa Dayak Kanayatn khususnya Bahasa sudah bisa mewakili kutipan tersebut, misalnya
“Ahe”, penguasaan bahasa yang dimiliki oleh “Ja kita’ Pama”, “Ja kita’ Jubata”, atau “Ja
Panyangahatn sangatlah tepat dan sesuai, kita’ Úrakng Tuha” saja. Kata Pama berarti doa
karena bahasa yang digunakan oleh atau permohonan, kata Jubata berarti Tuhan,
Panyangahatn adalah asli bahasa Kanayatn, dan kata Urakng Tuha berarti orang yang
yaitu dari bahasa dalapm (bahasa lama dan dihormati, dengan untaian kalimat tersebut
jarang digunakan) dan bahasa mpeatn (bahasa berarti berdoa dan memohon kepada Tuhan
yang sudah bercampur dengan bahasa yang dihormati, dan lebih singkatnya jika
Indonesia). Bahasa yang diucapkan oleh kalimat-kalimat tersebut disatukan akan
Panyangahatn berisi doa’ dan permohonan menjadi satu arti “Ya Tuhan”. Pengucapan
kepada Jubata (Tuhan), dengan penguasaan kalimat di atas rima berpola a-a-a, dan hampir
bahasa tersebut, maka memudahkan semua rima pada mantra ini berpola rima patah.
Panyangahatn untuk mengucapkan mantra Selain menguasai bahasa dan sastra,
upacara Ngabati’. Penguasaan bahasa oleh Panyangahatn juga harus menguasai vokal atau
Panyangahatn adalah untuk memperlancar olah suara terutama pada olah pernapasan.
proses upacara Ngabati’, karena tidak semua Mantra upacara Ngabati’ merupakan mantra
masyarakat di Dusun Pakbuis menguasai yang berdurasi panjang, yang terdiri dari dua
bahasa dalapm, dan tidak semua masyarakat bagian yaitu mantra Nyangahatn manta’
paham pada bahasa dalapm. berdurasi 16 menit 24 detik, dan mantra
Berikut adalah beberapa bahasa dalapm Nyangahatn masak 13 menit 41 detik. Untuk
yang jarang dipergunakan oleh masyarakat di mengatur pernapasan pada durasi yang panjang
Dusun Pakbuis tersebut Panyangahatn menghentikan
Patone, Pajarupm , Perantara kepada pengucapan mantra dalam waktu 1-2 detik,
Pasa’, Rinyuakng Jubata pada tempo pengucapan 10-15 detik, dengan
NMtaBP (1) cara demikian maka mantra yang diucapkan
Syarat terpenting selanjutnya yang harus teratur dan tidak terhambat. Mantra upacara
dikuasai Panyangahatn untuk memenuhi syarat Ngabati’ merupakan mantra bernada datar hal
penguasaan pentas pada mantra upacara tersebutlah yang mewajibkan Panyangahatn
Ngabati’ adalah sastra. Penguasaan sastra pada mengatur vokal atau olah suaranya
mantra upacara Ngabati’ merupakan cara Syarat selanjutnya yang harus
Panyangahatn mengolah bahasa yang telah Panyangahatn miliki yaitu adalah cara
dikuasai dan diperindah dengan kalimat sastra. berbusana dan tata krama. Cara berbusana pada
Kalimat-kalimat tersebut merupakan kalimat pertunjukan sangat diperhatikan yaitu
yang telah dipilih dan dipikirkan oleh Panyangahatn menggunakan pakaian Bajalatn
Panyangahatn agar mantra yang diucapkan (pakaian yang digunakan untuk ke hutan,
terdengar indah dan tidak membosankan, pakaian bekas/pakaian yang sudah jelek),
kalimat yang diucapkan bukan kalimat pakaian ini terdiri dari baju panyakng (baju
sembarangan atau asal-asalan, tetapi kalimat lengan panjang) dan silawar panyakng (celana
yang bermanfaat dan sakral. Berikut adalah panjang), songko’/tarinak (topi/capin jika
kutipan kalimat sastra yang digunakan oleh diperlukan). Kegunaan dari ketiga jenis busana
Panyangahatn: tersebut adalah untuk melindungi diri terik
Ja kita’ Pama (Ya Tuhan) matahari, gigitan binatang kecil yang beracun,
Ja kita’ Jubata dan rumput liar yang bisa melukai anggota

