Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering
ditemukan. Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai
oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul
tanpa provokasi. Data WHO menunjukkan epilepsi menyerang 1%
penduduk dunia. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja tanpa batasan ras
dan sosial ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di
negara berkembang yang mencapai 114 (70-190) per 100.000 penduduk
per tahun. Angka yang tinggi dibandingkan dengan negara yang sudah
berkembang di mana angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53 per
100.000 penduduk pertahun. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar
220 juta, maka diperkirakan jumlah penyandang epilepsi baru 250.000
per tahun.
Angka prevalensi penyandang epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000
penyandang epilepsi. Dari banyak studi diperkirakan prevalensi epilepsi
berkisar antara 0.5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8.2 per 1000
penduduk. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi
menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak
cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian
meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.
Umumnya penyakit ini dapat diobati; data penelitian menemukan 55-68%
kasus berhasil menunjukkan remisi dalam jangka waktu yang cukup
panjang. Di kalangan masyarakat awam, terutama di negara berkembang
masih terdapat pandangan yang keliru (stigma) terhadap epilepsi, antara
lain dianggap sebagai penyakit akibat kutukan, guna-guna, kerasukan,
gangguan jiwa/mental. Dan dianggap penyakit yang dapat ditularkan
melalui air liur. Hal ini berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan
penyandang epilepsi. Selain hal tersebut di atas, pelayanan penyandang
epilepsi masih menghadapi banyak kendala. Beberapa kendala yang telah
teridentifikasi antara lain keterbatasan dalam hal tenaga medik, sarana
pelayanan, dana dan kemampuan masyarakat. Berbagai keterbatasan tadi
dapat menurunkan optimalisasi penanggulangan epilepsi. Epilepsi
berpotensi untuk menimbulkan masalah sosio-ekonomi dan medikolegal
yang secara keseluruhan dapat menurunkan atau mengganggu kualitas
hidup penyandang epilepsi. Masalah tersebut meliputi kesempatan untuk
memperoleh
hak
pekerjaan/karier,
pendidikan
dan
pekawinan,
1

memperoleh tanggungan asuransi, dan memperoleh Surat Ijin Mengemudi


(SIM). Aspek medikolegal epilepsi juga harus diperhatikan oleh dokter
karena kelalaian dalam membuat rekam medis dan rekam medis yang
kurang lengkap akan dapat menyeret dokter ke meja hijau.
Di samping hal-hal tersebut di atas, epilepsi menawarkan masalah bagi
para dokter, baik dokter spesialis saraf, dokter umum, maupun dokter
spesialis di luar disiplin neurologi. Apabila tawaran tadi tidak ditanggapi
sebagaimana mestinya oleh para praktisi medik maka epilepsi akan
berlalu begitu saja, dengan arti bahwa epilepsi merupakan gangguan
neurologik yang tidak menarik perhatian dan dengan demikian
penatalaksanaannya tidak memerlukan landasan yang kokoh dalam
bentuk pedoman penatalaksanaan. Sebaliknya, apabila para praktisi
medik terutama para dokter spesialis saraf tertarik dengan tawaran
tadi maka epilepsi akan dipandang sebagai suatu gangguan neurologik
yang serius dan memerlukan pendekatan tatalaksana yang sistemik dan
komprehensif. Salah satu upaya pendekatan tadi adalah membangun
kesepakatan dalam hal penatalaksanaan epilepsi secara mendasar yang
secara operasional disebut sebagai pedoman tatalaksana epilepsi. Upaya
lainnya dapat berbentuk penelitian dan continuing professional
development (CPD) sebagai pengejawantahan proses belajar sepanjang
hayat (life-long learning).

1.2 Tujuan Penulisan

Dapat mengetahui dan memahami tentang epilepsi.


Dapat mengetahui dan memahami tentang sindrom epilepsi.
Dapat mengetahui dan memahami tentang status epileptikus.

BAB II
EPILEPSI

2.1 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa
provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi
(epileptic seizure) adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas
listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron.
Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa
perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan
kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom, ataupun psikik.
Bangkitan epilepsi dapat terjadi mengikuti gangguan metabolik,
traumatik, anoksia, atau infeksi otak (diklasifikasikan sebagai remote
symptomatic seizures), atau secara spontan tanpa diketahui fokus
keterlibatan pada sistem saraf pusat.
Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik
untuk suatu epilepsi; hal ini mencakup lebih dari sekedar tipe bangkitan
tetapi juga mencakup etiologi, anatomi, faktor presitipasi, usia awitan,
berat dan kronisitas, siklus diurnal dan sirkadian bahkan kadang-kadang
prognosis.
Dikenal pula istilah penyakit epilepsi yang merupakan suatu keadaan
patologik dengan satu etiologi yang spesifik, seperti epilepsi mioklonik
progresif pada penyakit Unverricht-Lundborg.

2.2 Epidemiologi
Epilepsi paling sering terjadi pada bayi baru lahir, anak-anak, dan pada
usia lanjut. Prevalensi datar pada kelompok usia 10-15 tahun.
Kemungkinan untuk terjadi bangkitan kedua setelah bangkitan pertama
tanpa provokasi pada anak sekitar 50%. Risiko kejadian bangkitan ulang
setelah bangkitan kedua tanpa provokasi adalah 85%. 65-70% anak
3

dengan epilepsi akan mencapai remisi dengan pengobatan yang sesuai.


Remisi epilepsi pada onset anak-anak sekitar 50% dari penderita.
Di negara berkembang, insidensi epilepsi pada anak lebih tinggi daripada
di negara maju, berkisar antara 25-840/100.000 penduduk per tahun.
Prevalensi yang pasti untuk epilepsi pada anak sulit ditentukan.

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy
(ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis
bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi :
1. Bangkitan parsial/fokal
a. Bangkitan parsial sederhana
i. Dengan gejala motorik
ii. Dengan gejala somatosensorik
iii. Dengan gejala otonom
iv. Dengan gejala psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
i. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan
gangguan kesadaran
ii. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran
sejak awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
i. Parsial sederhana yang menjadi umum
ii. Parsial kompleks menjadi umum
iii. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu
menjadi umum
2. Bangkitan umum
a. Lena (absence)
i. Tipikal lena
ii. Atipikal lena
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi :
1. Fokal/parsial (localized related)
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

i. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah


sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal
spikes)
ii. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada
daerah oksipital
iii. Epilepsi primer saat membaca (primary reading
epilepsy)
b. Simtomatik
i. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada
anak-anak (Kojenikows Syndrome)
ii. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatan,
hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal
tinggi, membaca)
iii. Epilepsi lobus temporal
iv. Epilepsi lobus frontal
v. Epilepsi lobus parietal
vi. Epilepsi lobus oksipital
c. Kriptogenik
2. Epilepsi umum
a. Idiopatik (sindrom epilepsi beurutan sesuai dengan usia
awitan)
i. Kejang neonatus familial benigna
ii. Kegang neonatus benigna
iii. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
iv. Epilepsi lena pada anak
v. Epilepsi lena pada remaja
vi. Epilepsi mioklonik pada remaja
vii. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat
terjadi
viii. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah
satu di atas
ix. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi
yang spesifik
b. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan
peningkatan usia)
i. Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
ii. Sindrom Lennox-Gastaut
iii. Epilepsi mioklonik astatik
iv. Epilepsi mioklonik lena
c. Simtomatik
i. Etiologi non spesifik
1. Ensefalopati mioklonik dini
2. Ensefalopati pada infantile sini dengan burst
supresi
3. Epilepsi simptomatik umum lainnya yang tidak
termasuk di atas
5

ii. Sindrom spesifik


iii. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
i. Bangkitan neonatal
ii. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
iii. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur
dalam
iv. Epilepsi afasia yang didapat (sindrom Landau-Kleffner)
v. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
i. Kejang demam
ii. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya
sekali (isolated)
iii. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian
metabolik akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan,
eklamsia, hiperglikemi non ketotik
iv. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)
Sindrom epilepsi diklasifikasikan berdasarkan tampilan dari bangkitan
(lokal dan general), umur dari onset, temuan EEG, dan faktor klinik lain.

