PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah
utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang
maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001
influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di
Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di
Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO
1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia
dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus
per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama
akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat
pneumonia di Amerika adalah 10 %. (1)
Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya
ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan
waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia
dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada
pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.(1)
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001,
penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai
penyebab kematian di Indonesia(9). Di SMF Paru RSUP Persahabatan
tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara
penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus
nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6
% diantaranya kasus nontuberkulosis
(7)
B. Tujuan
Dengan pembuatan laporan kasus ini, dokter muda berharap dapat:
1. Mengetahui dan memahami dasar klinis penyakit Pneumonia
2. Mampu menganalisa kasus, penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
yang tepat untuk penyakit Pneumonia
3. Menambah keilmuan dokter muda tentang penyakit di bidang Ilmu
Penyakit Dalam
4. Penulisan laporan kasus ini dapat dijadikan sumber informasi ilmiah
yang dapat dipergunakan oleh sejawat lainnya
5. Penulisan laporan kasus ini dapat dijadikan informasi yang komunikatif
kepada pembacanya.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
: Tn. S
2
TTL
Umur
Jenis kelamin
Alamat
: 31 Oktober 2014
: 197839
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Riwayat allergi :
Riwayat allergi makanan, obat-obatan, dan cuaca disangkal
3
8. Riwayat psikososial :
Pasien makan teratur, 2-3 kali sehari. Pasien suka minum kopi, 2
gelas/hari. Pasien merokok (+) 2-3 bungkus/hari. Pasien gemar berolah
raga badminton
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran
: composmentis
Status Gizi
BB sebelum sakit
: 81 kg
BB ketika sakit
: 69 kg
TB
: 170 cm
IMT
: 23,8
Tanda Vital
Tekanan darah
: 70/40 mmHg
Penafasan
: 20 x/ menit
Nadi
: 84 x/menit
Suhu
: 40.0C
Status Generalis
1. Kepala
2. Mata
:
:
normocephal
konjungtiva anemis (-/-), sklera
c. Perkusi
:
i. Batas atas
ii. Batas kanan
iii. Batas kiri
sinistra
bunyi jantung I dan II regular, bising jantung (-)
d. Auskultasi :
8. Abdomen
a. Inspeksi
: datar, supel, bekas trauma (-)
b. Auskultasi
: bising usus (+) normal
c. Perkusi
: timpani pada seluruh lapang abdomen
d. Asites : shifting dullness (-)
e. Palpasi
: supel, nyeri tekan epigastrium (+)
9. Ekstremitas
a. Superior :
(-/-)
b. Inferior
(-/-)
Pemeriksaan laboratorium tanggal 31 Oktober 2014
Pemeriksaan
Hematologi rutin
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Hemoglobin
15,3
g/dl
L=13,8-17,0 P= 11,3-15,5
Jumlah leukosit
7,900
/l
L= 4,5-10,8 P=4,3-10,4
Hematokrit
45,2
L=42,0-50,0 P=36,0-46,0
Jumlah trombosit
298
ribu/ l
Ekspertise rontgen thorax tanggal 31 Oktober 2014
L=185.000-402.000 P=132.000
Cor : sinus dan diafragma kanan normal. Sinus kiri tumpul. Skeletal dan jaringan lunak
normal
Pulmo : tampak infiltrat di kedua lapang atas dan tengah paru
Kesan : TB Paru dupleks
Pemeriksaan
laboratorium
tanggal 1
November 2014
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Negatif
Kuman BTA
Negatif
BTA
BTA Direct
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Negatif
SGOT
365
U/L
0-37
SGPT
279
U/L
0-40
D. Resume
Tn. S, 55 tahun datang ke IGD RSJ Sukapura dengan keluhan batuk
berdahak sejak 3 bulan yang lalu, dahak berwarna putih den tidak diseertai
darah. Pasien juga mengeluh suka berkeringat di malam hari, mual, namun
6
tidak sampai muntah. Perut rasa tidak enak, nafsu makan turun, dan berat
badan pasien dalam 3 bulan turun dalam 12 kg. Pasien juga sering
merasakan demam yang hilang timbul. Kadang demam ringan, namun dapat
cepat meningkat hingga menggigil. Pasien jga merasa lemas pada seluruh
anggota tubuhnya. Nyeri kepala (+), nyeri otot (+). Riwayat sakit flek (+).