7
URSULA DWI OKTAVIANI

tubuh. Panyangahatn tidak memerlukan orang, dan tumbuhan apapun yang ada di hutan
pakaian khusus untuk melakukan upacara tersebut tidak boleh diganggu atau diambil
Ngabati’, cukup pakaian biasa saja, seperti yang tanpa seijin pengampunya), di Elle’ juga masih
digunakan Pak Acap, pakaian yang digunakan banyak terdapat pohon-pohon besar, sungai
adalah pakaian Bajalatn karena upacaranya kecil, dan berbagai jenis tanaman serta hewan.
dilakukan di Uma (sawah/ladang) yang Jarak tempuh dari rumah ke Elle’ memerlukan
tanahnya adalah lolok (lumpur). Selain waktu sekitar ± 1 jam jika berjalan kaki, dan ±
Panyangahatn, keluarga yang mengadakan 10 menit jika menggunakan kendaraan
upacara Ngabati’ juga menggunakan pakaian bermotor. Ketika akan membacakan mantra,
Bajalatn. Berikut busana atau pakaian yang Panyangahatn dan anggota yang ikut di upacara
dikenakan Panyangahatn, dan keluarga yang tersebut harus berada di tengah Uma dengan
mengadakan upacara Ngabati’ ketika di peralatan Nyangahatn yang telah dibawa dari
sawah/ladang. rumah. Di atas tanah yang berlumpur dan di
Setelah memperhatikan cara berbusana antara padi-padi yang telah menguning dan siap
Panyangahatn, yang paling penting juga adalah untuk dipanen, di situlah Panyangahatn
tata krama Panyangahatn. Tata krama membacakan mantranya.
Panyangahatn di sini dimaksudkan adalah adat Uma pada masyarakat Dayak Kanayatn di
sopan santun Panyangahatn dalam berbusana Dusun Pakbuis memerlukan sebuah Dango
ketika Nyangahatn dan sopan santun dalam (pondok), dango sangat berperan penting ketika
berkomunikasi kepada Jubata (Tuhan) ketika di sawah/ladang, yaitu untuk berteduh ketika
mengucapkan mantra yang berbentuk doa dan hujan, panas dan untuk beristirahat. Pada saat
permohonan. beristirahat tersebut petani menggunakan waktu
Ja kita’ Pama (Ya Tuhan) sebaik mungkin untuk makan dan minum.
Ja kita’ Jubata Jauhnya jarak kampung dengan lokasi pertanian
Kita’ Urakng Tuha
NMta, NMsk
ini yang membuat petani membuat dango yang
Kutipan tersebut adalah kutipan yang layak untuk dijadikan tempat
mewakili bahwa tata krama Panyangahatn menginap/bermalam satu atau dua malam
ketika berkomunikasi kepada Tuhan sangat bahkan lebih untuk menjaga sawah/ladang
sopan dan santun, karena hampir setiap bagian mereka.
mantra upacara Ngabati’ Panyangahatn 2. Penguasaan Budaya Lokal Mantra
mengucapkan kata “Ja kita’ Pama”, “Ja kita’ Upacara Ngabati’
Jubata”, dan “Kita’ Urakng Tuha” yang Penguasaan budaya lokal mantra upacara
artinya sama yaitu “Ya Tuhan”. Dengan sering Ngabati’ pada penelitian ini yaitu penguasaan
menyebut nama Tuhan dalam Nyangahatn budaya lokal seorang Panyangahatn terhadap
seorang Panyangahatn tahu cara mantra upacara Ngabati’ yang diucapkan, baik
berkomunikasi dengan apa yang diyakininya. berupa bahasa mantra dan perlengkapan
Dan terbukti bahwa pada mantra Ngabati’ ini upacara. Seorang Panyangahatn harus bisa
tidak sedikitpun terdapat kata-kata yang tidak menguasai dan memahami adat istiadat Dayak
pantas diucapkan. Kanayatn yang paling utama dalam hal ini
Upacara Ngabati’ ini adalah sastra pentas adalah bahasa, karena bahasa akan
khususnya etnopuitika tunggal, jadi pada memperlancar sebuah komunikasi jika kita
upacara Ngabati’ ini juga memperhatikan berada di sebuah lingkungan sosial/masyarakat.
beberapa lokasi/letak diadakannya upacara Bahasa yang digunakan Panyangahatn untuk
Ngabati’ diantaranya adalah nama daerah, jarak mengucapkan mantra upacara Ngabati’ adalah
tempuh, dan peralatan Nyangahatn. Nama bahasa Dayak Kanayatn khususnya “Ahe”.
daerah atau Uma (sawah/ladang) Pak Ratius Selain bahasa yang dianggap penting dalam
dan Ibu Ranis adalah Elle’, di Elle’ masih penguasaan budaya lokal, yang paling penting
terdapat kompokng (hutan rimba/hutan juga adalah mengetahui perlengkapan pada
belantara), kompokng tersebut adalah kompokng upacara Ngabati’. Seorang Panyangahatn yang
parene’an (hutan yang dimiliki oleh beberapa baik harus mengetahui atau menguasai

