PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu keputusan penting yang dihadapi oleh manager keuangan dalam kaitannya
dengan operasional perusahaan adalah keputusan atas Struktur Modal, yaitu keputusan
keuangan yang berkaitan dengan komposisi utang, saham prefen dan saham biasa yang harus
digunakan oleh perusahaan.
Keputusan Struktur Modal secara langsung berpengaruh terhadap besarnya risiko
yang ditanggung pemegang saham beserta besarnya tingkat pengembalian
atau tingkat
terhadap profitalitas perusahaan , tetapi juga berpengaruh terhadap resiko yang dihadapi oleh
perusahaan.
Struktur Modal merupakan pilihan pendanaan antara utang dan ekuitas. Teori yang
menjelaskan hal tersebut antara lain Teori Trade-Off, Teori Pecking Order, dan Teori lainnya.
1.2.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui faktor faktor apa saja yang paling mempengaruhi dalam
pengambilan Keputusan Struktur Modal suatu perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN
Laba operasi yang diperoleh setiap tahunnya dianggap konstan. Ini berarti bahwa
perusahaan tidak merubah keputusan investasinya.
2.
Semua laba yang tersedia bagi pemegang saham dibagikan sebagai deviden. Ini
berarti bahwa kita tidak memasukkan unsur kerumitan faktor kebijakan deviden.
3.
Hutang yang dipergunakan bersifat permanen. Ini berarti bahwa hutang yang jatuh
tempo akan diperpanjang lagi. Asumsi ini hanya untuk mempermudah perhitungan biaya
hutang ( cost of Debt ) dan membuat hutang dan modal sendiri comparable.
4.
merumuskan biaya modal dari masing-masing sumber dana sebagai berikut ini :
E
Ke
=
2
S
Dimana : Ke = biaya modal sendiri ( cost of equity )
E
Sedangkan bagi kreditur, biaya modal yang mereka syaratkan disebut sebagai biaya
hutang ( cost of Debt ).
F
Kd
=
B
= ke (
) + kd (
B+S
O
ko
)
B+S
Laba Operasi
=
Nilai Perusahaan
2. PENDEKATAN TRADISIONAL
Pendekatan tradisional ini beranggapan bahwa dalam pasar modal yang sempurna dan
tidak ada pajak, nilai perusahaan ( value of the firm ) atau biaya modal perusahaan bisa
berubah dengan cara merubah struktur modalnya ( yaitu B/S ). Untuk lebih jelasnya
perhatikan ilustrasi perhitungan dibawah ini.
Misalkan, Perusahaan PT. XYZ mempunyai 100% modal sendiri, dan diharapkan
akan memperoleh laba bersih setiap tahunnya sebesar Rp. 10 juta. Andaikan tingkat
keuntungan yang dipersyaratkan oleh pemilik modal sendiri
maka value of the firm dan cost of Equity dapat dihitung sebagai berikut ini :
Bunga
ke
Nilai perusahaan
ko
atau
= 10.000.000 / 50.000.000
0,20
Andaikata
sekarang perusahaan PT XYZ berkeinginan untuk mengganti sebagian modal sendiri dengan
hutang ( debt ), dimana biaya hutang ( kd ) atau tingkat keuntungan yang diminta oleh
kreditur adalah sebesar 16%. Dengan penggunaan hutang ini, perusahaan mempunyai
kewajiban membayar bunga sebesar Rp. 4.000.000,- setiap tahunnya. Kalau laba operasi
tidak berubah, berapakah value of the firm dan biaya modal perusahaan ?
Rp. 10.000.000,-
Bunga
ke
Rp. 27.272.700,-
Rp. 25.000.000,-
Nilai perusahaan
Rp. 52.272.700,-
ko
4.000.000,Rp. 6.000.000,0,22
0,19
Dari ilustrasi perhitungan diatas, tampak bahwa dengan menggunakan hutang, biaya
modal sendiri ( ke ) menjadi naik yakni sebesar 22% tetapi keadaan perusahaan menjadi lebih
baik karena nilai perusahaan menjadi lebih tinggi dan biaya modal perusahaan ( ko ) menjadi
menurun yakni dari sebesar 0,20 menjadi 0,19.
menggunakan hutang mempunyai 1.000 lembar saham, maka harga sahamnya ( Rp. 50 juta :
1000 ) = Rp. 50.000,- per lembar. Setelah perusahaan mengganti sebagian sahamnya dengan
hutang, maka harga sahamnya mengalami kenaikan yakni menjadi sebesar ( Rp.
27.272.700,- : 500 ) = Rp 54.545,Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa penggunaan hutang ( debt ) dalam
struktur modal perusahaan akan berdampak pada naiknya harga saham perusahaan serta dapat
menurunkan biaya modal perusahaan.
akhirnya sama.