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dengan kesadaran komposmentis. Tekanan darah pasien 70/40 mmHg, dan
suhu mencapai 40oC. suara ronkhi pada paru (+/+), nyeri tekan epigastrium
(+). Pada Ekspertise rontgen thorax terlihat adanya kesan TB Paru dupleks.
E. Follow Up
Hari/Tgl/Jam
Sabtu,
1
O
:
A
120/80
November
Os
sudah TD
2014
tidak
batuk, mmHg
08.00 WIB
- Sputum
sesak
pusing
(+), T : 38,2 oC
3x
- Cek anti TB
Senin,
3 Sesak
Pneumonia +
Susp. TB
Rencana
tatalaksana :
BTA
IgG
tekan
Lab :
Hb:15,3
g/dl,
leukosit 7,900 /l,
Ht
45,2%,
trombosit
298
ribu/l
Hasil
rontgen
thorax : TB paru
dupleks
TD
:
120/80
- Ceftriaxone
1x2gr
- Rantin 2x1
- NAC 3x1
Pneumonia + TB
Rencana
7
November
2014
08.00 WIB
berkurang
mmHg
(+),
nafsu RR : 18 x/mnt
makan mulai N : 84 x/mnt
T : 36,3 oC
membaik,
demam (-)
Nyeri
paru + Susp.
tatalaksana :
tekan
- Ceftriaxone
abdomen (-)
1x2gr
- Rantin 2x1
- NAC 3x1
- OAT stop dulu
Hasil pemeriksaan
BTA (-)
Tes imunoserologi
IgG (-)
SGOT 365 U/L
Selasa,
4 Sesak
November
menurun,
mmHg
2014
09.00 WIB
semakin
N : 80 x/mnt
membaik
T : 36,5 oC
Therapy :
Pneumonia + TB - Ceftriaxone
Paru + DIH
-
1x2gr
Rantin 2x1
NAC 3x1
Maxiliv 1x1
Curcuma 3x1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA PNEUMONIA
PNEUMONIA
A. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk.
Sedangkan
peradangan
paru
yang
disebabkan
oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obatobatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. World Health Organization
(WHO) mendefinisikan pneumonia hanya berdasarkan penemuan klinis
yang didapat pada pemeriksaan inspeksi dan frekuensi pernapasan.
B. Epidemiologi
Penyebab kesakitan dan kematian pada anak (terutama pada anak < 5
tahun) di seluruh dunia, terutama di Negara berkembang, bersaing
dengan diare sebagai penyebab kematian pada anak. Diperkirakan 146159 juta kasus baru per tahunnya di negara berkembang dan diperkirakan
9
C. Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Dari
hasil penelitian didapat 44-85% CAP disebabkan oleh bakteri dan
virus dan 25-40% diantaranya disebabkan lebih dari satu patogen.
Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi, tergantung :
a Usia
b Status imunologis
c Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
d Status imunisasi
e Faktor penjamu (penyakit penyerta, malnutrisi)
Pada awalnya sebagian besar didahului oleh infeksi virus
1 Bayi baru lahir (neonatus 2 bulan)
- Organisme saluran genital ibu :
a Streptokokus grup B,
b Echerichia coli
c kuman Gram negatif,
d Listeria monocytogens
e Sifilis congenital (pneumonia alba)
- Sumber infeksi lain : pasase transplasental, aspirasi mekonium,
2
CAP
Usia > 2-12 bulan
Orgnisme penyebab tersering adalah :
a Streptokokus grup B
b E. Coli
c P. Aeruginosa
d Klebsiela
e S. pneumoniae
10
Kemungkinan Etiologi
Staphylococcus aureus
Streptococcus group A
S. Pneumonia
H. Influenza
D. Klasifikasi
1 Berdasarkan lokasi lesi di paru
a
bronkus
c Pneumonia interstisial
2 Berdasarkan asal infeksi
11
4
5
acquired pneumonia)
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based
pneumonia)
Berdasarkan mikroorganisme penyebab
a Pneumonia bakteri
b Pneumonia virus
c Pneumonia mikoplasma
d Pneumonia jamur
Berdasarkan karakteristik penyakit
a Pneumonia tipikal
b Pneumonia atipikal
Berdasarkan lama penyakit
a Pneumonia akut
b Pneumonia persisten
12
Kedalam alveoli
Hipoksemia
13
deposisi fibrin dan disintegrasi sel inflamasi makin meningkat secara progresif
(gray hepatization)
resolusi terjadi setelah 8-10 hari bila berlangsung digesti eksudat secara
enzimatik
F. Diagnosis
Gambaran klinis
Anamnesis
a Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid
atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri
dada.
