Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN HASIL DISKUSI

PROBLEM-BASED LEARNING
PBL Blok Klinik
SKENARIO Lekas Sembuh ya Nak....
Minggu ke-7
Tanggal 19 s.d 31 Desember 2014

Grup E
DWI RATNAWATI

(125070301111008)

FIRDA AMALIA

(125070301111009)

DWIYANTI CAESARRIA (125070301111010)


TIARA DIAN N.

(125070301111011)

FEBY DINA ARDIYANTI (125070301111012)


DIESMAHARANI ASTRI M.

(125070301111013)

YUNITA ENDAH K.

(125070301111014)

SOFIE AYU MISRINA

(125070301111001)

DESAK MADE TRISNA U.

(125070301111002)

YUNITA REZA R.

(125070301111003)

RANI ILMINAWATI

(125070301111004)

RACHMI FARICHA

(125070301111005)

HESTI RETNO BUDIARINI


FARIKHA ALFI F.

(125070301111006)

(125070301111007)

JURUSAN GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

LAPORAN HASIL DISKUSI


PROBLEM-BASED LEARNING
PBL Blok Klinik
SKENARIO Lekas Sembuh ya Nak....
Minggu ke-7
Tanggal 19 s.d 31 Desember 2014

Grup E
DWI RATNAWATI

(125070301111008)

FIRDA AMALIA

(125070301111009)

DWIYANTI CAESARRIA (125070301111010)


TIARA DIAN N.

(125070301111011)

FEBY DINA ARDIYANTI (125070301111012)


DIESMAHARANI ASTRI M.

(125070301111013)

YUNITA ENDAH K.

(125070301111014)

SOFIE AYU MISRINA

(125070301111001)

DESAK MADE TRISNA U.

(125070301111002)

YUNITA REZA R.

(125070301111003)

RANI ILMINAWATI

(125070301111004)

RACHMI FARICHA

(125070301111005)

HESTI RETNO BUDIARINI


FARIKHA ALFI F.

(125070301111006)

(125070301111007)

JURUSAN GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
DAFTAR ISI
2

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
ISI .................................................................................................................................. 1
A. KOMPETENSI YANG AKAN DICAPAI ....................................................................... 1
B. SKENARIO ............................................................................................................ 1
C. DAFTAR UNCLEAR TERM ...................................................................................... 1
D. DAFTAR CUES ...................................................................................................... 2
E. DAFTAR LEARNING OBJECTIVE ............................................................................. 2
F. HASIL BRAINSTORMING ....................................................................................... 6
G. HIPOTESIS ............................................................................................................ 11
H. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE ................................................................... 12
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................................................. 28
A. KESIMPULAN ........................................................................................................ 28
B. REKOMENDASI ..................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 34
TIM PENYUSUN ............................................................................................................... 37

ISI
A. KOMPETENSI YANG AKAN DICAPAI
CADE 36. Mahasiswa mampu mengembangkan dan mengimplementasikan rencana
pemberian nutrisi pada pasien, khususnya makanan transisi (transitional
feeding).
B. SKENARIO
Lekas Sembuh ya Nak....
An. C jenis kelamin laki-laki, berusia 7 bulan dirawat di rumah sakit dengan diagnosa
bronkopneumonia dan alergi. Berat badan pasien 9 kg dan panjang badan 71 cm.
Pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif karena pada usia 0-6 bulan pasien
mendapatkan susu formula dan ASI secara berselang-seling karena ibu pasien sibuk
bekerja. Sebelum masuk RS pasien mengkonsumsi bubur dengan komposisi tepung
beras, ayam,

telur,

dan wortel.

Berdasarkan

hasil

pemeriksaan

fisik

klinis

menunjukkan sesak, diare, muntah, suhu tubuh 38 0C, nadi 100x/menit dan RR
20x/menit. Pasien harus menjalani perawatan yang intensif bahkan jika pasien
menjalani rawat jalan, pasien diwajibkan untuk kontrol setiap satu bulan sekali, oleh
karena itu ahli gizi diharapkan mampu memberikan intervensi gizi pada pasien saat
berusia 7 bulan hingga pasien berusia 1 tahun.
C. DAFTAR UNCLEAR TERM
1. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia adalah peradangan paru yang berawal pada bronkiolus
terminalis yang menyebabkan kesulitan dalam bernafas (Dorland, 2009 dan
Stevenson, 2010).
2. Alergi
Alergi adalah hipersensitif yang didapatkan melalui pajanan ulang yang
menimbulkan manifestasi akibat kemampuan bereaksi yang berlebihan yang
ditandai dengan perubahan (misalnya bengkak atau bisul) terhadap kumankuman penyakit, dimana keadaan ini sangat peka terhadap penyebab tertentu
(Dorland, 2009 dan Agustin, 2004).
3. Susu formula
Susu formula adalah susu hewan mamalia yang dikemas menjadi tepung dengan
komposisi zat gizi utama mendekati komposisi ASI (PERSAGI, 2010).
4. ASI eksklusif
ASI eksklusif adalah air susu ibu yang diberikan kepada bayi sejak lahir sampai
4

bayi berusia 6 bulan, tanpa diberikan makanan dan minuman lain (PERSAGI,
2010).

D. DAFTAR CUES
Ahli gizi diharapkan mampu memberikan intervensi gizi pada pasien dengan
bronkopneumonia dan alergi saat berusia 7 bulan hingga berusia 1 tahun dengan
tanda dan gejala klinis yang dialami
E. DAFTAR LEARNING OBJECTIVES
1. Bagaimana patofisiologi dari bronkopneumonia dan alergi makanan serta tanda
dan gejalanya?
2. Apa penyebab dari terjadinya bronkopneumonia dan alergi? Mengapa alergen
orang berbeda-beda?
3. Apa saja faktor risiko dari bronkopneumonia dan alergi?
4. Apakah ada hubungan antara alergi makanan dan bronkopneumonia?
5. Apa

perbedaan

dari

alergi

dan

food

intolerance

dan

bagaimana

cara

membedakannya, serta tanda dan gejalanya?


6. Apa saja makanan yang berpotensi sebagai alergi?
7. Bagaimana cara melakukan test alergi?
8. Apa saja macam-macam alergi? Bahan apa saja yang dapat menimbulkan
alergen dari masing-masing alergi?
9. Bagaimana reaksi respon biologis saluran pencernaan terhadap alergen mulai
dari makanan masuk, diproses di GIT, sampai munculnya alergi?
10. Apa macam-macam diet pada alergi dan diet apa yang cocok diberikan pada
pasien?
11. Bagaimana

cara

mengatasi

orang

yang

alergi

makanan

supaya

boleh

mengonsumsi bahan makanan alergen dan seberapa banyak makanan alergen


yang boleh dikonsumsi?
12. Apakah alergi bisa sembuh? Apa alasannya?
13. Apa makanan transisi yang tepat yang diberikan pada usia 7 bulan hingga 1
tahun? (dispesifikkan tiap bulan)
14. Apa hubungan dari konsumsi susu formula dan ASI yang berselang seling selama
usia 0-6 bulan terhadap penyakit yang diderita pasien?
15. Bagaimana assessment terkait dengan antropometri?
16. Bagaimana intervensi/preskripsi diet yang tepat dan tidak menyebabkan
alerginya muncul?
5

17. Bagaimana perbandingan pemberian ASI dengan MP-ASI pada makanan transisi?
18. Bagaimana tekstur dan cara pembuatan dari makanan transisi yang dibedakan
berdasarkan umur? Seberapa banyak makanan transisi yang diberikan (kalori)?
Apa saja bahan makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam
membuat makanan transisi? Berapa frekuensi pemberian makanan transisi?
19. Apa fungsi dari pemberian makanan transisi?
20. Bagaimana konten dari pemberian edukasi gizi untuk orang tua An. C saat rawat
jalan dan rawat inap dan cara berkoordinasi dengan orang tua pasien dalam
penerapan interensi gizi agar kondisi pasien pulih?
21. Indikator apa saja yang perlu dimonitoring dan evaluasi dari pasien? Kapan
dilakukan monitoring dan evaluasi? Apa target keberhasilan dari intervensi gizi
yang diberikan?
F.

HASIL BRAINSTORMING
1. Bagaimana patofisiologi dari bronkopneumonia dan alergi makanan
serta tanda dan gejalanya?
Patofisiologi bronkopneumonia: Pneumonia berasal dari inflamasi yang
disebabkan oleh bakteri. Dari inflamasi yang disebabkan oleh bakteri, alveolus
terisi oleh nanah sehingga udara yang di dalam sulit keluar dan paru-paru
menjadi solid atau padat. Bronkopneumonia dimulai dari bronkiolus hingga
alveoli dalam paru-paru. Tanda gejala dari bronkopneumonia biasanya batuk dan
nyeri dada (Martin, 1982).
Patofisiologi alergi makanan: Pada saat pertama kali terkena, alergen akan
merangsang limfosit untuk merangsang antibodi di IgE terhadap antibodi
tersebut. Antibodi ini akan melekat pada sel mast jaringan tubuh manusia. Jika
nanti orang tersebut makan makanan yang sama, maka antibodi akan
merangsang sel mast untuk melepaskan histamin. Zat kimia yang bernama
antihistamin ini yang menyebabkan gejala alergi makanan (Kamus Gizi, 2010).
Biasanya muncul bintik-bintik merah (biasanya muncul di tangan dan organ
lain), sesak, demam, diare, asma, gatal-gatal, bengkak (jika ditekan sakit).
Berikut adalah klasifikasi dari tanda gejala alergi makanan.
1. Tanda gejala dari gastrointestinal tract adalah diare mual dan muntah.
2. Tanda gejala dari kulit adalah gatal-gatal, bengkak, ruam pada kulit atau
merah.
3. Tanda gejala dari respirasi atau saluran pernafasan adalah asma dan sesak.
2. Apa penyebab dari terjadinya bronkopneumonia dan alergi? Kenapa
alergen orang berbeda-beda?
6

Bronkopneumonia: Bronkopneumonia disebabkan karena bakteri.


Alergi: Makanan yang umumnya mengandung protein merangsang sel limfosit
untuk mengeluarkan antibodi IgE, kemudian menempel pada sel mast dan
mengeluarkan histamin. Alergi disebabkan oleh antigen dalam makanan yang
dikonsumsi dan biasanya bermanifestasi pada hipersensitivitas. Selain itu, alergi
juga dapat disebabkan dari keadaan fisik yang sensitif terhadap panas, dingin,
dan cuaca yang lain.
Alasan mengapa alergen orang berbeda-beda adalah sebagai berikut.
1. Alegen seseorang berbeda-beda karena adanya respon imun yang berbedabeda pada setiap orang, yang diperantarai oleh limfosit T dan antibodi.
Selain itu, kadar histamin berbeda-beda tiap yang dikeluarkan oleh
seseorang dengan orang yang lain.
2. Sering tidaknya mengonsumsi bahan makanan tersebut. Pada waktu kecil
tidak dibiasakan makan makanan yang bermacam-macam dan ketika
dewasa

makan

makanan

yang

tidak

pernah

dimakan,

sehingga

menimbulkan alergi.
3. Apa saja faktor risiko dari bronkopneumonia dan alergi?
Bronkopneumonia: seberapa sering orang tersebut terpapar oleh bakteri di
lingkungan tersebut, misalnya debu yang membawa bakteri.
Alergi: genetik
4. Apakah

ada

hubungan

antara

alergi

makanan

dengan

bronkopneumonia?
Tidak ada hubungan antara alergi makanan dengan bronkopneumonia, karena
respon pada saat alergi dan bronkopneumonia berbeda. Reaksi alergi yang
dihubungkan dengan asma lebih berpengaruh pada penyempitan dari bronkus.
5. Apa perbedaan dari alergi dan food intolerance dan bagaimana cara
membedakannya, serta tanda dan gejalanya?
Cara membedakan alergi dengan food intolerance:
Untuk membedakan alergi dengan food intolerance adalah dengan cara
melakukan dietary assessment terlebih dahulu untuk mengetahui makanan apa
yang menyebabkan alergi. Selain itu melakukan test alergi untuk mengetahui
makanan apa yang membuat seseorang alergi.
Perbedaan dari alergi dan food intolerance:
Reaksi spesifik dari alergi dan food intolerance berbeda. Reaksi dari alergi
adalah hipersensitif imun, sedangkan lactose intolerance adalah dari genetik.
Tanda gejala alergi dan food intolerance:
Alergi dengan food intolerance dapat dibedakan dari tanda gejalanya. Tanda
7

gejala dari food intolerance adalah muntah, sedangkan alergi makanan muncul
bintik-bintik pada kulit.
6. Apa saja makanan yang berpotensi sebagai alergi?
Makanan yang berpotensi sebagai alergi adalah makanan yang mengandung
protein tinggi (seafood, susu, telur) dan produk olahannya, kacang-kacangan,
keju, ayam, gandum.
7. Bagaimana cara melakukan test alergi?
Skin prick test: biasanya dilakukan tes di tangan dan menggunakan
reagen sesuai dengan alergennya, kemudian disuntikkan di tangan. Ketika
muncul

bulatan,

ditandai

dengan

bolpoin

dan

kemudian

dokter

menginterpretasikannya dari ukuran bulatannya.


