Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Pembimbing :
Dr. Elsa Febria Sari, SpPD
Disusun oleh :
Febri Hanifa.F
1110103000062

KEPANITERAAN KLINIK RSUD BEKASI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Salawat serta salam
tidak lupa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan
sahabatnya.
Adapun judul dari referat ini adalah Chronic Kidney Disease. Tinjauan pustaka
yang dibahas meliputi definisi, etiologi, epidemiologi, klasifikasi, patogenesis, gejala,
diagnosis, serta tata laksana chronic kidney disease.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penulisan referat ini, terutama dr. Elza Febriasari, Sp.PD selaku pembimbing pada
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Bekasi.
Penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun bagi
penulis. Semoga referat ini dapat bermanfaat terutama bagi pembaca.
Bekasi, 8 Februari 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
2

Chronic Kidney Disease (Penyakit Ginjal Kronik) merupakan suatu kondisi dimana
menurunnya fungsi ginjal. Proses ini terjadi dalam waktu lebih 3 bulan. Hal ini terjadi apabila
laju filtrasi glomerular (LFG) kurang dari 50 mL/mnt. CKD berhubungan dengan
peningkatan resiko penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal kronik. CKD adalah penyakit ke
9 penyebab kematian di Amerika Serikat.
Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah penyakit kompleks yang berdampak lebih dari
20 juta orang di Amerika Serikat. Perkembangan CKD dikaitkan dengan sejumlah komplikasi
serius, termasuk peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular, hiperlipidemia, anemia dan
penyakit tulang. Pasien CKD harus diperhatikan terjadinya komplikasi ini dan memberikan
pengobatan optimal untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
CKD biasanya tanpa gejala, tetapi terdeteksi dan pemeriksaan untuk CKD sederhana
dan tersedia bebas. Ada bukti bahwa pengobatan dapat mencegah atau menunda
perkembangan CKD, mengurangi atau mencegah perkembangan komplikasi, dan mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular. Namun, CKD sering tidak diakui karena tidak ada gejala
khusus, dan sering tidak didiagnosis atau didiagnosis pada stadium lanjut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3

2.1 DEFINISI
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Ditandai dengan adanya uremia (retensi urea
dan sisa nitrogen lainnya dalam darah).
Kriteria penyakit ginjal kronik sebagai berikut :
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerolus dengan
manifestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin atau kelainan dalam tes pencitraan.
2. Laju filtrasi glomerolus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
2.2.2 KLASIFIKASI
a. Klasifikasi menurut perhitungan GFR
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit berdasarkan GFR yang dihitung dengan
menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
GFR=

( 140umur ) x berat badan


72 x kreatinin plasma(mg / dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Deraja

Penjelasan

GFR (ml/mn/1,73m)

t
1

Kerusakan

meningkat
Kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan

ginjal

dengan

GFR

normal

atau >90
60-89
4

Kerusakan ginjal dengan GFR menurun sedang

30-59

Kerusakan ginjal dengan GFR menurun berat

15-29

Gagal ginjal

<15 atau dialisis

b. Klasifikasi berdasarkan dasar diagnosis etiologi


Penyakit
Penyakit ginjal diabetes
Penyakit ginjal non diabetes

Tipe mayor
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit glomerular (penyakit autoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah
besar, hipertensi mikroangiopati)
Penyakit

tubulointerstisial

(pielonefritis

kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)


Penyakit pada transplantasi

Penyakit kistik (ginjal polikistik)


Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit reccurent (glomerular)
Transpalnt glomerulopathy

2.2.3 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 1999 menyatakan insiden penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus per juta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar
8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40 60 kasus perjuta penduduk pertahun.

2.2.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasari. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan
5

terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal
menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan
mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi hiperfiltrasi dan peningkatan aliran
darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang
berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD).
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi
sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi :
-

Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan
kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah.

Sesak nafas
Kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi
ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I. Lalu oleh converting enzyme,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang
pelepasan aldosteron dan ADH sehingga menyebabkan retensi NaCl dan air
volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) volume cairan berlebihan
ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer LVH peningkatan
tekanan atrium kiri peningkatan tekanan vena pulmonalis peningkatan
tekanan di kapiler paru edema paru sesak nafas

Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan
kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada
gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan
6

sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat


melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila
penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik.
Asidosis metabolik dapat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual,
muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik
adalah

pernapasan

kussmaul

yang

timbul

karena

kebutuhan

untuk

meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis.


-

Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan

tekanan darah.
Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh
ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

Hiperurisemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam
darah (hiperurisemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat
membengkak, meradang dan nyeri.

Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi
air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah.

Hiperfosfatemia

Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga


fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya
terlampaui, fosfat akan bergabung dengan Ca2+ untuk membentuk kalsium
fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di
sendi dan kulit (berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
-

Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi
tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di
dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya di ginjal. Jadi
meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada
insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga
konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO 4
terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu,
rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan
perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi
bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelainan yang berkaitan
dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan
hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal
dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain (sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan dalam
menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi
penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus,
hal ini memperberat keadaan hipokalsemia

Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan
konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi
8

hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga


menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini
berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga
dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam,
gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental.
-

Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan
ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria
glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan
glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas
glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul
protein berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas
melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi
pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebut dengan sindrom nefrotik.

Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia
pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat
terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke
aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan
mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang
dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik.
Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi
dan menyebabkan koma uremikum.

