Anda di halaman 1dari 2

Peran Pre-Test pada Penelitian Experimental

Rossi Sanusi (25 Juni 2009)


Pre-test pada penelitian experimental pada umumnya digunakan untuk membandingkan selisih
hasil pre- & post-test dari kelompok intervensi dengan selisih hasil pre- & post-test dari
kelompok kontrol. Peneliti menyimpulkan experiment berhasil jika ada perbedaan yang
bermakna antara kedua selisih tersebut. Sebenarnya kesimpulan berdasarkan selisih hasil pre- &
post-test hanya dapat dibuat untuk experiment satu kelompok karena pre-test (OPre) yang
mendahului intervensi (X1) merupakan post-test dari intervensi sebelumnya (X0) terhadap
kelompok subyek yang sama.
Kesimpulan yang dibuat melalui experiment satu kelompok penuh dengan bias. Jarak waktu
antara OPre dan OPost menimbulkan beberapa gangguan pada validitas internal penafsiran hasil
penelitian, seperti perubahan-perubahan di luar subyek (histori), di dalam subyek
(maturasi), pada alat ukur (instrumentasi) dan cara pengukuran (testing). Variabel-variabel
penyulit (confounding) akibat perbedaan waktu ini dapat dikendalikan dengan menghilangkan
jarak waktu antara kedua test tersebut, yaitu dengan mengadakan pre- dan post-test pada waktu
yang sama. Hal ini hanya dapat dilakukan jika ada kelompok subyek lain (= kelompok kontrol)
dan jika OPre (= post-test dari kelompok kontrol) dilakukan pada waktu yang sama dengan OPost
(dari kelompok intervensi). Untuk mencegah variabel-variabel penyulit akibat kelompok kontrol
yang tidak setara dengan kelompok intervensi subyek-subyek dari populasi (atau sampelnya)
ditempatkan secara acak ke kedua kelompok tersebut.
Ada satu satu penyulit lain akibat perbedaan waktu yang tidak dapat dikendalikan dengan
kelompok kontrol, yaitu penyulit yang diakibatkan karena subyek-subyek keluar dari experiment
(e.g., binatang yang mati, manusia yang pindah atau enggan melanjutkan). Jika subyek-subyek
ini memiliki skor yang extrem tinggi/rendah ketidakikut-sertaan mereka pada post-test akan
menggeser rerata skor. Peneliti yang mengantisipasi ancaman bias karena subyek gugur akan
mengadakan pre-test untuk mengetahui apakah ada subyek dengan skor extrem yang gugur
kelak.
Keberhasilan experiment disimpulkan berdasarkan selisih rerata skor post-test kedua kelompok,
bukan berdasarkan perbedaan antara selisih rerata skor pre- & post-test kelompok intervensi dan
selisih rerata skor pre- & post-test kelompok kontrol. Peran dari pre-test adalah untuk
mengendalikan mortalitas, yaitu variabel penyulit yang ditimbulkan karena subyek keluar/gugur
dari experiment. Jika peneliti ingin membatasi experiment pada subyek-subyek dengan (kisaran)
skor pre-test tertentu ia dapat memasukkannya sebagai salah satu kriteria inklusi anggota
populasi. Konsekuensinya adalah gangguan pada validitas external bobot dari penafsiran hasil
experiment untuk populasi yang lebih beragam hasil pre-tesnya akan berkurang.
Jika kemungkinan drop-out subyek-subyek kecil (misalnya, karena experimentnya singkat)
sebaiknya pre-test tidak digunakan jika interaksi antara pre-test dan intervensi dapat terjadi
(misalnya, peserta pelatihan yang dipretest akan berreaksi lain terhadap pelatihan dibandingkan

peserta pelatihan yang tidak dipretest). Hal ini juga akan mengurangi validitas external dari
experiment.

Anda mungkin juga menyukai