Patch test: di plester dikasih alergen dan ditempel. Kemudian dilihat sekitar
15 menit terdapat alergi atau tidak.
8. Apa

saja

macam-macam

alergi?

Bahan

apa

saja

yang

dapat

menimbulkan alergen dari masing-masing alergi?


Alergi berasal dari bakteri, bronkial, alergi dingin, alergi terhadap obat, dan
alergi terhadap makanan (Dorland, 2009). Berikut adalah macam-macam alergi.
1. Alergi dari makanan: Jika ada alergen, maka IgE akan merangsang sel mast
untuk mengeluarkan histamin.
2. Alergi terjadi saat transplantasi organ, transfusi darah, dan obat.
3. Alergi karena kompleksitas imun karena obat.
4. Alergi karena infeksi jamur, bakteri, atau virus.
9. Bagaimana reaksi respon biologis saluran pencernaan terhadap alergen
mulai dari makanan masuk, diproses di GIT sampai munculnya alergi?
Makanan dicerna menjadi sari-sari makanan. Makanan tersebut ditangkap oleh
reseptor sel T limfosit. Sel T limfosit akan merangsang pengeluaran dari IgE.
Makanan di usus halus, disalurkan ke sel darah putih dan mengeluarkan IgE
kemudian menempel di sel mast yang akan mengeluarkan histamin yang dapat
menimbulkan reaksi alergi.
10. Apa macam-macam diet pada alergi dan diet apa yang cocok diberikan
pada pasien?
Diet yang diberikan pada pasien alergi adalah diet rendah protein.
11. Bagaimana cara mengatasi orang yang alergi makanan supaya boleh
mengonsumsi bahan makanan alergen dan seberapa banyak makanan
alergen yang boleh dikonsumsi?
1. Dianjurkan untuk minum obat dulu sebelum makan makanan yang
mengandung alergen, namun jumlah makanan yang dimakan tidak banyak.
8

2. Dalam sehari, makanan yang menimbulkan alergi tidak boleh dimakan


terlalu banyak. Jika ketika makan makanan tersebut menimbulkan reaksi
alergi, maka harus minum obat antihistamin. Jika ingin makan lagi, porsinya
harus dikurangi dari yang sebelumnya.
3. Diberikan makanan yang mengandung alergen sedikit demi sedikit dan
dipapar secara terus menerus sampai tidak menimbulkan alergi.
12. Apakah alergi bisa sembuh? Apa alasannya?
Alergi makanan dapat disembuhkan dengan makan makanan yang mengandung
alergen sedikit demi sedikit. Namun jika alergi obat, tidak dapat disembuhkan.
13. Apa makanan transisi yang tepat yang diberikan pada usia 7 bulan
hingga 1 tahun? (dispesifikkan tiap bulan)
1. 7 bulan diberikan bubur saring.
2. 8 bulan diberikan bubur bayi.
3. 9-10 bulan diberikan biskuit dan bubur.
4. 11-12 bulan diberikan nasi tim yang dihaluskan dan lauknya dicincang.
5. Diberikan puree buah, puree kentang, madu
14. Apa hubungan dari konsumsi susu formula dan ASI yang berselang
seling selama usia 0-6 bulan terhadap penyakit yang diderita pasien?
ASI dapat memberikan daya tahan tubuh terhadap bayi. Jika pemberiannya
berselang-seling dengan susu formula, dapat mengakibatkan penurunan
daya tahan tubuh anak. Daya tahan tubuh yang rendah dapat menyebabkan
masuknya bakteri yang tidak dapat diatasi dengan sistem antibodinya yang
dapat menyebabkan alergi.
Saluran gastrointestinal tract terbiasa berubah-ubah karena protein yang
terdapat pada ASI dan susu formula berbeda, sehingga dapat berhubungan
dengan reaksi alergi.
Daya tahan tubuh rendah karena ASI yang diberikan kurang, sehingga pada
saat dewasa daya tahan tubuh rendah yang dapat menyebabkan alergi.
15. Bagaimana assessment terkait dengan antropometri?
PB/U, BB/U, dan BB/PB normal
16. Bagaimana

intervensi/preskripsi

diet

yang

tepat

dan

tidak

menyebabkan alerginya muncul?


Agar tidak menyebabkan alergi muncul adalah dengan cara menghindari telur
dan mengganti sumber protein hewani dengan yang lain, seperti daging sapi.
Preskripsi dietnya adalah sebagai berikut.
Tujuan: Mengindari alergi dan menurunkan tanda gejala, seperti sesak, suhu,
nadi dan RR yang tinggi
9

Prinsip: Rendah karbohidrat


Syarat:
1. Energi cukup dan ditambahkan 13% setiap peningkatan 1 oC.
2. Karbohidrat diberikan 50%.
3. Protein diberikan 20%.
4. Lemak diberikan 30%.
17. Bagaimana perbandingan pemberian ASI dengan MP-ASI pada makanan
transisi?
1. 7-8 bulan ASI 60% MP-ASI 40%
2. 9-10 bulan ASI 50% MP-ASI 50%
3. 1 tahun MP-ASI lebih banyak 80-100%
18. Bagaimana tekstur dan cara pembuatan dari makanan transisi yang
dibedakan berdasarkan umur? Seberapa banyak makanan transisi yang
diberikan (kalori)? Apa saja bahan makanan yang diperbolehkan dan
tidak

diperbolehkan

dalam

membuat

makanan

transisi?

Berapa

frekuensi pemberian makanan transisi?

Teksturnya halus dan diberikan makanan saring agar tidak membuat


gastrointestinal tract kaget dengan tekstur yang terlalu berbeda dengan ASI.

Cara pembuatan disaring atau seperti pembuatan bubur biasa dengan


menggunakan air hangat.

Bahan yang diperbolehkan diperhitungan sesuai dengan makanan yang


membuat pasien alergi, seperti telur. Makanan yang diperbolehkan adalah
makanan yang lunak dan tidak tinggi serat. Sedangkan, makanan yang tidak
diperbolehkan adalah telur dan olahannya (moyonaise, roti), tidak digoreng,
dan tidak diberikan makanan yang manis.

Frekuensi pemberian makanan transisi adalah ASI diberikan 3x dan MP-ASI


diberikan 3x, namun makanan diberikan dalam porsi kecil sesuai dengan
pembagian kalorinya.

19. Apa fungsi dari pemberian makanan transisi?


1. Memberikan kesempatan gastrointestinal tracct untuk beradaptasi.
2. Untuk melihat ada atau tidaknya alergi atau intoleransi makanan pada bayi.
3. Memperkenalkan pada anak mengenai macam-macam rasa dan tekstur
makanan yang berbeda-beda.
20. Bagaimana konten dari pemberian edukasi gizi untuk orang tua An. C
saat rawat jalan dan rawat inap dan cara berkoordinasi dengan orang
tua pasien dalam penerapan interensi gizi agar kondisi pasien pulih?
Konten materi yang diberikan saat edukasi gizi pada orang tua an. C adalah
10

sebagai berikut.
1. Frekuensi dan porsi pemberian ASI dan MP-ASI.
2. Tekstur dan cara pemasakan makanan.
3. Materi mengenai ASI eksklusif seharusnya tidak boleh diberikan berselangseling dengan susu formula.
4. Bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan.
5. Orang tua diajari cara mengatasi alergi pada anak.
21. Indikator apa saja yang perlu dimonitoring dan evaluasi dari pasien?
Kapan dilakukan monitoring dan evaluasi? Apa target keberhasilan dari
intervensi gizi yang diberikan?
Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi serta waktu melakukan
monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut.
1. Fisik klinis: Suhu tubuh, nadi, RR, sesak, diare, muntah dipantau 2 jam sekali
dalam sehari.
2. Antropometri: BB dan PB dipantau setelah 1 bulan kemudian setelah
intervensi dijalankan.
3. Dietary: kecukupan asupan energi dan zat gizi lainnya dari ASI dan MP-ASI
Target: keberhasilan dari intervensi gizi yang diberikan adalah semua tanda fisik
klinis sampai mencapai normal.

11

G. HIPOTESIS
An. C (7
bulan)
MRS

Reaksi Simpang
Makanan

Diagnosa

Imunolog

Non-

is

Imunologis

medis
IgE

Intoleran

Alerg

Bronkopneumo

Non-

nia

si

IgE

Patofisiolo

Penyeb

Sign

Faktor

gi

ab

symptom

risiko

Bakteri

Paru-paru
terisi
cairan

Bakteri
Virus
Jamur

Suhu
tinggi
Kejang

Umur
ASI
Status
gizi

Edukasi

Penyeb

Macam

ab

alergi

Bahan
Makanan
Sumber

Sign

Faktor

symptom

risiko
Genet

Tipe

Tipe

Tipe

II

III

ik

Tipe
IV
Susu,telur, ikan,
gandum
Tujuan

Interve

Preskripsi

nsi

diet

Waktu

Monitoring

monev

Evaluasi

Target

Fisik klinis:

Dietar

ri:

Suhu, nadi, RR,

y:

Target
waktu

p
Syarat

Frekuen
si
Kompos

Antropomet

sesak

Prinsi

isi
Makana
n
transisi

Bahan
Makanan
Tekstur
Fungsi
ASI
MPASI
12

H. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVES


1. Patofisiologi bronkopneumonia dan alergi makanan serta tanda dan
gejalanya
Bronkopneumonia: Bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh. Saat imunitas
tubuh melemah, terjadi respon inflamasi di paru-paru, sehingga menyebabkan
lobar pneumonia (kematian pembuluh ditandai dengan edema alveoli) yang
dapat mengakibatkan bronkopneumonal (Bennet, 2014). Radang yang dimulai
pada bronkiolus terminalis dengan penggabungan yang tidak sempurna dari
sekitar bronkiolus di jaringan paru. Bronkiolus disumbat oleh mukosa yang
membengkak dan sekresinya sebagai hasil dari udara yang tidak bisa masuk
alveoli. Udara yang tertahan pada alveoli diserap sehingga menyebabkan alveoli
kempis. Area pengempisan tersebut diapit oleh area emfisema kompensatorik
(Roy,

2014),

sehingga

menyebabkan

sesak

nafas.

