PROBLEM-BASED LEARNING
PBL Blok Klinik
SKENARIO Lekas Sembuh ya Nak....
Minggu ke-7
Tanggal 19 s.d 31 Desember 2014
Grup E
DWI RATNAWATI
(125070301111008)
FIRDA AMALIA
(125070301111009)
(125070301111011)
(125070301111013)
YUNITA ENDAH K.
(125070301111014)
(125070301111001)
(125070301111002)
YUNITA REZA R.
(125070301111003)
RANI ILMINAWATI
(125070301111004)
RACHMI FARICHA
(125070301111005)
(125070301111006)
(125070301111007)
Grup E
DWI RATNAWATI
(125070301111008)
FIRDA AMALIA
(125070301111009)
(125070301111011)
(125070301111013)
YUNITA ENDAH K.
(125070301111014)
(125070301111001)
(125070301111002)
YUNITA REZA R.
(125070301111003)
RANI ILMINAWATI
(125070301111004)
RACHMI FARICHA
(125070301111005)
(125070301111006)
(125070301111007)
ISI
A. KOMPETENSI YANG AKAN DICAPAI
CADE 36. Mahasiswa mampu mengembangkan dan mengimplementasikan rencana
pemberian nutrisi pada pasien, khususnya makanan transisi (transitional
feeding).
B. SKENARIO
Lekas Sembuh ya Nak....
An. C jenis kelamin laki-laki, berusia 7 bulan dirawat di rumah sakit dengan diagnosa
bronkopneumonia dan alergi. Berat badan pasien 9 kg dan panjang badan 71 cm.
Pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif karena pada usia 0-6 bulan pasien
mendapatkan susu formula dan ASI secara berselang-seling karena ibu pasien sibuk
bekerja. Sebelum masuk RS pasien mengkonsumsi bubur dengan komposisi tepung
beras, ayam,
telur,
dan wortel.
Berdasarkan
hasil
pemeriksaan
fisik
klinis
menunjukkan sesak, diare, muntah, suhu tubuh 38 0C, nadi 100x/menit dan RR
20x/menit. Pasien harus menjalani perawatan yang intensif bahkan jika pasien
menjalani rawat jalan, pasien diwajibkan untuk kontrol setiap satu bulan sekali, oleh
karena itu ahli gizi diharapkan mampu memberikan intervensi gizi pada pasien saat
berusia 7 bulan hingga pasien berusia 1 tahun.
C. DAFTAR UNCLEAR TERM
1. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia adalah peradangan paru yang berawal pada bronkiolus
terminalis yang menyebabkan kesulitan dalam bernafas (Dorland, 2009 dan
Stevenson, 2010).
2. Alergi
Alergi adalah hipersensitif yang didapatkan melalui pajanan ulang yang
menimbulkan manifestasi akibat kemampuan bereaksi yang berlebihan yang
ditandai dengan perubahan (misalnya bengkak atau bisul) terhadap kumankuman penyakit, dimana keadaan ini sangat peka terhadap penyebab tertentu
(Dorland, 2009 dan Agustin, 2004).
3. Susu formula
Susu formula adalah susu hewan mamalia yang dikemas menjadi tepung dengan
komposisi zat gizi utama mendekati komposisi ASI (PERSAGI, 2010).
4. ASI eksklusif
ASI eksklusif adalah air susu ibu yang diberikan kepada bayi sejak lahir sampai
4
bayi berusia 6 bulan, tanpa diberikan makanan dan minuman lain (PERSAGI,
2010).
D. DAFTAR CUES
Ahli gizi diharapkan mampu memberikan intervensi gizi pada pasien dengan
bronkopneumonia dan alergi saat berusia 7 bulan hingga berusia 1 tahun dengan
tanda dan gejala klinis yang dialami
E. DAFTAR LEARNING OBJECTIVES
1. Bagaimana patofisiologi dari bronkopneumonia dan alergi makanan serta tanda
dan gejalanya?
2. Apa penyebab dari terjadinya bronkopneumonia dan alergi? Mengapa alergen
orang berbeda-beda?
3. Apa saja faktor risiko dari bronkopneumonia dan alergi?
4. Apakah ada hubungan antara alergi makanan dan bronkopneumonia?
5. Apa
perbedaan
dari
alergi
dan
food
intolerance
dan
bagaimana
cara
cara
mengatasi
orang
yang
alergi
makanan
supaya
boleh
17. Bagaimana perbandingan pemberian ASI dengan MP-ASI pada makanan transisi?
18. Bagaimana tekstur dan cara pembuatan dari makanan transisi yang dibedakan
berdasarkan umur? Seberapa banyak makanan transisi yang diberikan (kalori)?
Apa saja bahan makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam
membuat makanan transisi? Berapa frekuensi pemberian makanan transisi?
19. Apa fungsi dari pemberian makanan transisi?
20. Bagaimana konten dari pemberian edukasi gizi untuk orang tua An. C saat rawat
jalan dan rawat inap dan cara berkoordinasi dengan orang tua pasien dalam
penerapan interensi gizi agar kondisi pasien pulih?
21. Indikator apa saja yang perlu dimonitoring dan evaluasi dari pasien? Kapan
dilakukan monitoring dan evaluasi? Apa target keberhasilan dari intervensi gizi
yang diberikan?
F.
HASIL BRAINSTORMING
1. Bagaimana patofisiologi dari bronkopneumonia dan alergi makanan
serta tanda dan gejalanya?