8
perlengkapan (alat peraga) yang digunakan 5) Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur yang
pada setiap upacara adat, dengan mengetahui Kaya (NmtaLK),
dan menguasai perlengkapan upacara adat, akan 6) Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur yang
mempermudah dan memperlancar upacara yang Mengerjakan Sawah/Ladang
dilaksanakan. Perlengkapan Nyangahatn (NMtaLMS/L),
disusun oleh Panyangahatn, dan petani yang 7) Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur di
mengadakan upacara (Pak Ratius/ Bu Ranis) Tempat Keramat (NMtaLTK),
menyediakan perlengkapan yang diperlukan 8) Nyangahatn Manta’ untuk Nabi (NmtaN),
pada Nyangahatn. Perlengkapan yang 9) Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur di Desa
diperlukan pada Nyangahatn adalah sebagai Lama (NMtaLDL),
berikut: manok laki man bini (ayam jantan dan 10) Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur di
betina), poe’/lamang, tumpi’, bontokng man Air Terjun (NMtaLAT),
bohol, katep/mata, darah manok, pabayo, 11) Nyangahatn Manta’ untuk Petani yang
pingatn, mangkok, man cangker, baras tampas, Mengadakan Upacara supaya Makmur
nsaut man baliukng, dan timako, rokok, pinang, (NMtaPMUM),
karake, kapur, gamer (untuk sapa/basa/basi). 12) Nyangahatn Manta’ untuk Petani yang
3. Penguasaan Materi Mantra Upacara Mengadakan Upacara supaya Dilindungi
Ngabati’ (NMtaPMUD),
Pada penguasaan materi mantra upacara 13) Nyangahatn Manta’ untuk Bujakng
Ngabati’, Panyangahatn harus menguasai Pabaras (2) (NMtaBP (2)),
materi upacara Ngabati’ ketika membacakan 14) Nyangahatn Manta’ untuk Ratius
atau mengucapakan mantra. Membaca mantra (Petani yang mengadakan upacara
bukanlah semudah ketika mendengarkannya, Ngabati’) (NMtaR),
terutama mantra-mantra pertanian Dayak 15) Nyangahatn Manta’ untuk Upacara
Kanayatn khususnya mantra upacara Ngabati’, (NMtaU),
karena upacara tersebut memiliki banyak 16) Nyangahatn Manta’ untuk Tempat Suci
bagian yang harus diingat dan diucapkan oleh (NMtaTC),
Panyangahatn. Jadi, Panyangahatn harus 17) Nyangahatn Manta’ untuk Sumpah
menguasai materi mantra ketika akan Serapah (1) (NMtaSS (1)) ,
Nyangahatn, dengan menguasai materi mantra 18) Nyangahatn Manta’ untuk Memberi
akan memperlancar upacara pertanian dan Tanda pada Mata (berupa uang logam)
mempermudah Panyangahatn membacakan (NMtaMTM),
setiap bagian mantra upacara Ngabati’. Materi 19) Nyangahatn Manta’ untuk Memberi
mantra upacara Ngabati’ yang harus Tanda pada Okta (NMtaMTO),
Panyangahatn kuasai yaitu terdiri dari dua sesi, 20) Nyangahatn Manta’ untuk Memberi
sesi pertama Nyangahatn Manta’, dan sesi Tanda pada Tanah (NMtaMTT),
kedua Nyangahatn Masak. Nyangahatn Manta’ 21) Nyangahatn Manta’ untuk Memberi
adalah proses pembacaan mantra upacara Tanda pada Keluarga (NMtaMTK),
Ngabati’ saat ayam belum disembelih, 22) Nyangahatn Manta’ untuk Memberi
Nyangahatn Manta’ dibagi menjadi 30 bagian Tanda pada Padi (NMtaMTPdi),
yaitu: 23) Nyangahatn Manta’ untuk Memberi
1) Nyangahatn Manta’ untuk Bujakng Tanda pada Panyangahatn (NMtaMTPan),
Pabaras(1) (NMtaBP (1)), 24) Nyangahatn Manta’ untuk Rajeki
2) Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur di (NMtaR),
Pohon Keramat (NMtaLPK), 25) Nyangahatn Manta’ untuk Sumpah
3) Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur di Serapah (2) (NMtaSS (2)),
Tempat Suci (NMtaLTS), 26) Nyangahatn Manta’ untuk
4) Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur di Bukit Membersihkan Mata (berupa uang logam)
(NmtaLB), (NMtaMM),