b
Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru.
Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup,
pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai
bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian
Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat
berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram",
penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti.
Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis
14
oleh
Steptococcus
pneumoniae,
Pseudomonas
G. Pengobatan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif.
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan
data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena
beberapa alasan yaitu (2) :
1
Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid
Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
Aminoglikosid
Tikarsilin, Piperasilin
Siprofloksasin, Levofloksasin
Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid
Hemophilus influenzae
TMP-SMZ
Azitromisin
Fluorokuinolon respirasi
Legionella
Makrolid
16
Fluorokuinolon
Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
Doksisikin
Makrolid
Fluorokuinolon
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi: (11)
Efusi pleura.
Empiema.
Abses Paru.
Pneumotoraks.
Gagal napas.
Sepsis
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA TUBERKULOSIS
A. Definisi TB Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
17
B. Epidemiologi TB Paru
WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga
penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993
WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai reemerging disease. Angka penderita
TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di Asia jumlah penderita TB paru
berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk.9,11,15
Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa
angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.
Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3
wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per
100.000 penduduk, 2. Wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110
per 100.000 penduduk, 3. Wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah
210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka
prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Berdasar pada hasil survey
prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara
Nasional 3-4 % setiap tahunnya.
C. Mycobacterium tuberculosis
Kuman tuberkulosis berbentuk batang dengan ukuran 2-4 x 0,2-0,5m, dengan
bentuk uniform, tidak berspora dan tidak bersimpai. Dinding sel mengandung
lipid sehingga memerlukan pewarnaan khusus agar dapat terjadi penetrasi zat
warna. Yang lazim digunakan adalah pengecatan Ziehl-Nielsen. Kandungan lipid
pada dinding sel menyebabkan kuman TB sangat tahan terhadap asam basa dan
tahan terhadap kerja bakterisidal antibiotika.M.Tuberculosis mengandung
beberapa antigen dan determinan antigenik yang dimiliki mikobakterium lain
sehingga dapat menimbulkan reaksi silang. Sebagian besar antigen kuman
terdapat pada dinding sel yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Kuman TB tumbuh secara obligat aerob. Energi diperoleh dari oksidasi
senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Dapat
tumbuh dengan suhu 30-400 C dan suhu optimum 37-380 C. Kuman akan mati
pada suhu 600 C selama 15-20 menit. Pengurangan oksigen dapat menurunkan
metabolisme kuman
18
D. Diagnosis TB Paru
TB paru sering menimbulkan gejala klinis yang dapat dibagi menjadi 2
yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik seperti batuk,
batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik seperti demam,
keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise.
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat pada proses
penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama
terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak keluar. Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit
menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung
dari organ yang terlibat. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama di daerah apeks dan segmen posterior. Pada pemeriksaan fisik
dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,
ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma, dan mediastinum.
Untuk yang diduga menderita TB paru, diperiksa 3 spesimen dahak
dalam waktu 2 hari yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Berdasarkan panduan
program TB nasional, diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
dijumpainya kuman TB (BTA). Sedangkan pemeriksaan lain seperti foto
thoraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sesuai dengan indikasinya dan tidak dibenarkan dalam mendiagnosis TB jika
diagnosis dibuat hanya berdasarkan foto thoraks.
E. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasam bronkus, liquor
cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan
jaringan biopsi.
b. Pemeriksaan Radiologik
19
Bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah
Bayangan berawan atau berbercak
Bayangan bercak milier
Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral
Destroyed lobe sampai destroyed lung
Kalsifikasi
Schwarte
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang
c. Pemeriksaan Khusus
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat
mendeteksi kuman TB seperti :
a.BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO 2 yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya.
b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari
M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah
kemungkinan kontaminasi.
c.Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot.