Patofisiologi bronkopneumonia: Pneumonia berasal dari inflamasi yang
disebabkan oleh bakteri. Dari inflamasi yang disebabkan oleh bakteri, alveolus
terisi oleh nanah sehingga udara yang di dalam sulit keluar dan paru-paru
menjadi solid atau padat. Bronkopneumonia dimulai dari bronkiolus hingga
alveoli dalam paru-paru. Tanda gejala dari bronkopneumonia biasanya batuk dan
nyeri dada (Martin, 1982).
Patofisiologi alergi makanan: Pada saat pertama kali terkena, alergen akan
merangsang limfosit untuk merangsang antibodi di IgE terhadap antibodi
tersebut. Antibodi ini akan melekat pada sel mast jaringan tubuh manusia. Jika
nanti orang tersebut makan makanan yang sama, maka antibodi akan
merangsang sel mast untuk melepaskan histamin. Zat kimia yang bernama
antihistamin ini yang menyebabkan gejala alergi makanan (Kamus Gizi, 2010).
Biasanya muncul bintik-bintik merah (biasanya muncul di tangan dan organ
lain), sesak, demam, diare, asma, gatal-gatal, bengkak (jika ditekan sakit).
Berikut adalah klasifikasi dari tanda gejala alergi makanan.
1. Tanda gejala dari gastrointestinal tract adalah diare mual dan muntah.
2. Tanda gejala dari kulit adalah gatal-gatal, bengkak, ruam pada kulit atau
merah.
3. Tanda gejala dari respirasi atau saluran pernafasan adalah asma dan sesak.
2. Apa penyebab dari terjadinya bronkopneumonia dan alergi? Kenapa
alergen orang berbeda-beda?
6
makan
makanan
yang
tidak
pernah
dimakan,
sehingga
menimbulkan alergi.
3. Apa saja faktor risiko dari bronkopneumonia dan alergi?
Bronkopneumonia: seberapa sering orang tersebut terpapar oleh bakteri di
lingkungan tersebut, misalnya debu yang membawa bakteri.
Alergi: genetik
4. Apakah
ada
hubungan
antara
alergi
makanan
dengan
bronkopneumonia?
Tidak ada hubungan antara alergi makanan dengan bronkopneumonia, karena
respon pada saat alergi dan bronkopneumonia berbeda. Reaksi alergi yang
dihubungkan dengan asma lebih berpengaruh pada penyempitan dari bronkus.
5. Apa perbedaan dari alergi dan food intolerance dan bagaimana cara
membedakannya, serta tanda dan gejalanya?
Cara membedakan alergi dengan food intolerance:
Untuk membedakan alergi dengan food intolerance adalah dengan cara
melakukan dietary assessment terlebih dahulu untuk mengetahui makanan apa
yang menyebabkan alergi. Selain itu melakukan test alergi untuk mengetahui
makanan apa yang membuat seseorang alergi.
Perbedaan dari alergi dan food intolerance:
Reaksi spesifik dari alergi dan food intolerance berbeda. Reaksi dari alergi
adalah hipersensitif imun, sedangkan lactose intolerance adalah dari genetik.
Tanda gejala alergi dan food intolerance:
Alergi dengan food intolerance dapat dibedakan dari tanda gejalanya. Tanda
7
gejala dari food intolerance adalah muntah, sedangkan alergi makanan muncul
bintik-bintik pada kulit.
6. Apa saja makanan yang berpotensi sebagai alergi?
Makanan yang berpotensi sebagai alergi adalah makanan yang mengandung
protein tinggi (seafood, susu, telur) dan produk olahannya, kacang-kacangan,
keju, ayam, gandum.
7. Bagaimana cara melakukan test alergi?
Skin prick test: biasanya dilakukan tes di tangan dan menggunakan
reagen sesuai dengan alergennya, kemudian disuntikkan di tangan. Ketika
muncul
bulatan,
ditandai
dengan
bolpoin
dan
kemudian
dokter
saja
macam-macam
alergi?
Bahan
apa
saja
yang
dapat
intervensi/preskripsi
diet
yang
tepat
dan
tidak
diperbolehkan
dalam
membuat
makanan
transisi?
Berapa
sebagai berikut.
1. Frekuensi dan porsi pemberian ASI dan MP-ASI.
2. Tekstur dan cara pemasakan makanan.
3. Materi mengenai ASI eksklusif seharusnya tidak boleh diberikan berselangseling dengan susu formula.
4. Bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan.
5. Orang tua diajari cara mengatasi alergi pada anak.
21. Indikator apa saja yang perlu dimonitoring dan evaluasi dari pasien?
Kapan dilakukan monitoring dan evaluasi? Apa target keberhasilan dari
intervensi gizi yang diberikan?
Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi serta waktu melakukan
monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut.
1. Fisik klinis: Suhu tubuh, nadi, RR, sesak, diare, muntah dipantau 2 jam sekali
dalam sehari.
2. Antropometri: BB dan PB dipantau setelah 1 bulan kemudian setelah
intervensi dijalankan.
3. Dietary: kecukupan asupan energi dan zat gizi lainnya dari ASI dan MP-ASI
Target: keberhasilan dari intervensi gizi yang diberikan adalah semua tanda fisik
klinis sampai mencapai normal.
