Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat
sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan
bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
***
banyak bukti atas kekuasaan Allah Swt, yg salah satunya adalah silih bergantinya siang dan malam.
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi
dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah
cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? [QS. Al- Fushshilat]
Allah SWT berfirman: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS.
Ali Imran 190-191)
Dalam Tafsir Jalalain diterangkan bahwa di dalam penciptaan langit dan bumi serta segala keajaiban
yang ada pada keduanya dan berbagai perbedaan siang dan malam dari segi datang dan perginya
maupun dari segi lebih dan kurang temponya, semua itu merupakan bukti-bukti yang menunjukkan
kekuasaan Allah SWT bagi Ulil Albab, yakni orang-orang yang punya akal. Ulil Albab adalah orangorang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Artinya
ingat dan menyebut-nyebut Allah dalam setiap keadaan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa
juga disebut Ulil Albab adalah orang-orang yang melaksanakan sholat sesuai dengan kemampuan.
Dan Ulil Albab adalah orang-orang yang berfikir tentang penciptaan langit dan bumi untuk
mendapatkan bukti atas kekuasaan pembuatnya. Lalu mereka berkata Rabbana, ya Tuhan kami,
tidaklah Engkau ciptakan ciptaan yang kami lihat itu sebagai perkara yang sia-sia. Justru kami
melihatnya sebagai bukti atas kesempurnaan kekuasaan-Mu. Subhaanaka, Maha Suci Engkau,
Engkau suci dari segala kesia-siaan.
Dalam Tafsir Ibnu Abbas diterangkan bahwa Allah SWT dalam ayat di atas menerangkan tanda
kekuasaan-Nya kepada kaum kafir Makkah karena sebelumnya mereka telah meminta bukti kepada
Nabi Muhammad saw. atas apa yang beliau katakan. Maka Allah SWT menurunkan firman-Nya:
Sesungguhnya di dalam penciptaan langit, artinya sesungguhnya di dalam apa yang diciptakan oleh
Allah SWT di langit berupa para malaikat, matahari, bulan, dan bintang-bintang, serta awan; dalam
penciptaan bumi, artinya penciptaan bumi dan apa yang diciptakan di bumi seperti gunung-gunung,
lautan, tanaman, dan hewan; dalam perbedaan siang dan malam yaitu dalam pergantian siang dan
malam; semua itu benar-benar merupakan bukti-bukti keesaan Allah SWT bagi Ulil Albaab, yakni
orang-orang yang punya akal. Lalu Allah memberikan sifat kepada Ulil Albab, yaitu orang-orang
yang mengingat Allah dengan melaksanakan sholat secara berdiri jika dia mampu, dengan cara
duduk jika tidak mampu berdiri, dan dengan cara berbaring jika tidak mampu berdiri maupun
duduk. Dan ulil Albab itu selalu berfikir tentang keajaiban penciptaan langit dan bumi lalu berkata Ya
Rabbana, Wahai Tuhan kami, tidaklah yang Engkau ciptakan itu sia-sia. Subhaanaka, Maha Suci
Engkau, mereka mensucikan Allah, maka bebaskanlah kami dari adzab neraka. Tolaklah dari kami
adzab neraka.
Dalam Tafsir Al Qurthuby dijelaskan bahwa dalam penghujung surat Ali Imran ini Allah SWT
memerintahkan untuk memperhatikan dan mencari bukti-bukti dalam tanda-tanda kekuasaan-Nya
agar keimanan umat ini bersandar kepada bukti yang meyakinkan atas kebenaran dan kekuasaan
Allah SWT. Bukan keimanan yang dibangun dengan taqlid semata. Ulil Albab adalah orang-orang
yang menggunakan akal untuk memperhatikan bukti-bukti kekuasaan Allah SWT. Al Qurthuby
mengutip hadits riwayat Aisyah r.a. yang berkata: Ketika turun ayat ini kepada Nabi saw. beliau
bangun untuk shalat. Pagi itu Bilal datang untuk mengumandangkan adzan maka Bilal melihat
beliau saw sedang menangis. Bilal bertanya: Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis padahal
Allah SWT telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu maupun yang akan datang! Maka Rasulullah
saw. bersabda: Hai Bilal, apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur? Sungguh Allah
telah turunkan pada malam ini ayat : inna fi khalqis samaawaati wal ardli wakhtilafil laili wan nahaar
la aayatil liulil albaab. Kemudian beliau saw bersabda: Celakalah orang yang membaca ayat ini dan
tidak berfikir merenungkannya! Disunnahkan setiap bangun malam memulai dengan membaca
sepuluh ayat terakhir surat Ali Imran (ayat 190-200) sebagai ittiba kepada Rasulullah saw.