Arbitrage process ini muncul karena investor akan lebih menyukai investasi yang
memerlukan dana yang lebih sedikit tetapi memberikan penghasilan bersih yang sama dengan
resiko yang sama pula. Dalam contoh diatas, pemodal bisa memperoleh keuntungan yang
sama tetapi dengan investasi yang lebih kecil, apabila memiliki saham PT XYZ yang tidak
memiliki hutang.
Misalkan apabila kita memiliki 20% saham PT XYZ yang menggunakan hutang
( Debt ), maka nilai kekayaan yang kita miliki adalah sebesar ( 0,20 x
Rp. 27.272.700,- ) =
Rp 5.450.000,-.
Langkah dalam arbitrage process :
1.
Jual saham PT. XYZ, dan kita akan memperoleh dana sebesar Rp. 5.450.000,-
2.
Pinjam dana sebesar Rp. 5.000.000,-. Nilai pinjaman ini adalah sebesar 20% dari nilai
hutang PT. XYZ.
3.
Beli 20% saham PT. ABC yang tidak memiliki hutang dalam struktur modalnya
senilai 0,20 x Rp. 50.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
4.
Dengan demikian kita dapat menghemat investasi sebesar Rp. 450.000,Apabila kita lihat sebelum menjual dan membeli, keuntungan yang diharapkan
Keuntungan bersih
800.000,-
Rp. 1.200.000,-
Sebenarnya kalau kita amati dengan mendasarkan pada pendekatan tradisional diatas,
maka disini kita akan menjumpai kejanggalan dalam masalah penggantian struktur modal
sendiri dengan hutang yang nilainya Rp. 25 juta menjadi Rp. 27,27 juta. Andaikata nilai
modal sendiri yang asalnya sebesar Rp. 50 juta kemudian berubah menjadi Rp. 25 juta karena
adanya penggantian dengan hutang yang nilainya Rp. 25 juta, maka seharusnya biaya modal
sendiri akan menjadi :
ke
= E
S
6 juta
= 24%
25 juta
Dengan kd = 16%, maka biaya modal perusahaan setelah menggunakan hutang adalah
:
ko
= 24% ( 25 / 50 ) + 16% ( 25 / 50 )
= 20%
Hal ini berarti bahwa biaya modal perusahaan ( value of the firm ) tidak berubah,
dengan adanya perubahan struktur modal tersebut. Karena pada pendekatan tradisional
6
diasumsikan biaya modal sendiri meningkat tetapi hanya menjadi 22%, maka perusahaan
yang menggunakan hutang menjadi lebih tinggi nilainya dari perusahaan yang tidak
menggunakan hutang.
Dalam kondisi pasar modal sempurna dan tidak ada pajak, MM merumuskan bahwa biaya
modal sendiri akan berperilaku sebagai berikut :
ke
= keu + ( keu - kd ) ( B / S )
ke
Dimana : keu adalah biaya modal sendiri pada saat perusahaan tidak menggunakan hutang
dalam komponen struktur modalnya.
Dari hasil perhitungan diatas, maka kita akan memperoleh hasil yang sama sebesar
24% seperti ditunjukkan dalam perhitungan sebelumnya diatas. Perhatikan bahwa biaya
hutang ( kd ) selalu lebih kecil dari modal sendiri ( keu ). Hal ini disebabkan karena pemilik
modal sendiri menanggung resiko yang lebih besar dari pemberi kredit, disamping itu kita
berada dalam pasar modal yang kompetitif. Kondisi ini disebabkan karena :
1.
Penghasilan yang diterima pemilik modal sendiri bersifat lebih tidak pasti
dibandingkan dengan pemberi kredit.
2.
Dalam kondisi likuidasi, pemilik modal sendiri akan menerima bagian yang paling
akhir setelah kredit-kredit dilunasi.
Jadi tidaklah benar argumen yang dikemukakan oleh pendekatan traditional yang
mengatakan bahwa apabila perusahaan menghimpun dana dalam bentuk equity, perusahaan
kemudian berhasil menghimpun dana murah. MM kemudian berpendapat bahwa semua
sumber pendanaan mempunyai biaya, dan untuk modal sendiri justru biayanya lebih mahal
dibandingkan dengan dana pinjaman.
Berdasarkan hal ini, maka MM kemudian mengemukakan argumennya
bahwa
dalam keadaan pasar modal sempurna dan tidak ada pajak, maka keputusan pembelanjaan (
financing decision ) menjadi tidak relevan . Artinya, penggunaan hutang ataukah modal
sendiri akan memberi dampak yang sama bagi kemakmuran para pemegang saham
( pemilik ) perusahaan.
7
merupakan manfaat bagi pemilik perusahaan, maka tentunya nilai perusahaan ( value of the
firm ) yang menggunakan hutang akan lebih besar dari nilai perusahaan yang tidak
menggunakan hutang dalam struktur permodalannya.