2.2.4 ETIOLOGI
a.
b.
c.
d.

Glomerulonefritis
Diabetes Mellitus
Obstruksi dan infeksi
Hipertensi
9

Tabel 1. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisa di Indonesia Tahun


2000
Penyebab
Glomerulonefritis
Diabetes Mellitus
Obstruksi dan infeksi
Hipertensi
Sebab lain

Insiden
46,39%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%

2.2.5 MANIFESTASI KLINIS


Pasien dengan GFR sebesar 60% masih belum merasakan keluhan (asimptomatik),
tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. GFR sebesar 30 % mulai
terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat badan. GFR kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada GFR di bawah 15 % akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Tabel 2. Manifestasi Klinis Chronic Kidney Disease

10

2.2.6 PENDEKATAN DIAGNOSTIK


Gambaran klinis
a. Sesuai dengan penyakit dasarnya seperti DM, Infeksi traktus urinarius, batu traktus
urinarius, hipertensi, SLE.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang sampai
koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, asidosis
metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit.
Gambaran laboratorium
a. Sesuai penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, penurunan
GFR.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hb, peningkatan kadar asam
urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hipo atau hiperkloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisa meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria.
Gambaran Radiologis
a. Foto polos abdomen, tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang digunakan, karena kontras sering tidak melewati
glomerolus
c. Pielografi antegrad dilakukan sesuai indikasi
d. USG ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal mengecil, korteks menipis, adanya
hidronefrosis, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi

11

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis
dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi kontraindikasi dilakukan pada
keadaan dimana ginjal dengan ukuran yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi tidak
terkendali, infeksi perinefritik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
2.2.7

TATALAKSANA
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biposi
dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan inidkasi yang tepat terhadap
terapi spesifik. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol,
infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya.

3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :

a. Pembatasan asupan protein


Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi
malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Kelebihan protein
12

tidak dapat disimpan dalam tubuh namun dipecah menjadi urea dan substansi
nitrogen, terutama yang diekskresikan melalui ginjal. Makanan tinggi protein yang
mengandung ion hidrogen, pospfat, sulfat dan ion unorganik juga diekskresikan
melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien CKD
mengakibatkan penimbunan substansu nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Pembatasan
asupan protein mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Asupan protein
berlebih juga meningkatkan aliran darah dan tekanan intraglomerolus, yang akan
meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal.
Tabel 3. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal
Kronik
LFG ml/menit
>60
25-60

Asupan protein g/kg/hari


Tidak dianjurkan
0,6-0,8/kg/hari, termasuk > 0,35 gr/kg/hari

Fosfat g/kg/hari
Tidak dibatasi
< 10 g

5-25

nilai biologi tinggi


0,6-0,8/kg/hari, termasuk > 0,35 gr/kg/hari

< 10 g

nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g


<60

asam amino esensial atau asam keton


0,8/kg/hari (+1 gr protein/g proteinuria

(sindrom

atau 0,3 g/kg tambahan asam amino

nefrotik)

esensial atau asam keton

<9g

b. Terapi farmakologi
Pemakaian obat antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerular dan hipertrofi
glomerulus.

c. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular


Dengan cara pengendalian DM, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.

13

d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi


1. Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron,
kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin serum), mencari sumber
perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian
eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11
12 g/dl.
2. Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :

Mengatasi hiperfosfatemia
o Pembatasan asupan fosfat 600 800 mg/hari
o Pemberian pengikat fosfat, seperti garam kalsium, aluminium hidroksida,
garam magnesium. Diberikan secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat
yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate.
o Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambat reseptor Ca pada
kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida.

Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar
hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat
dan kalium di saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan garam calcium
carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.

Pembatasan cairan dan elektrolit


Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan kompikasi
kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500 800 ml
ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan
14

natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan


aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat obat yang mengandung
kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi.
Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
3. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15 ml/mnt.
Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
2.2.8 PROGNOSIS
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya
buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,
bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK. Selain itu, biasanya GGK sering
terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga
penanganannya seringkali terlambat.

BAB III
KESIMPULAN

15

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea
dan sampah nitrogen lainnya dalam darah).
Penyebab dari penyakit ginjal kronik bermacam-macam seperti glomerulonefritis,
DM, obstruksi dan infeksi, hipertensi, dll. Klasifikasi CKD terbagi berdasarkan GFR dan
dasar diagnosis etiologi. Secara umum CKD terjadi karena pengurangan massa ginjal yang
menyebabkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih baik mengkompensasi.
Diagnosis CKD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang.
Terapi farmakologis pada CKD untuk mengurangi hipertensi intraglomerolus.
Beberapa obat anti hipertensi terutama Penghambat Enzim Konverting Angiotensin (ACE
Inhibitor) daapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal. Beberapa terapi terhadap
komplikasi CKD seperti anemia dengan pemberian eritropoetin sesuai indikasi,
hipofosfatemia dengan pembatasan asupan fosfat, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

16

1. Sudoyo, Aru W Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
2. Dan, Longo et al. Harrisons Principles of Internal Medicine 18th edition. USA:
McGraw-Hill Companies. 2012
3. Williams and Wilkins, Pocket Medicine 4th Ed. USA : The Massachusetts General
Hospital Handbook of Internal Medicine. 2011
4. Thomas, Robert MD, etc. Chronic Kidney Disease and Its Complications. 2009
5. Arora, Pradeep MD, etc. Chronic Kidney Disease. Medscape. 2014

17

Anda mungkin juga menyukai