2.4 Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu :
1. Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit
neurologik. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan
umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui. Termasuk di sini dalam sindrom West. Sindrom LennoxGaustaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan
ensefalopati difus.
3. Simtomatik : bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
struktural pada otak, misalnya : cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol, obat), metabolic, kelainan neurodegeneratif.
Umumnya, epilepsi simtomatik dan kriptogenik terjadi pada onset awal
kehidupan. Sindrom epilepsi idiopatik biasanya tergantung usia, terjadi
pada awal kehidupan hingga remaja, tergantung pada sindrom
spesifiknya. Kespesifikan dari sindrom epilepsi membantu dalam
6

menentukan prognosis. Epilepsi idiopatik biasanya terkontrol dan bahkan


mencapai remisi, dibandingkan dengan epilepsi simtomatik.

2.5 Diagnosis
Pedoman Umum
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :
1. Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat
paroksismal merupakan bangkitan epilepsi.
2. Langkah kedua : apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang
mana.
3. Langkah ketiga : tentukan etiologi, tentukan sindrom epilepsi apa
yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa
yang diderita oleh pasien.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi
berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya
gambaran epileptiform pada EEG. Secara sistematis, urutan pemeriksaan
untuk menuju ke diagnosis epilepsi adalah sebagai berikut:
1. Langkah pertama : ditempuh melalui anamnesis. Pada sebagian
besar kasus, diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan
informasi akurat yang diperoleh dari anamnesis yang mencakup
auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi mata.
a. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan :
i. Keadaan
penyandang
saat
bangkitan
:
duduk/berdiri/berbaring/tidur/berkemih
ii. Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speech
arrest) : Pasien mungkin mendeskripsikan sebagai rasa
takut, baal atau kesemutan pada jari-jari, rasa silau
pada satu lapang pandang. Seringkali anak tidak
mengingat dan tidak dapat mendefinisikan aura tetapi
keluarga dapat melihat perubahan perilaku pada onset
tersebut.
iii. Apa yang tampak selama bangkitan (pola/bentuk
bangkitan)
:
gerakan
tonik/klonik,
vokalisasi,
otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, deviasi mata
iv. Keadaan setelah kejadian : bingung, terjaga, nyeri
kepala, tidur, gaduh gelisah, Todds paresis
v. Faktor pencetus : alkohol, kurang tidur, hormonal
7

vi. Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau


terdapat perubahan pola bangkitan
b. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun
riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik
maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antar bangkitan
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap
terapi (dosis, kadar OAE, kombinasi terapi)
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit
psikiatrik atau sistemik
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan
perkembangan bayi/anak
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dll.
2. Langkah kedua : untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan
dengan memperhatikan klasifikasi ILAE 1981.
3. Langkah ketiga : untuk menentukan etiologi, sindrom epilepsi atau
penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien, dilakukan dengan
memperhatikan klasifikasi ILAE 1989. Langkah ini penting untuk
menentukan prognosis dan respons terhadap OAE.
Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologik
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik dan neurologik
adalah sebagai berikut :

Lingkar kepala
Mencari tanda-tanda dismorfik
Kelainan kulit
Pemeriksaan jantung dan organ lain
Gangguan respirasi (hiperventilasi)
Evaluasi psikologik
Defisit neurologik
Pemeriksaan funduskopik

Pemeriksaan Fisik Umum


Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tandatanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kelainan pada
kulit (neurofakomatosis), dan defisit neurologik fokal atau difus.
Pemeriksaaan Neurologik

Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat tergantung dari


interval antara saat dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.

Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan


maka akan tampak tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti
Todds paresis, transient aphasic symptoms, yang tidak jarang dapat
menjadi petunjuk lokalisasi.
Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir
berlalu, sasaran utama adalah untuk menentukan apakah ada
tanda-tanda disfungsi sistem saraf permanen (epilepsi simtomatik)
dan walaupun jarang apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila keadaan
memungkinkan. Pemeriksaan ini mencakup :

Pemeriksaan electro-encephalography (EEG)


Iktal (bila memungkinkan) dan interiktal
Pola EEG tertentu dapat menunjukkan suatu sindrom
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan temuan gelombang epilepsi
pada rekaman EEG interiktal adalah sebagai berikut :

Waktu perekaman
o Perekamam paskaiktal dalam 24 jam dapat menemukan
gelombang epilepsi interiktal (interictal epileptiform
discharges) lebih besar (51%) dibandingkan bila
perekaman dilakukan lama setelah bangkitan (34%).
Perekaman berulang
Keadaan kurang tidur (sleep deprivation)
Aktivasi : tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik
Perekaman EEG iktal dibutuhkan agar diagnosis epilepsi lebih
jelas. Video EEG telemetri digunakan bila diagnosis masih
belum jelas dan untuk penentuan lokalisasi fokus pada
evaluasi praoperasi epilepsi.

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada


dugaan suatu bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu
menunjang diagnosis dan membantu penentuan jenis bangkitan
maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat membantu
menentukan prognosis dan penentuan perlu/tidaknya pengobatan
OAE.
Namun, EEG tidak harus abnormal pada anak dengan epilepsi. EEG
normal dapat ditemukan pada kejang umum pertama dan pada
9

sepertiga anak kurang dari 4 tahun. EEG pertama dapat normal


pada 20% anak lebih dari 4 tahun dan sekitar 10% pada dewasa.
Persentase ini berkurang dengan EEG serial.

Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)


Pemeriksaan CT scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita
dalam mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Pencitraan otak
emergensi biasanya tidak diperlukan dalam kasus tanpa bukti
trauma atau abnormalitas akut pada pemeriksaan. MRI (tidak
emergensi) diindikasikan pada anak dengan gangguan kognitif dan
perilaku yang signifikan, atau abnormalitas pada pemeriksaan
neurologik yang tidak diketahui penyebabnya, bangkitan kejang
parsial, atau dengan EEG tidak menunjukan benign partial epilepsy
of
childhood
atau
primary
generalized
epilepsy,
dapat
dipertimbangkan untuk bayi di bawah usia 1 tahun, kesulitan untuk
mengontrol bangkitan kejang, gangguan progresif neurologik pada
pemeriksaan serial, perburukan fokal pada EEG, dan bukti lain untuk
disfungsi neurologik.
Indikasi

Status epileptikus atau epilepsi akut yang berat


Penyandang epilepsi fokal kecuali yang memiliki sindrom
elektroklinik yang tipikal untuk BECTS
Epilepsi refrakter
Bila ditemukan gangguan tumbuh kembang atau bukti
sindrom neurokutan

Jenis penciteraan

Pencitraan struktural : CT scan, MRI, MR spektroskopik


CT scan memungkinkan diagnosis radiologis pada 10-20%
pasien, sedangkan MRI memungkinkan diagnosis radiologis
pada 50% penyandang epilepsi parsial refrakter MRI lebih baik
dalam mendeteksi abnormalitas fokal berukuran kecil
dibandingkan CT scan.
Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologik
dapat terdiagnosis secara non invasive, misalnya mesial
temporal
sclerosis,
glioma,
ganglioma,
malformasi
kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepitheliat tumor).
Ditemukannya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi pada
epilepsi yang refrakter terhadap OAE.
Pencitraan fungsional : PET, SPECT, fMRI. Kegunaan pencitraan
fungsional mencakup hal-hal sebagai berikut :

10

o Umumnya digunakan untuk perencanaan operasi


epilepsi
o Membantu identifikasi region epileptogenik
o Membantu identifikasi daerah awitan bangkitan
o Melokalisasi fungsi otak
o Dibandingkan dengan pencitraan struktual, pencitraan
fungsional
cenderung
untuk
menilai
derajat
epileptogenik korteks serebri secara berlabihan
o PET (Positron Emission Tomography), SPECT (Single
Photon Emission Computed Tomography), dan MRS
(Magnetic Resonance Spectroscopy) bermanfaat dalam
menyediakan informasi tambahan mengenai dampak
perubahan metabolik dan perubahan aliran darah
regional di otak berkaitan dengan bangkitan.

Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan hematologik
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, lekosit, hematokrit,
trombosit, hapusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula, fungsi hati, ureum,
kreatinin. Pemeriksaan ini dilakukan pada awal pengobatan,
beberapa bulan kemudian, diulang bila timbul gejala klinik,
dan rutin setiap tahun sekali.
o Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah
tercapai steady state, pada saat bengkitan terkontrol baik,
tanpa gejala toksik. Pemeriksaan ini diulang setiap tahun,
untuk memonitor kepatuhan pasien. Pemeriksaan ini
dilakukan pula bila bangkitan timbul kembali, atau bila
terdapat gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat
lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat lain, bila
terdapat perubahan fisiologi pada tubuh penyandang
(kehamilan, luka bakar, gangguan fungsi ginjal).

2.6 Diagnosis Banding

Breath holding attacks (cyanotic and pallid)


Tics (Tourette syndrome)
Parasomnias (night terrors, sleep talking, walking, sit ups)
Nightmares
Migrain
Benign nocturnal myoclonus
Shuddering
11

Gastroesophageal reflux (Sandifer syndrome)


Infantile masturbation
Conversion reaction / pseudoseizures
Benign paroxysmal vertigo
Staring spells

2.7 Komplikasi dan Skuale


1. Dampak Psikososial
Gangguan emosional, terutama depresi namun juga ansietas,
kemarahan, dan perasaan bersalah dan tidak berdaya, sering
muncul pada pasien seperti juga pada orang tua penderita epilepsi.
Stigma yang ada sering membuat mereka menjadi tertutup.
Mungkin ada peningkatan resiko bunuh diri pada pasien dengan
epilepsi. Dalam bersekolah mereka juga sering menghadapi
keterbatasan aktivitas yang tidak tepat dan menghadapi stigma dari
teman-temannya. Epilepsi dengan onset anak-anak berpengaruh
pada kehidupan dewasa mereka. Mereka jarang lulus sekolah,
memiliki keterbatasan dalam bekerja, dan juga bermasalah dalam
hal pernikahan. Penderita menjadi tidak mandiri, bahkan pada
penderita yang sukses dalam pengobatan. Kadang-kadang pada
kasus jarang, dapat terjadi psikosis.
2. Keterlambatan Kognitif
Terdapat perdebatan dalam dampak epilepsi pada kognitif. Epilepsi
ensefalopatik
(pengurangan
kemampuan
kognitif
dan
perkembangan yang berhubungan dengan kejang yang tidak
terkontrol) dapat terjadi, terutama pada anak kecil dengan epilepsi
katastrofik seperti sindrom West dan Lennox Gastaut. Hubungan
epilepsi dengan gangguan kognitif kurang jelas pada kejang parsial
persisten. Aktivitas epileptiform kontinu berhubungan dengan
sindrom
Landau
Kleffner
(acquires
epileptic
aphasia).
Pseudodimensia dapat tejadi pada pasien dengan epilepsi yang
kurang terkontrol karena bangkitan berhubungan dengan proses
belajar mereka. Depresi adalah penyebab utama pada gangguan
kognitif. Antikonvulsan jarang mengakibatkan gangguan kognitif.
Fenobarbital, topiramat, valproat, dan lainnya mungkin terlibat.
Retardasi mental dan autistik mungkin bagian dari proses patologik
yang menyebabkan kejang yang akan memburuk jika kejang
bersifat sering, lama, dan diikuti dengan hipoksia.
3. Kecelakaan dan Kematian
Luka fisik, terutama lecet pada dahi dan dagu sering pada kejang
astatik atau akinetik (yang disebut drop attacks), diperlukan tutup
kepala proteksi. Dalam gangguan kejang lain pada masa kanak12

kanak, luka sebagai efek langung dari serangan tidak sesering


tenggelam, kecelakaan di dapur, dan jatuh dari ketinggian pada
anak dengan potensi epilepsi aktif.
Sudden unexpected death with epilepsy (SUDEP) jarang terjadi.
Kecemasan terhebat dari orang tua dari anak dengan onset baru
epilepsi adalah kemungkinan meninggal dan cacat otak. Walaupun
anak dengan epilepsi meningkatkan risiko meninggal, namun SUDEP
jarang terjadi. Hampir semua kematian pada anak dengan epilepsi
berhubungan dengan gangguan neurologik, bukan bangkitan
kejangnya. Risiko SUDEP terbesar adalah pada kelompok anak
dengan epilepsi tidak terkontrol dengan obat, terutama epilepsi
simtomatik. Mekanisme SUDEP tidak diketahui dengan pasti, namun
kemungkinan berhubungan dengan insufisien pernafasan postiktal.
Kemungkinan aritmia kardial karena bangkitan dapat terjadi.
2.8 Tatalaksana
Tatalaksana ideal pada kejang adalah mengkoreksi penyebab spesifik.
Namun, walaupun kelainan biokemikal seperti tumor, meningitis, dan
penyebab lain telah diobati, obat antikonvulsan masih sering diperlukan.
Tujuan terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan tercapainya kualitas
hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan
penyakit dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk
penyandang epilepsi, tujuannya adalah bebas bangkitan, tanpa efek
samping. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya,
antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan
tanpa efek samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan
angka kesakitan dan kematian.
A. Pertolongan Pertama
Perawat anak harus diinstruksikan untuk memproteksi pasien dari
self-injury. Miringkan anak penting untuk mencegah aspirasi.
Memasukkan gagang sendok, depresor lidah, atau jari ke dalam
mulut pasien yang terkunci maupun menahan gerakan tonik-klonik
dapat memperburuk luka dibandingkan dengan lidah yang tergigit
atau anggota gerak yang memar. Orang tua sering konsentrasi pada
sianosis yang terjadi saat bangkitan umum, namun jarang terjadi
hipoksia. Resusitasi mulut ke mulut jarang diperlukan.
Kejang berkelanjutan lebih dari 5 menit memerlukan diazepam per
rektal untuk mencegah terjadinya status epileptikus.
B. Obat Antiepilepsi