Membangun generasi Ulil Albab
Generasi awal yang dibangun oleh baginda Rasulullah saw adalah generasi yang dibangkitkan akal
dan fikiran mereka sehingga mereka adalah generasi yang mengalami kebangkitan berfikir yang luar
biasa. Hasilnya pun luar biasa. Dua puluh delapan tahun setelah Al Quran yang menyentuh hati dan
menggugah akal fikiran mereka turun dan telah membangun karakter manusia unggul dalam
tempaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw yang senantiasa membacakan ayat-ayat Al Quran dan
mengajarkan ilmu-ilmu dalam Al quran dan As Sunnah, generasi awal umat Islam yang tadinya
adalah generasi buta huruf itu mampu mengalahkan dua negara adidaya penguasa dunia pada
waktu, Rumawi dan Persia di tahun yang sama, yakni 15 H. Itulah generasi sahabat, yakni generasi
Ulil Albab. Mereka murni generasi bentukan risalah Islam, mereka tidak meniru cara berfikir dan cara
hidup bangsa adidaya Rumawi maupun Persia. Oleh karena itulah, mereka bisa mengungguli kedua
bangsa dan negara adidaya penguasa dunia itu, walau generasi Ulil Albab itu masih baru lahir.
Generasi Ulil Albab ini adalah generasi yang telah yaqin dengan keesaan dan kekuasaan Allah SWT
berdasarkan sentuhan ayat-ayat Al Quran yang membangun kemampuan berfikir mereka mencari
bukti keesaan dan kekuasaan Allah SWT itu dalam diri dan alam semesta yang ada yang
merupakan ciptaan Allah semuanya. Mereka adalah generasi yang berpengetahuan dan selalu
berusaha mendengar pengetahuan dan mengikuti yang terbaik. Allah SWT menyebut mereka dalam
firman-Nya:
(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktuwaktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan
rahmat Tuhannya? Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah (Ulil Albab) yang dapat menerima
pelajaran. (QS. Az Zumar 9).
Juga firman-Nya: Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya
(yakni Al Quran). mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka. Itulah Ulil
Albab, yaitu orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az Zumar 18).
Dan generasi Ulil Albab ini adalah generasi yang mendapatkan al hikmah, yakni ilmu yang
bermanfaat yang mengantarkan kepada amal. Allah SWT berfirman: Allah menganugerahkan Al
Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendakiNya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. Dan hanya Ulil Albab, orang-orang yang berakallah, yang dapat mengambil pelajaran (dari
firman Allah). (QS. Al Baqarah 269).
Oleh karena itu, jika umat ini hari ini ingin terlahir kembali menjadi generasi Ulil Albab sebagaimana
para sahabat, maka mereka harus menapaki jalan perjuangan para sahabat Rasulullah saw yang
memahami bahwa mereka itu dilahirkan untuk memperjuangan Islam, risalah yang dibawa oleh
baginda Rasulullah saw., secara totalitas, sehingga mereka menjadi manusia baru kembali dengan
celupan petunjuk Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw yang pasti akan bisa mengungguli bangsa
dan negara dengan ideologi manapun di dunia ini. Wallahualam!
Surah Al-Anfaal ini diturunkan pada waktu Perang Badar al-Kubra, pada bulan
Ramadhan, tahun kedua Hijrah. Ianya berlaku setelah sembilan belas bulan
Rasulullah saw berhijrah iaitu berdasarkan kepada pendapat yang lebih kuat.
