Anda di halaman 1dari 3

Nilai Kepatuhan Pada Akad atau Perjanjian yang Berimplikasi Pada Eksistensi dan

Keberlanjutan Transaksi Ekonomi Syariah

Secara khusus, umat islam dianggap sebagai umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia. Itu semua termaktub didalam bait-bait ayat yang indah yakni Surah Ali Imran Ayat
ke-110. Bukti ini dipertegas bagaikan dua (2) sisi mata uang, dan itu terwakilkan oleh alasan
sebagai berikut :
1. Karena orang islam , beriman dengan menyuruh pada yang baik dan mencegah
perbuatan yang dilarang.
2. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara makna kalimat pertama diredaksi kembali
menjadi : iman dengan cleant goverment and good goverment.
Pemerintah yang bersih dan tata kelola yang baik, secara harfiah dan tekhnis akan
mengurangi jumlah-jumlah keambiguitas dan keburukan dalam berbangsa dan bernegara.
Keambiguitas dan keburukan itu contohnya adalah merebaknya keterpurukan moral akan
amanah yang menggelincirkan orang-orang tertentu untuk menikmati harta yang mungkin
dianggap sebagai ghanimah. Disinilah terletak nilai-nilai atau moral pribadi yang
extraordinary crime.
Maksud pekerjaan yang mereka lakukan adalah korupsi yang merebak luas dipejabat
publik. Bahkan mereka melupakan nilai-nilai amanah yang mereka emban, mereka lupa atau
memang dilupakan tentang bagaimana letak nilai amanah dan konsistensi. Seharusnya
mereka mencotoh nilai amanah dan konsistensi yang baik dan benar didapat dari makna kisah
/ shirah perjanjian hudaibiyah yang dilakukan oleh Rasulullah.
Lalu, pelaku extraordinary crime tidak memandang perbuatan ini suatu kejahatan
besar, padahal dalam suatu kesempatan Ketua Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama
mengatakan : orang yang korupsi tidak pantas disholatkan1. Ini menjadi kajian serius
mengapa dua ulama besar tersebut menginginkan hal itu. Demikian halnya disebabkan
kejahatan-kejahatan kecil dimasyarakat dan bid`ah-bid`ah tertentu menjadi brand topic
sedangkan kejahatan terhadap bangsa didiamkan oleh masyarakat bahkan seperti diselubungi
oleh pihak-pihak tertentu.

Ustad Musholli : 2014

Lalu, apa hubungannya dengan ekonomi syariah ? Fenomena diatas, merupakan


fenomena yang merebak dibangsa ini tanpa disadari fatal akibatnya. Kebohongan, fitnah,
saling menjatuhkan diantara pejabat publik, korupsi, birokrasi yang bak dipinang malu-malu
tapi memalukan, sudah menjadi contoh jelas tidak adanya keamanahan dan kepatuhan
terhadap suatu pekerjaan dan harapan dari orang-orang yang dipimpinnya. Sifat-sifat ini
merupakan kebanyakan mental-mental bangsa Indonesia yakni mental kepiting.2
Harapan bangsa ini tentu kedepannya, posisi-posisi strategis dipejabat publik diisi
oleh pemimpin-pemimpin yang teguh dalam memegang amanah dan apa-apa yang telah ia
ucapkan. Saat ini, bangsa tidak lagi percaya pada politikus, pagi berbicara kedelai lalu malam
berbicara tempe. Baiklah, anggap saja ada fermentasi, parahnya menjadi : pagi berbicara
kedelai lalu malam berbicara ikan. Banyak hal-hal yang membuat pejabat ini tidak konsisten
dengan apa yang diucapkan. Selain itu, bangsa ini juga kurang mengapresiasi pemikiran dan
tindakan pemimpin yang sederhana dan berjuang terjun kemasyarakat, namun dijudge
sebagai pencitraan. Hematnya seharusnya adalah jangan terlalu cepat menuzum-nuzum
orang, manusia tidak punya hak seperti itu selagi itu benar dan baik, lanjutlah, tetap menjadi
penonton yang melihat dan ketika berkelok maka tegurlah, tegurlah dengan bahasa yang
lemah lembut dan sopan (Ali Imran : 159).
Insya allah, jika nilai-nilai kejujuran, kepatuhan dari suatu yang disepakati, maka
apapun rintangan akan diridhoi oleh sang khalik untuk

dipermudah dan di kuatkan

persatuannya (rhabithah).
Menyangkutkan pada bidang ekonomi, tentu inilah nilai vital bak ibarat jantung yang
akan memompakan darah kesegala arah. Ketika nilai-nilai dari suatu kepatuhan dan
keamanahan dari suatu perjanjian dijalankan, insya allah semua alam akan mendukung.
Mengapa begitu? Berbalik ke kisah Rasulullah yang sedang berperang melakukan perjanjian
Hudaibiyah dengan kaum kafir yang jelas-jelas merugikan umat islam. Namun, islam
menghormati, tetap amanah dalam menjalankan perjanjian, tetap istiqamah pada nilai-nilai
kesepakatan, maka tak heran : jangankan sesama muslim, kaum kafir pun takjub terhadap
nilai-nilai keislaman tersebut.

Lihat dan perhatikan kisah diatas, Rasulullah dan kaum

muslimin merasa dirugikan atas perjanjian diatas, namun tetap dijalankan, akhirnya berbuah
nangka.

Baharuddin Habibie

Apabila masih kisah diatas belum terbesit dihati, contoh lagi bagaimana baginda kita :
Rasulullah mendapatkan Al-Amin Award : penilainya adalah kaum Quraisyh yang saat itu
baginda belum menjadi Rasul. Kurang atau cukupkah kisah ini untuk mewakili kewajiban
kita harus tunduk dan patuh atas apa-apa yang kita sepakati ? maka jawabannya adalah lebih.
Harapannya nilai-nilai perjanjian hudaibiyah bisa diambil untuk sebagai pengingat
dalam menjalankan transaksi, hubungan komunikasi didalam dunia bisnis. Apabila ini dapat
diterapkan, maka unsur-unsur gharar (ketidak pastian) tidak akan terjadi. Para stakeholders
akan memandang kita businessman yang integritas, menjunjung tinggi semangat disiplin dan
memegang pada suatu hal yang telah ditetapkan. Jika ini dijalankan secara kontinuiti, maka
jangan tercengang birokrasi akan berjalan dengan mulus, tidak menyimpan curiga didalam
berbisnis, tidak menciderai salah satu pihak, going concern of corporate akan berlanjut, dan
sebagainya.
Sehingga, sebagai penutup kata, ekonom saat ini perlu memahami nilai-nilai diatas,
arahkan menjadi nilai yang dimiliki ekonom rabbani, karena ekonom rabbani bukan mencari
spekulatif

(konvensional)

melainkan

hanya

keridho`an

Allah

semata

sehingga

mengedepankan integritas dan patuh atas janji, bertujuan demi Indonesia yang lebih dan
bermartabat serta kebaikan dari Allah Pencipta Alam Semesta.

Anda mungkin juga menyukai