Sebenarnya

bakteri

pneumonia ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat. Pada saat
pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan
malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan
merusak organ paru. Toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia
bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel sistem pernapasan bawah.
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling
mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru ataupun seluruh
lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru (tiga di paru kanan dan dua di
paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru, infeksi dengan cepat
menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah (Isnaini, 2009).
Tanda

gejala

bronkopneumonia:

Bercak-bercak

pada

paru,

demam,

menggigil, suhu tubuh meningkat secara mendadak sampai 39-40 0C dan


mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi, sesak napas, nyeri dada
saat menarik nafaas, batuk, demam, suara napas bronkial dan ronki, anak
sangat gelisah, pernapasan cepat dan dangkal disertai sianosis di sekitar hidung
dan mulut, nafsu makan berkurang (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003;
Mansyoer, 2000 dalam Sigalingging, 2010). Batuk ditemui setelah beberapa
hari, pertama kali muncul batuk kering, semakin lama menjadi batuk produktif.
Anak dengan pneumonia lebih suka berbaring pada posisi yang sakit dengan
lutut ditekuk karena nyeri pada dada (Mansjoer, 2000 dalam Sigalingging, 2010).
Patofisiologi alergi makanan: Antibodi yang berperan pada proses alergi
adalah Imunoglobin E (IgE). Pada paparan pertama diproduksi IgE spesifik
alergen yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast (dalam jaringan) dan
basofil (dalam sirkulasi). Pada paparan kedua alergen berikatan dengan
13

antigenic determinant site (Fab) dari IgE yang akan berdempetan dengan mast
cell dan basofil. Ikatan satu atau lebih IgE di mast cell memicu pengaktifan mast
cell

yang

berakibat

menghasilkan

bahan-bahan

kimia

seperti

histamin,

serotonin, proteoglikan, serin protease leukotriene C4 dan heparin yang nantina


akan berikatan dengan reseptor masing-masing di sel yang berbeda yang
memicu timbulnya reaksi alergi (Suri, 2006).
Tanda gejala alergi makanan: Tanda dan gejala alergi terbagi menjadi dua,
yaitu reaksi alergi cepat dan reaksi alergi lambat.
1. Reaksi

alergi

cepat:

gatal-gatal

pada

mulut

dan

tenggorokan,

pembengkakan pada saluran pernafasan yang membuat sesak nafas, syok


anafilaktik ditandai dengan penurunan kesadaran dan penurunan tekanan
darah yang apabila dibiarkan akan berisiko kematian (Isnaini, 2009).
2. Reaksi alergi lambat: diare, muntah, gatal, kemerahan pada organ kulit,
pilek, mata menjadi merah dan gatal, buang angin, mual, bercak darah pada
feses, konstipasi/sembelit (Graha, 2010). Selain itu, terdapat tanda gejala
pada sistem saraf pusat/otak, yaitu mudah kaget dengan rangsangan
suara/cahaya, kejang, gemetar, susah tidur, gigi gemeratak. Sedangkan,
tanda gejala pada sistem pembuluh darah dan jantung, yaitu palpitasi, muka
kemerahan, nyeri dada, pingsan, dan tekanan darah rendah (Judarwanto,
2005).
2. Penyebab dari bronkopneumonia dan alergi makanan
Penyebab bronkopneumonia: Penyebab bronkopneumonia dibagi menjadi
dua, yaitu penyebab infeksi dan non-infeksi.
1. Penyebab infeksi
a.

Pada masa neonatus: adanya bakteri Streptococcus b., Respiratory


Syncytial Virus (RSV).

b. Pada masa bayi: virus parainfluenza, RSV, Streptococcus pneumoniae.


c.

Pada masa anak-anak: virus (virus parainfluenza, virus influenza, RSV),


organisme

tipikal

(mycoplasma,

typical

pneumonia),

bakteri

(pneumococcus, Mycobacterium tuberculosis).


2. Penyebab non infeksi (karena adanya disfungsi menelan atau refluks
esofagus)
a.

Bronkopneumonia hidrokarbon: aspirasi pada saat menelan muntah.

b. Bronkopneumonia lipoid: pemasukan obat yang mengandung minyak


pada intranasal.
c.

Daya tahan tubuh yang lemah sehingga menjadi faktor predisposisi


terjadinya penyakit (Bradley, 2011).
14

Penyebab paling umum pneumonia pada anak-anak yang disebabkan oleh


bakteri adalah Streptococcus pneumonia, sedangkan Haemophilus influenza tipe
b (Hib) adalah penyebab paling umum pneumonia virus (WHO, 2014). Selain itu,
bronkopneumonia juga dapat disebabkan oleh bahan kimia ataupun karena
paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Peradangan parenkim paru juga dapat
disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi, dan alergi, biasanya disebut pneumonitis
(Djojodibroto, 2009).
Penyebab alergi makanan: Terjadinya alergi disebabkan oleh adanya partikelpartikel yang menimbulkan alergi masuk ke dalam tubuh dan kemudian
menimbulkan reaksi alergi. Partikel-partikel tersebut disebut alergen. Alergen
yang menimbulkan alergi bisa berasal dari berbagai sumber, yaitu dari alam
seperti serbuk-serbuk sari berbagai tanaman, bulu-bulu hewan, spora jamur,
racun dari serangga, atau bahan makanan seperti susu, telur, ikan, kacangkacangan. Dapat pula faktor alergen berasal dari bahan kimia, seperti pewangi
pakaian, sabun, bedak, obat-obatan, maupun logam seperti gelang, kalung, dan
lain-lain. Di samping itu, faktor lingkungan, seperti polusi udara, rokok juga
dapat menyebabkan alergi (Graha, 2010). Penyebab alergi di dalam makanan
adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul > 18.000
Dalton, tahan panas, dan tahan enzim proteolitik (Judarwanto, 2005). Penyebab
alergi makanan dilihati dari gastrointestinal adalah belum sempurnanya saluran
cerna pada anak, adanya kecenderungan kemiripan antara protein makanan
dengan

protein

virus,

dimana

kekebalan

tubuh

seseorang

tidak

bisa

membedakan jenis protein (genetik), serta imaturitas usus secara fungsional,


dimana mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah (Lasota, 2005).
Setiap individu memiliki alergi yang berbeda disebabkan karena setiap individu
memiliki fenotif yang berbeda dan setiap periode usia memiliki karakter alergi
yang berbeda pula, itu sebabnya setiap anak berbeda dominasi yang sensitif.
Anak yang satu lebih dominan sensitif pada kulit, sedangkan anak yang lain
lebih dominan sensitif pada saluran pernafasan. Fenotif ini suatu karakteristik
struktur, biokimiawi, fisiologis dan perilaku yang diamati oleh suatu organisme
yang diatur oleh genotif dan lingkungan serta interaksi keduanya (Judarwanto,
2004). Selain itu, ketika seseorang mengalami alergi, menunjukkan bahwa
tubuhnya membentuk IgE spesifik terhadap makanan tersebut, dan sebaliknya,
ketika tidak membentuk IgE spesifik terhadap suatu makanan maka tidak terjadi
reaksi alergi. Protein dan glikoprotein yang memicu pembentukan IgE spesifik
tersebut. Ada bermacam-macam pada tiap makanan, sebagai contoh Peanut 1 di
15

kacang, Allergen 1 di udang, Allergen M di ikan, dan ovomucoid pada telur.


Protein pemicu yang berbeda ini akan direspon oleh IgE bergantung pada besar
kecilnya

sensitisasi

yang

diberikan

sehingga tiap

orang

dapat

berbeda

alergennya dan ada orang yang alergi maupun tidak alergi (Judarwanto, 2005;
NIAID, 2011).
3. Faktor risiko bronkopneumonia dan alergi
Faktor risiko bronkopneumonia: Umur ( 2 tahun atau 65 tahun), jenis
kelamin, status gizi, status imunisasi, faktor agen, pekerjaan orang tua,
pendidikan orang tua, pola asuh anak dalam keluarga berdasarkan jumlah anak,
polusi udara dalam ruangan atau rumah, kepadatan hunian, tidak mendapatkan
ASI yang cukup, memiliki penyakit paru, HIV/AIDS, penyakit kronik seperti
diabetes dan penyakit jantung, sistem imun lemah, perokok, peminum berat,
batuk, dan malnutrisi (Putri, 2010; Sigalingging, 2010; Martel, 2012).
Faktor risiko alergi: Faktor genetik (riwayat alergi orang tua), imaturitas usus
(anak lebih beresiko daripada dewasa), paparan alergi yang merangsang
produksi IgE spesifik, genetik, usia (kadar IgE tertinggi pada usia anak dan mulai
menurun secara bertahap pada umur 15 tahun), jenis kelamin (lebih berisiko
pada perempuan karena gangguan keseimbangan hormon), pola makan, jenis
makanan, faktor lingkungan, faktor fisik (seperti kelelahan, aktivitas berlebih),
faktor emosi (seperti kecemasan, sedih, stres, ketakutan), dan faktor hormonal
(Judarwanto, 2005; Nency, 2005; dan Sigalingging, 2010). Selain itu, asap rokok
juga dapat meningkatkan risiko alergi anak. Saat anak kontak dengan asap
rokok, terjadilah peningkatan imunoglobulin E pada tubuhnya, dan ini akan
membuat kemungkinan alergi pada anak akan semakin berkembang. Karena
Imunoglobulin inilah salah satu faktor yang penting untuk meningkatkan
terjadinya risiko alergi (Graha, 2010).
4. Hubungan antara alergi makanan dan bronkopneumonia
Ada hubungan antara alergi makanan terhadap bronkopneumonia. Pneumonia
merupakan peradangan parenkim paru yang dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, parasit. Selain itu juga dapat disebabkan oleh bahan kimia ataupun
karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Peradangan parenkim paru juga
dapat disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi, dan alergi, biasanya disebut
pneumonitis (Djojodibroto, 2009). Pada individu yang rentan terhadap alergi,
paparan dengan alergen (antigen) menghasilkan aktiviasi sel Th2 dan prouksi
antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun
tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan
dengan hipersenssitivitas segera (tipe I). Antibodi IgE terikat dengan afinitas
16

tinggi melalui bagian Fe di sel mast. Proses pelapisan sel mast oleh IgE ini
disebut sensitisasi, karena pelapisan ini menyebabkan sel mast sensitif terhadap
aktivasi bila terjadi paparan ulang antigen. Selama fase sensitisasi awal, tidak
terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan. Apabila sel mast yang
tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali dengan antigen, sel akan teraktivasi
untuk mengeluarkan mediator. Aktivasi sel mast terjadi sebagai hasil ikatan
alergen dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast. Setelah adanya ikatan
silang, maka akan memicu signal biokimia yang menyebabkan degranulasi
cepat, sintesis dan sekresi mediator lipid dan sintesis serta sekresi sitokin.
Mediator penting pada sel mast adalah amin vasoaktif dan protease yang
berasal dari granul, produk metabolisme asam arakidonat dan sitokin (TNF-a, IL1, IL-4, IL-5 dan IL-6 dan kemokin termasuk IL-8). Mediator amin utama, yaitu
histamin

menyebabkan

permeabilitas

vaskular

dilatasi
dan

pembuluh

menstimulasi

darah

kontraksi

kecil,
otot

meningkatkan
polos

transient

(bronkokonstriksi). Produk sel mast, terutama histamin, berperan penting dalam


respon alergi fase cepat. Protease akan menyebabkan kerusakan jaringan lokal.
Metabolit asam arakidonat termasuk prostaglandin (jalur siklooksigenase),
menyebabkan kontraksi otot polos yang memanjang. Sitokin akan menginduksi
inflamasi lokal (reaksi fase lambat). Sitokin TNF-a dan IL-4 akan menyebabkan
inflamasi melalui peran neutrofil dan eosinofil (Helmy, 2007). Inflamasi akibat
sintesis sitokin yang menyebabkan infeksi ini melibatkan bronkiolus dan kantung
udara alveolar. Ketika infeksi dari berbagai faktor terjadi di seluruh paru-paru,
kondisi ini dapat menyebabkan bronkopneumonia (Silverman, 2002). Pemberian
telur pada usia di bawah 6 bulan pada pasien yang alergi akan berisiko
mendapatkan alergi respiratorik lebih besar daripada bila diberikan setelah usia
12 bulan. Alergi respiratorik ini dapat memperparah penyakit bronkopneumonia
yang diderita oleh pasien (Siregar, 2001).
5. Perbedaan alergi dan food intolerance, cara membedakan, dan tanda
gejalanya
Alergi Makanan
Food Intolerance
Merupakan reaksi imunologis yang Merupakan reaksi non imunologis dan
menyimpang

karena

masuknya merupakan sebagian besar penyebab

bahan penyebab alergi dalam tubuh.