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishak dari Ubadah ibnu Samit r.a. Ia berkata,
Surah ini diturunkan mengenai kami yang terlibat dalam Perang Badar ketika kami
berselisih mengenai harta rampasan perang, dan akhlak kami sangat buruk ketika
itu. Lalu, Allah swt melepaskannya dari tangan kami, dan menyerahkan kepada
Rasulullah saw untuk membahaginya. Kemudian beliau membahaginya secara
sama. Syed Qutb dalam Tafsirnya Fi Zhilalil Quran menyatakan bahawa Allah swt
telah memberikan tarbiah Rabbaniah kepada para sahabat ketika itu dengan
perkataan dan perbuatan, dengan dilepaskanNya seluruh harta rampasan dari
tangan mereka dan dikembalikanNya kepada Rasulullah saw. Selanjutnya, Dia
menurunkan hukum mengenai pembahagian harta rampasan ini secara
keseluruhan. Pengajaran yang diperolehi daripada kesah ini menjelaskan
bahawasanya harta rampasan ini bukan hak mereka yang patut diperselisihkan.
Akan tetapi ianya merupakan kurniaan dari Allah swt kepada mereka, yang
dibahagikan sama rata oleh Rasulullah saw sebagaimana yang diperintahkan Allah
kepada baginda. Hal ini selain dari pengajaran secara praktikal sekaligus juga
merupakan pengajaran jangka panjang yang dimuatkan dalam ayat-ayat awal
Surah ini, dan seterusnya berlanjutan dengan ayat-ayat berikutnya. TAFSIR AYAT 2
SURAH AL-ANFAL Setelah menerangkan persoalan mengenai pembahagian harta
rampasan perang serta arahan bertakwa dan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya
di ayat pertama, ayat kedua Surah ini dilanjutkan dengan menetapkan karakteristik
iman yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Rabb bagi agama
Islam ini. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang
apabila disebut nama Allah, gementarlah hati mereka; dan apabila dibacakan
kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlan iman mereka(kerananya). Kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal. (Surah Al-anfal ayat 2) Menurut Syed Qutb dalan Fi
Zhilalil Quran, ayat ini memaparkan getaran perasaan yang menyentuh kalbu orang
mukmin ketika disebut nama Allah swt dalam sesuatu perintah atau larangan. Ia
merasa tertutup oleh keagungan-Nya, meluap rasa takutnya kepada-Nya, dan
terbayang olehnya keagungan Allah dan kehebatan-Nya. Disamping itu, terbayang
pula kekurangan .dirinya dan dosa-dosanya, lantas mendorong untuk melakukan
amal dan ketaatan Ungkapan dalam ayat ini merupakan ungkapan yang membatasi
serta halus dan lembut petunjuknya, bahawa orang-orang yang sedemikian sifatsifatnya, amalannya, dan perasaannya adalah orang-orang mukmin iaitu orangorang yang beriman. Orang-orang yang bukan sedemikian sifat-sifatnya secara
keseluruhan maka bukanlah mereka dari kalangan orang mukmin. Taukid
penegasan pada akhir ayat, Mereka itulah orang-orang mukmin yang sebenarnya,
merupakan penegasan terhadap hakikat ini. Ini bermakna bagi orang-orang yang
bukan mukmin yang sebenarnya, maka mereka sama sekali bukan orang mukmin.
Sehubungan itu, para ulama salaf mengetahui dari ayat-ayat ini bahawa orang yang
pada dirinya tidak terdapat sifat-sifat dan amalan-amalan seperti yang disebutkan
ini, bererti tidak terdapat keimanan didalam hatinya dan dia sama sekali bukan
orang yang beriman. ..Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Nya,
maka bertambahlah iman mereka . Hati yang beriman itu dapat menemukan
hanya kepada Nya, tidak meminta dan memohon sesuatu kecuali hanya kepadaNya
dan sedar bahawa yang dikehendakiNya pasti akan terjadi , Dia yang mengatur
sesuatu dengan sendirinya tanpa bekerjasama dengan yang lain dan amat cepat
perhitunganNya. Ayat ini mempunyai erti yang sama dengan firman Allah
Dan(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya
diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan keji itu sedangkan mereka mengetahui (Ali Imran : 135) Ia
juga membawa maksud yang sama dengan firman Allah Dan adapun orang-orang
yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa
nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya (An-Naziat : 40-41)
HAMKA pula memberikan makna tawakal itu adalah satu kekuatan dalam jiwa
kerana kita sedar bahawa kita mempunyai sandaran dan pergantungan yang kuat
iaitu kepada Allah swt. Syed Qutb dalam kitab tafsirnya membincang dengan agak
panjang lebar mengenai ayat ini. Tawakal kepada Allah Yang Maha Esa ini tidak
menghalangi manusia untuk melakukan usaha (asbab). Orang yang beriman
menjadikan sebab ini sebagai bab iman kepada Allah dalam mentaati perintah-Nya
untuk melakukan usaha itu. Akan tetapi, ia menjadikan sebab itu sebagai sesuatu
yang menimbulkan hasil lantas ia bertawakal kepadanya. Yang menimbulkan hasil
sebagaimana yang menimbulkan sebab adalah ketentuan Allah. Tidak ada
hubungan antara sebab dan hasil di dalam perasaan orang mukmin. Mengambil
sebab dalam melakukan usaha merupakan suatu ibadah kerana itu adalah ketaatan.