9
URSULA DWI OKTAVIANI

27) Nyangahatn Manta’ untuk 17. Nyangahatn Masak untuk Memberi


Membersihkan Okta (NMtaMO), Tanda pada Padi (NMskMTP),
28) Nyangahatn Manta’ untuk 18. Nyangahatn Masak untuk Memberi
Membersihkan Tanah (NMtaMT), Tanda pada Keturunan (NMskMTKet),
29) Nyangahatn Manta’ untuk 19. Nyangahatn Masak untuk Memberi
Membersihkan Keluarga (NMtaMK), dan Tanda pada Keluarga (NMskMTKel),
30) Nyangahatn Manta’ untuk 20. Nyangahatn Masak untuk Memberi
Membersihkan Panyangahatn (NMtaMP). Leluhur dan Sanak Saudara yang Sudah
Meninggal (NMskMLSSSM),
Nyangahatn Masak adalah proses 21. Nyangahatn Masak untuk Rejeki
pembacaan mantra upacara Ngabati’ saat ayam (NMskR),
sudah disembelih dan direbus, Nyangahatn 22. Nyangahatn Masak untuk Sumpah
Masak dibagi menjadi 26 bagian yaitu: Serapah (2) (NMskSS (2)),
1. Nyangahatn Masak untuk Memberitahukan 23. Nyangahatn Masak untuk Memberi
akan Melaksanakan Nyangahatn Masak (1) Makan Tanah yang Tidak Subur
(NMskMMNMsk (1)), (NMskMMTTS),
2. Nyangahatn Masak untuk Leluhur yang 24. Nyangahatn Masak untuk Memberi
Kaya (NMskLK), Makan Hantu (NMskMMH),
3. Nyangahatn Masak untuk Upacara Ratius 25. Nyangahatn Masak untuk Roh yang
(petani yang mengadakan upacara Tersesat (NMskRT), dan
Ngabati’) (NMskUR), 26. Nyangahatn Masak untuk Pamit bahwa
4. Nyangahatn Masak untuk Leluhur yang Upacara Selesai (NMskPUS).
Mengerjakan Sawah/Ladang
(NMskLMS/L), 4. Penguasaan Nyanyian atau Tembang
5. Nyangahatn Masak untuk Panyugu (tempat Mantra Upacara Ngabati’
berdoa) (NMskP), Penguasaan nyanyian atau tembang pada
6. Nyangahatn Masak untuk Nabi (NMskN), penelitian etnopuitika ini sangat berpengaruh,
7. Nyangahatn Masak untuk Leluhur Desa karena nyanyian atau tembang yang bagus akan
Lama (NMskLDL), mempengaruhi keampuhan mantra yang
8. Nyangahatn Masak Muara Sungai diucapkan oleh Panyangahatn. Dalam
(NMskMS), penguasaan nyanyian atau tembang mantra
9. Nyangahatn Masak untuk Memberitahukan upacara Ngabati’, Panyangahatn harus
akan Melaksanakan Nyangahatn Masak (2) menguasai beberapa hal yaitu: menguasai
(NMskMMNMsk (2)), beberapa hal yaitu: lafal, intonasi, dan
10. Nyangahatn Masak untuk Petani yang transkripsi ala Tedlock
Mengadakan Upacara supaya Makmur 1) Lafal
(NMskPMUM), Lafal adalah cara seseorang atau
11. Nyangahatn Masak untuk Memberi sekelompok orang dalam masyarakat
Tanda dengan Darah Anyi/Manta’ mengucapkan bunyi bahasa. Bunyi bahasa yang
(NMskMTDA/M), kita kenal dalam bahasa Indonesia meliputi
12. Nyangahatn Masak untuk Sumpah vokal, konsonan, diftong, dan gabungan
Serapah (1) (NMskSS (1)), konsonan sebagai berikut.
13. Nyangahatn Masak untuk Memberi a. Vokal dilambangkan dengan huruf: a, e,
Tanda pada Mata (NMskMTM), i, o, u
14. Nyangahatn Masak untuk Memberi b. Konsonan dilambangkan dengan huruf:
Tanda pada Pabayo (NMskMTP), b, c, d, f, g, h, ,j, k, m, n, p, q, r, s, t, u, v,
15. Nyangahatn Masak untuk Memberi w, x, y, z
Tanda pada Okta (NMskMTO), c. Diftong dilambangkan dengan huruf: oi,
16. Nyangahatn Masak untuk Memberi ai, au
Tanda pada Tanah (NMskMTT), d. Gabungan konsonan dilambangkan: kh,
ng, ny, sy