13

a. Strategi pengobatan : anak dengan kejang pertama memiliki


kemungkinan rekurensi 50%. Oleh sebab itu, biasanya tidak
diperlukan pemberian OAE sampai diagnosis epilepsi
ditegakkan, yaitu adanya bangkitan kejang kedua. Tipe
bangkitan dan sindrom epilepsi berhubungan dengan inisiasi
pemberian obat. Mulai dengan satu jenis obat dengan dosis
moderate dan dosis ditambah jika bangkitan tidak terkontrol.
Jika kejang tidak dapat dikendalikan dengan dosis maksimal
satu jenis OAE utama, perlahan-lahan ganti ke OAE lain
sebelum
menggunakan
terapi
dua
obat.
Politerapi
(penggunaan lebih dari dua jenis OAE) jarang efektif jika
dibandingkan dngan kemungkinan efek samping sinergis dari
obat multipel tersebut.
b. Prinsip terapi farmakologi
OAE diberikan bila :
Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari
(misalnya kurang tidur, stress)
Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun
Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima
penjelasan tentang tujuan pengobatan
Penyandang dan atau keluarganya telah diberitahu
tentang kemungkinan efek samping yang timbul dari
OAE
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan
sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek
samping, kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif, bila diduga ada
perubahan farmakokinetik OAE (kehamilan, penyakit hati,
penyakit ginjal, gangguan absorbs OAE), diduga penyandang
epilepsi tidak patuh pada pengobatan, setelah penggantian
dosis/regimen OAE, melihat interaksi agar OAE atau obat lain,
dilakukan rutin setiap tahun pada penggunaan fenitoin.
Bila dengan penggunaan dosis maksimun OAE tidak dapat
mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE
kedua telah mencapai kadar terapi, makan OAE pertama
diturunkan bertahap perlahan-lahan (tapering of).
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti
bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis
maksimal kedua OAE pertama.

14

Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan


untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi,
yaitu bila :
Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi
yang
berkorelasi
dengan
bangkitan;
misalnya
meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak,
ensefalitis herpes
Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang
mengarah pada adanya kerusakan otak
Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung
(bukan orang tua)
Riwayat bangkitan simtomatik
Terdapat sindrom epilepsi yang beresiko tinggi seperti
JME (Juvenile Myoclonic Epilepsy)
Riwayat trauma kepala terutama yang disertai
penurunan kesadaran, infeksi SSP
Bangkitan pertama berupa status epileptikus
Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya
dengan interaksi farmakokinetik antar OAE.
Strategi untuk mencegah efek samping :

Mulai
pengobatan
dengan
mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian pemberian terapi
Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik
penyandang
Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan
terkecil
mengacu
pada
sindrom
epilepsi
dan
karakteristik penyandang epilepsi

15

16

Tabel Pemilihan OAE Berdasarkan Bentuk Bangkitan


OAE

Fokal

Tonik
Klonik
+
+

Lena

Mioklonik

+
+

Umum
Sekunder
+
+

Fenitoin
Karbamazep
ine
Asam
Valproat
Fenobarbital

?+

17

Gabapentin
Lamotrigine
Topiramate
Zonisamide
Levetiraceta
m
Oxkarbazepi
ne

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

?+
+
+
?+
?+

0
+
?
?+
?+

?+?+
?+
?+

c. Konseling : nasihat kepada orang tua bahwa pengguaan


berlanjut dari OAE tidak akan menyebabkan gangguan
perlambatan mental signifikan dan permanen. OAE berguna
untuk mencegah terjadinya bangkitan kejang. Jangan
mengganti dosis obat tanpa diketahui oleh dokter. Pada anak
yang lebih besar, dapat diterangkan cara
penggunaan
obatnya dengan pengawasan dari orang tua mereka.
d. Kontrol : kontrol seperti darah rutin dan fungsi hati diperlukan
untuk pasien yang menggunakan OAE jangka panjang seperti
valproat, fenitoin, dan karbamezepin. Reevaluasi neurologik
periodik sangat diperlukan. EEG ulangan diperlukan untuk
mengetahui perkembangan penyakit.
e. Managemen
jangka
panjang
dan
pemutusan
obat
antiepilepsi : rekurensi terjadi pada 25% pasien yang
menghentikan pengobatan, biasanya dalam 6-12 bulan
setelah penghentian. Jika terjadi bangkitan lagi, OAE harus
dilanjutkan untuk sekitar 1-2 tahun.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah
sebagai berikut :

Pengehentian OAE dapat didiskusikan dengan penyandang


epilepsi atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas
bangkitan
Gambaran EEG normal
Harus dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 3-6
bulan
Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai
dari 1 OAE yang bukan utama

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar


kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut :

Semakin tua usia


semakin tinggi

kemungkinan

18

timbul

kekambuhan

Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG yang abnormal
Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat
dikendalikan
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita ; sangat
jarang pada sindrom epilepsi benigna dengan gelombang
tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25% pada epilepsi
lena
masa
kecil,
25-75%
epilepsi
parsial
kriptogenik/simtomatik, 85-95% pada epilepsi meioklonik
pada anak, dan JME
Penggunaan lebih dari satu OAE
Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah
memulai terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
Kemungkinan kekambuhan lebih ekcil pada penyandang
yang terlah bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih
dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan
dosis efektif terakhir (sebelum penggunaan dosis OAE),
kemudian dievaluasi kembali

f. Kandungan OAE dalam darah : beberapa efek toksik serius


adalah reaksi alergik dan toksisitas pada sumsum tulang dan
hati.
g. Perhatikan efek samping obat : reaksi alergi signifikan terjadi
pada 5-10% pasien yang menggunakan karbamezepine,
lamotrigin, oxcarbazepine, fenitoin, dan fenobarbital yang
beresiko terjadinya Steven Johnson Syndrome. Efek samping
lainnya adalah hepatotoksik, pankreatitis, diskrasia darah, dan
batu ginjal. Efek samping fenitoin adalah hiperplasia gingival
dan hipertrikosis. Efek samping valproat dan gabapentin
adalah kenaikan berat badan sedangkan topiramat,
zonisamide, dan felbamate menyebabkan penurunan berat
badan.
C. Terapi Alternatif
a. ACTH dan kortikosteroid :
i. Indikasi : ACTH diindikasikan untuk pengobatan sindrom
West. Dosis inisial ACTH adalah 20 U/d sampai 150
U/mz. ACTH biasanya dilanjutkan dalam dosis maksimal
selama 2 minggu atau lebih, lalu jika bangkitan tidak
ada dilakukan tappering off. Jika saat tappering off
terjadi bangkitan, lanjutkan ACTH dengam dosis efektif
terakhir. Beberapa neurologis menggunakan ACTH lebih
dari 6 bulan dan ternyata lebih menguntungkan.
Kortikosteroid oral dan IVIG diindikasikan untuk
19

