Anda di halaman 1dari 8

Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat Berjama'ah

Senin, 24 Maret 2014 19:28:32 WIB


Kategori : Fiqih : Shalat
HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN SHALAT BERJAMAAH
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Shalat berjamaah memiliki adab dan hukum-hukum yang terkait. Semua ini karena
kedudukannya memiliki arti penting dalam Islam. Sementara itu, banyak kaum muslimin yang
belum mengetahui hal ini. Banyak dijumpai dalam shalat berjamaah, mereka kurang
memperhatikan adab dan hukum yang terkait. Menyebabkan mereka terjerumus ke dalam
kesalahan dan dosa, bahkan kebidahan.
BATASAN MINIMAL PESERTA SHALAT BERJAMAAH
Batasan minimal untuk shalat jamaah ialah dua orang. Seorang imam dan seorang makmum.
Jumlah ini telah disepakati para ulama.
Ibnu Qudamah menyatakan,Shalat jamaah dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kami
belum menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini.[1]
Demikian juga Ibnu Hubairoh menyatakan,Para ulama bersepakat, batasan minimal shalat
jamaah ialah dua orang. Yaitu imam dan seorang makmum yang berdiri di sebelah kanannya.
[2]
Shalat jamaah dianggap sah, walaupun makmumnya seorang anak kecil atau wanita.
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:




Aku tidur di rumah bibiku, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun mengerjakan
shalat malam. Lalu aku turut shalat bersamanya dan berdiri disamping kirinya. Kemudian beliau
meraih kepalaku dan memindahkanku ke samping kanannya. [3]
Demikian juga hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu :



Sesungguhnya Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat mengimami dia dan ibunya. Anas
berkata, Beliau menempatkanku di sebelah kanannya dan wanita (ibunya) di belakang kami.
[4]
Semakin banyak jumlah makmum, maka semakin besar pahalanya dan semakin disukai Allah,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.







Shalat bersama orang lain lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih
baik daripada shalat bersama seorang. Semakin banyak (yang shalat) semakim disukai Allah
Azza wa Jalla. [5]
Hadits ini jelas menunjukkan, bahwa semakin banyak jumlah jamaahnya semakin lebih utama
dan lebih disukai Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Demikian juga seorang anak kecil yang telah mumayiz, boleh menjadi imam menurut pendapat
yang rajih. Hal ini berdasarkan hadits Amru bin Salamah Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:









Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum datang menyatakan keislaman mereka.
Bapakku datang menyatakan keislaman kaumku. Ketika pulang beliau berkata,Demi Allah, aku
membawakan kepada kalian kebenaran dari sisi Rasulullah, lalu berkata,Shalatlah kalian,
shalat ini pada waktu ini dan shalatlah ini pada waktu ini. Jika telah masuk waktu shalat,
hendaklah salah seorang kalian beradzan dan orang yang paling banyak hafalan Qurannya yang
menjadi imam. Lalu mereka mencari (imam). Ternyata tidak ada seorangpun yang lebih banyak
dariku hafalan Al Qurannya. Lalu mereka menunjukku sebagai imam dan aku pada waktu itu
berusia enam atau tujuh tahun.[6]
KAPAN DIKATAKAN MENDAPATI SHALAT BERJAMAAH?
Gambaran permasalahan ini ialah seseorang datang ke masjid untuk shalat berjamaah.
Kemudian mendapati imam bertasyahud akhir, lalu bertakbiratul ihram. Apakah masbuq tersebut
dikatakan mendapatkan pahala berjamaah bersama imam, ataukah dianggap sebagai shalat
sendirian (munfarid)?
Dalam permasalahan ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat yang berbeda.
Pertama : Shalat Jamaah Didapatkan Dengan Takbir Sebelum Imam Salam.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafiiyah. Berdalil dengan hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:



Jika shalat telah iqamat, maka janganlah mendatanginya dengan berlari. Datangilah dengan
berjalan. Kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah dan yang terlewatkan
sempurnakanlah.[7]
Dalam hadits ini dinyatakan, orang yang mendapatkan imam dalam keadaan sujud atau duduk
tasyahud akhir sebagai orang yang mendapatkan shalat jamaah, lalu menyempurnakan yang

terlewatkan. Sehingga orang yang bertakbir ihram sebelum imam salam, dikatakan mendapatkan
shalat jamaah.
Kedua : Membedakan Antara Jumat Dan jamaah. Jika Shalat Jumat, Melihat Kepada Rakaat
Dan Jamaah Melihat Kepada Takbir.
Bermakna, dalam shalat Jumat, seseorang dikatakan mendapatkan shalat Jumat bersama imam,
bila mendapatkan satu rakaat bersama imam. Dikatakan mendapatkan jamaah, bila bertakbir
sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab Syafii.[8]
Ketiga : Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjamaah, Bila Mendapatkan Satu Rakaat Bersama
Imam.
Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazali dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Muhammad bin Abdil Wahab dan Abdurrahman bin Nashir Assadi telah merajihkannya.[9]
Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau berkata.



Siapa yang mendapatkan rakaat dari shalat, maka telah mendapatkan shalat.[10]
Dan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:




Rasulullah bersabda,Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat Jumat atau
selainnya, maka telah mendapatkan shalat. [11]
Sedangkan rakaat dilihat dari rukunya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah
yang marfu :



Jika kalian berangkat shalat dan menemukan kami sedang sujud, maka bersujudlah dan jangan
dihitung sebagai rakaat. Barangsiapa yang mendapatkan rakaat, maka telah mendapatkan shalat.
[12]
Mereka menyatakan, Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat Jumat atau selainnya,
maka (dianggap) mendapatkan shalat. Demikian juga shalat jamaah, tidak dianggap
mendapatkannya, kecuali dengan mendapat satu rakaat. [13]
Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam dalam pernyataan beliau: Yang benar ialah pendapat ini,
karena hal berikut:
1. Menurut syariat, -dalam hal ini- takbir tidaklah berkaitan dengan hukum apapun. Tidak
berkaitan dengan waktu dan tidak pula dengan Jumat atau jamaah atau yang lainnya. Takbir

disini, adalah sifat yang tidak terkait dengan hukum apapun (washfun mulgha) dalam tinjauan
syariat. Maka dari itu, tidak boleh menggunakannya sebagai hujjah.
2. Syariat hanya mengaitkan status mengenai bisa-tidaknya shalat berjamaah dengan mendapati
rakaat. Kaitannya dengan takbir akan meniadakannya
3. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaitkan tentang dapatnya shalat berjamaah bersama
imam dengan rakaat. Ini adalah nash permasalahan.
4. Jumat tidak bisa didapatkan oleh seseorang, kecuali bila mendapatkan rakaat. Demikianlah
fatwa sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, diantaranya: Ibnu Umar, Ibnu Masud, Anas
dan yang lainnya. dalam hal ini, tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi mereka. Bahkan
sebagian ulama menyatakan, hal ini merupakan ijma sahabat. Pemisahan hukum Jumat dengan
jamaah disini tidak benar. Oleh karena itu, Abu Hanifah meninggalkan ushul-nya dan
membedakan keduanya. Tapi hadits dan atsar sahabat membatalkan pendapat beliau.
5. Bila tidak mendapatkan satu rakaatpun bersama imam, maka tidaklah dianggap mendapatkan
jamaah. Karena ia menyelesaikan seluruh bagian shalatnya dengan sendirian. Ia tidak terhitung
mendapatkan satupun bagian shalat bersama imam. Seluruh bagian shalat dikerjakannya
sendirian.[14]
Pendapat ini adalah pendapat yang rajih. Wallahu alam bish shawab.
HUKUM BERJAMAAH DALAM SHALAT NAFILAH[15]
Shalat nafilah (shalat tathawu) sangat penting bagi seorang muslim. Bahkan merupakan
pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya permasalahan ini, maka perlu
diketahui secara jelas hukum seputar berjamaah dalam shalat nafilah.
Ditinjau dari pensyariatan berjamaah pada shalat nafilah, maka terbagi menjadi dua.
Pertama. Shalat nafilah yang disyariatkan mengamalkannya dengan berjamaah. Terdiri dari:
1. Shalat Kusuf (shalat gerhana matahari). Shalat ini disunnahkan berjamaah berdasarkan
kesepakatan para fuqaha. Sedangkan shalat gerhana bulan, terdapat perselisihan para ulama
tentangnya. Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan, tidak disunnahkan. Sedangkan Imam
Syafii dan Ahmad menyatakan, sunnahnya.
2. Shalat Istisqa(shalat minta hujan), disunnahkan berjamaah. Demikian menurut madzhab
Malikiyah, Syafiiyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan
Muhamamd bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunnahkan berjamaah.
3. Shalat Ied, disunnahkan berjamaah secara ijma kaum muslimin.
4. Shalat Tarawih
Kedua : Shalat nafilah yang tidak disyariatkan berjamaah.
Shalat yang disyariatkan melakukannya secara sendirian (tidak berjamaah) sangat banyak
sekali. Diantaranya ialah: shalat rawatib, shalat sunnah mutlaqah dan yang disunnahkan pada
setiap malam dan siang.