11
G. HIPOTESIS
An. C (7
bulan)
MRS
Reaksi Simpang
Makanan
Diagnosa
Imunolog
Non-
is
Imunologis
medis
IgE
Intoleran
Alerg
Bronkopneumo
Non-
nia
si
IgE
Patofisiolo
Penyeb
Sign
Faktor
gi
ab
symptom
risiko
Bakteri
Paru-paru
terisi
cairan
Bakteri
Virus
Jamur
Suhu
tinggi
Kejang
Umur
ASI
Status
gizi
Edukasi
Penyeb
Macam
ab
alergi
Bahan
Makanan
Sumber
Sign
Faktor
symptom
risiko
Genet
Tipe
Tipe
Tipe
II
III
ik
Tipe
IV
Susu,telur, ikan,
gandum
Tujuan
Interve
Preskripsi
nsi
diet
Waktu
Monitoring
monev
Evaluasi
Target
Fisik klinis:
Dietar
ri:
y:
Target
waktu
p
Syarat
Frekuen
si
Kompos
Antropomet
sesak
Prinsi
isi
Makana
n
transisi
Bahan
Makanan
Tekstur
Fungsi
ASI
MPASI
12
2014),
sehingga
menyebabkan
sesak
nafas.
Sebenarnya
bakteri
pneumonia ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat. Pada saat
pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan
malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan
merusak organ paru. Toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia
bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel sistem pernapasan bawah.
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling
mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru ataupun seluruh
lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru (tiga di paru kanan dan dua di
paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru, infeksi dengan cepat
menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah (Isnaini, 2009).
Tanda
gejala
bronkopneumonia:
Bercak-bercak
pada
paru,
demam,
antigenic determinant site (Fab) dari IgE yang akan berdempetan dengan mast
cell dan basofil. Ikatan satu atau lebih IgE di mast cell memicu pengaktifan mast
cell
yang
berakibat
menghasilkan
bahan-bahan
kimia
seperti
histamin,
alergi
cepat:
gatal-gatal
pada
mulut
dan
tenggorokan,
tipikal
(mycoplasma,
typical
pneumonia),
bakteri
protein
virus,
dimana
kekebalan
tubuh
seseorang
tidak
bisa
sensitisasi
yang
diberikan
sehingga tiap
orang
dapat
berbeda
alergennya dan ada orang yang alergi maupun tidak alergi (Judarwanto, 2005;
NIAID, 2011).
3. Faktor risiko bronkopneumonia dan alergi
Faktor risiko bronkopneumonia: Umur ( 2 tahun atau 65 tahun), jenis
kelamin, status gizi, status imunisasi, faktor agen, pekerjaan orang tua,
pendidikan orang tua, pola asuh anak dalam keluarga berdasarkan jumlah anak,
polusi udara dalam ruangan atau rumah, kepadatan hunian, tidak mendapatkan
ASI yang cukup, memiliki penyakit paru, HIV/AIDS, penyakit kronik seperti
diabetes dan penyakit jantung, sistem imun lemah, perokok, peminum berat,
batuk, dan malnutrisi (Putri, 2010; Sigalingging, 2010; Martel, 2012).
Faktor risiko alergi: Faktor genetik (riwayat alergi orang tua), imaturitas usus
(anak lebih beresiko daripada dewasa), paparan alergi yang merangsang
produksi IgE spesifik, genetik, usia (kadar IgE tertinggi pada usia anak dan mulai
menurun secara bertahap pada umur 15 tahun), jenis kelamin (lebih berisiko
pada perempuan karena gangguan keseimbangan hormon), pola makan, jenis
makanan, faktor lingkungan, faktor fisik (seperti kelelahan, aktivitas berlebih),
faktor emosi (seperti kecemasan, sedih, stres, ketakutan), dan faktor hormonal
(Judarwanto, 2005; Nency, 2005; dan Sigalingging, 2010). Selain itu, asap rokok
juga dapat meningkatkan risiko alergi anak. Saat anak kontak dengan asap
rokok, terjadilah peningkatan imunoglobulin E pada tubuhnya, dan ini akan
membuat kemungkinan alergi pada anak akan semakin berkembang. Karena
Imunoglobulin inilah salah satu faktor yang penting untuk meningkatkan
terjadinya risiko alergi (Graha, 2010).
4. Hubungan antara alergi makanan dan bronkopneumonia
Ada hubungan antara alergi makanan terhadap bronkopneumonia. Pneumonia
merupakan peradangan parenkim paru yang dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, parasit. Selain itu juga dapat disebabkan oleh bahan kimia ataupun
karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Peradangan parenkim paru juga
dapat disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi, dan alergi, biasanya disebut
pneumonitis (Djojodibroto, 2009). Pada individu yang rentan terhadap alergi,
paparan dengan alergen (antigen) menghasilkan aktiviasi sel Th2 dan prouksi
antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun
tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan
dengan hipersenssitivitas segera (tipe I). Antibodi IgE terikat dengan afinitas
16
tinggi melalui bagian Fe di sel mast. Proses pelapisan sel mast oleh IgE ini
disebut sensitisasi, karena pelapisan ini menyebabkan sel mast sensitif terhadap
aktivasi bila terjadi paparan ulang antigen. Selama fase sensitisasi awal, tidak
terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan. Apabila sel mast yang
tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali dengan antigen, sel akan teraktivasi
untuk mengeluarkan mediator. Aktivasi sel mast terjadi sebagai hasil ikatan
alergen dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast. Setelah adanya ikatan
silang, maka akan memicu signal biokimia yang menyebabkan degranulasi
cepat, sintesis dan sekresi mediator lipid dan sintesis serta sekresi sitokin.
Mediator penting pada sel mast adalah amin vasoaktif dan protease yang
berasal dari granul, produk metabolisme asam arakidonat dan sitokin (TNF-a, IL1, IL-4, IL-5 dan IL-6 dan kemokin termasuk IL-8). Mediator amin utama, yaitu
histamin
menyebabkan
permeabilitas
vaskular
dilatasi
dan
pembuluh
menstimulasi
darah
kontraksi
kecil,
otot
meningkatkan
polos
transient
karena
reaksi
hipersensitivitas
(Judarwanto, 2005).
tipe
I oleh
zat
yang
terkandung
dalam
Campylobacter
histamin
ikan),
zat
pada
dan
keracunan
farmakologis
yang
kelainan
seperti
pada pejamu
defisiensi
Tanda gejala
(Judarwanto, 2005).