farmakoresisten epilepsi. Landau-Kleffner dilaporkan


respon dengan steroid oral.
ii. Dosis : ACTH dimulai dengan dosis 40-80 U/d atau
hingga 150 U/mz i.m dosis tunggal pagi hari. Orang tua
dapat diajarkan untuk menginjeksi. Untuk prednison
dimulai dengan 2-4 mg/kgBB/hari oral dalam dosis
terbagi 2 atau 3.
iii. Pencegahan : berikan tambahan potasium, cegah
infeksi, pencegahan hipertensi, dan efek samping
cushing.
b. Diet ketogenik : dipercaya dapat meningkatkan ambang
kejang.
c. Stimulator nervus vagus : diindikasikan untuk epilepsi
intractable. Dipasang alat di bawah klavikula kiri dan
mengenai nervus vagus kiri. Stimulasi diberikan 30 detik per 5
menit.
D. Bedah : diindikasikan untuk epilepsi intractable (epilepsi yang sulit
dikontrol setelah pemberian 2 atau 3 obat anti epilepsi yang tepat
dalam 1 tahun). Konsep dasar dari tindakan pembedahan ini adalah
ditemukannya epileptic zone dan reseksi epileptogenic zone akan
menghentikan kejang. Kesembuhan dilaporkan 80% pasien. Indikasi
operasi adalah Rasmussen encephalitis atau extensive perinatal
strokes untuk hemisferektomi, tuberous sclerosis, dan drop attacks
tidak terkontrol untuk corpus callostomy.
Evaluasi khusus pra operatif :

Tipe kejang
Lokasi awitan kejang EEG
Ada/tidak adanya lesi intrakranial
Status klinik dan perkembangan penyandang
Riwayat alamiah dari sindrom epilepsi

Pemeriksaan yang ideal dilakukan :

Riwayat klinik dan pemeriksaan neurologik


CT scan kepala
MRI
Video EEG permukaan iktal
Neuropsikologi
Psikiatri
Functional imaging (PET, SPECT, fMRI)
Tes Wada
Konseling dan rehabilitasi
Magnetoencephalography/Magnetic
Source
(MEG/MSI)
EEG intrakranial (Electrocorticography/EcoG)
20

Imaging

E. Tatalaksana umum :
a. Edukasi : edukasi keluarga pasien dan pasien mengenai
penyakit epilepsi berikut penyebab, prognosis, dan terapinya.
b. Hak dalam kehidupan : sedapat mungkin penderita epilepsi
harus dapat hidup seperti orang normal lainnya. Setelah
bangkitan terkontrol, penderita dapat berenang dengan
penjaga. Aktivitas yang berhubungan dengan ketinggian tidak
diijinkan penderita harus menghindari alkohol.
c. Mengemudi : rata-rata negara mengeluarkan SIM untuk
penderita epilepsi jika penderita dibawah pengawasan dokter
dan telah bebas bangkitan dalam 2 tahun.
d. Hamil : OAE berisiko untuk efek teratogenik seperti facial cleft.
Asam valproat dapat meningkatkan kejadian
spinal
dysraphism. Suplemen asam folat dianjurkan saat hamil.
e. Sekolah : dapat disiapkan diazepam per rektal di sekolah.
2.9 Aspek Psikososial Epilepsi
Problem psikososial pada penyandang epilepsi ditemukan lebih tinggi
dibandingkan populasi umumnya. Problem terbanyak yang dilaporkan
adalah adanya isolasi sosial, kurangnya percaya diri serta adanya
kecemasan dan depresi. Problem sosial menjadi sangat penting karena
berdampak pada berkurangnya kualitas hidup penyandangnya terutama
pada mereka yang mengalami kelainan atau kecacatan neurologik.
Stigma dan kualitas hidup
Kendala pada hubungan sosial penyandang epilepsi dapat disebabkan
oleh adanya :

Kekeliruan persepsi masyarakat terhadap penyakit epilepsi :


kutukan, turunan kerasukan, menular, dsb.
Kekeliruan perlakuan keluarga terhadap penyandang epilepsi :
overproteksi, penolakan, dimanjakan, dan sebagainya.
Kekeliruan perlakuan masyarakat terhadap penyandang epilepsi :
penolakan, direndahkan, diisolasikan, dsb.
Keterbatasan penyandang epilepsi akibat penyakit : gangguan
kognitif, kecacatan, kurnagnya pencapaian dalam bidang pendidikan
dan kemasyarakatan.
Kekeliruan perlakuan mengenai keterbatasan dalam segala jenis
pekerjaan.
Kekeliruan dalam larangan untuk semua cabang olah raga dan seni.
Beratnya dan seringnya bangkitan seta kronisitas dan kesulitan
kontrol penyakit.

21

Strategi pemecahan masalah dengan adanya stigma (pandangan negatif


mengenai epilepsi) di masyarakat adalah sbb :

Penyuluhan
Penyandang epilepsi membutuhkan orang lain selain keluarga
sebagai pendamping dan penyuluh dalam berbagai hal berkaitan
dengan proses adaptasi terhadap dampak medik dan sosial dari
epilepsi. Perlu adanya penyebarluasan pengetahuan mengenai
epilepsi bagi orang tua, anggota keluarga, calon suami atau istri,
dan terutama lingkungan terkait seperti guru, tempat bekerja,
POLRI, asuransi, pemerintah serta masyarakat umumnya. Yang perlu
perhatian adalah penjelasan bahwa epilepsi ini tidak menular, dapat
dikontrol, dapat menikah, hamil, dan memiliki anak, seberapa jauh
pengaruh epilepsi dan efek OAE pada ibu dan anak dan berbagai
tipe bangkitan yang dapat terjadi pada penyandang epilepsi dan
apa yang dilakukan saat terjadi bangkitan.

Hubungan dengan teman dan lingkungan sekitar


Penyandang epilepsi harus diberi kesempatan untuk bersosialisasi
dan menikmati pergaulan. Rasa malu, cemas, depresi, rendah diri,
kurang percaya diri, rasa membawa cacat keluarha membuat
penyandang mengisolasi diri dari pergaulan dengan akibat
menambah gangguan mental dan makin memperburuk sosialisainya
serta kurang berprestasi secara optimal. Program komunitas antar
penyandang dan antar orang tua akan sangat bermanfaat untuk
dapat saling bertemu sesamanya.