Sedangkan, realiti keberhasilan merupakan qadar dari Allah yang bebas dari sebab
manapun. Tidak ada yang bekuasa menjadikan keberhasilan ini kecuali Allah.
Dengan demikian, perasaaan orang yang beriman itu bebas dari menyembah
sebab-sebab dan dari bergantung kepada-Nya. Pada waktu yang sama ia melakukan
usaha-usaha sesuai dengan kemampuannya untuk mendapatkan pahala dari Allah
sebagai perlaksanaan ketaatan. Apabila hati telah bebas dari tekanan sebab-sebab
lahiriah, maka di sana tidak ada tempat untuk bertawakal kepada selain Allah.
Qadar Allah itulah yang menjadikan setiap peristiwa. Hanya ini sajalah satu-satunya
hakikat yang meyakinkan. Sedangkan, sebab-sebab lahiriah hanya menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan yang bersifat zhanniyah dugaan belaka. Inilah peralihan
besar yang dipindahkan oleh akidah islami terhadap hati manusia dan
pemikirannya. Yakni, peralihan yang telah dijalani oleh kejahilan dengan tanpa
petunjuk selama tiga abad untuk mencapai tingkatan utama dalam bidang
pemikiran
PENUTUP Rujukan 1. Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kathir Ad-Damsyiqi, Tafsir Ibnu
Katir,Juz 9, Sinar Baru al-gensido Bandung, Indonesia, 2004. 2.Dr. Haji Abdul Malik
Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, Pustaka Nasional PTE LTD
Singapura, 1990. 3.Asy-Syahid Syed Qutb , Tafsir Fizilalil Quran, jilid 3 ms 408.
Sebagai umat Islam yang berpedoman pada Al-Quran haruslah mengerti tentang isi
kandungan di dalam Al-Quran. Karena dengan mempelajari isi kandungannya kita akan
memahami dan mengetahui hukum-hukum dan juga syariat Islam. Kita dapat memahami dan
mengetahui hukum-hukum dan juga syariat Islam dengan cara menafsirkannya.
Oleh karena itu, penyusun akan menafsirkan salah satu ayat yang terdapat dalam surat Ali
Imran, yaitu ayat 102-104. Dengan mempelajari Ilmu Tafsir semoga akan memperkuat iman kita
terhadap Allah SWT.
PEMBAHASAN
Surat Ali Imran Ayat 102-103
Terjemahannya:
Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenarbenar taqwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam. (Q.S Ali
Imran:102)
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk(Q.S Ali Imran: 103)
Asbabun Nuzul
Faryabi dan Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Ibnu Abbas, katanya, "Di masa
jahiliah, di antara suku-suku Aus dan Khazraj terdapat persengketaan. Sementara mereka sedang
duduk-duduk, teringatlah mereka akan peristiwa yang mereka alami, hingga mereka pun jadi
marah lalu sebagian bangkit mengejar lainnya dengan senjata. Maka turunlah ayat, 'Kenapa
kamu menjadi kafir...,' serta dua buah ayat berikutnya." (Q.S. Ali Imran 101-103)[1]
a.
b.
c.
d.
Munasabah antara ayat 103 surat Ali Imran: Dan berpeganglah kalian semuanya kepada
tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai., Dengan ayat 102 surat Ali Imran: Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan
janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.,
adalah Munasabah antar ayat, yaitu Diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain.
Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut
sebagai dua hal yang sama (An-Nadziraini). Ayat 102 surah Ali-Imran menyuruh bertakwa dan
ayat 103 surah Ali-Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal yang
sama. Kedua ayat tersebut sangat erat hubungannya, yaitu bahwa untuk menjadi orang yang
beriman dan bertaqwa serta mati dalam keadaan muslim, maka seseorang harus berpegang teguh
kepada agama Allah. Dengan berpegang teguh kepada agama Allah, maka ia tidak akan bercerai
berai.[3]
Surat Ali Imran Ayat 104
Terjemahannya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang
beruntung. (Q.S. Ali Imran: 104)
Asbabun Nuzul
Pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku yaitu; Suku Aus dan Khazraj yang
selalu bermusuhan turun-temurun selama 120 tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir
setelah Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam kepada mereka, pada akhirnya Suku Aus;
yakni kaum Anshar dan Suku Khazraj hidup berdampingan, secara damai dan penuh keakraban,
suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk
bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais
tidak suka melihat keakraban dan kedamaian mereka, lalu dia menyuruh seorang pemuda
Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung perang Buast yang pernah
terjadi antara Aus dengan Khazraj lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan
sukunya masing-masing, saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah SAW
yang mendengar perestiwa tersebut segera datang dan menasehati mereka: Apakah kalian
termakan fitnah jahiliyah itu, bukankah Allah telah mengangkat derajat kamu semua dengan
agama Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah?. Setelah
mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan saling berpalukan. Sungguh peristiwa itu
adalah seburuk-buruk sekaligus sebaik-baik peristiwa. Maka turunlah surat Ali Imran ayat 104.
[4]
Tafsir atau Kandungan Ayat
$rpRQ$$/ segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan
Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Kata ( N3YiB ) minkum ada ayat di atas, ada ulama yang memahaminya dalam
arti sebagian, sehingga dengan demikian, perintah berdakwah yang dipesankan oleh ayat ini
tidak tertuju pada setiap orang. Bagi yang memahami demikian, maka ayat ini buat mereka
mengandung dua macam perintah; yang pertama kepada kepada seluruh umat islam agar
membentuk dan menyiapkan satu kelompok khusus yang bertugas melaksanakan dawah, sedang
perintah kedua adalah kepada kelompok khusus itu untuk melaksanakan dawah kepada
kebajikan dan maruf dan mencegah kemunkaran.
Selanjutnya, ditemukan ayat diatas menggunakan dua kata yang berbeda dalam rangka
perintah berdawah. Pertama adalah kata (bqt ) yakni mengajak, dan kedua
adalah (brB'tu ) yakni memerintahkan. Sayyid Quthub dalam tafsirnya mengemukakaan
bahwa penggunaan dua kata yang berbeda itu menunjukan keharusan adanya dua kelompok
dalam masyarakat islam. Kelompok pertama yang bertugas mengajak dan kelompok kedua yang
bertugas memerintah dan melarang. Kelompok kedua ini tentulah memiliki kekuasaan di bumi.
ajaran Ilahi di bumi ini bukan sekedar nasehat, petunjuk dan penjelasan. Ini adala salah satu sisi,
sedang sisinya kedua adalah melaksanakn kekuasaan memerintah dan melarang, agar maruf
dapat wujud, dan kemungkaran dapat sirna.
Nilai-nilai itu dapat bebeda antara satu tempat/waktu dengan tempa/waktu yang lain.
Perbedaan, perubahan, dan perkembangan nilai itu dapat diterima oleh Islam selama tidak
bertentangan dengan nilai-nilai unifersal.
Al-Quran mengisyaratkan kedua nilai di atas dalam firman-Nya dengan kata s:
$# dan $rpRQ$$. Al-Khair adalah nilai unifersal yang diajarkan oleh al-Quran dan
Sunah. Sedang al-Maruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat
selama sejalan dengan al-Khair. Adapun al-Munkar adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu
masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi.
Paling tidak ada dua hal yang perlu di garis bawahi berkaitan dengan ayat diatas.
Pertama, nilai-nilai Ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara persuasive dalam
bentuk ajakan yang baik. Kedua, adalah al-Maruf, yang merupakan kesepakatan umum
masyarakat. Ini sewajarnya diperintahkan, demikian juga al-Munkar seharusnya dicegah, baik
yang memerintahkan dan mencegah itu pemilik kekuasaan maupun bukan.