Tanda gejala
1. Gangguan
flatulance,
lactase,
sendiri
maltase
gastrointestinal
diare,
sakit
tract:
perut,
flushing.
gas,
batuk,
edema
lambung
laring,
sindrom Herners.
dan
lama
(Ikatan
pengosongan
Dokter
Anak
Indonesia, 2009).
2. Gangguan metabolisme: muntah,
atau
produk
gandum (Gandum
memiliki
senyawa
albumin,
2005).
Selain
itu
dapat
meningkatkan
sel
mast
dan
kacang, walnuts, dan ikan seperti ikan salmon (National Institute of Allergy and
Infectious Disease, 2012).
7. Macam-macam dan cara melakukan tes alergi
1.
Skin prick test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang
banyak digunakan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada
sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya
histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan
permeabilitas
pembuluh
darah
akibatnya
timbul
Tes ini sangat populer, cepat, simpel, tidak menyakitkan, relatif aman,
jarang menimbulkan reaksi anafilaktik dan tanda-tanda reaksi sistemik,
dapat dilakukan banyak tes pada satu sisi, mempunyai korelasi baik
dengan IgE spesifik (Kartikawati, 2007).
Dilakukan di bagian volar lengan dan tanrai area yang akan ditetesi
dengan ekstrak antigen. Pertama-tama, diteteskan satu tetes larutan
alergen (histamin/kontrol positif) dan larutan kontrol (buffer/kontrol
negatif) menggunakan jarum ukuran 26,5 G atau 27 atau blood lancet.
Kemudian cukitkan dengan sudut kemuringan 45 0menembus lapisan
epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan
perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen memasuki
kulit. Tes dibaca setelah 15 20 menit dengan menilai bentolyang timbul
(Kartikawati, 2007).
+ 1 (ringan) : bila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif dan
atau terdapat daerah eritema.
2.
keping
alergen
yang
digunakan
untuk
tetap
kontak
pada
tidak tahu.
Open food challenge test, nakes dan pasien tahu makanan yang
diberikan (NIAID, 2011).
8. Macam-macam alergi
1.
yang
ditujukan
pada
antigen
sspesifik
(alergen).
Bahan
yang
Hipersensitivitas
yang
dimediasi
antibodi
(tipe
II):
Pada
respons
hipersensitivitas tipe II, suatu antibodi sirkulasi biasanya IgG atau IgM,
bereaksi dengan antigen pada permukaan sel. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R. Ikatan antigen antibodi dapat
pula mengaktifkan komplemen yang, melalui reseptor C3b, memudahkan
fagositosis atau menimbulkan lisis. Efeknya pada hospes bergantung pada
jumlah dan tipe sel-sel yang dirusak. Contoh reaksi tipe II ini ialah pada
keadaan trombositopenia yang berhubungan dengan alergi susu sapi
(Mitchell, 2008; Tambayong, 1999; Christanto, 2011b).
3.
4.
Hipersensitivitas yang dimediasi sel (tipe IV): dimulai oleh limfosit T yang
mengalami sensitisasi secara spesifik (Mitchell, 2008). Suatu reakssi kulit
alergis umum, yaitu dermatitis kontak akan tampak menjadi respon dari
hipersensitivitas tipe IV. Hal ini terjadi pada kontak dengan kimia rumah
tangga umum, kosmetik, dan toksin tanaman (Tambayong, 1999).
21
sumber
alergen
masuk
ke
mulut
dibawa
ke
lambung
lewat
Diet:
untuk
seseorang
yang
alergi
terhadap
jagung
dan
ASI
Makanan
Lumat
Makanan
Lembik
Usia 0 6 bulan
Usia 6 8 bulan
Makanan
Keluarga
Usia 24 59 bulan
Karbohidrat
Beras, oat
Buah
Pisang, pear
Sayuran
Labu, tomat
Protein
Nabati dan
Hewani
Ayam, tahu,
ikan, kacang
24
hijau
8-10 bulan
Beras, oat,
Pisang, pear,
Labu, tomat,
Kacang hijau,
biskuit tawar
apel, anggur
lobak, kubis,
ayam, tahu,
brokoli
kuning telur,
ikan tengiri,
10-12 bulan
Beras, oat,
Apel, pisang,
Labu, lobak
daging sapi
Kacang hijau,
biskuit tawar,
pear, anggur,
merah,
ayam, tahu,
gandum
beri
brokoli,
seluruh telur
asparagus,
(pada saat
jagung,
umur 1
bayam,
tahun), daging
buncis,
sapi, daging
kacang
doomba, ikan
panjang
salmon
14. Hubungan dari pemberian ASI dan susu formula secara berselangseling dengan penyakit yang diderita pasien
ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian bronkopneumonia dan alergi.
Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan atau lebih memberikan efek protektif
yang lebih besar berkaitan dengan respon dosis efek protektif terhadap infeksi.
Semakin besar dosis ASI yang diberikan semakin besar pula efek protektif yang
dihasilkan.
Hal
berpengaruh
ini
dapat
terhadap
dijelaskan
respon
imun
bahwa
anak
ASI
melalui
sebagai
proteksi
berbagai
cara,
pasif
yaitu
susu
formula yang
masuk
ke
tubuh dibandingkan
dengan
ASI
(Mawaddah, 2012).