reaksi yang tidak diinginkan terhadap

Sebagian besar reaksi ini melalui

makanan. Reaksi ini dapat disebabkan

reaksi

hipersensitivitas

(Judarwanto, 2005).

tipe

I oleh

zat

yang

terkandung

dalam

makanan karena kontaminasi toksik


17

(misalnya toksin yang disekresi oleh


Salmonella,
Shigella,

Campylobacter

histamin

ikan),

zat

pada

dan

keracunan

farmakologis

yang

terkandung dalam makanan misalnya


tiramin pada keju, kafein pada kopi
atau

kelainan

seperti

pada pejamu

defisiensi

Tanda gejala

(Judarwanto, 2005).
Tanda gejala

1. Manifestasi GIT: Sakit di perut,

1. Gangguan

mual, muntah, diare, perdarahan.

flatulance,

lactase,

sendiri
maltase

gastrointestinal
diare,

sakit

tract:
perut,

2. Manifestasi kutaneus: Urticaria,

anemia hemolitik (Raymond, 2008).

angioderma, eczema, erythema,

Nyeri perut, diare, sering buang

flushing.

gas,

3. Manifestas i respiratori: Rinitis,


asma,

batuk,

edema

lambung

laring,

sindrom Herners.

dan

lama
(Ikatan

pengosongan
Dokter

Anak

Indonesia, 2009).
2. Gangguan metabolisme: muntah,

4. Manifestasi sistemik: anafilaksis,

letargis (Raymond, 2008).

hipotensi (Raymond, 2008).


6. Makanan yang berpoteni sebagai alergi
1. Gandum

atau

produk

gandum (Gandum

memiliki

senyawa

albumin,

pseudoglobulin dan euglobulin yang merupakan penyebab alergen utama


(Judarwanto,

2005).

Selain

itu

dapat

meningkatkan

sel

mast

dan

permeabilitas usus (Wang. 2009)), keju, yoghurt.


2. Buah-buahan yang memiliki rasa masam atau berry.
3. Ikan terutama ikan yang bertulang.
4. Kerang-kerangan (seperti lobster, tiram, dan lain-lain).
5. Jagung (berisiko alergi dan tersedak).
6. Kacang dan produk olahannya (Syaiful, 2012).
7. Susu sapi (mengandung laktoglobulin).
8. Kuning dan putih telur (mengandung ovomukoid).
9. Kacang dan soya (mengandung albumin, visitin, dan legumin).
10. Udang (mengandung tropomiosin pada ototnya) (Sjawitri, 2006) Tiara.
Pada bayi, makanan yang paling umum berpotensi sebagai alergi adalah telur,
susu, kacang, walnuts, kedelai, dan gandum. Sedangkan pada orang dewasa,
yang paling umum berpotensi sebagai alergi adalah udang, lobster, kepiting,
18

kacang, walnuts, dan ikan seperti ikan salmon (National Institute of Allergy and
Infectious Disease, 2012).
7. Macam-macam dan cara melakukan tes alergi
1.

Skin prick test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang
banyak digunakan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada
sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya
histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan

permeabilitas

pembuluh

darah

akibatnya

timbul

flare/kemerahan dan wheal/bintul pada kulit tersebut (Kartikawati, 2007).


-

Tes ini sangat populer, cepat, simpel, tidak menyakitkan, relatif aman,
jarang menimbulkan reaksi anafilaktik dan tanda-tanda reaksi sistemik,
dapat dilakukan banyak tes pada satu sisi, mempunyai korelasi baik
dengan IgE spesifik (Kartikawati, 2007).

Dilakukan di bagian volar lengan dan tanrai area yang akan ditetesi
dengan ekstrak antigen. Pertama-tama, diteteskan satu tetes larutan
alergen (histamin/kontrol positif) dan larutan kontrol (buffer/kontrol
negatif) menggunakan jarum ukuran 26,5 G atau 27 atau blood lancet.
Kemudian cukitkan dengan sudut kemuringan 45 0menembus lapisan
epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan
perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen memasuki
kulit. Tes dibaca setelah 15 20 menit dengan menilai bentolyang timbul
(Kartikawati, 2007).

Metode yang dilakukan dalam menginterpretasikan hasil tes cukit kulit


dikenal dengan metode Pepys. Membandingkan bintul yang terjadi pada
masing-masing ekstrak alergen yang diberikan dengan menggunakan
kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline) (Kartikawati, 2007).

Penilaiannya adalah sebagai berikut.

Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)

Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)

+ 1 (ringan) : bila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif dan
atau terdapat daerah eritema.

+ 2 (sedang) : bila bintul lebih kecil dari kontrol positif, tetapi 2 mm


lebih besar dari kontrol negatif.

+ 3 (kuat) : bila bintul sama besar dengan kontrol positif.

+ 4 (sangat kuat) : bila bintul lebih besar dari kontrol positif


(Kartikawati, 2007).
19

Ada beberapa obat-obatan yang mempengaruhi tes kulit antara lain


antihistamin, kortikosteroid sehingga obat ini harus dihentikan sebelum
tes dimulai. Pada saat ini berhubung metabolisme antihistamin banyak
yang lambat dan berbeda-beda satu dengan yang lain, beberapa
pendapat menyarankan puasa bebas obat antihistamin 3 hari sebelum
tes kulit dilakukan, sedangkan untuk azetamizol 1 bulan, ada juga

2.

kortikosteroid dihentikan selama 6 minggu (Kartikawati, 2007).


Patch test
Untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru
dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kmia tertentu, akan
timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit (Kartikawati, 2007).
Syarat test ini :
Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
-

mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekkan.


2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid
atau anti bengkak. Darah punggung harus bebas daru obat oles, krim

atau salep (Kartikawati, 2007).


Test ini hanya dapat mendeteksi reksi alergi fase lambat yang diperantarai
IgE dan reaksi tipe IV. Namun apabila tes dilakukan dalam 30 menit dapat
mendeteksi reaksi alergi fase cepat. Kelemahan dari tes ini adalah sulit
menjaga

keping

alergen

yang

digunakan

untuk

tetap

kontak

pada

permukaan kulit, khususnya pada pasien anak (Christanto, 2011a).


3. RAST
Cara melakukan RAST test adalah dengan mengambil sampel darah untuk
dibawa ke lab. Tes ini digunakan untuk mengetahui jumlah IgE dalam darah.
Tubuh akan membuat antibodi IgE ketika terpapar terus menerus oleh
alergen. Hasil tes menunjukkan bahwa pasien membuat antibodi untuk
alergen tertentu dan menjadikan pasien alergi dengan alergen tersebut
(RelayHealth, 2009). Hasil dari tes ini selanjutnya digabungkan dengan
riwayat pasien terhadap makanan alergi untuk membuat diagnosa yang
akurat mengenai alergi makanan (National Institute of Allergy and Infectious
Disease, 2012).
4. Oral Food Challenge Test (OFCT)
Direkomendasikan untuk dilakukan dalam penegakan diagnosis dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
Tenaga kesehatan yang sudah terlatih memberikan sejumlah makanan yang
diduga sebagai alergen pada pasien. Kemudian dosis ditingkatkan dari porsi
kecil ke porsi yang lebih banyak sesuai tingkatannya. Kemudian pasien
menelan setiap dosis yang diberikan. Setelah itu, pasien diamati terkait
reaksi yang terjadi (NIAID, 2011)
20

Ada 3 tipe OFCT yaitu:


a. Double blind placebo controlled food challenge, sangat
direkomendasikan. Dalam tes ini, pasien dan tenaga kesehatan sama
sama tidak tahu makanan apa yang diterima pasien.
b. Single blind food challenge, nakes tahu apa yang diberikan tetapi pasien
c.

tidak tahu.
Open food challenge test, nakes dan pasien tahu makanan yang
diberikan (NIAID, 2011).

8. Macam-macam alergi
1.

Hipersensitivitas segera (tipe I): dimediasi oleh antibodi imunoglobulin E


(IgE)

yang

ditujukan

pada

antigen

sspesifik

(alergen).

Bahan

yang

menimbulkan alergi adalah obat, makanan, gigitan serangga, dan agens


pembersih rumah. Kerentanan terhadap alergi ditentukan oleh faktor genetik
dan faktor lain yang memungkinkan pemajanan pada alergen (Mitchell, 2008
dan Tambayong, 1999).
2.

Hipersensitivitas

yang

dimediasi

antibodi

(tipe

II):

Pada

respons

hipersensitivitas tipe II, suatu antibodi sirkulasi biasanya IgG atau IgM,
bereaksi dengan antigen pada permukaan sel. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R. Ikatan antigen antibodi dapat
pula mengaktifkan komplemen yang, melalui reseptor C3b, memudahkan
fagositosis atau menimbulkan lisis. Efeknya pada hospes bergantung pada
jumlah dan tipe sel-sel yang dirusak. Contoh reaksi tipe II ini ialah pada
keadaan trombositopenia yang berhubungan dengan alergi susu sapi
(Mitchell, 2008; Tambayong, 1999; Christanto, 2011b).
3.

Hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun (tipe III): dimediasi oleh


kompleks antigen antibodi yang disebut kompleks imun, yang terbentuk
dalam sirkulasi darah atau di tempat pengendapan antigen. Antigen dapat
berasal dari eksogen (misalnya agen infeksius) atau dari endogen, dan
penyakit yang dimediasi kompleks imun dapat bersifat sistemik atau lokal
(Mitchell, 2008).

4.

Hipersensitivitas yang dimediasi sel (tipe IV): dimulai oleh limfosit T yang
mengalami sensitisasi secara spesifik (Mitchell, 2008). Suatu reakssi kulit
alergis umum, yaitu dermatitis kontak akan tampak menjadi respon dari
hipersensitivitas tipe IV. Hal ini terjadi pada kontak dengan kimia rumah
tangga umum, kosmetik, dan toksin tanaman (Tambayong, 1999).