Untuk lebih memperjelas argumen dari MM tersebut, perhatikan contoh ilustrasi
perrhitungan dibawah ini :
PT. DGE
Laba Operasi
Rp. 10.000.000,-
Bunga
PT. KLM
Rp. 10.000.000,-
000,-
Rp.
4.000.000,-
Rp. 10.000.000,-
Rp.
6.000.000,-
Pajak ( 25% )
Rp. 2.500.000,-
Rp.
1.500.000,-
Rp. 7.500.000,-
Rp.
4.500.000,-
Dari ilustrasi perhitungan diatas, nampak bahwa PT. KLM membayar pajak yang
lebih kecil ( lebih hemat ) dari PT. DGE ( dalam hal ini selisihnya sebesar Rp. 1 juta ).
Persoalan yang kemudian muncul adalah : Apakah penghematan pajak tersebut
merupakan manfaat ?. Jawabannya adalah ya . Masalahnya adalah
bagaimana
PT. KLM
selamanya. Berapakah nilai manfaat tersebut ? Nilai penghematan pajak bisa dicari dengan
perhitungan berikut ini :
PV penghematan pajak
Rp. 1 juta
=
t=1
( 1 + r )t
PV penghematan pajak
= Rp. 1 juta / kd
Dengan demikian maka nilai perusahaan ( value of the firm ) PT. KLM yang menggunakan
hutang didalam struktur permodalannya adalah :
VL = VU + PV penghematan pajak
9
= Rp. 37.500.000,- + Rp. 6.250.000,= Rp. 43.750.000,Perhatikan bahwa laba yang tersedia untuk pemilik modal sendiri pada
adalah sebesar Rp. 7.500.000,-. Dengan demikian nilai modal sendiri
PT. DGE
Rp. 37.500.000,- dan karena PT. DGE tidak menggunakan hutang dalam struktur
permodalannya ( unleverage ), maka berarti nilai perusahaan ( value of the firm / V ) adalah
sebesar Rp. 37.500.000,-. Untuk lebih jelasnya perhatikan ilustrasi dibawah ini.
PT. DGE
Laba Operasi
PT. KLM
Rp. 10.000.000,-
Bunga
Rp. 10.000.000,-
000,-
Rp.
4.000.000,-
Rp. 10.000.000,-
Rp.
6.000.000,-
Pajak ( 25% )
Rp. 2.500.000,-
Rp.
1.500.000,-
Rp. 7.500.000,-
Rp.
4.500.000,-
kd
0,16
B ( 4 juta : 0,16 )
Rp. 25.000.000,-
0,20
0,24
Rp. 37.500.000,-
Rp.
18.750.000,-
Rp. 37.500.000,-
Rp. 43.750.000,-
ko
0,2000
0,1714
Biaya rata-rata tertimbang ( weighted average cost of capital ) dapat dihitung dengan
cara :
ko
= Laba Operasi ( 1 t ) / V
= [ 10.000.000 ( 1 0,25 ) ] / 43.750.000
= 0,1714
Cara kedua adalah dengan menghitung biaya rata-rata tertimbang ( weighted average cost of
capital ) atas dasar setelah pajak sebagai berikut ini :
10
ko
= ke ( S / V ) + kd ( 1 t ) ( B / V )
= 0,24 (18.750.000 /43.750.000) + 0,16(10,25)( 25.000.000/43.750.000 )
= 0,1714
Argumen yang dikemukakan oleh MM yang menunjukkan bahwa
perusahaan akan bisa meningkatkan nilainya ( value of the firm ) kalau menggunakan
hutang sebesar-besarnya dalam struktur permodalannya ( dalam keadaan ada pajak ) ,
tentu saja banyak mengundang kritikan dan keberatan dari para praktisi keuangan. Keberatan
ini muncul salah satunya disebabkan oleh asumsi yang dipergunakan oleh MM yang
menyiratkan bahwa dalam pasar modal yang sempurna, biaya modal sendiri ( ke ) akan
mengikuti rumus sebelumnya yakni :
ke
= keu + ( keu - kd ) ( B / S ) ( 1 t )
Apabila kita gambarkan pendapat MM, baik dalam keadaan tidak ada maupun ada
pajak, mengenai perilaku biaya modal ( baik biaya modal sendiri, biaya hutang, maupun
biaya modal perusahaan ) akan nampak seperti gambar dibawah ini.
Ada pajak
ke
ke
24
24
ko
20
16
20
kd
1.00
ko
12
B/S
ke ( 1 t )
1.33
B/S
11
BAB III
12
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah di tulis maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
3. Dari faktor-faktort tersebut mempunyai pengaruh satu dengan yang lainnya. Sehing
dengan demikian Para Investor, Kreditor maupun Managemen Perusahaan hendaknya
memberikan perhatian yang lebih kepada informasi atas faktor-faktor yang
mempengaruhi tersebut.
13