15. Assessment terkait antropometri
Menurut hasil dari aplikasi WHO Anthro, didapatkan Z-score BB/PB 0,48 yang
diinterpretasikan normal, BB/U 0,74 yang diinterpretasikan normal, dan PB/U
0,82 yang diinterpretasikan normal.
16. Preskripsi diet untuk pasien
Tujuan:
1. Memberikan makanan yang cukup tanpa membuat pasien sesak, muntah,
dan diare.
2. Untuk menurunkan tanda dan gejala alergi.
3. Untuk membatasi volume feses.
Prinsip: Tinggi energi, Rendah karbohidrat, Bebas telur, Rendah sisa
Syarat:
1. Energi tinggi, yaitu menambahkan 12% dari kebutuhan energi total.
Energi = (89 x BB) - 100) + 22
Energi = (89 x 9) - 100) + 22
Energi = 723 kkal
Penambahan energi = Energi x 12% = 86,76 kkal
Total energi = 809,76 kkal
Perbandingan pemberian ASI 56% dan MP-ASI 44%.
Energi dari ASI = 56% x 809,76 kkal = 453,47 kkal
Energi dari MPASI = 44% x 809,76 kkal = 356,29 kkal
2. Protein cukup, yaitu 20% dari kebutuhan energi total.
Protein = (Energi MP-ASI x 20%) : 4
Protein = (356,29 kkal x 20%) : 4
Protein = 17,82 gr
26
3. Karbohidrat
rendah,
yaitu
50%
dari
kebutuhan
energi
total
untuk
mengembangkan
kemampuan
mengunyah
dan
menelan
serta
tentang
pentingnya
ASI
bagi
pasien
dan
melanjutkan
2. Mengedukasi tentang kebutuhan energi dan zat gizi untuk pasien serta
pemberian makanan pendamping ASI bagi pasien mengenai frekuensi
pemberian, tekstur, jumlah yang diberikan, cara pemasakan, serta makanan
yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dimakan sesuai usia.
3. Mengedukasi tentang penanganan alergi pada pasien. Ibu pasien diminta
untuk tidak memberikan telur terlebih dahulu ke dalam makanan pasien. Hal
ini dikarenakan pemberian telur pada pasien bisa memperparah penyakit
pasien, yaitu bronkopneumonia.
20. Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi, waktu melakukan
monitoring dan evaluasi, dan target keberhasilan dari intervensi gizi
yang diberikan.
Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut.
1. Data antropometri, yaitu BB yang dipantau 1 minggu 1 kali dan PB yang
dipantau 1 bulan 1 kali. Intervensi gizi dikatakan berhasil jika terdapat
penambahan BB 350-450 gram/bulan pada usia 7-8 bulan dan meningkat
250-350 gram/bulan pada usia 9-12 bulan.
2. Data fisik klinis mengenai suhu tubuh, nadi, sesak (+/-), diare (+/-), muntah
(+/-), tanda-tanda alergi (+/-). Target keberhasilannya adalah semua tanda
fisik klinis pasien mencapai normal.
3. Data dietary mengenai asupan makan pasien. Target keberhasilannya adalah
asupan makan pasien sesuai dengan kebutuhan.
4. Pengetahuan Ibu pasien, dilakukan dengan cara Ibu pasien mengulangi
materi
yang
disampaikan
saat
edukasi
telah
diberikan.
Target
Cara pengolahan
Dikukus pada suhu 1000 C selama
5 menit atau dengan pemberian
sirup dapat menurunkan
sensitivitas alergi (Sathe, 2005 dan
Houska, 2013).
Pengolahan dengan cara digoreng
28
alergisitas.
Pengolahan tidak direbus karena
akan menimbulkan reaksi alergi.
Jika ingin makan telur, dalam
pengolahan ditambahkan cuka
untuk menurunkan sensitivitas
(Houska, 2013).
Proses pengolahan dengan cara
mengukus dan freeze drying dapat
menurunkan alergsitas (Houska,
2013).
Pemanasan protein dapat
menurunkan alergisitas dan
29
Penyebab
disebabkan
oleh
paling
bakteri
umum
adalah
pneumonia
Streptococcus
pada
anak-anak
pneumonia,
yang
sedangkan
virus. Selain itu, bronkopneumonia juga dapat disebabkan oleh bahan kimia
ataupun karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Peradangan parenkim
paru juga dapat disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi, dan alergi, biasanya
disebut pneumonitis.
Terjadinya alergi disebabkan oleh adanya partikel-partikel yang menimbulkan
alergi masuk ke dalam tubuh dan kemudian menimbulkan reaksi alergi. Alergen
yang menimbulkan alergi bisa berasal dari berbagai sumber, yaitu dari alam
seperti serbuk-serbuk sari berbagai tanaman, bulu-bulu hewan, spora jamur,
racun dari serangga, atau bahan makanan seperti susu, telur, ikan, kacangkacangan. Dapat pula faktor alergen berasal dari bahan kimia, seperti pewangi
pakaian, sabun, bedak, obat-obatan, maupun logam seperti gelang, kalung, dan
lain-lain. Di samping itu, faktor lingkungan, seperti polusi udara, rokok juga
dapat menyebabkan alergi. Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein,
glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul > 18.000 Dalton, tahan
panas, dan tahan enzim proteolitik. Penyebab alergi makanan dilihat dari
gastrointestinal adalah belum sempurnanya saluran cerna pada anak, adanya
kecenderungan kemiripan antara protein makanan dengan protein virus, dimana
kekebalan tubuh seseorang tidak bisa membedakan jenis protein, serta
imaturitas usus secara fungsional, dimana mukosa dinding saluran cerna belum
matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.