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

21

1. Alergen inhalan, alergen masuk bersama dengan udara pernafaasan,


misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta
jamur.
2. Alergen ingestan, alergen masuk ke saluran cerna berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen injektan, alergen masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, alergen masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003 dalam
Rafika, 2007).
9. Reaksi biologis saluran cerna terhadap alergen
Makanan

sumber

alergen

masuk

ke

mulut

dibawa

ke

lambung

lewat

kerongkongan di lambung makanan yang bersifat alergen tidak dapat dicerna


meskipun enzim pepsin bekerja maksimum, sehingga makanan tersebut dapat
mencapai permukaan mukosa pada usus halus sebagai alergen yang masih
utuh. Jika suatu bahan alergen termakan akan terjadi dua macam reaksi alergi.
Aktivasi sel mast mukosa yang terletak pada saluran pencernaan yang
menyebabkan cairan tubuh keluar dengan cara menembus sel-sel epitel dan
terjadi kontraksi otot polos, sehingga menyebabkan diare dan muntah. Dalam
hal ini belum bisa dijelaskan mengapa sel mast jaringan ikat yang terletak pada
dermis dan jaringan subkutan dapat teraktivasi setelah alergen tercerna,
misalnya oleh alergen yang teraktivasi dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
urtikaria. Urtikaria merupakan reaksi yang umum terjadi jika penisilin diberikan
secara oral kepada pasien yang telah memiliki antibodi IgE spesifik untuk
penisilin. Ingeti makanan yang bersifat alergen dapat memicu terjadinya asma
atau secara umum dapat menimbulkan reaksi anafilaksis yang diikuti kegagalan
sistem kardiovaskuler. Ada juga alergi yang dimediasi oleh selain IgE yaitu
penyakit celiac (Rifai, 2011).
10. Macam-macam diet alergi
1. Diet eliminasi: menghilangkan makanan yang menimbulkan alergi untuk
menyembuhkan alergi. Ada 2 macam diet eliminasi antara lain sebagai
berikut.
Diet eliminasi sederhana (Simple elimination diet): menghilangkan
hanya satu atau dua makanan yang menyebabkan alergi.
Diet eliminasi Rowe (Rowe elimination diet): diet yang lebih lengkap,
dimulai dengan makan makanan beberapa hipoalergenik, seperti beras,
sereal, apel, pir, wortel, ubi jalar, daging domba, susu pengganti). Jika
22

tidak ada reaksi alergi, kelompok makanan tersebut diperkenalkan setiap


10 hari (Holmes, 2014).
2. Tree-Nut Free Diet: Membatasi bahan makanan kacang-kacangan seperti
biji-bijian, kacang almond, kacang beech, kacang brazil, kacang mete,
chestnut, hazelnut, kacang hickory, kacang macadamia, kacang mashuga,
kacang pinus, pistachio, kacang shea, kenari, dan minyak kacang (Duggan,
2008).
3. Corn-Free

Diet:

untuk

seseorang

yang

alergi

terhadap

jagung

dan

turunannya. Dietnya adalah membatasi makanan yang mengandung jagung,


tepung jagung, pati jagung, gula jagung, sirup jagung, maltodekstrin,
marshmallow, popcorn, dan tepung gula (Duggan, 2008).
4. Egg-Free Diet: digunakan untuk seseorang yang diduga atau pernah
mengalami reaksi alergi dari makanan yang mengandung telur. Dietnya
adalah dengan membatasi albumin telur (ovoalbumin), telur, putih telur,
kuning telur, lesitin telur, dan sebagainya (Duggan, 2008).
5. Milk-Protein Free Diet: digunakan untuk seseorang yang diduga atau pernah
mengalami reaksi alergi terhadap protein susu sapi. Dietnya adalah dengan
menghindari susu sapi (Duggan, 2008).
Diet yang cocok untuk diterapkan pada pasien An. C adalah Egg-Free Diet
karena pasien hanya alergi terhadap telur.
11. Cara mengatasi orang yang alergi makanan dan berapa banyak
makanan alergen yang boleh dikonsumsi
a. Periksa terlebih dahulu alergi pada suatu bahan makanan apakah benar
pada semua bentuknya ataukah pada keadaan matang atau mentah saja.
Misal pada alergi telur yang mentah saja, maka masih bisa mengonsumsi
telur yang dimasak (goreng, dadar, dan sebagainya).
b. Amati pada kadar atau jumlah alergen, berapa gejala alergi muncul. Misal
alergi telur gejalanya muncul pada saat mengonsumsi telur setengah
bagian, maka masih memungkinkan untuk mengonsumsi telur kurang dari
setengah.
c. Selalu siapkan obat antihistamin, adrenalin injector atau obat alergi lain
(WebMD Medical Reference, 2010; NIAID, 2012; TAC, 2011).
12. Alergi bisa sembuh atau tidak
Alergi pada anak-anak biasanya akan hilang atau berkurang sejalan dengan
bertambahnya umur anak kecuali anak yang memiliki alergi terhadap kacang
biasanya akan seumur hidup. Sedangkan orang yang mengalami alergi setelah
dewasa, biasanya akan memiliki alerginya seumur hidup (National Institute of
Allergy and Infectious Disease, 2012). Saat ini, menghindari makanan yang
23

menyebabkan alergi dengan ketat dan pengobatan secara oral dianggap


sebagai satu-satunya terapi yang tersedia untuk kasus alergi makanan. Namun,
ada terapi lain yang mempu menyembuhkan alergi, yaitu injeksi/suntikan
antibodi anti-IgE untuk menyembuhkan atau menghapukan respon alergi. Selain
itu, ada vaksinasi protein, yaitu vaksinasi urutan DNA yang berkode untuk
makanan alergen dan penggunaan modulator imun yang dapat mengarahkan
sistem kekebalan tubuh untuk jauh dari respon alergi dan toleransi protein
(Berdanier, 2002). Cara lain adalah dengan melakukan terapi desensitisasi, yaitu
terapi yang membuat tubuh semkain kurang sensitif terhadap alergen dengan
cara mengeksposnya terhadap alergen dengan dosis yang makin lama makin
besar sampai penderita kebal terhadap alergen tersebut. Tetapi terapi ini
membutuhkan waktu yang lama dan cukup mahal cara lain adalah dengan
menjauhi pemicunya (Ikawati, 2010).
13. Makanan transisi untuk bayi umur 7-12 bulan
Anjuran pola makanan bayi dan balita dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah
ini.
Umur
(bulan)
0-6
6-8
9-11
12-23
24-59
Keterangan :

ASI

Makanan
Lumat

Makanan
Lembik

Usia 0 6 bulan

: hanya diberikan ASI saja

Usia 6 8 bulan

: diberikan ASI dan makanan lumat berseling

Makanan
Keluarga

Usia 9 11 bulan : diberikan ASI dan makanan lembik berseling


Usia 12 23 bulan

: diberikan ASI dan makanan keluarga

Usia 24 59 bulan

: diberian makanan keluarga (Depkes 2000 dimodifikasi

2003 dalam Azmi, 2002).


Untuk pasien an. C pada saat usia 7-8 bulan diberikan ASI dan makanan lumat
berseling, usia 9-11 bulan diberikan ASI dan makanan lembik berseling, usia >1
tahun diberikan ASI dan makanan keluarga.
Bahan makanan untuk makanan transisi bayi usia 7-12 bulan adalah sebagai
berikut (Nutrition Society of Malaysia, 2011).
Usia Bayi
6-8 bulan

Karbohidrat
Beras, oat

Buah
Pisang, pear

Sayuran
Labu, tomat

Protein
Nabati dan
Hewani
Ayam, tahu,
ikan, kacang
24

hijau
8-10 bulan

Beras, oat,

Pisang, pear,

Labu, tomat,

Kacang hijau,

biskuit tawar

apel, anggur

lobak, kubis,

ayam, tahu,

brokoli

kuning telur,
ikan tengiri,

10-12 bulan

Beras, oat,

Apel, pisang,

Labu, lobak

daging sapi
Kacang hijau,

biskuit tawar,

pear, anggur,

merah,

ayam, tahu,

gandum

beri

brokoli,

seluruh telur

asparagus,

(pada saat

jagung,

umur 1

bayam,

tahun), daging

buncis,

sapi, daging

kacang

doomba, ikan

panjang

salmon

14. Hubungan dari pemberian ASI dan susu formula secara berselangseling dengan penyakit yang diderita pasien
ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian bronkopneumonia dan alergi.
Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan atau lebih memberikan efek protektif
yang lebih besar berkaitan dengan respon dosis efek protektif terhadap infeksi.
Semakin besar dosis ASI yang diberikan semakin besar pula efek protektif yang
dihasilkan.

Hal

berpengaruh

ini

dapat

terhadap

dijelaskan

respon

imun

bahwa
anak

ASI

melalui

sebagai

proteksi

berbagai

cara,

pasif
yaitu

maturasional, antiinflamasi, imunomodulator, dan antimikrobial. ASI juga dapat


memberikan perlindungan jangka panjang melalui stimulasi respon imun aktif.
Imunitas aktif merupakan imunitas spesifik dimana sistem imun membentuk
memori jangka panjang terhadap paparan antigen tertentu (Widarini, 2009).
Selain itu, ASI memiliki kandungan Imunoglobulin A (sebuah antibodi tubuh)
yang dapat membantu memperbaiki pencernaan bayi untuk mencegah alergi.
Dalam enam bulan pertama kehidupan anak, pemberian ASI eksklusif sangat
penting karena metabolisme dan sistem kekebalan tubuh anak memerlukan
waktu untuk dibangun dan berkembang sebelum siap menerima makanan lain
dari luar dengan tepat (Graha, 2010). Pemberian ASI yang tidak adekuat
merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya ISPA pada anak,
khususnya pneumonia atau bronkopneumonia (Widarini, 2009). Selain itu,
pemberian makanan tambahan selain ASI sebelum 6 bulan ini memungkinkan
tubuh kontak langsung dengan faktor-faktor alergen secara dini. Hal ini kurang
25

baik karena dapat menimbulkan risiko peningkatan pengembangan alergi pada


tubuh anak (Graha, 2010). Bayi yang diberi susu formula terlalu dini
kemungkinan menderita lebih banyak masalah alergi, misalnya asma. Bayi yang
diberi susu formula lebih mudah terserang diare dan alergi serta mengalami
gangguan pertumbuhan mulut, rahang, dan gigi. Hal ini dikarenakan susu
formula tidak mengandung antibodi untuk melindungi tubuh bayi terhadap
infeksi. Sedangkan jika bayi diberikan ASI dan susu formula secara berselangseling maka antibodi yang terbentuk dari ASI hanya sedikit dikarenakan lebih
banyak

susu

formula yang

masuk

ke

tubuh dibandingkan

dengan

ASI

(Mawaddah, 2012).
15. Assessment terkait antropometri
Menurut hasil dari aplikasi WHO Anthro, didapatkan Z-score BB/PB 0,48 yang
diinterpretasikan normal, BB/U 0,74 yang diinterpretasikan normal, dan PB/U
0,82 yang diinterpretasikan normal.
16. Preskripsi diet untuk pasien
Tujuan:
1. Memberikan makanan yang cukup tanpa membuat pasien sesak, muntah,
dan diare.
2. Untuk menurunkan tanda dan gejala alergi.
3. Untuk membatasi volume feses.
Prinsip: Tinggi energi, Rendah karbohidrat, Bebas telur, Rendah sisa
Syarat:
1. Energi tinggi, yaitu menambahkan 12% dari kebutuhan energi total.
Energi = (89 x BB) - 100) + 22
Energi = (89 x 9) - 100) + 22
Energi = 723 kkal
Penambahan energi = Energi x 12% = 86,76 kkal
Total energi = 809,76 kkal
Perbandingan pemberian ASI 56% dan MP-ASI 44%.
Energi dari ASI = 56% x 809,76 kkal = 453,47 kkal
Energi dari MPASI = 44% x 809,76 kkal = 356,29 kkal
2. Protein cukup, yaitu 20% dari kebutuhan energi total.
Protein = (Energi MP-ASI x 20%) : 4
Protein = (356,29 kkal x 20%) : 4
Protein = 17,82 gr

26

3. Karbohidrat

rendah,

yaitu

50%

dari

kebutuhan

energi

total

untuk

mengurangi rasa sesak pada pasien.


Karbohidrat = (Energi MP-ASI x 50%) : 4
Karbohidrat = (356,29 kkal x 50%) : 4
Karbohidrat = 44,54 gr
4. Lemak tinggi, yaitu 30% dari kebutuhan energi total.
Lemak = (Energi MP-ASI x 30%) : 9
Lemak = (356,29 kkal x 30%) : 9
Lemak = 11,87 gr
5. Cairan 130 mL/hari.
6. Rendah serat, yaitu maksimal 8 gram/hari untuk mengurangi diare/volume
feses.
7. Diberikan porsi kecil tapi sering (Almatsier, 2008; Duggan, 2008; Raymond,
2008; Lucking, 2012).
17. Perbandingan ASI dan MP-ASI pada makanan transisi
Untuk usia 6-8 bulan, perbandingan pemberian ASI dan MP-ASI yaitu 68%
kebutuhan ASI dan MP-ASI 32%. Untuk usia 9-12 bulan, perbandingan pemberian
ASI dan MP-ASI yaitu 56% kebutuhan ASI dan MP-ASI 44%. Sedangkan, untuk >1
tahun, ASI diberikan sepertiga dari kebutuhan energi total (Newman, 2009).
18. Fungsi pemberian makanan transisi
1. Untuk mengenalkan berbagai makanan meliputi rasa, bau, dan tekstur.
2. Mencoba memberikan makanan yang mudah diterima oleh pencernaan.
3. Melihat ada tidaknya alergi atau intoleransi pada anak (NHMRC, 2013).
4. Mengurangi risiko terhadap reaksi buruk dari makanan, seperti alergi dan
intoleransi.
5. Mencukupi kebutuhan gizi bayi usia 6 bulan ke atas.
6. Memberikan bentuk dan jenis makanan secara bertahap karena sistem
pencernaan bayi usia 6 bulan ke atas masih berkembang (Nazarina, 2008).
7. Mendukung perkembangan neuromuscular (Michaelsen et al, 2000).
8. Untuk membantu memberikan sumber energi dan zat gizi lain, seperti Fe,
Zn, dan vitamin A.
9. Untuk

mengembangkan

kemampuan

mengunyah

dan

menelan

serta

menerima bermacam-macam makanan (Nutrition Society of Malaysia, 2011).