Di sisi lain karena keduanya merupakan kesepakatan satu masyarakat, maka kesepakatan
itu bisa berbeda antara satu masyarakat muslim dengan masyarakat muslin yang lain, bahkan
antara satu waktu dan waktu lain dalam satu masyarakat tertentu. Dengan konsep Maruf alQur-an membuka pintu yang cukup lebar guna menampung perubahan nilai- nilai akibat
perkembangan positif masyarakat.[5]
Hendaklah ada diantara kamu suatu golongan yang menyeru pada kebaikan ajaran islam
dan menyeru pada yang maruf dan yang melarang pada yang munkar. Merekalah yakni orangorang yang menyeru dan melarang tadi (orang-orang yang beruntung) atau berbahagia. min
disini untuk menunjukkan sebagian karna apa yang diperintahkan itu merupakan fardlu
kifayah yang tidak mesti bagi seluruh umat dan tidak pula layak bagi setiap orang, misalnya
orang bodoh.[6]
Orang yang diajak bicara dalam ayat ini ialah kaum muminin seluruhnya. Mereka
terkena taklif agar memilih suatu golongan yang melaksanakan kewajiban ini. Realisasinya
adalah hendaknya masing-masing anggota kelompok tersebut mempunyai dorongan dan mau
bekerja untuk mewujudkan hal ini, dan mengawasi perkembangannya dengan kemampuan
optimal. Sehingga bila mereka melihat kekeliruan atau penyimpangan dalam hal ini (amar
maruf nahi munkar), segera mereka mengembalikannya ke jalan yang benar. Kaum mukminin di
masa permulaan islam berjalan pada system ini, yaitu melakukan pengawasan terhadap orang
prang yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan umum.[7]
Syarat Amar Maruf Nahi Munkar:
http://tafsir-ali-imran.blogspot.com/2013/05/tafsir-surah-ali-imran-103.html, diunduh di
Kudus, tanggal 6 Desember 2013, pukul 15.00 WIB
[2] http://indonesian.irib.ir/al-quran/-/asset_publisher/b9BB/content/tafsir-al-quran-surat-aliimran-ayat-100-105/pop_up, diunduh di Kudus, tanggal 6 Desember 2013, pukul 15.00 WIB
[3] http://cecengsalamudin.wordpress.com/2011/10/11/munasabah-dalam-al-quran/, diunduh di
Kudus, tanggal 6 Desember 2013, pukul 15.00 WIB
[4]http://soranegino18.multiply.com/journal/item/40/Kajian_Ayat_Tugas_Tutorial_MKDU_PAI_
Semester_1, Diunduh di kudus, tanggal 6 Desember 2013, pukul 15.00 WIB.
[5] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Ciputat:Lentera Hati,2000), 162-164.
[6] Jalaludin Muhamad Ibnu Ahmad al Mahally& Jalaludin Asy-Suyuthi, Tafsir Jalalain jilid
1, (Bandung:sinar baru algesindo,2003), 249.
[1]
DAFTAR PUSTAKA
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Ciputat:Lentera Hati,2000), 162-164.
Jalaludin Muhamad Ibnu Ahmad al Mahally& Jalaludin Asy-Suyuthi, Tafsir Jalalain jilid
1, (Bandung:sinar baru algesindo,2003), 249.
Mushthafa Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy, (Semarang:Toha Putra Semarang,1996), 34.
Teungku Muhammad Hasbi ash - Shiddieqy, Tafsir Al-Quranul Masjid An - Nuur,
(Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra,2000), 658.
[1] http://tafsir-ali-imran.blogspot.com/2013/05/tafsir-surah-ali-imran-103.html
http://indonesian.irib.ir/al-quran/-/asset_publisher/b9BB/content/tafsir-al-quran-surat-aliimran-ayat-100-105/pop_up
http://cecengsalamudin.wordpress.com/2011/10/11/munasabah-dalam-al-quran/
http://soranegino18.multiply.com/journal/item/40/Kajian_Ayat_Tugas_Tutorial_MKDU_
PAI_Semester_1,
Ketaqwaan adalah keadaan yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beriman. Allah memerintahkan
agar kaum mukminin bertaqwa yang sebenar-benarnya dan senantiasa menjaga keimanan hingga akhir
hayat. Allah juga memerintahkan agar mereka selalu berpegang kepada tali Allah, tidak bercerai berai,
dan selalu mengingat nikmat yang Dia berikan kepada mereka. Ayat 102 dan 103 surah Ali Imran berikut
ini berbicara tentang hal-hal tersebut, yang harus selalu kita ingat dalam menjalani kehidupan ini. Marilah
kita perhatikan kedua ayat itu dan penafsirannya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam
tafsirnya.