10
Seorang Panyangahatn harus menguasai lafal riapm air terjun
atau pengucapan bunyi bahasa, yang terdiri dari
vokal, konsonan, diftong, dan gabungan 2) Intonasi
konsonan. Pada mantra upacara Ngabati´ ini Intonasi adalah lagu kalimat. Intonasi juga
semua lambang vokal digunakan oleh merupakan paduan antara tekanan dan jeda
Panyangahatn, misalnya pada kalimat “Patone, yang menyertai suatu tutur dari awal hingga
Pajarupm , Pasa’, rinyuakng agi’”, lambang penghentian terakhir. Intonasi adalah tinggi
vokal tersebut sering digunakan dan masyarakat rendahnya nada dalam pelafalan
Dayak Kanayatn mengenal dan menggunakan kalimat.Intonasi adalah tinggi rendahnya nada
semua lambang vokal tersebut. dalam pelafalan kalimat.Intonasi dipengaruhi
Suku Dayak Kanayatn juga mengenal oleh tinggi rendahnya nada dan keras
lambang konsonan, hanya beberapa huruf yang lembutnya tekanan pada kalimat.
jarang digunakan oleh suku Dayak Kanayatn di Tinggi rendahnya intonasi pada pengucapan
dusun Pakbuis yaitu konsonan z, f, dan v, ketiga mantra upacara Ngabati’ tergantung dari
konsonan tersebut jarang digunakan, hal ini kekhusyukan Panyangahatn mengucapkan
terbukti pada mantra upacara Ngabati’, tidak mantra tersebut. Semakin tinggi intonasi
ada satu huruf pun dari ketiga huruf tersebut pengucapan mantra upacara Ngabati’, maka
diucapkan oleh Panyangahatn. dalam akan semakin khusyuk juga isi dari doa dan
percakapan sehari-hari biasanya masyarakat permohonan Panyangahatn tersebut. Jika
mengganti huruf f dan v menjadi p karena agak intonasi Panyangahatn rendah atau datar bukan
sulit bagi masyarakat untuk mengucapkan berarti Panyangahatn tidak khusyuk, tetapi
kedua huruf tersebut. Panyangahatn masih menyapa atau baru
Pada mantra upacara Ngabati’ ini tidak memulai pengucapan mantra. Tinggi rendahnya
terdapat lambang diftong, karena meskipun dua intonasi juga bisa kita lihat pada gambar audio
vokal berurutan atau bertemu, tapi frekuensi suara berikut:
penyebutannya tidak berubah atau tetap seperti a. Gambar Audio Nyangahatn Manta’
penulisannya. Yang terakhir adalah lambang Upacara Ngabati’
gabungan konsonan, pada mantra upacara
Ngabati’ ada beberapa gabungan konsonan
yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia,
dan dipastikan jika bukan suku Dayak atau
Dayak Kanayatn akan susah untuk
mengucapkan gabungan konsonan tersebut.
Berikut adalah konsonan gabungan yang
terdapat pada mantra upacara Ngabati’.
No Kata Gabungan Arti Kata Gambar: Frekuensi suara Panyangahatn pada
Konsonan Nyangahatn Manta’ upacara Ngabati’.
1 bajalatn t dan n berjalan
bagunakatn membangunkan Dari gambar tersebut akan dijelaskan
makatn makan bahwa pada durasi 00:00-07:00 menit intonasi
batahutn bertahun pengucapan mantra oleh Panyangahatn masih
2 bujakng k,n,dan g bujang datar dan kalimat-kalimat yang diucapkan pada
batakng batang
daukng daun durasi tersebut juga masih bernada biasa, pada
calikng bersih/berisi durasi 00:00-07:00 menit Panyangahatn baru
ngonyokng mengunjungi akan memulai pengucapan mantra. Pengucapan
nibukng kayu/pohon palma kalimat yang berintonasi datar tersebut terdapat
pampakng cabang pada mantra bagian Nyangahatn Manta’ untuk
rabukng rebung
timawakng desa lama Bujakng Pabaras(1), Nyangahatn Manta’ untuk
urakng orang Leluhur di Pohon Keramat, Nyangahatn Manta’ untuk
3 diapm p dan m tinggal Leluhur di Tempat Suci, Nyangahatn Manta’ untuk
pajarupm meminta Leluhur di Bukit, Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur
yang Kaya, Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur yang

11
URSULA DWI OKTAVIANI

Mengerjakan Sawah/Ladang, Nyangahatn Manta’ untuk Panyangahatn mengucapkan mantra upacara


Leluhur di Tempat Keramat, Nyangahatn Manta’ untuk Ngabati’. Dengan menggunakan transkripsi ala
Nabi, Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur di Desa Lama,
dan Nyangahatn Manta’ untuk Leluhur di Air Terjun. Tedlock akan menunjukan cara pengucapan
Untuk intensitas suara pada frekuensi suara mantra upacara Ngabati’.
intonasi datar tersebut berkisar sekitar ± -15 dB. Untuk mengetahui pengucapan mantra
b. Gambar Audio Nyangahatn Masak upacara Ngabati’ peneliti menggunakan tanda
Upacara Ngabati’ supaya pengucapan mantra upacara Ngabati’
dapat dipahami ketika Panyangahatn
mengucapkan mantra tersebut. Sebagai
Panyangahatn yang sudah sangat dipercaya
oleh masyarakat di Dusun Pakbuis,
Panyangahatn harus bisa mengucapkan dan
melantunkan mantra upacara Ngabati’ atau
upacara adat dengan baik, dengan menguasai
mantra dan menguasai cara pengucapan dan
Gambar: Frekuensi suara Panyangahatn pada melantunkan mantra upacara adat, maka
Nyangahatn Masak upacara Ngabati’. Panyangahatn tersebut akan selalu dipercaya
dan dipanggil untuk melakukan Nyangahatn
Dari gambar tersebut bisa dilihat bahwa oleh masyarakat. Pada Transkripsi ini
intonasi nada pada Nyangahatn Masak tidak menggunakan tanda, dengan menggunakan
sama. Pada durasi 00:00-07:00 menit intonasi tanda maka akan diketahui bagaimana cara
suara masih datar, intonasi yang datar ini karena pengucapan mantra upacara Ngabati’, tanda
Panyangahatn masih baru memulai pembacaan yang digunakan adalah “huruf besar” untuk
mantra. Isi pada durasi 00:00-07:00 menit ini “suara keras/tinggi”, tanda “---“ untuk bunyi
masih salam sapa Panyangahatn, dan intonasi yang “panjang”, tanda “___” untuk bunyi yang
datar tersebut terdapat pada mantra bagian: sangat panjang, tanda “ * ” untuk bunyi yang
Nyangahatn Masak untuk Memberitahukan naik beberapa detik, dan tanda “...” untuk
akan Melaksanakan Nyangahatn Masak (1), berhenti beberapa detik, dengan tanda-tanda
Nyangahatn Masak untuk Leluhur yang Kaya, tersebut akan diketahui cara pengucapan mantra
Nyangahatn Masak untuk Upacara Ratius upacara Ngabati’. Mantra upacara Ngabati’
(petani yang mengadakan upacara Ngabati’), merupakan mantra yang berbunyi datar
Nyangahatn Masak untuk Leluhur yang (nyanyian datar) tetapi bunyi naik dan panjang
Mengerjakan Sawah/Ladang, Nyangahatn juga ada pada mantra tersebut, hal ini akan
Masak untuk Panyugu (tempat berdoa), diketahui pada kutipan-kutipan data berikut:
Nyangahatn Masak untuk Nabi, Nyangahatn 1. NMtaBP Asa’---, Dua---, Talu, Ampat, Lima,
Masak untuk Leluhur Desa Lama, Nyangahatn (1) Anam, Tujuh
Masak untuk Muara Sungai, Nyangahatn Asa’, Dua, Talu, Ampat, Lima, Anam,
Tujuh
Masak untuk Memberitahukan akan Asa’, Dua, Talu, Ampat, Lima, Anam,
Melaksanakan Nyangahatn Masak (2), Tujuh
Nyangahatn Masak untuk Petani yang Bajalatn Bujakng Pabarasa nang tuju...h
Mengadakan Upacara supaya Makmur, biti’*
Nyangahatn Masak untuk Memberi Tanda Bagago’atnna’
Baalappatnna’
dengan Darah Anyi/Manta’, dan Nyangahatn
Ke’ kita’ tidur bagunakatn
Masak untuk Sumpah Serapah (1). Intonasi Ke’ makatn ame kanyang agi’
datar pada frekuensi suara Panyangahatn Ja kita’ Pama
tersebut dapat dilihat pada intensitas suara Kita’ Jubata
Panyangahatn yang berkisar ± -15 dB Kita Nang jajia’*...
PATONE, Pajarupm , Pasa’, rinyuakng
3) Transkripsi Mantra Upacara Ngabati’ agi’
Ala Tedlock Ja kita’ Jubata
Transkripsi mantra upacara Ngabati’ ala Kita’ Urakng Tuha
Tedlock akan memperlihatkan bagaimana