19. Konten pemberian edukasi gizi pada orang tua saat rawat jalan dan
rawat inap dan cara berkoordinasi dengan orang tua pasien
1. Mengedukasi

tentang

pentingnya

ASI

bagi

pasien

dan

melanjutkan

pemberian ASI hingga pasien berusia 24 bulan.


27

2. Mengedukasi tentang kebutuhan energi dan zat gizi untuk pasien serta
pemberian makanan pendamping ASI bagi pasien mengenai frekuensi
pemberian, tekstur, jumlah yang diberikan, cara pemasakan, serta makanan
yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dimakan sesuai usia.
3. Mengedukasi tentang penanganan alergi pada pasien. Ibu pasien diminta
untuk tidak memberikan telur terlebih dahulu ke dalam makanan pasien. Hal
ini dikarenakan pemberian telur pada pasien bisa memperparah penyakit
pasien, yaitu bronkopneumonia.
20. Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi, waktu melakukan
monitoring dan evaluasi, dan target keberhasilan dari intervensi gizi
yang diberikan.
Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut.
1. Data antropometri, yaitu BB yang dipantau 1 minggu 1 kali dan PB yang
dipantau 1 bulan 1 kali. Intervensi gizi dikatakan berhasil jika terdapat
penambahan BB 350-450 gram/bulan pada usia 7-8 bulan dan meningkat
250-350 gram/bulan pada usia 9-12 bulan.
2. Data fisik klinis mengenai suhu tubuh, nadi, sesak (+/-), diare (+/-), muntah
(+/-), tanda-tanda alergi (+/-). Target keberhasilannya adalah semua tanda
fisik klinis pasien mencapai normal.
3. Data dietary mengenai asupan makan pasien. Target keberhasilannya adalah
asupan makan pasien sesuai dengan kebutuhan.
4. Pengetahuan Ibu pasien, dilakukan dengan cara Ibu pasien mengulangi
materi

yang

disampaikan

saat

edukasi

telah

diberikan.

Target

pencapaiannya adalah jika Ibu pasien mampu mengulangi materi edukasi


yang disampaikan dengan baik.
Semua indikator (kecuali antropometri dan pengetahuan) dimonitoring dan
evaluasi setelah pemberian intervensi gizi 1 hari saat pasien rawat inap dan 1
bulan sekali saat pasien rawat jalan.
21. Pengolahan makanan yang menyebabkan alergen agar tetap bisa
dikonsumsi.
Bahan Makanan Pemicu
Alergi
Buah-buahan

Cara pengolahan
Dikukus pada suhu 1000 C selama
5 menit atau dengan pemberian
sirup dapat menurunkan
sensitivitas alergi (Sathe, 2005 dan

Kacang dan kacang-kacangan

Houska, 2013).
Pengolahan dengan cara digoreng
28

dan direbus dapat menurunkan


Telur

alergisitas.
Pengolahan tidak direbus karena
akan menimbulkan reaksi alergi.
Jika ingin makan telur, dalam
pengolahan ditambahkan cuka
untuk menurunkan sensitivitas

Ikan dan seafood

alergi (Houska, 2013).


Proses pengolahan dengan cara
pengasapan, penggaraman,
pengawetan, dan fermentasi dapat
menurunkan aktivitas ikatan IgE

Daging dan produk daging

(Houska, 2013).
Proses pengolahan dengan cara
mengukus dan freeze drying dapat
menurunkan alergsitas (Houska,

Pasta, biji-bijian dan produk roti

2013).
Pemanasan protein dapat
menurunkan alergisitas dan

Susu dan produk susu

sensitivitas alergi (Houska, 2013).


Perebusan selama 10 menit dapat
menghilangkan sensitivitas alergi
(Houska, 2013).

22. Alasan alergi pada saat dewasa tidak dapat disembuhkan


Pada saat dewasa, paparan polusi meningkat yang berasal dari lingkungan
pekerjaan, jalan raya, dan lain-lain (Dietert, 2012). Seiring bertambahnya usia,
tubuh kurang mampu mengimbangi efek dari paparan polutan. Orang dewasa
lebih rentan terhadap paparan bahan kimia karena penurunan kapasitas untuk
memperbaiki kerusakan DNA yang disebabkan oleh mutagen yang dapat
menurunkan pertahanan imunologi (Uzochukwu, 2009). Paparan polutan dapat
mendorong dan meningkatkan produksi IgE tingkat sensitisasi alergen tertentu
(Mak, 2014). Karena orang yang terpapar polusi secara terus menerus dapat
semakin memperburuk imunitas seseorang, sehingga alergi tidak dapat
disembuhkan (Ikawati, 2010).

29

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


A. KESIMPULAN
1. Seseorang mengalami bronkopneumonia ketika bakteri atau virus masuk ke
dalam tubuh. Saat imunitas tubuh melemah, terjadi respon inflamasi di paruparu, sehingga menyebabkan lobar pneumonia yang dapat mengakibatkan
bronkopneumonal. Bronkopneumonia biasanya ditandai dengan bercak-bercak
pada paru, demam, menggigil, suhu tubuh meningkat secara mendadak sampai
39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi, sesak napas,
nyeri dada saat menarik nafaas, batuk, demam, suara napas bronkial dan ronki,
anak sangat gelisah, pernapasan cepat dan dangkal disertai sianosis di sekitar
hidung dan mulut, nafsu makan berkurang.
Seseorang mengalami alergi ketika pada saat paparan alergen pertama
diproduksi IgE spesifik alergen yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel
mast dan basofil. Pada paparan kedua alergen berikatan dengan antigenic
determinant site (Fab) dari IgE yang akan berdempetan dengan mast cell dan
basofil. Ikatan satu atau lebih IgE di mast cell memicu pengaktifan mast cell
yang berakibat menghasilkan bahan-bahan kimia seperti histamin, serotonin,
proteoglikan, serin protease leukotriene C4 dan heparin yang nantina akan
berikatan dengan reseptor masing-masing di sel yang berbeda yang memicu
timbulnya reaksi alergi. Tanda dan gejala alergi terbagi menjadi dua, yaitu reaksi
alergi cepat dan reaksi alergi lambat. Tanda gejala dari reaksi alergi cepat
adalah gatal-gatal pada mulut dan tenggorokan, pembengkakan pada saluran
pernafasan yang membuat sesak nafas, syok anafilaktik ditandai dengan
penurunan kesadaran dan penurunan tekanan darah yang apabila dibiarkan
akan berisiko kematian. Sedangkan, tanda gejala lambat reaksi alergi lambat:
diare, muntah, gatal, kemerahan pada organ kulit, pilek, mata menjadi merah
dan gatal, buang angin, mual, bercak darah pada feses, konstipasi/sembelit.
Selain itu, terdapat tanda gejala pada sistem saraf pusat/otak, yaitu mudah
kaget dengan rangsangan suara/cahaya, kejang, gemetar, susah tidur, gigi
gemeratak. Sedangkan, tanda gejala pada sistem pembuluh darah dan jantung,
yaitu palpitasi, muka kemerahan, nyeri dada, pingsan, dan tekanan darah
rendah.
2. Penyebab bronkopneumonia dibagi menjadi dua, yaitu penyebab infeksi dan
non-infeksi.

Penyebab

disebabkan

oleh

paling

bakteri

umum

adalah

pneumonia

Streptococcus

pada

anak-anak

pneumonia,

yang

sedangkan

Haemophilus influenza tipe b (Hib) adalah penyebab paling umum pneumonia


30

virus. Selain itu, bronkopneumonia juga dapat disebabkan oleh bahan kimia
ataupun karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Peradangan parenkim
paru juga dapat disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi, dan alergi, biasanya
disebut pneumonitis.
Terjadinya alergi disebabkan oleh adanya partikel-partikel yang menimbulkan
alergi masuk ke dalam tubuh dan kemudian menimbulkan reaksi alergi. Alergen
yang menimbulkan alergi bisa berasal dari berbagai sumber, yaitu dari alam
seperti serbuk-serbuk sari berbagai tanaman, bulu-bulu hewan, spora jamur,
racun dari serangga, atau bahan makanan seperti susu, telur, ikan, kacangkacangan. Dapat pula faktor alergen berasal dari bahan kimia, seperti pewangi
pakaian, sabun, bedak, obat-obatan, maupun logam seperti gelang, kalung, dan
lain-lain. Di samping itu, faktor lingkungan, seperti polusi udara, rokok juga
dapat menyebabkan alergi. Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein,
glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul > 18.000 Dalton, tahan
panas, dan tahan enzim proteolitik. Penyebab alergi makanan dilihat dari
gastrointestinal adalah belum sempurnanya saluran cerna pada anak, adanya
kecenderungan kemiripan antara protein makanan dengan protein virus, dimana
kekebalan tubuh seseorang tidak bisa membedakan jenis protein, serta
imaturitas usus secara fungsional, dimana mukosa dinding saluran cerna belum
matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.
Setiap individu memiliki alergi yang berbeda disebabkan karena setiap individu
memiliki fenotif yang berbeda dan setiap periode usia memiliki karakter alergi
yang berbeda pula. Selain itu, ketika seseorang mengalami alergi, menunjukkan
bahwa tubuhnya membentuk IgE spesifik terhadap makanan tersebut, dan
sebaliknya, ketika tidak membentuk IgE spesifik terhadap suatu makanan maka
tidak terjadi reaksi alergi. Protein dan glikoprotein yang memicu pembentukan
IgE spesifik tersebut. Protein pemicu yang berbeda akan direspon oleh IgE
bergantung pada besar kecilnya sensitisasi yang diberikan sehingga tiap orang
dapat berbeda alergennya dan ada orang yang alergi maupun tidak alergi.
3. Faktor risiko bronkopneumonia adalah umur ( 2 tahun atau 65 tahun), jenis
kelamin, status gizi, status imunisasi, faktor agen, pekerjaan orang tua,
pendidikan orang tua, pola asuh anak dalam keluarga berdasarkan jumlah anak,
polusi udara dalam ruangan atau rumah, kepadatan hunian, tidak mendapatkan
ASI yang cukup, memiliki penyakit paru, HIV/AIDS, penyakit kronik seperti
diabetes dan penyakit jantung, sistem imun lemah, perokok, peminum berat,
batuk, dan malnutrisi. Sedangkan, faktor risiko alergi adalah faktor genetik
(riwayat alergi orang tua), imaturitas usus (anak lebih beresiko daripada
31