Setiap individu memiliki alergi yang berbeda disebabkan karena setiap individu
memiliki fenotif yang berbeda dan setiap periode usia memiliki karakter alergi
yang berbeda pula. Selain itu, ketika seseorang mengalami alergi, menunjukkan
bahwa tubuhnya membentuk IgE spesifik terhadap makanan tersebut, dan
sebaliknya, ketika tidak membentuk IgE spesifik terhadap suatu makanan maka
tidak terjadi reaksi alergi. Protein dan glikoprotein yang memicu pembentukan
IgE spesifik tersebut. Protein pemicu yang berbeda akan direspon oleh IgE
bergantung pada besar kecilnya sensitisasi yang diberikan sehingga tiap orang
dapat berbeda alergennya dan ada orang yang alergi maupun tidak alergi.
3. Faktor risiko bronkopneumonia adalah umur ( 2 tahun atau 65 tahun), jenis
kelamin, status gizi, status imunisasi, faktor agen, pekerjaan orang tua,
pendidikan orang tua, pola asuh anak dalam keluarga berdasarkan jumlah anak,
polusi udara dalam ruangan atau rumah, kepadatan hunian, tidak mendapatkan
ASI yang cukup, memiliki penyakit paru, HIV/AIDS, penyakit kronik seperti
diabetes dan penyakit jantung, sistem imun lemah, perokok, peminum berat,
batuk, dan malnutrisi. Sedangkan, faktor risiko alergi adalah faktor genetik
(riwayat alergi orang tua), imaturitas usus (anak lebih beresiko daripada
31
dewasa), paparan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik, genetik, usia
(kadar IgE tertinggi pada usia anak dan mulai menurun secara bertahap pada
umur 15 tahun), jenis kelamin (lebih berisiko pada perempuan karena gangguan
keseimbangan hormon), pola makan, jenis makanan, faktor lingkungan, faktor
fisik (seperti kelelahan, aktivitas berlebih), faktor emosi (seperti kecemasan,
sedih, stres, ketakutan), dan faktor hormonal. Selain itu, asap rokok juga dapat
meningkatkan risiko alergi anak karena dapat meningkatkan IgE pada tubuh.
4. Ada hubungan antara alergi makanan terhadap bronkopneumonia. Pada individu
yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen (antigen) menghasilkan
aktiviasi sel Th2 dan prouksi antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang
disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan
istilah alergi sering disamakan dengan hipersenssitivitas segera (tipe I). Antibodi
IgE terikat dengan afinitas tinggi melalui bagian Fe di sel mast. Proses pelapisan
sel mast oleh IgE ini disebut sensitisasi, karena pelapisan ini menyebabkan sel
mast sensitif terhadap aktivasi bila terjadi paparan ulang antigen. Selama fase
sensitisasi awal, tidak terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan.
Apabila sel mast yang tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali dengan antigen,
sel akan teraktivasi untuk mengeluarkan mediator. Aktivasi sel mast terjadi
sebagai hasil ikatan alergen dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast.
Setelah adanya ikatan silang, maka akan memicu signal biokimia yang
menyebabkan degranulasi cepat, sintesis dan sekresi mediator lipid dan sintesis
serta sekresi sitokin. Sekresi sitokin TNF-a dan IL-4 akan menyebabkan inflamasi
melalui peran neutrofil dan eosinofil. Inflamasi akibat sintesis sitokin yang
menyebabkan infeksi ini melibatkan bronkiolus dan kantung udara alveolar.
Ketika infeksi dari berbagai faktor terjadi di seluruh paru-paru, kondisi ini dapat
menyebabkan bronkopneumonia. Pemberian telur pada usia di bawah 6 bulan
pada pasien yang alergi akan berisiko mendapatkan alergi respiratorik lebih
besar daripada bila diberikan setelah usia 12 bulan. Alergi respiratorik ini dapat
memperparah penyakit bronkopneumonia yang diderita oleh pasien.
5. Alergi dan food intolerance memiliki perbedaan. Alergi merupakan reaksi
imunologis, sedangkan food intolerance merupakan reaksi non-imunologis.
Tanda gejala alergi bisa bermanifestasi pada GIT, kutaneus, respiratori, dan
sistemik. Sedangkan tanda gejala pada food intolerance hanya bermanifestasi
pada GIT dan metabolisme.
6. Pada bayi, makanan yang paling umum berpotensi sebagai alergi adalah telur,
susu, kacang, walnuts, kedelai, dan gandum. Sedangkan pada orang dewasa,
32
yang paling umum berpotensi sebagai alergi adalah udang, lobster, kepiting,
kacang, walnuts, dan ikan seperti ikan salmon.
7. Ada 4 cara dalam melakukan tes alergi, yaitu skin prick test, patch test, RAST
test, dan Oral Food Challenge Test (OFCT).
8. Macam-macam alergi ada 4, yaitu hipersensitivitas segera (tipe I) yang
dimediasi oleh antibodi imunoglobulin E (IgE), hipersensitivitas yang dimediasi
antibodi (tipe II), hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun (tipe III), dan
hipersensitivitas yang dimediasi sel (tipe IV). Berdasarkan cara masuknya
alergen, alergi dibagi menjadi 4, yaitu alergen inhalan, alergen ingestan, alergen
injektan, dan alergen kontaktan.