12
Pada mantra bagian pertama tersebut Kalau tidur saling membangunkan
terdapat tiga tanda yaitu “---“ yang terdapat Kalau makan jangan terlalu kenyang
Ya Tuhan
pada kalimat “Asa’---, Dua---, Talu, Ampat,
Lima, Anam, Tujuh” bunyi yang panjang pada Kalian yang ingin menjadi
kalimat tersebut membuka pengucapan mantra Perantara kepada Jubata
oleh Panyangahatn, selanjutnya tanda “...” pada
kata “tuju...h, jajia ...” tanda tersebut Ya Tuhan
merupakan perhentian Panyangahatn untuk
Makna dari mantra Nyangahatn Manta’
beberapa detik, sekaligus Panyangahatn
untuk Bujakng Pabaras adalah Panyangahatn
mengatur napas pada mantra yang diucapkan.
meminta Bujakng Pabaras untuk
Tanda “ * ” pada kata “biti’*, jajia’*” tanda
menyampaikan segala doa dan permohonan
tersebut merupakan tanda bunyi suara yang naik
kepada Jubata, karena diyakini bahwa Bujakng
dalam beberapa detik, naiknya bunyi dalam
Pabaras adalah perantara Jubata dengan
beberapa detik tersebut merupakan penekanan
manusia. Setiap bagian awal Nyangahatn harus
pengucapan mantra, penekanan tersebut dengan
diawali kepada Bujakng Pabaras, karena bagian
tujuan mempertegas bahwa pada kalimat
ini sangatlah penting. Ketika melakukan
tersebut terkandung makna yang penting,
upacara Ngabati’ dan upacara pertanian
seperti pada kalimat sebelumnya yaitu
lainnya, masyarakat di Dusun Pakbuis meyakini
“Bajalatn Bujakng Pabarasa nang tuju...h
dan menganggap bahwa Bujakng Pabaras
biti’*” makna pada kalimat tersebut mengarah
adalah pelindung dan menjaga mereka. Karena
kepada Bujakng Pabaras dan pada kalimat
Bujakng Pabaras dianggap perantara manusia
“Kita Nang jajia’*...” memminta kepada
dengan Jubata maka Panyangahatn
Jubata (Tuhan). Tanda berikutnya yaitu “huruf
mengucapkan kalimat seperti ini “Bajalatn
besar” seperti pada kata “PATONE”, huruf
Bujakng Pabarasa nang tujuh biti” yang berarti
besar pada kata ini merupakan pengucapan pada
berjalanlah Bujakng Pabaras yang tujuh biji
kata tersebut keras/tinggi, dengan mempertinggi
atau Panyangahatn meminta Bujakng Pabaras
bunyi atau suara pada kata tersebut maka
berangkat atau bergegas pergi untuk
Panyangahatn berharap dan memohon supaya
menyampaikan permohonan yang akan
apa yang diucapakan dengan suara nyaring
diucapkan oleh Panyangahatn, mantra bagian
lebih didengar oleh Jubata.
5. Makna Mantra Upacara Ngabati’
ini juga sebuah permohonan izin Panyangahatn
Mantra dalam bahasa daerah: untuk mengawali atau membuka doa dan
Asa’, Dua, Talu, Ampat, Lima, Anam, Tujuh permohonan yang akan diucapkan.
Asa’, Dua, Talu, Ampat, Lima, Anam, Tujuh
Asa’, Dua, Talu, Ampat, Lima, Anam, Tujuh PENUTUP
Bajalatn Bujakng Pabarasa nang tujuh biti’
Bagago’atnna’ 1) Simpulan
Baalappatnna’ Berdasarkan analisis yang telah dilakukan
Ke’ kita’ tidur bagunakatn dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ke’ makatn ame kanyang agi’ Pertama, Ragam panggung atau ragam
Ja kita’ Pama pentas sangat memperhatikan syarat yaitu
Kita’ Jubata
Kita Nang jajia
penguasaan bahasa, sastra, penguasaan vokal
Patone, Pajarupm , Pasa’, rinyuakng agi’ serta didukung oleh cara berbusana dan tata
krama mantra upacara Ngabati’ pada upacara
Ja kita’ Jubata pertanian suku Dayak Kanayatn di Dusun
Kita’ Urakng Tuha Pakbuis Desa Banying Kecamatan Sengah
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Temila Kabupaten Landak.
Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh Kedua, Penguasaan budaya lokal
Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh merupakan penguasaan perlengkapan pada
Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh mantra yang harus Panyangahatn miliki, karena
Berjalanlah Bujakng Pabarasa yang tujuh biji mantra yang diucapkan harus menggunakan
Mencari
Menjenguk
perlengkapan-perlengkapan yang wajib