dewasa), paparan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik, genetik, usia
(kadar IgE tertinggi pada usia anak dan mulai menurun secara bertahap pada
umur 15 tahun), jenis kelamin (lebih berisiko pada perempuan karena gangguan
keseimbangan hormon), pola makan, jenis makanan, faktor lingkungan, faktor
fisik (seperti kelelahan, aktivitas berlebih), faktor emosi (seperti kecemasan,
sedih, stres, ketakutan), dan faktor hormonal. Selain itu, asap rokok juga dapat
meningkatkan risiko alergi anak karena dapat meningkatkan IgE pada tubuh.
4. Ada hubungan antara alergi makanan terhadap bronkopneumonia. Pada individu
yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen (antigen) menghasilkan
aktiviasi sel Th2 dan prouksi antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang
disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan
istilah alergi sering disamakan dengan hipersenssitivitas segera (tipe I). Antibodi
IgE terikat dengan afinitas tinggi melalui bagian Fe di sel mast. Proses pelapisan
sel mast oleh IgE ini disebut sensitisasi, karena pelapisan ini menyebabkan sel
mast sensitif terhadap aktivasi bila terjadi paparan ulang antigen. Selama fase
sensitisasi awal, tidak terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan.
Apabila sel mast yang tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali dengan antigen,
sel akan teraktivasi untuk mengeluarkan mediator. Aktivasi sel mast terjadi
sebagai hasil ikatan alergen dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast.
Setelah adanya ikatan silang, maka akan memicu signal biokimia yang
menyebabkan degranulasi cepat, sintesis dan sekresi mediator lipid dan sintesis
serta sekresi sitokin. Sekresi sitokin TNF-a dan IL-4 akan menyebabkan inflamasi
melalui peran neutrofil dan eosinofil. Inflamasi akibat sintesis sitokin yang
menyebabkan infeksi ini melibatkan bronkiolus dan kantung udara alveolar.
Ketika infeksi dari berbagai faktor terjadi di seluruh paru-paru, kondisi ini dapat
menyebabkan bronkopneumonia. Pemberian telur pada usia di bawah 6 bulan
pada pasien yang alergi akan berisiko mendapatkan alergi respiratorik lebih
besar daripada bila diberikan setelah usia 12 bulan. Alergi respiratorik ini dapat
memperparah penyakit bronkopneumonia yang diderita oleh pasien.
5. Alergi dan food intolerance memiliki perbedaan. Alergi merupakan reaksi
imunologis, sedangkan food intolerance merupakan reaksi non-imunologis.
Tanda gejala alergi bisa bermanifestasi pada GIT, kutaneus, respiratori, dan
sistemik. Sedangkan tanda gejala pada food intolerance hanya bermanifestasi
pada GIT dan metabolisme.
6. Pada bayi, makanan yang paling umum berpotensi sebagai alergi adalah telur,
susu, kacang, walnuts, kedelai, dan gandum. Sedangkan pada orang dewasa,

32

yang paling umum berpotensi sebagai alergi adalah udang, lobster, kepiting,
kacang, walnuts, dan ikan seperti ikan salmon.
7. Ada 4 cara dalam melakukan tes alergi, yaitu skin prick test, patch test, RAST
test, dan Oral Food Challenge Test (OFCT).
8. Macam-macam alergi ada 4, yaitu hipersensitivitas segera (tipe I) yang
dimediasi oleh antibodi imunoglobulin E (IgE), hipersensitivitas yang dimediasi
antibodi (tipe II), hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun (tipe III), dan
hipersensitivitas yang dimediasi sel (tipe IV). Berdasarkan cara masuknya
alergen, alergi dibagi menjadi 4, yaitu alergen inhalan, alergen ingestan, alergen
injektan, dan alergen kontaktan.
9. Reaksi biologis makanan yang menyebabkan alergi di dalam saluran cerna
berawal dari makanan sumber alergen masuk ke mulut dibawa ke lambung
lewat kerongkongan di lambung makanan yang bersifat alergen tidak dapat
dicerna meskipun enzim pepsin bekerja maksimum, sehingga makanan tersebut
dapat mencapai permukaan mukosa pada usus halus sebagai alergen yang
masih utuh. Jika suatu bahan alergen termakan akan terjadi dua macam reaksi
alergi. Aktivasi sel mast mukosa yang terletak pada saluran pencernaan yang
menyebabkan cairan tubuh keluar dengan cara menembus sel-sel epitel dan
terjadi kontraksi otot polos, sehingga menyebabkan diare dan muntah.
10. Macam-macam diet alergi ada 5, yaitu diet eliminasi (simple elimination diet dan
Rowe elimination diet), tree-nut free diet, corn free diet, egg free diet, dan milkprotein free diet.
11. Cara mengatasi orang yang alergi makanan dan cara agar orang tersebut dapat
memakan makanan yang menyebabkan alergi adalah dengan cara memeriksa
terlebih dahulu alergi pada suatu bahan makanan apakah benar pada semua
bentuknya ataukah pada keadaan matang atau mentah saja. Misal pada alergi
telur yang mentah saja, maka masih bisa mengonsumsi telur yang dimasak
(goreng, dadar, dan sebagainya). Kemudian amati pada kadar atau jumlah
alergen, berapa gejala alergi muncul. Misal alergi telur gejalanya muncul pada
saat mengonsumsi telur setengah bagian, maka masih memungkinkan untuk
mengonsumsi telur kurang dari setengah. Selalu siapkan obat antihistamin,
adrenalin injector atau obat alergi lain untuk mengatasi bila terjadi reaksi alergi.
12. Alergi pada anak-anak biasanya akan hilang atau berkurang sejalan dengan
bertambahnya umur anak kecuali anak yang memiliki alergi terhadap kacang
biasanya akan seumur hidup. Sedangkan orang yang mengalami alergi setelah
dewasa, biasanya akan memiliki alerginya seumur hidup. Saat ini, menghindari
makanan yang menyebabkan alergi dengan ketat dan pengobatan secara oral
33

dianggap sebagai satu-satunya terapi yang tersedia untuk kasus alergi


makanan. Namun, ada terapi lain yang mempu menyembuhkan alergi, yaitu
injeksi/suntikan antibodi anti-IgE, vaksinasi protein, dan terapi desensitisasi.
13. Untuk pasien an. C pada saat usia 7-8 bulan diberikan ASI dan makanan lumat
berseling, usia 9-11 bulan diberikan ASI dan makanan lembik berseling, usia >1
tahun diberikan ASI dan makanan keluarga.
14. ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian bronkopneumonia dan alergi.
Pemberian ASI yang tidak adekuat merupakan salah satu faktor risiko terhadap
timbulnya ISPA pada anak, khususnya pneumonia atau bronkopneumonia. Selain
itu,

pemberian

makanan

tambahan

selain

ASI

sebelum

bulan

ini

memungkinkan tubuh kontak langsung dengan faktor-faktor alergen secara dini.


Hal

ini

kurang

baik

karena

dapat

menimbulkan

risiko

peningkatan

pengembangan alergi pada tubuh anak . Bayi yang diberi susu formula terlalu
dini kemungkinan menderita lebih banyak masalah alergi, misalnya asma. Bayi
yang diberi susu formula lebih mudah terserang diare dan alergi serta
mengalami gangguan pertumbuhan mulut, rahang, dan gigi. Hal ini dikarenakan
susu formula tidak mengandung antibodi untuk melindungi tubuh bayi terhadap
infeksi. Sedangkan jika bayi diberikan ASI dan susu formula secara berselangseling maka antibodi yang terbentuk dari ASI hanya sedikit dikarenakan lebih
banyak susu formula yang masuk ke tubuh dibandingkan dengan ASI.
15. Dari hasil assessment terkait antropometri, didapatkan Z-score BB/PB 0,48 yang
diinterpretasikan normal, BB/U 0,74 yang diinterpretasikan normal, dan PB/U
0,82 yang diinterpretasikan normal.
16. Pasien an. C mendapatkan diet tinggi energi, rendah karbohidrat, bebas telur,
dan rendah sisa dengan tujuan untuk memberikan makanan yang cukup tanpa
membuat pasien sesak, muntah, dan diare, untuk menurunkan tanda dan gejala
alergi, serta ntuk membatasi volume feses.
17. Untuk usia 6-8 bulan, perbandingan pemberian ASI dan MP-ASI yaitu 68%
kebutuhan ASI dan MP-ASI 32%. Untuk usia 9-12 bulan, perbandingan pemberian
ASI dan MP-ASI yaitu 56% kebutuhan ASI dan MP-ASI 44%. Sedangkan, untuk >1
tahun, ASI diberikan sepertiga dari kebutuhan energi total.
18. Fungsi pemberian makanan transisi adalah untuk mengenalkan berbagai
makanan meliputi rasa, bau, dan tekstur; mencoba memberikan makanan yang
mudah diterima oleh pencernaan, melihat ada tidaknya alergi atau intoleransi
pada anak; mengurangi risiko terhadap reaksi buruk dari makanan, seperti alergi
dan intoleransi; mencukupi kebutuhan gizi bayi usia 6 bulan ke atas;
memberikan bentuk dan jenis makanan secara bertahap karena sistem
34

pencernaan bayi usia 6 bulan ke atas masih berkembang; mendukung


perkembangan neuromuscular; untuk membantu memberikan sumber energi
dan zat gizi lain, seperti Fe, Zn, dan vitamin A; serta untuk mengembangkan
kemampuan mengunyah dan menelan serta menerima bermacam-macam
makanan.
19. Konten pemberian edukasi pada orang tua pasien adalah tentang pentingnya
ASI bagi pasien dan melanjutkan pemberian ASI hingga pasien berusia 24 bulan;
tentang kebutuhan energi dan zat gizi untuk pasien serta pemberian makanan
pendamping ASI bagi pasien mengenai frekuensi pemberian, tekstur, jumlah
yang diberikan, cara pemasakan, serta makanan yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan dimakan sesuai usia; serta tentang penanganan alergi pada
pasien. Ibu pasien diminta untuk tidak memberikan telur terlebih dahulu ke
dalam makanan pasien. Hal ini dikarenakan pemberian telur pada pasien bisa
memperparah penyakit pasien, yaitu bronkopneumonia.
20. Indikator yang perlu dimonitoring dan evaluasi adalah data antropometri, yaitu
BB yang dipantau 1 minggu 1 kali dan PB yang dipantau 1 bulan 1 kali.
Intervensi gizi dikatakan berhasil jika terdapat penambahan BB 350-450
gram/bulan pada usia 7-8 bulan dan meningkat 250-350 gram/bulan pada usia
9-12 bulan. Data fisik klinis mengenai suhu tubuh, nadi, sesak (+/-), diare (+/-),
muntah (+/-), tanda-tanda alergi (+/-). Target keberhasilannya adalah semua
tanda fisik klinis pasien mencapai normal. Data dietary mengenai asupan makan
pasien. Target keberhasilannya adalah asupan makan pasien sesuai dengan
kebutuhan. Selain itu, pengetahuan Ibu pasien juga perlu dimonitoring dan
evaluasi dengan cara Ibu pasien mengulangi materi yang disampaikan saat
edukasi telah diberikan. Target pencapaiannya adalah jika Ibu pasien mampu
mengulangi materi edukasi yang disampaikan dengan baik. Semua indikator
(kecuali antropometri dan pengetahuan) dimonitoring dan evaluasi setelah
pemberian intervensi gizi 1 hari saat pasien rawat inap dan 1 bulan sekali saat
pasien rawat jalan.
21. Pengolahan bahan makanan yang menyebabkan alergen agar tetap bisa
dikonsumsi adalah dengan mengukus buah-buahan yang menyebabkan alergi
atau memberikan sirup pada buah; menggoreng atau merebus kacangkacangan;

menambahkan

cuka

dalam

pengolahan

telur;

melakukan

pengasapan, penggaraman, pengawetan, dan fermentasi pada ikan dan


seafood; melakukan pengukusan atau freeze drying pada daging dan produk
daging; memanaskan protein pada pasta, biji-bijian, dan produk roti; dan
merebus susu dan produk susu.
35

22. Alergi pada saat dewasa tidak dapat disembuhkan karena pada saat dewasa,
paparan polusi meningkat yang berasal dari lingkungan pekerjaan, jalan raya,
dan lain-lain. Seiring bertambahnya usia, tubuh kurang mampu mengimbangi
efek dari paparan polutan. Orang dewasa lebih rentan terhadap paparan bahan
kimia karena penurunan kapasitas untuk memperbaiki kerusakan DNA yang
disebabkan oleh mutagen yang dapat menurunkan pertahanan imunologi.
Paparan polutan dapat mendorong dan meningkatkan produksi IgE tingkat
sensitisasi alergen tertentu. Karena orang yang terpapar polusi secara terus
menerus dapat semakin memperburuk imunitas seseorang, sehingga alergi
tidak dapat disembuhkan.
B. REKOMENDASI
Skenario

klinik

pada

week

7 ini

mampu

mengingatkan

kembali

mengenai

patofisiologi, etiologi, sign symptom dari bronkopneumonia dan alergi, macammacam alergi serta metode test alergi. Skenario ini juga mampu memberikan
pengetahuan pada mahasiswa mengenai macam-macam diet untuk pasien alergi,
serta pengolahan bahan makanan yang menyebabkan alergi agar dapat dikonsumsi.
Skenario yang diberikan cukup jelas dan dimengerti oleh mahasiswa. Terkait
kejelasan maksud dari skenario diharapkan tetap dipertahankan pada skenario week
berikutnya.