Tentang hukum melakukan shalat-shalat tersebut secara berjamaah, terdapat peselisihan diantara
para ulama. Madzhab Syafiiyah dan Hambaliyah memperbolehkan berjamaah. Madzhab
Hanafiyah memakruhkannya; dan madzhab Malikiyah membolehkan berjamaah, kecuali sunnah
rawatib sebelum subuh. Mereka menyatakan hal itu, menyelisihi yang lebih utama, selebihnya
boleh dengan syarat jamaahnya tidak banyak dan tidak di tempat yang terkenal, karena takut
terjadi riya dan munculnya anggapan bahwa hak itu wajib.
Akan tetapi, yang benar ialah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau pernah
melakukan kedua-duanya. Pernah melakukan shalat sunnah tersebut dengan berjamaah dan
sendirian. Sebagaimana riwayat berikut ini:










Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, beliau menyatakan, bahwa neneknya yang bernama
Mualikah mengundang Rasulullah makan-makan yang dibuatnya. Lalu Rasulullah memakannya
dan berkata, Bangkitlah kalian, aku akan shalat berjamaah bersama kalian. Anas berkata,Aku
mengambil tikar kami yang telah berwarna hitam karena lamanya pemakaian, dan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang
beliau, sedangkan orang-orang tua wanita berdiri di belakang kami. Rasulullah shalat dua rakaat
kemudian pergi.[16]






Dari Utban bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya di rumahnya,
lalu berkata,Dimana dari rumahmu ini yang engkau suka aku shalat untukmu? Lalu aku
tunjukkan satu tempat. Kemudian beliau bertakbir dan kami membuat shaf di belakangnya.
Beliau shalat dua rakaat.[17]
Demikian juga Syaikh Shalih As Sadlan merajihkan pendapat dibolehkannya dengan syarat,
sebagaimana pernyataan beliau,Yang benar dari yang telah kami sampaikan, nafilah boleh
dilakukan dengan berjamaah. Baik nafilahnya merupakan sunnah rawatib atau sunnah
mustahabbah atau tathawu mutlaq. Tapi dengan syarat, tidak menjadikannya sebagi satu
kebiasaan, tidak ditampakkan secara terang-terangan, dan dilakukan karena satu sebab. Seperti
diminta tuan rumah atau kerena bersamaan dalam menunaikan sunah. Misalnya, tamu ketika
bertamu. Seandainya dia dan tuan rumahnya shalat witir berjamaah, dengan syarat tidak timbul
kebidahan atau perkara yang tidak dibolehkan oleh syariat. (Tetapi), jika satu dari yang telah
disebutkan itu terjadi, maka tidak disyariatkan berjamaah. [18]
Kesimpulannya, dibolehkan melaksanakan shalat sunnah dengan berjamaah, selama tidak
menimbulkan kebidahan atau pelanggaran syariat serta dibutuhkan untuk hal itu. Wallahu
alam.
UDZUR YANG MEMPERBOLEHKAN TIDAK MENGHADIRI SHALAT BERJAMAAH

Diperbolehkan tidak menghadiri shalat berjamaah dengan sebab-sebab tertentu. Diantara sebabsebab tersebut ialah sebagai berikut:
1. Dingin dan hujan.
Berdasarkan hadits dari Nafi, beliau berkata.






Sesungguhnya Ibnu Umar beradzan untuk shalat pada malam yang dingin dan berangin kencang,
kemudian berkata, Ala shallu fi rihalikum (Shalatlah kalian di rumah kalian). Lalu beliau
berkata, Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan muadzin, jika malam dingin dan berhujan
mengatakan, Ala shallu fi rihal. [Mutafaqun alaihi].
2. Sakit yang memberatkan penderitanya menghadiri jamaah.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama
orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari
dahulu. [Al Hajj:78].
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika sakit dan tidak bisa mengimami shalat
beberapa hari:


Perintahkanlah Abu Bakr agar mengimami manusia. [19]
Ibnu Hazm berkata,Ini tidak diperselisihkan. [20]
3. Kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan kehormatannya.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.


Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al Baqarah:286].
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.


Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya, kecuali
karena udzur [21]. Dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan tafsir udzur disini, dengan sakit atau
rasa takut (situasi tidak aman).[22]

4. Saat makanan telah dihidangkan dan menahan hajat kecil atau besar.
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Tidak boleh shalat saat makanan dihidangkan dan tidak pula ketika menahan buang hajat kecil
dan besar. [23]
5. Ketiduran.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.







Bukanlah ketiduran tafrith (tercela), akan tetapi tafrith hanya pada orang yang tidak shalat
sampai datang waktu shalat yang lainnya. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka hendaklah
shalat ketika sadar.[24]
Demikianlah sebagian perkara penting yang berkaitan dengan shalat jamaah. Semoga
bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al Mughni 3/7.
[2]. Al Ifshah An Maanish Shihah, 1/155. Dinukil dari Shalatul Jamaah, karya Prof. Dr. Shalih
bin Ghanim As Sadlan, hal. 47. Lihat juga pernyataan kesepakatan ini dalam Raudhatun
Nadiyah, karya Shidiq Hasan Khan, 1/308.
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jumah, Bab: Ma Jaa Fil
Witri, no. 937.
[4]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat,
Bab: Jawazu Al Jamaah Fin Nafilah Wash Shalat Ala Hashir Wa Khamrah, no. 1056.
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Fi Fadhli Shalatul
Jamaah, no.467, An Nasai dalam Sunan-nya, kitab Al Imamah, Bab: Al Jamaah Idza Kana
Itsnaini, no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Hakim dalam Mustadrak-nya,
3/269. Hadits ini dishahihkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367 no. 1477.
[6]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Maghazi, no. 3963.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
[8]. Lihat Majmu Fatawa 23/331.
[9]. Lihat Shalatul Jamaah, hal. 50. Tentang tarjih mereka ini dapat dilihat dalam kitab Adab Al
Masyi Ila Shalat, hal. 29 dan Al Mukhtarat Al Jaliyah Fil Masail Al Fiqhiyah (dalam Al
Majmuah Al Kamilah Li Mualafat, Syaikh Abdurrahman bin Nashir Assadi, 2/109.
[10]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitus Shalat, Bab: Man

Adraka Minas Shalat Rakaat, no. 546 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa
Mawadhi Shalat, Bab: Man Adraka Minas Shalat Rakaat Faqad Adraka Shalat, no. 954.
[11]. Diriwayatkan oleh An Nasai dalam Sunan-nya, kitab Al Mawaqit, Bab: Man Adraka
Rakatan Minas Shalat, no. 554; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatush Shalat Was
Sunnah Fiha, Bab: Ma Jaa Fiman Adraka Minal Jumat Rakatan, no.1113 dan Ibnu Khuzaimah
dalam Shahih-nya 3/173.
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Fi Rajuli Yudrikul
Imam Sajidan Kaifa Yasna, no. 759.
[13]. Lihat Shalatul Jamaah, hal. 51.
[14]. Majmu Fatawa 23/331-332 dengan sedikit pemotongan.
[15]. Diringkas dari Shalatul Jamaah, karya Syaikh Shalih As Sadlan, hal. 74-78 dengan
beberapa perubahan
[16]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi
Shalat, Bab: Jawazu Al Jamaah Fin Nafilah Was Shalat Ala Hashir Wa Khamrah, no. 1053.
[17].Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Idza Dahala
Baitan Haitsu Sya, no. 406.
[18]. Shalatul Jamaah, hal. 77-78.
[19]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
[20] Muhalla, 4/351.
[21]Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masajid Wal Jamaah, Bab: At
Taghlidz Fi At Takhalluf Anil Jamaah, no. 785. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Sunan Ibnu Majah, no. 631.
[22]. Dibawakan oleh penulis kitab Shalat Jamaah, hal. 199 dan dinisbatkan kepada Sunan
Kubra Baihaqi 1/185.
[23]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat,
Bab: Karahatus Shalat Bi Hadhratith Thaam, no. 869.
[24]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat,
Bab: Qadha Shalat Fawait, no. 1099.

Anda mungkin juga menyukai