13
URSULA DWI OKTAVIANI

digunakan pada mantra upacara pertanian suku tradisi lisan yang membutuhkan waktu yang
Dayak Kanayatn di Dusun Pakbuis Desa sangat lama khususnya untuk mentranskripsi
Banying Kecamatan Sengah Temila Kabupaten dari bahasa lisan ke bahasa tulis dan
Landak mentranslitrasi dari bahasa Dayak Kanayatn
Ketiga, Materi mantra upacara Ngabati’ “Ahe” ke dalam bahasa Indonesia, masalah
terbagi menjadi dua sesi yang terdiri dari biaya karena harus merekam pementasan
Nyangahatn Manta’ yang terdiri dari 30 bagian mantra upacara yang jarang dipentaskan, juga
dan Nyangahatn Masak 26 bagian, seorang ketelatenan karena melacak jadwal pementasan,
Panyangahatn harus menguasai semua bagian serta mendatangi pementasan yang kadang
mantra upacara Ngabati’. medannya sulit ditempuh karena tempatnya di
Keempat, Nyanyian atau tembang mantra pegunungan ataupun di tengah hujan. Kepada
upacara Ngabati’ harus dikuasai oleh peneliti tradisi lisan agar berbagai kendala itu
Panyangahatn karena nyanyian atau tembang tidak menjadikan alasan untuk tidak
sangat mempengaruhi pengucapan mantra mengkajinya, sebab didalamnya terkandung
upacara Ngabati’, hal yang paling diperhatikan nilai mulia.
adalah lafal, intonasi, dan transkripsi.
Kelima, Makna pada mantra upacara DAFTAR PUSTAKA
Ngabati’ mengacu pada makna setiap bagian Anasti N, Dini. 2013. Wayang Topeng Jati
mantra upacara Ngabati’ yang terdiri dari dua Duwur Kecamatan Kesamben,
sesi. Kabupaten Jombang (Kajian
Etnopuitika). Tesis. Surabaya:
2) Saran Universitas Negeri Surabaya.
Berdasarkan kajian terhadap mantra Andasputra, Nico dkk. 1997. Mencermati
upacara Ngabati’ perlu disampaikan saran Dayak Kanayatn. Pontianak: Institute of
sebagai berikut: Dayakology Research and
Pertama, dasar-dasar teoretis berdasar pada Development.
Tedlock dan konsep Suwarna dalam kajian ini Aminuddin. 1990. Pengembangan Penelitian
menunjukkan bahwa analisis mengenai ragam Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan
panggung atau pentas, penguasaan budaya Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah
lokal, penguasaan materi upacara, penguasaan Asuh Malang. (YA3 Malang).
nyanyian atau tembang, dan makna sangat Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia:
komplek, sehingga analisis mengenai mantra Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.
upacara Ngabati’ menggunakan perspekstif Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
teori yang kurang mendalam. Oleh sebab itu, Depdiknas. 2008. Semiotika dan Penerapannya
saran bagi peneliti selanjutnya agar lebih serius dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat
terhadap fenomena itu agar diperoleh Bahasa.
pemahaman lebih mendalam. Djuweng, Stepanus. 2003. Tradisi Lisan Dayak
Kedua, telaah mantra upacara Ngabati’, : Yang Tergusur dan Terlupakan.
terbatas pada fokus yang berkaitan dengan Pontianak: Institut Dayakologi.
aspek-aspek kesastraan dalam lingkup kajian Djuweng, Stepanus. 2008. Tradisi Lisan Dayak
sastra lisan sehingga masih memberikan banyak dan Modernisasi: Refleksi Metodologis
kemungkinan fokus-fokus lain untuk dikaji. Penelitian Sosial Positif dan Penelitian
Oleh sebab itu masih banyak yang harus Parsipatoris dalam Pudentia MPPS
dikerjakan oleh pengkaji ilmiah agar dapat (editor). Metodologi Kajian Tradisi
menggali sepenuhnya atas kekayaan bangsa, Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
khususnya, sastra lisan. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode Penelitian
Ketiga, telaah terhadap tradisi lisan Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah
khususnya mantra upacara Ngabati, ternyata Madah University Press.
menunjukkan adanya perbedaan dengan telaah-
telaah yang tidak sejenis. Telaah terhadap