9. Reaksi biologis makanan yang menyebabkan alergi di dalam saluran cerna
berawal dari makanan sumber alergen masuk ke mulut dibawa ke lambung
lewat kerongkongan di lambung makanan yang bersifat alergen tidak dapat
dicerna meskipun enzim pepsin bekerja maksimum, sehingga makanan tersebut
dapat mencapai permukaan mukosa pada usus halus sebagai alergen yang
masih utuh. Jika suatu bahan alergen termakan akan terjadi dua macam reaksi
alergi. Aktivasi sel mast mukosa yang terletak pada saluran pencernaan yang
menyebabkan cairan tubuh keluar dengan cara menembus sel-sel epitel dan
terjadi kontraksi otot polos, sehingga menyebabkan diare dan muntah.
10. Macam-macam diet alergi ada 5, yaitu diet eliminasi (simple elimination diet dan
Rowe elimination diet), tree-nut free diet, corn free diet, egg free diet, dan milkprotein free diet.
11. Cara mengatasi orang yang alergi makanan dan cara agar orang tersebut dapat
memakan makanan yang menyebabkan alergi adalah dengan cara memeriksa
terlebih dahulu alergi pada suatu bahan makanan apakah benar pada semua
bentuknya ataukah pada keadaan matang atau mentah saja. Misal pada alergi
telur yang mentah saja, maka masih bisa mengonsumsi telur yang dimasak
(goreng, dadar, dan sebagainya). Kemudian amati pada kadar atau jumlah
alergen, berapa gejala alergi muncul. Misal alergi telur gejalanya muncul pada
saat mengonsumsi telur setengah bagian, maka masih memungkinkan untuk
mengonsumsi telur kurang dari setengah. Selalu siapkan obat antihistamin,
adrenalin injector atau obat alergi lain untuk mengatasi bila terjadi reaksi alergi.
12. Alergi pada anak-anak biasanya akan hilang atau berkurang sejalan dengan
bertambahnya umur anak kecuali anak yang memiliki alergi terhadap kacang
biasanya akan seumur hidup. Sedangkan orang yang mengalami alergi setelah
dewasa, biasanya akan memiliki alerginya seumur hidup. Saat ini, menghindari
makanan yang menyebabkan alergi dengan ketat dan pengobatan secara oral
33
pemberian
makanan
tambahan
selain
ASI
sebelum
bulan
ini
ini
kurang
baik
karena
dapat
menimbulkan
risiko
peningkatan
pengembangan alergi pada tubuh anak . Bayi yang diberi susu formula terlalu
dini kemungkinan menderita lebih banyak masalah alergi, misalnya asma. Bayi
yang diberi susu formula lebih mudah terserang diare dan alergi serta
mengalami gangguan pertumbuhan mulut, rahang, dan gigi. Hal ini dikarenakan
susu formula tidak mengandung antibodi untuk melindungi tubuh bayi terhadap
infeksi. Sedangkan jika bayi diberikan ASI dan susu formula secara berselangseling maka antibodi yang terbentuk dari ASI hanya sedikit dikarenakan lebih
banyak susu formula yang masuk ke tubuh dibandingkan dengan ASI.
15. Dari hasil assessment terkait antropometri, didapatkan Z-score BB/PB 0,48 yang
diinterpretasikan normal, BB/U 0,74 yang diinterpretasikan normal, dan PB/U
0,82 yang diinterpretasikan normal.
16. Pasien an. C mendapatkan diet tinggi energi, rendah karbohidrat, bebas telur,
dan rendah sisa dengan tujuan untuk memberikan makanan yang cukup tanpa
membuat pasien sesak, muntah, dan diare, untuk menurunkan tanda dan gejala
alergi, serta ntuk membatasi volume feses.
17. Untuk usia 6-8 bulan, perbandingan pemberian ASI dan MP-ASI yaitu 68%
kebutuhan ASI dan MP-ASI 32%. Untuk usia 9-12 bulan, perbandingan pemberian
ASI dan MP-ASI yaitu 56% kebutuhan ASI dan MP-ASI 44%. Sedangkan, untuk >1
tahun, ASI diberikan sepertiga dari kebutuhan energi total.
18. Fungsi pemberian makanan transisi adalah untuk mengenalkan berbagai
makanan meliputi rasa, bau, dan tekstur; mencoba memberikan makanan yang
mudah diterima oleh pencernaan, melihat ada tidaknya alergi atau intoleransi
pada anak; mengurangi risiko terhadap reaksi buruk dari makanan, seperti alergi
dan intoleransi; mencukupi kebutuhan gizi bayi usia 6 bulan ke atas;
memberikan bentuk dan jenis makanan secara bertahap karena sistem
34
menambahkan
cuka
dalam
pengolahan
telur;
melakukan
22. Alergi pada saat dewasa tidak dapat disembuhkan karena pada saat dewasa,
paparan polusi meningkat yang berasal dari lingkungan pekerjaan, jalan raya,
dan lain-lain. Seiring bertambahnya usia, tubuh kurang mampu mengimbangi
efek dari paparan polutan. Orang dewasa lebih rentan terhadap paparan bahan
kimia karena penurunan kapasitas untuk memperbaiki kerusakan DNA yang
disebabkan oleh mutagen yang dapat menurunkan pertahanan imunologi.
Paparan polutan dapat mendorong dan meningkatkan produksi IgE tingkat
sensitisasi alergen tertentu. Karena orang yang terpapar polusi secara terus
menerus dapat semakin memperburuk imunitas seseorang, sehingga alergi
tidak dapat disembuhkan.
B. REKOMENDASI
Skenario
klinik
pada
week
7 ini
mampu
mengingatkan
kembali
mengenai
patofisiologi, etiologi, sign symptom dari bronkopneumonia dan alergi, macammacam alergi serta metode test alergi. Skenario ini juga mampu memberikan
pengetahuan pada mahasiswa mengenai macam-macam diet untuk pasien alergi,
serta pengolahan bahan makanan yang menyebabkan alergi agar dapat dikonsumsi.