Mengenai firman Allah yang artinya Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya, Abdullah bin Mas`ud berkata, Maksudnya adalah hendaknya Allah itu ditaati dan jangan
didurhakai, diingat dan jangan dilupakan, serta disyukuri dan jangan dikufuri. Diriwayatkan dari Anas
bahwa ia mengatakan, Tidaklah seorang hamba dikatakan bertakwa kepada Alah hingga lidahnya
bergetar.
Said bin Jubair dan yang lainnya berpendapat bahwa ayat ini telah dinasakh oleh firman Allah, yang
artinya, Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kepamampuan kalian. Namun Ibnu Abas mengatakan
bahwa ayat 102 ini tidak dinasakh, dan yang dimaksud dengan taqwa yang sebenar-benarnya kepadaNya ialah: hendaknya kalian berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh, jangan sampai celaan
orang menyurutkan langkah kalian dalam berjuang di jalan Allah, dan berlaku adillah walaupun terhadap
diri kalian sendiri, orangtua kalian, dan anak-anak kalian.
Firman Allah SWT, yang artinya, Dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam yakni peliharalah Islam sepanjang waktu, supaya kalian mati dalam keadaan Islam. Dan
di antara sunnah Allah adalah barang siapa hidup dalam sesuatu, ia akan mati dalam sesuatu itu, dan
barang siapa mati dalam sesuatu, ia akan dibangkitkan dalam sesuatu itu.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Hai orangorang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan
janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Seandainya setetes zaqum (makanan
untuk orang-orang di neraka) menetes ke dunia, niscaya ia dapat merusak kehidupan penduduk bumi ini.
Lalu, bagaimana jadinya dengan orang yang tidak memiliki makanan kecuali zaqum?
Imam Ahmad meriwayatkan dari dari Abdullah bin Umar, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
Barang siapa ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ia mati dalam
keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir serta mendatangkan kepada manusia sesuatu yang ia
sendiri ingin didatangkan seperti itu.
Mengenai firman Allah yang artinya Dan berpegang teguhlah kalian semua kepada tali Allah, ada yang
mengatakan bahwa tali Allah berarti janji kepada Allah, sebagaimana dikatakan dalam ayat sesudahnya,
yang artinya, Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang pada
janji dengan Allah dan janji dengan manusia. (QS Ali Imran: 112). Pendapat lain mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan tali Allah ialah Al-Quran, sebagaimana dikatakan dalam hadits Al-Harits Al-A`war
dari Ali mengenai gambaran tentang Al-Quran, Al-Quran merupakan tali Allah yang kuat dan jalan-Nya
yang lurus.
Kemudian Allah berfirman, yang artinya, Dan janganlah kalian bercerai berai. Allah menyuruh mereka
bersatu dan melarang mereka bercerai berai. Banyak hadits yang menyebutkan hal itu, seperti hadits
yang terdapat dalam Shahih Muslim yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda,
Sesungguhnya Allah meridhai dari kalian tiga perkara dan membenci dari kalian tiga perkara pula. Dia
ridha kepada kalian jika kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun,
kalian semua berpegang teguh kepada tali Allah dan tidak bercerai-berai, dan kalian setia kepada orang
yang telah diserahi urusan kalian oleh Allah. Dan Allah murka kepada kalian karena tiga hal: banyak
berbicara (banyak mengatakan bahwa orang berbicara begini dan begini), banyak bertanya (yang tidak
perlu), dan menyia-nyiakan harta.
Firman Allah yang artinya Dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian bermusuhmusuhan, maka Allah mempersatukan kalian, lalu menjadikan kalian, karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara, ayat ini berkaitan dengan kaum Aus dan Khazraj. Pada masa Jahiliyah, terjadi perang
yang panjang di antara mereka. Setelah mereka masuk Islam, mereka menjadi bersaudara dan saling
mencintai, berkat keagungan Allah. Mereka bersatu di jalan-Nya dan tolong-menolong dalam kebajikan
dan taqwa.