36

DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Risa. 2004. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Penerbit Serba Jaya.
Almatsier, Sunita. 2008. Penuntun Diet. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Azmi, Nurul. 2002. Gambaran Pola Pemberian Makan pada Bayi dan Balita Usia 0-59
Bulan di Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar, Kecamatan Leuwidamar, Lebak,
Banten,

Tahun

2002.

Tidak

diterbitkan.

Fakultas

Kesehatan

Masyarakat

Universitas Indonesia Depok.


Bennet, Nicholas J. 2014. Pediatric Pneumonia. (Online).
(http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview#aw2aab6b2b3aa,
diakses 22 Desember 2014).
Berdanier, Carolyn D. 2002. Handbook of Nutrition and Food. USA : CRC Press.
Bradley, John et al. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants
and Children Older Than 3 Months of Age: Clinical Practice Guidelines by the
Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of
America. Clin Infect Dis, 53 (7): 617-630.
Christanto, Anton dan Tedjo Oedono. 2011a. Uji Diagnostik Alergi Makanan. Praktis, 38
(6): 465-467.
___________________________. 2011b. Manifestasi Alergi Makanan pada Telinga, Hidung,
dan Tenggorok. Continuing Medical Education, 38 (6): 410-416.
Dietert, Rodney R. 2012. Immunotoxicity, Immune Dysfunction, and Chronic Disease.
London : Elsevier.
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.
Dorland, Newman. 2009. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta : EGC.
Duggan et al. 2008. Nutrition in Pediatrics 4: Basic Science, Clinical Applications. Ontario
: BC Decker, Inc.
Graha, Chairinnisa K. 2010. 100 Questions & Answers, Alergi pada Anak. Jakarta : PT Elex
Media Komputindo.
Helmy, Mazdar dan Zakiudin Munasir. 2007. Pemakaian Cetrizine dan Kortikosteroid pada
Penyakit Alergi Anak. Jurnal Kedokteran dan Farmasi Dexa Media, 2 (20): 68-73.
Holmes, Deborah E. Saunders Medical Assisting Exam Review Fourth Edition. USA :
Elsevier Saunders.
Houska, Milan et al. 2013. Food Allergens and Processing - Review of Recent Results.
(Online). (http://www.icef11.org/content/papers/fms/FMS997.pdf, diakses 27
Desember 2014).
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
37

Ikawati, Zullies. 2010. Resep Hidup Sehat. Yogyakarta : Kanisius.


Isnaini, M. 2009. Pneumonia pada Balita. (Online).
(http://indonesiabisasehat.blogspot.com/2009/05/tentang-pneumoniabalita.html, diakses tanggal 22 Desember 2014).
Judarwanto, Widodo. 2004. Perbedaan Perjalanan Alamiah Alergi Setiap Individu.
(Online). (http://allergycliniconline.com/2012/03/15/allergy-march-perbedaanperjalanan-alamiah-alergi-setiap-individu/, diakses tanggal 22 Desember 2014).
_________________. 2005. Alergi Makanan, Diet dan Autisme. (Online).
(http://puterakembara.org/archives3/widodo2.pdf, diakses 22 Desember 2014).
Kartikawati, Henny. 2007. Tes Cukit (Skin Prick Test) pada Diagnosa Penyakit Alergi.
Semarang : Universitas Diponegoro.
Lasota, Jack P et al. 2005. Pediatric Allergy about Protein Formula in Infant and Young
Children with Atopic Eczema or Dermatitis Syndrome Immune. 16: 189-190.
Lucking, Steven et al. 2012. Pediatric Critical Care Study Guide: Text and Review. London
: Springer.
Mak, Tak W et al. 2014. Primer to the Immune Response. London : Elsevier.
Martel, Janelle. 2012. Bronchopneumonia. (Online).
(http://www.healthline.com/health/bronchopneumonia#Overview1, diakses 22
Desember 2014).
Martin, Ellizabeth A. 1982. Concise Medical Dictionary. London : Oxford University Press.
Mawaddah, Isra. 2012. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu
Formula pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Puskesmas Kembang Tanjong Kabupaten
Pidie. Tidak diterbitkan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Ubudiyah Banda
Aceh.
Michaelsen, Kim F et al. 2000. Feeding and Nutrition of Infants and Young Children,
Guidelines for the WHO European Region, with Emphasis on the Former Soviet
Countries. Denmark : WHO Regional Publication.
Mitchell, Richard N et al. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta : EGC.
Nazarina. 2008. Menu Sehat dan Aman untuk Bayi 6-12 Bulan. Jakarta : PT Mizan Publika.
Nency, Yetty M. 2005. Prevalensi dan Faktor Risko Alergi pada Anak Usia 6-7 Tahun di
Semarang.

Tidak

diterbitkan.

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Diponegoro

Semarang.
Newman, Jack P. 2009. Alergi Makanan, Diet dalam Autisme Children Med. Family Groups
Association. NPO Guidelines. 50: 274-8.
National Health and Medical Research Council (NHMRC). 2013.

Infant Feeding

Guidelines: Summary. Canberra : National Health and Medical Research Council.

38

National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID). 2011. Guidelines for the
Diagnosis and Management of Food Allergy in the United States: Summary for
Patients, Families, and Cargivers. USA : NIH Publication.
_____________________________________________________. 2012. Food Allergy, An Overview.
USA : NIH Publication.
Nutrition Society of Malaysia. 2011. Nutritionists Choice Cookbook. Malaysia :
Versacomm.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI). 2009. Kamus Gizi, Pelengkap Kesehatan
Keluarga. Jakarta : Buku Kompas.
Rafika. 2007. Gejala Rinitis Alergi pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Angkatan 2007-2009. Tidak diterbitkan. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Raymond, Janice. 2008. Krauses Food and Nutrition Therapy. United States : Elsevier
Saunders.
RelayHealth. 2009. Allergy Tests. Canada : RelayHealth.
Rifai, Muhaimin. 2011. Alergi dan Hipersensitif. Tidak diterbitkan. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya Malang.
Roy, Sampurna. 2014. Pathology of Bronchopneumonia. (Online).
(http://www.histopathology-india.net/brpn.htm, diakses 22 Desember 2014).
Sathe, Shridhar et al. 2005. Effects of Food Processing on the Stability of Food Allergens.
Biotechnology Advances, 23 : 423-429.
Sigalingging, Ganda. 2010. Karakteristik Penderita Penyakit Pneumonia pada Anak di
Ruang Merpati II Rumah Sakit Umum Herna Medan. Jurnal Darma Agung, 69-78.
Silverman et al. 2002. Essential of Oral Medicine. Ontario : BC Decker Inc.
Siregar, Sjawitri P. 2001. Alergi Makanan pada Bayi dan Anak. Sari Pediatri, 3 (3): 168174.
_______________. 2006. Pentingnya Pencegahan Dini dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi.
Sari Pediatri, 7 (4) : 237-243.
Stevenson, Angus. 2010. Oxford Dictionary of English Third Edition. London : Oxford
University Press.
Suri,

Sujata.

2006.

ABCs

of

Allergies.

(Online).

(http://www.csa.com/discoveryguides/allergy/review.pdf, diakses 22 Desember


2014).

39

Syaiful, Abdullah. 2012. Pediatric Allergy in Baby Amount Less Than A Year Age: Food
and Information The Medical Profession Guideline. Switzerland : Children Family
Clinic.
Tambayong, Jan. 1999. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.
The Anaphylaxis Campaign (TAC). 2011. Egg Allergy-The Facts. Hampshire : TAC.
Uzochukwu, Godfrey A et al. 2009. Proceedings of the 2007 National Conference on
Environmental Science and Technology. New York : Springer.
Wang, Julie dan Hugh A Sampson. 2009. Food Allergy: Recent Advances in
Pathophysiology and Treatment. Allergy Asthma Immunol Res, 1 (1): 19-29.
WebMD Medical Reference. 2010. Allergies Health Center: Food Allergy, or Something
Else?. (Online). (http://www/webmd.com/allergies/foods-allergy-intolerance?
print=true, diakses tanggal 21 Desember 2014).
Widarini dan Sumasari. 2009. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA
pada Bayi. (Online). (http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JIG/V1N1/widarini.pdf,
diakses 22 Desember 2014).
World Health Organization (WHO). 2014. Pneumonia. (Online).
(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/, diakses 22 Desember
2014).

40

TIM PENYUSUN
A. KETUA
FIRDA AMALIA

(125070301111009)

B. SEKERTARIS
RANI ILMINAWATI

(125070301111004)

RACHMI FARICHA

(125070301111005)

C. ANGGOTA
DWI RATNAWATI

(125070301111008)

DWIYANTI CAESARRIA (125070301111010)


TIARA DIAN N.

(125070301111011)

FEBY DINA ARDIYANTI(125070301111012)


DIESMAHARANI ASTRI M. (125070301111013)
YUNITA ENDAH K.

(125070301111014)

SOFIE AYU MISRINA

(125070301111001)

DESAK MADE TRISNA U.


YUNITA REZA R.

(125070301111002)

(125070301111003)

HESTI RETNO BUDIARINI


FARIKHA ALFI F.

(125070301111006)

(125070301111007)

D. FASILITATOR
Sylvia
E. PROSES DISKUSI
1. KEMAMPUAN FASILITATOR DALAM MEMFASILITASI
Mampu mengarahkan berjalannya diskusi mahasiswa agar fokus pada
kompetensi dan skenario.
Mampu membantu mahasiswa dalam menggali dan memecahkan masalah
yang terdapat dalam skenario.
Mampu membantu mahasiswa untuk berpikir kritis dalam menanggapi
masalah pada skenario.
Mampu mendampingi mahasiswa dalam melakukan diskusi dengan lancar dan
mengarahkan apabila topik pembahasan mulai menyimpang.
2. KOMPETENSI/HASIL BELAJAR YANG DICAPAI OLEH ANGGOTA DISKUSI
Mahasiswa mampu memahami patofisiologi, etiologi, faktor risiko, tanda dan
gejala dari penyakit bronkopneumonia dan alergi, macam-macam alergi dan
dietnya,

metode

test

alergi,

cara

pengolahan

bahan

makanan

yang
41

menyebabkan alergi agar dapat dikonsumsi, macam-macam makanan transisi,


dan perbandingan pemberian ASI dan MP-ASI pada bayi.
Mahasiswa mengetahui hubungan antara bronkopneumonia dan alergi, serta
hubungan antara pemberian ASI dan susu formula yang berselang seling
dengan penyakit bronkopneumonia dan alergi.
Mahasiswa mampu merencanakan intervensi diet dan edukasi terkait penyakit
bronkopneumonia dan alergi pada pasien berusia 7 bulan.

42

Anda mungkin juga menyukai