transkripsi
dan
translasi
genom
virus,
dilanjutkan
dengan
DNA
dari
serum
dan
saliva
dimaksudkan
untuk
mendeteksi
DNA-EBV,
DNA
diamplifikasi
dengan
PCR
program
yang
digunakan
oleh
peneliti-peneliti
sebelumnya.
Tabel 1. Eksistensi DNA EBV pada serum pasien KNF dan kontrol (nonKNF), dideteksi dengan nested PCR.
Subyek
Kontrol
Pasien KNF
Gambar
1.
Hasil
Jumlah
31
32
amplifikasi
DNA-
EBV
dengan
nested
PCR
Eksistensi DNA EBV dalam serum dan cairan tubuh seperti saliva
pasien KNF dapat dipakai sebagai indikator/penanda progresifitas tumor,
terkait dengan aktivitas replikasi virus dalam sel KNF yang pada gilirannya
akan membebaskan virion ke sirkulasi atau cairan tubuh yang paling dekat
dengan sumber replikasi virus, yaitu saliva.
Eksistensi DNA EBV dalam serum maupun saliva pasien KNF
diinterpretasi dari hasil elektroforesis produk nested PCR gen EBNA1.
Dinyatakan negatip (-) apabila tidak ada pita DNA yang terdeksi; positip
(1+) apabila jumlah DNA EBV sedikit ditunjukkan dengan pita (band) DNA
tipis; positip (2+) apabila jumlah DNA EBV sedang, ditunjukkan dengan
pita DNA yang jelas tetapi tidak tebal; positip (3+) apabila jumlah DNA
EBV banyak sekali, ditunjukkan dengan pita DNA yang jelas dan tebal.
Eksistensi DNA EBV dalam serum maupun saliva pasien KNF
diinterpretasi dari hasil elektroforesis produk nested PCR gen EBNA1.
Dinyatakan negatip (-) apabila tidak ada pita DNA yang terdeksi; positip
(1+) apabila jumlah DNA EBV sedikit ditunjukkan dengan pita (band) DNA
tipis; positip (2+) apabila jumlah DNA EBV sedang, ditunjukkan dengan
pita DNA yang jelas tetapi tidak tebal; positip (3+) apabila jumlah DNA
EBV banyak sekali, ditunjukkan dengan pita DNA yang jelas dan tebal.
bahwa
aktivitas
litik
tumor
lebih
cepat
(segera)
KESIMPULAN
1. Eksistensi DNA EBV pada pasien KNF yang menjalani radioterapi
dapat dipakai sebagai indikator efektifitas terapi. Radioterapi efektif
untuk pasien dengan viremia DNA EBV dalam jumlah besar, namun
kurang efektif untuk pasien dengan viremia DNA EBV dalam jumlah
kecil.
2. Eksistensi DNA EBV dalam saliva lebih informatif apabila dipakai
sebagai
indikator
keberhasilan
terapi,
karena
memperlihatkan
frekuensi penurunan DNA EBV yang lebih tinggi dan lebih cepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mutirangura A. Molecular mechanisms of nasopharyngeal carcinoma
development. Research advances and research updates in
medicine 2000; 1:18-27.
2. Mutirangura A, Tanunyutthawongese C, Pornthanakasem W,
Kerekhanjanarong V, Sriuranpong V, S. et al. Genomic alteration
in nasopharyngeal carcinoma: loss of heterozygosity and
Epstein-Barr virus infection. Brit J. Cancer 1997; 76:770-6.
3. Roezin A. dan Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, dan Restuti RD. Editor. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Edisi ke 6. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2007.
4. Feng, Ren EC, Liu D, Chan SH, Hu H. Expression of Epstein-Barr virus
lytic gene BRLF1 in nasopharyngeal carcinoma: potential use in
diagnosis. J Gen Virol 2000; 81: 2417-2423.
10
11