14
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Gadjah Gramedia.
Mada University Press. Kuntjara, Esther. 2006. Penelitian Kebudayaan:
Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Sebuah Panduan Praktis. Yogyakarta:
Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Graha Ilmu.
Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Lincoln, Yvonna S. dan Egon G. Guba. 1984.
Garna, Judistira K. 2008. Budaya Sunda : Naturalistic Inquiry. England: Sage.
Melintasi Waktu Menantang Masa Rafiek. 2010. Teori Sastra: Kajian Teori dan
Depan. Bandung : Lemlit Unpad. Praktik. Bandung: Refika Aditama.
Hartarta, Arif. 2010. Mantra Pengasihan Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya
(Rahasia Asmara dalam “ Klenik” Indonesia. Bogor :Ghalia Indonesia.
Jawa). Bantul: Kreasi Wacana. Rusyana, Yus. 2006. Peranan Tradisi Lisan
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang dalam Ketahanan Budaya. Makalah.
Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Bandung: Universitas Pendidikan
Lisan. Surabaya: Hiski Jawa Timur. Indonesia.
Inayatullah, Fafi. 2011. Mantra di Kabupaten Saputra, Heru S. P. 2007. Memuja Mantra.
Tuban: Kajian Etnolinguistik. Tesis. Yogyakarta: LkiS.
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Setyani, Turita Indah. 2013. Unsur-Unsur
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Ajaran dalam Naskah Mantra. Makalah.
Jakarta: Sinar Harapan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Kadarisman, A. Effendi. 2001. Puitika Budaya Universitas Indonesia.
Linguistik: Antara Kejernihan Struktur Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra:
dan Kabut Makna. Bahasa dan Seni, Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:
Tahun 29, Nomor 1, Februari 2001: 1- Pustaka Pelajar.
22. Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi.
Kadarisman, A Effendy. 2002. Etnopuitika: Diindonesiakan oleh Misbah Zulfa
Dari Bunga Rampai Teks dan Pentas Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.
sampai ke Akar Budaya. Makalah. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode
Surakarta: Seminar Internasional Penelitian Sastra Lisan. Surabaya :
Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan Citra Wacana.
Indonesia. Sudikan, Setya Yuwana. 2007. Antropologi
Kadarisman, A Effendy. 2009. Berkenalan Sastra. Surabaya: Unesa University
dengan Etnopuitika. Press.
(http://sastra.um.ac.id/?p=1610). Sukatman. 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan
Diakses 21 Februari 2014 Indonesia: Pengantar Teori dan
Kadarisman, A Effendy. 2009. Etnopuitika: Pembelajarannya. Yogyakarta:
Dari Bunga Rampai Teks dan Pentas LaksBang PRESSindo.
sampai ke Akar Budaya. Suwarna. 2011. Etnopuitika dalam Upacara
(http://sastra.um.ac.id/?p=1610). Pengantin Jawa. Makalah. Yogyakarta:
Diakses 21 Februari 2014. Universitas Negeri Yogyakarta.
Kadarisman, A Effendy. 2009. Puitika Titscher, Stefan, dkk. 2009. Metode Analisis
Linguistik Pasca Jakobson: Tantangan Teks dan Wacana. Yogyakarta: Pustaka
Menjaring Makna Simbolik. Pelajar.
(http://sastra.um.ac.id/?p=1610). Uniawati. 2007. Mantra Melaut Suku Bajo:
Diakses 21 Febriari 2014. Interpretasi Semiotik Riffaterre. Tesis.
Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Semarang: Universitas Diponegoro.
Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju. Waluyo, Herman. J. 1997. Teori dan Apresiasi
Koentjaraningrat. 1993. “Metode Wawancara”. Puisi. Jakarta: Erlangga.
Dalam Koentjaraningrat (Ed). Metode-

15
URSULA DWI OKTAVIANI

Yusuf, Yusri dkk. 2001. Struktur dan Fungsi


Mantra Bahasa Aceh. Jakarta:
Depdiknas.

16

Anda mungkin juga menyukai