Skenario yang diberikan cukup jelas dan dimengerti oleh mahasiswa. Terkait
kejelasan maksud dari skenario diharapkan tetap dipertahankan pada skenario week
berikutnya.
36
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Risa. 2004. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Penerbit Serba Jaya.
Almatsier, Sunita. 2008. Penuntun Diet. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Azmi, Nurul. 2002. Gambaran Pola Pemberian Makan pada Bayi dan Balita Usia 0-59
Bulan di Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar, Kecamatan Leuwidamar, Lebak,
Banten,
Tahun
2002.
Tidak
diterbitkan.
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Tidak
diterbitkan.
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Diponegoro
Semarang.
Newman, Jack P. 2009. Alergi Makanan, Diet dalam Autisme Children Med. Family Groups
Association. NPO Guidelines. 50: 274-8.
National Health and Medical Research Council (NHMRC). 2013.
Infant Feeding
38
National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID). 2011. Guidelines for the
Diagnosis and Management of Food Allergy in the United States: Summary for
Patients, Families, and Cargivers. USA : NIH Publication.
_____________________________________________________. 2012. Food Allergy, An Overview.
USA : NIH Publication.
Nutrition Society of Malaysia. 2011. Nutritionists Choice Cookbook. Malaysia :
Versacomm.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI). 2009. Kamus Gizi, Pelengkap Kesehatan
Keluarga. Jakarta : Buku Kompas.
Rafika. 2007. Gejala Rinitis Alergi pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Angkatan 2007-2009. Tidak diterbitkan. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Raymond, Janice. 2008. Krauses Food and Nutrition Therapy. United States : Elsevier
Saunders.
RelayHealth. 2009. Allergy Tests. Canada : RelayHealth.
Rifai, Muhaimin. 2011. Alergi dan Hipersensitif. Tidak diterbitkan. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya Malang.
Roy, Sampurna. 2014. Pathology of Bronchopneumonia. (Online).
(http://www.histopathology-india.net/brpn.htm, diakses 22 Desember 2014).
Sathe, Shridhar et al. 2005. Effects of Food Processing on the Stability of Food Allergens.
Biotechnology Advances, 23 : 423-429.
Sigalingging, Ganda. 2010. Karakteristik Penderita Penyakit Pneumonia pada Anak di
Ruang Merpati II Rumah Sakit Umum Herna Medan. Jurnal Darma Agung, 69-78.
Silverman et al. 2002. Essential of Oral Medicine. Ontario : BC Decker Inc.
Siregar, Sjawitri P. 2001. Alergi Makanan pada Bayi dan Anak. Sari Pediatri, 3 (3): 168174.
_______________. 2006. Pentingnya Pencegahan Dini dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi.
Sari Pediatri, 7 (4) : 237-243.
Stevenson, Angus. 2010. Oxford Dictionary of English Third Edition. London : Oxford
University Press.
Suri,
Sujata.
2006.
ABCs
of
Allergies.
(Online).
39
Syaiful, Abdullah. 2012. Pediatric Allergy in Baby Amount Less Than A Year Age: Food
and Information The Medical Profession Guideline. Switzerland : Children Family
Clinic.
Tambayong, Jan. 1999. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.
The Anaphylaxis Campaign (TAC). 2011. Egg Allergy-The Facts. Hampshire : TAC.
Uzochukwu, Godfrey A et al. 2009. Proceedings of the 2007 National Conference on
Environmental Science and Technology. New York : Springer.
Wang, Julie dan Hugh A Sampson. 2009. Food Allergy: Recent Advances in
Pathophysiology and Treatment. Allergy Asthma Immunol Res, 1 (1): 19-29.
WebMD Medical Reference. 2010. Allergies Health Center: Food Allergy, or Something
Else?. (Online). (http://www/webmd.com/allergies/foods-allergy-intolerance?
print=true, diakses tanggal 21 Desember 2014).
Widarini dan Sumasari. 2009. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA
pada Bayi. (Online). (http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JIG/V1N1/widarini.pdf,
diakses 22 Desember 2014).
World Health Organization (WHO). 2014. Pneumonia. (Online).
(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/, diakses 22 Desember
2014).
40
TIM PENYUSUN
A. KETUA
FIRDA AMALIA
(125070301111009)
B. SEKERTARIS
RANI ILMINAWATI
(125070301111004)
RACHMI FARICHA
(125070301111005)
C. ANGGOTA
DWI RATNAWATI
(125070301111008)
(125070301111011)
(125070301111014)
(125070301111001)
(125070301111002)
(125070301111003)
(125070301111006)
(125070301111007)
D. FASILITATOR
Sylvia
E. PROSES DISKUSI
1. KEMAMPUAN FASILITATOR DALAM MEMFASILITASI
Mampu mengarahkan berjalannya diskusi mahasiswa agar fokus pada
kompetensi dan skenario.
Mampu membantu mahasiswa dalam menggali dan memecahkan masalah
yang terdapat dalam skenario.
Mampu membantu mahasiswa untuk berpikir kritis dalam menanggapi
masalah pada skenario.
Mampu mendampingi mahasiswa dalam melakukan diskusi dengan lancar dan
mengarahkan apabila topik pembahasan mulai menyimpang.
2. KOMPETENSI/HASIL BELAJAR YANG DICAPAI OLEH ANGGOTA DISKUSI
Mahasiswa mampu memahami patofisiologi, etiologi, faktor risiko, tanda dan
gejala dari penyakit bronkopneumonia dan alergi, macam-macam alergi dan
dietnya,
metode
test
alergi,
cara
pengolahan
bahan
makanan
yang
41
42