Pilihan pekerjaan
Pilihan pekerjaan ini menjadi penting dalam hubungannya dengan
perbaikan kualitas hidup penyandang epilepsi. Prinsip pilihan
pekerjaan adalah sebagai berikut :

Disesuaikan dengan jenis dan frekuensi bangkitan


Risiko kerja yang paling minimal
Tidak bekerja sendiri dan di bawah pengawasan
Jadwal kerja yang teratur
Lingkungan kerja (atasan dan teman kerja) tahu kondisi
penyandang epilepsi dan dapat memberikan pertolongan awal
dengan baik, maka epilepsi jangan dirahasiakan.
Pilihan jenis olah raga
Pilihan jenis olah raga yang diperbolehkan, dengan pertimbangan :

22

Dilakukan di lapangan/gedung olah raga


Olah raga yang dilakukan di jalan umum (balap, lari marathon,
berspeda, dll) di ketinggian (naik gunung, panjat tebing, dll)
sebaiknya dihindari.
Pengawasan khusus dan atau alat bantu diperlukan untuk
beberapa jenis olah raga, seperti renang, atletik, senam, dsb.
Aspek mengemudi (kendaraan darat, laut, dan udara)
Kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu
lintas bagi penyandang epilepsi yang mengemudi kendaraan
bermotor merupakan hal yang wajar. Rasa khawatir tadi terutama
disebabkan oleh kemungkinan munculnya bangkitan sewaktu
penyandang epilepsi sedang mengemudi, sementar kendaraan
melaju dengan kecepatan tinggi. Sehubungan dengan hal ini maka
tiap negara menerapkan peraturan khusus tentang hak penyandang
epilepsi untuk memperoleh surat ijin mengemudi (SIM), sesuai
dengan hokum yang berlaku di negara tersebut.
Pemberian SIM kepada penyandang epilepsi didasarkan atas prinsip
sebagai berikut :

Bangkitan epilepsi telah terkontrol dengan OAE


Masa bebas bangkitan dalam jangka waktu tertentu 24 bulan
berdasarkan surat keterangan dokter spesialis saraf dan
kejadian bangkitan saat aktivitas atau saat tidur juga perlu
pertimbangan demi keselamatan kegiatan dan pekerjaan.
Perlu adanya hukum dan peraturan asuransi yang berlaku.

BAB III
SINDROM EPILEPSI

Sindrom Ohtahara

Awitan : hari pertama setelah lahir, sampai usia 3 bulan.


Manifestasi klinik : spasme tonik, lama kejang 1-10 detik, frekuensi
10-300 kali dalam 24 jam.
23

EEG : burst suppression, amplitudo tinggi begantian dengan supresi.


Periode supresi 3-5 detik. Interval dari burst ke burst 5-10 detik, pola
ini tampak pada saat bangun atau tidur.
Etiologi : tersering adalah malformasi otak pada saat tumbuh
kembang atau adanya lesi di otak.
Tatalaksana : tidak ada terapi yang efektif. Vigabatrin mempunyai
efek yang baik, tetapi untuk jangka waktu lama. Dapat
dipertimbangkan operasi bila terdapat displasia serebri fokal.
Prognosis : morbiditas dan mortalitas tinggi. 50% penyandang hidup
dengan gangguan psikomotor dan defisit neurologik berat. Dalam
beberapa bulan dapat berlanjut menjadi sindrom West dan
selanjutnya menjadi sindrom Lennox Gastaut.

Sindrom West

Awitan : 3-7 bulan (77%), jarang sekali terjadi sebelum usia 3 bulan
atau setelah 12 bulan.
Manifestasi klini : spasme singkat berupa kontraksi tonik bilateral
dari aksila dan otot ekstremitas, simetris/asimetris.
EEG interiktal : hypsarrythmia, pada 2/3 penyandang epilepsi
simetris, pada 1/3 penyandang asimetris.
EEG iktal : gambaran berupa gelombang lambat menyeluruh
dengan amplitudo tinggi, diikuti aktivitas amplitudo rendah.
Terapi : adenokortikotropin hormone (ACTH) mengontrol spasme
pada 2/3 penyandang.
Tindakan bedah reseksi otak diindikasikan pada penyandang yang
refrakter dan terdapat lesi structural fokal.
Prognosis akhir tidak dipengaruhi oleh pengobatan ACTH.

Sindrom Lennox Gastaut

Awitan : 1-7 tahun; puncak pada usia 3-5 tahun.


Manifestasi klinik : bervariasi dapat berupa mioklonik, lena atipikal,
atonik, tonik dan tonik klonik atau non konvulsif status epileptikus.
EEG interiktal : slow spike wave complex (SSWC) menyeluruh
dengan irama dasar lambat.
EEG iktal : bangkitan tonik tampak aktivitas cepat > 10 Hz; atypical
absences SSWC; myoclonic : polyspikes; atonik : seluruh aktivitas
EEG menunjukkan amplitude yang rendah (Flattening of all EEG
activity).
Terapi : bangkitan kemungkinan besar tidak dapat dikontrol, tetapi
dapat dicoba pemberian asam valroat, klonazepam (mioklonik), dan
fenitoin (tonik). Obat-obat baru seperti : lamotrigin, levetirasetam,
atau topiramat kemungkinan lebih efektif. Steroid dapat digunakan
pada beberapa kasus.
24

Terapi operatif pada kasus refrakter bila terdapat lesi struktural yang
jelas. Corpus callosotomy pada drop attacks yang refrakter.

Sindrom epilepsi lena pada anak (CAE)

Awitan : usia 4-10 tahun, puncak pada usia 5-7 tahun.


Status neurologik dan tumbung kembang normal.
Bangkitan lena singkat (4-20 detik) dan sering (10x/hari), kesadaran
hilang mendadak.
EEG iktal : 3 Hz SWC ritmis menyeluruh, amplitude tinggi, durasi 420 detik.
Terapi : monoterapi dengan valproat atau lamotrigin.

Sindrom epilepsi mioklonik pada remaja (JME)

Awitan : dapat didahului bangkitan lena pada usia 5-16 tahun.


Bangkitan berupa mioklonik terjadi 1-9 tahun kemudian setelah
bangkitan lena (biasanya sekitar usia 14-15 tahun). Bangkitan
umum tonik klonik timbul bersamaan atau beberapa bulan
kemudian.
Manifestasi klinik dicirikan oleh trias sebagai berikut:
o Bangkitan mioklonik saat bangun tidur.
o Bangkitan umum tonik klonik pada seluruh pasien.
o Bangkitan lena tipikal terjadi pada lebih dari 1/3 kasus.
EEG iktal : polyspike menyeluruh dengan durasi 0,5-2 detik.
Terapi : asam valproat atau klonazepam efektif untuk bangkitan
mioklonik; dapat pula digunakan lamotrigin, topiramat, dan
zonisamid.

Sindrom epilepsi benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Childhood epilepsy with centrotemporal spikes)

Awitan : usia 7-10 tahun dengan puncak pada usian 8-9 tahun.
Manifestasi klinik :
o Bentuk bangkitan fokal berupa : bangkitan sensorimotor
hemifasial.
o Gejala oro-pharyngo-laryngeal berupa rasa baal unilateral
wajah, bagian dalam mulut, pipi, dan lidah; mengeluarkan
suara merintik seperti berkumur-kumur (gargling).
o Kesulitan bicara.
o Hipersalivasi.
o Bangkitan timbul saat tidur (non REM sleep).
o Lama bangkitan hanya beberapa detik sampat 1-2 menit.
o Anak tetap sadar pada 58% kasus.

25

EEG interiktal : ditemukan gelombang paku pada daerah sentrotemporal, dengan tangential dipole latar belakang aktivitas normal,
terutama ditemukan saat tidur.
Apabila kejang hanya terjadi 1 atau 2 kali saja tidak memerlukan
pengobatan OAE.

Sindrom epilepsi
syndrome)

mioklonik

berat

pada

masa

bayi

(Dravet

Awitan : tahun pertama kehidupan, puncak pada usia 5 bulan.


Manifestasi klinik :
o Kejang demam klonik pada masa bayi
o Bangkitan mioklonik
o Lena atipikal
o Bangkitan parsial kompleks
Berkembang dalam 3 periode evolusi :
o Periode 1 : bangkitan saat demam (klonik, unilateral atau
umum yang menjadi status epileptikus)
o Periode 2 : periode 1 disertai bangkitan mioklonik, lena
atipikal, parsial kompleks, yang menjadi parsial umum tonik
klonik sekunder
o Periode 3 : bangkitan mengalami perbaikan tetapi terdapat
gangguan psikomotor dan status neurologik
Etiologi : tidak diketahui, kemungkinan kelainan genetik; pencetus :
kenaikan suhu tubuh.
EEG : saat awitan dapat normal, lalu terdapat gambaran polyspike
menyeluruh dan perlambatan menyeluruh atau predominan di satu
hemisfer. Gambaran ini seringkali dapat terlihat saat stimulasi fotik
atau saat tidur.
Tatalaksana : obat antiepilepsi (asam valproat, fenobarbital,
ethosuksimid, levetirasetam, topiramat) dapat mengurangi kejang.
Pemberian karbamezepin dan lamotrigin merupakan kontraindikasi.
Prognosis : buruk, kejang selalu refrakter, terjadi retardasi
psikomotor, dan kalinan neurologic yang progresif.

Sindrom kejang demam


Definisi
Kejang demam (KD) adalah bangkitan kejang yang ditemukan pada masa
anak > 1 tahun sampai 5 tahun, berhubungan dengan kenaikan suhu
tubuh dan tidak disebabkan infeksi intrakranial maupun kejadian
simtomatik akut lainnya. Pada umumnya usia anak yang terkena KD
adalah antara 6 bulan sampai 5 tahun, paling sering pada usia 18 bulan.
Klasifikasi
26

Kejang demam dibagi dalam 2 bentuk, yaitu KD sederhana (simple febrile


seizures) dan KD kompleks (complex febrile seizures)

Kejang demam sederhana


o Kejang belangsung sebentar (<10 menit)
o Kejang umum tonik klonik yang terjadi sekali dalam 24 jam
o Tidak ditemukan defisit neurologik
o Sembuh spontan
Kejang demam kompleks
o Kejang belangsung >10-15 menit
o Bentuk kejang bersifat fokal/parsial
o Berlangsung beberapa kali (multipel) dalam 24 jam

Langkah-langkah diagnosis

Anamnesis yang teliti mengenai bentuk dan sebab KD, termasuk


anamnesis adanya riwayat KD dalam keluarga.
Pemeriksaan fisik untuk mencari kemungkinan adanya infeksi
intrakranial (meningitis atau ensefalitis).
Pemeriksaan EEG tidak dianjurkan secara rutin. Indikasi
pemeriksaan EEG pada suatu KD kompleks adalah : demam
<38.50C, usia awitan <1 tahun, ditemukan paralisis Todd atau
adanya defisit neurologik.
Pemeriksaan pungsi lumbal dianjurkan pada anak-anak yang berusia
<18 bulan dan mutlak perlu pada bayi <12 bulan (pada usia ini sulit
ditemukan suatu gejala perangsangan meningeal sehingga
kemungkinan suatu meningitis atau ensefalitis dapat lolos dari
pemeriksaan).
Pemeriksaan kimia darah lengkap tidak dianjurkan. Apabila anak
datang dengan diare dan muntah dan KD, dianjurkan pemeriksaan
kadar elektrolit dan gula darah.
Pemeriksaan radiologi atas indikasi. MRI kepala lebih baik
dibandingkan CT scan terutama pada kejang fokal atau gangguan
tumbuh kembang anak di samping KD kompleks.
Pemeriksaan penunjuang lain dilakukan atas indikasi.

Terapi
Jika ditemukan anak dengan KD, maka yang dapat kita lakukan adalah :

Pemberian diazepam rektal (sebelum masuk RS) 0.5 mg/kgBB setiap


8 jam pada suhu <38.50C.
Bila datang ke RS masih dalam keadaan kejang, diberikan diazepam
0.2-0.5 mg/kgBB intravena secara perlahan-lahan agar tidak timbul
depresi pernafasan. Bila tidak memungkinkan pemberian iv, dapat
diulang pemberian diazepam rektal.
27

Letakkan anak pada posisi miring dan beri oksigen per nasal. Jaga
jalan napas tetap baik, jangan sampai air liur tertelan.
Bila masih kejang setelah pemberian diazepam IV, maka dianggap
sebagai suatu status konvulsius dan tindakan selanjutnya sesuai
prosedur status epileptikus.
Saat ini ada kecenderungan untuk menggunakan midazolam
dengan dosis 0.1 mg/kgBB i.v atau 0.15 mg/kgBB i.m disebabkan
kejang lebih cepat berhenti dan risiko apneu lebih kecil.
Untuk penurunan suhu tubuh berikan parasetamol 10-15
mg/kgBB/kali 4 kali sehari, tidak lebih dari 5 kali. Dapat juga
diberikan ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 3-4 kali sehari.
Selanjutnya penatalaksanaan terhadap penyebab infeksi.

Terapi jangka panjang


Pengobatan rumatan dilakukan secara selektif pada kasus-kasus di bawah
ini dan paling lama 1 tahun (kesepakatan dokter saraf anak Indonesia)

Bangkitan berlangsung >15 menit


Ditemukan defisit neurologik sebelum atau sesudah KD misalnya
Todds paralysis, hemiparesis atau pada penyandang CP, reardasi
mental, atau hidrosefalus
KD berbentuk bangkitan fokal
Bangkitan berulang 2 kali/lebih dalam 24 jam
Bila KD pertama terjadi pada bayi berusia <12 bulan

Obat yang dapat mengurangi insidensi KD berulang adalah fenobarbital 34 mg/kgBB/hari atau valproat 15-40 mg/kgBB/hari, namun karena
kemungkinan terjadi efek samping yang tidak diharapkan, maka
pengobatan jangka panjang secara rutin pada KD tidak dianjurkan.
Risiko timbulnya KD berulang
Sepertiga anak dengan KD dapat mengalami bangkitan KD berulang dan
setengah dari populasi ini dapat mengalami bangkitan KD ketiga. KD
ulangan dapat terjadi dalam waktu 6 bulan pada 50% kasus, 75% kasus
terjadi dalam 9 bulan dan 90% kasus dalam waktu 2 tahun. Faktor risiko
untuk kejadian KD ulangan adalah sebagai berikut :

Terdapat riwayat KD dalam keluarga


Kejang pertama pada usia <18 bulan
Bila suhu tidak terlalu tinggi saat KD maka kemungkinan terjadi KD
ulangan lebih tinggi
Kejang multipel saat KD pertama.
Bila KD terjadi setelah anak demam lebih dari satu hari.

28

Risiko kejadian epilepsi di kemudian hari


Antara 1.5-4.6% anak KD dapat mengalami bangkitan tanpa demam
dikemudian hari. Faktor resiko terjadi epilepsi dikemudian hari adalah
sebagai berikut :

Bila terdapat riwayat epilepsi dalam keluarga


KD kompleks
Sudah ada gangguan tumbuh kembang dan defisit neurologik
Awitan KD pada usia 1 tahun
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 46%.
Kombinasi dari faktor risiko tersebut di atas meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.

Risiko terjadinya kambuhan meningkat pada


Anak dengan epilepsi simtomatik
Awitan bangkitan umur 12 tahun
Durasi bebas bangkitan < 6 bulam
EEG normal saat penghentian bangkitan
Sindrom dengan risiko relaps tinggi yaitu sindrom epilepsi pada
remaja (JME)

Tabel Perbandingan Sindrom Epilepsi

29

30

BAB IV

31

STATUS EPILEPTIKUS

4.1 Definisi
Status epileptikus adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit
atau adanya dua bangkitan atau lebih di mana diantara bangkitanbangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian
penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif
sudah belangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan keadaan
kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna
menghentikan bangkitan (dalam waktu 30 menit). SE dikatakan pasti
(established) bila pemberian benzodiazepine awal tidak efektif dalam
menghentikan bangkitan. Pemberian benzodiazepine rektal merupakan
terapi yang utama selama di perjalanan menuju rumah sakit.

4.2 Klasifikasi

4.3

SE konvulsif (bangkitan umum tonik klonik)


SE non konvulsif (bangkitan bukan tonik klonik)
o Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE
o Dapat dibagi menjadi SE lena, SE parsial kompleks, SE
nonkonvulsius pada penyandang dengan koma, dan SE pada
penyandang dengan gangguan belajar

Gejala Klinis, Epidemiologi, dan Etiologi

Anak dengan status epileptikus mungkin memiliki panas tinggi dengan


atau tanpa infeksi intrakranial. Penelitian menggambarkan 25-75% anak
dengan status epileptikus mengalami panas tinggi pada bangkitan
pertamanya. Seringkali hal ini merupakan refleksi dari keterlibatan akut.
Tumor dan stroke, dimana merupakan penyebab status epileptikus yang
sering pada dewasa, jarang menjadi penyebab pada anak. 50% dari status
epileptikus pada anak disebabkan oleh gangguan sistem saraf pusat akut
(25%) dan kronik (25%). Infeksi dan gangguan metabolik adalah
penyebab yang sering pada status epileptikus pada anak. Penyebab tidak
diketahui pada 50% kasus, namun banyak dari pasien tersebut demam.
Pada anak yang diketahui epilepsi, terapi harus dipertimbangkan. Status
epileptikus biasanya terjadi pada anak di bawah 5 tahun (85%). Paling
sering pada anak di bawah 1 tahun (37%).
32

4.4 Status Epileptikus Refrakter


Pada umumnya sekitar 80% penyandang dengan status SE konvulsius
dapat terkontrol dengan pemberian benzodiazepine atau fenitoin. Bila
bangkitan kejang masih berlangsung, yang kita sebut sebagai SE
refrakter, maka diperlukan penanganan di ICU untuk tindakan anastesia.
Dikatakan SE refrakter jika pemberian 2-3 jenis obat gagal mengatasi
bangkitan. Obat yang biasa digunakan midazolam, propofol, dan
pentobarbital. Topiramat dan levetiracetam juga digunakan dalam SE dan
juga penggunaan ketamin sebagai obat anastetik cukup menjanjikan.

4.5 Tatalaksana

33

BAB V
KESIMPULAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan.


Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa
provokasi.
Epilepsi paling sering terjadi pada bayi baru lahir, anak-anak, dan pada
usia lanjut. Prevalensi datar pada kelompok usia 10-15 tahun.
Kemungkinan untuk terjadi bangkitan kedua setelah bangkitan pertama
tanpa provokasi pada anak sekitar 50%. Risiko kejadian bangkitan ulang
setelah bangkitan kedua tanpa provokasi adalah 85%. 65-70% anak
dengan epilepsi akan mencapai remisi dengan pengobatan yang sesuai.
Remisi epilepsi pada onset anak-anak sekitar 50% dari penderita.
Etiologi epilepsi dibedakan menjadi tiga yaitu idiopatik, simtomatik, dan
kriptogenik. Umumnya, epilepsi simtomatik dan kriptogenik terjadi pada
onset awal kehidupan. Sindrom epilepsi idiopatik biasanya tergantung
usia, terjadi pada awal kehidupan hingga remaja, tergantung pada
sindrom spesifiknya. Kespesifikan dari sindrom epilepsi membantu dalam
menentukan prognosis. Epilepsi idiopatik biasanya terkontrol dan bahkan
mencapai remisi, dibandingkan dengan epilepsi simtomatik.
Diagnosis epilepsi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan neurologik, EEG, dan juga pemeriksaan penunjang lain
seperti CT scan dan MRI juga laboratorium. Pemeriksaan laboratorium
seperti darah rutin dan fungsi hati juga diindikasikan untuk memantau
efek samping obat. Dengan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, kita
harus dapat membedakan jenis-jenis epilepsi berdasarkan klasifikasinya
guna menentukan tatalaksana yang tepat.
Diperlukan penatalaksaan yang komprehensif dalam menangani epilepsi.
Tidak hanya terapi farmakologi, namun tatalaksana non farmakologi
seperti edukasi dan perhatian terhadap faktor psikis juga sangat
diperlukan untuk mencegah komplikasi epilepsi pada masa yang akan
datang.

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Hay WW, Levin MJ, Shondeimer JM, etc. 2009.Current Diagnosis and
Treatment Pediatrics 9th edition. New York : McGraw-Hill. Page 683698.
2. Soedomo A, Sinardja AMG, Wardy A, dkk. 2012. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Jakarta : Perdossi. Hal 1-32, 40-50, 59-62.
3. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, etc. 2011. Nelson Textbook of
Pediatrics 19th edition. Philadelphia : Elsevier Saunders. Page 20132039.
4. Shorvon OD. 1995. Status Epilepticus Its Clinical Features and
Treatment in Children and Adult. US : Cambridge.
5. Harsono. 2007. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi dan Penjelasannya
dalam Epilepsi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal 2635.
6. Clinical Guideline 20. 2004. The epilepsien : the diagnosis and
management of the epilepsies in adults and children in primary and
secondary care. London : National Institute of Clinical Excellence.
7. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Diagnosis and
management of Epilepsies in Children and Young People, A national
clinical guideline. Edinburg. 2005 : 4-10.
8. Wilmshurst JM. Approach to Epilepsy in Childhood. CME. 2004; 22 :
427-433.
9. ILAE. Guidelines for epidemiologic studies on epilepsy. Epilepsia
1993 ; 34 : 592-6.
10.
Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Edt.Pusponegoro
HD, Widodo DP, Ismael S. Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2006.

35

Anda mungkin juga menyukai