20
F. Klasifikasi TB Paru
Dalam Klasifikasi TB Paru ada beberapa pegangan yang prinsipnya hampir
bersamaan. PDPI membuat klasifikasi berdasarkan gejala klinis, radiologis dan
hasil pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi
ini
dipakai
untuk
menetapkan
strategi
pengobatan
dan
penanganan
pemberantasan TB:
1. TB Paru BTA positif yaitu:
- Dengan atau tanpa gejala klinis
- BTA positif mikroskopis +
- Mikroskopis + biakan +
- Mikroskopis + radiologis +
- Gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru
2. TB Paru (kasus baru) BTA negatif yaitu:
-Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktif
-Bakteriologis (sputum BTA): negatif, jika belum ada hasil tulis belum
diperiksa.
-Mikroskopis -, biakan, klinis dan radiologis +
3. TB Paru kasus kambuh :
- Riwayat pengobatan OAT yang adekuat, gejala klinis dan gambaran radiologis
sesuai dengan TB Paru aktif tetapi belum ada hasil uji resistensi.
4. TB Paru kasus gagal pengobatan :
- Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktif,
pemeriksaan mikroskopis + walau sudah mendapat OAT, tetapi belum ada hasil
uji resistensi.
21
G. Bronkoskopi
Di negara-negara berkembang dengan kemampuan diagnostik yang
terbatas, kasus-kasus TB paru pada daerah endemis dapat diberikan terapi
empiris. Namun jika memungkinkan, diagnosis definitif sebaiknya tetap
didapatkan. Jika hasil pemeriksaan bakteriologis tidak dijumpai kuman BTA,
sedang dugaan yang mengarah ke diagnosis adanya TB paru sangat kuat maka
selanjutnya tindakan bronkoskopi dapat menjadi langkah untuk menegakkan
diagnostik.
Bronkoskopi (bronkos=saluran napas, skopi=melihat) adalah tindakan
pemeriksaan untuk menilai saluran napas penderita dengan alat bronkoskopi.
Pertama kali diperkenalkan penggunaan bronkoskopi kaku (berupa pipa logam)
oleh Gustav Killian tahun 1897 dan kemudian dikembangkan oleh Chavalier
Jackson dan putranya. Awalnya Gustav killian melakukan bronkoskopi dengan
menggunakan laringoskop dan esofagoskop rigid, untuk mengambil benda asing
pada bagian proksimal bronkus utama kanan. Pada tahun 1963, Dr. Shigeto
Ikeda memperkenalkan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) yang tujuan
utamanya adalah sebagai alat diagnostik.
Tindakan bronkoskopi merupakan tindakan yang invasif. Komplikasi
dapat terjadi mulai pada saat premedikasi, saat tindakan bronkoskopi maupun
sesudahnya. Berbagai komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
Emfisema mediastinum
brushing
(sikatan
bronkus),
transbronchial
biopsy
(biopsi
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih mengunqtungkan dan sangat dianjurkan.
Jenis dan sifat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu: (a) Isoniazid (H)
bersifat bakterisid, (b) Rifampisin (R) bersifat bakterisid, (c) Pirazinamid (Z)
bersifat bakterisid, (d) Streptomisin (S) bersifat bakterisid, (e) Etambutol (E)
bersifat bakteriostatik. Pemberian OAT disesuaikan dengan kondisi pasien
dengan aturan pakai tersendiri. Ada dua kategori paduan OAT di Indonesia,
yaitu: (a) kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3, (b) kategori II: 2(HRZE)S/
(HRZE)/5(HR)3E3. Kategori I diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, pasien TB ekstra paru. Kategori
II diberikan untuk pasien TB BTA positif yang telah diobati sebelumnya. Seiring
dengan berkembangnya pengetahuan dibidang farmakologi, saat ini telah dibuat
tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan OAT Kombinasi Dosis Tetap atau
disingkat dengan OAT-KDT (sering disebut KDT saja). Dengan adanya KDT ini
diharapkan kepatuhan pasien TB dalam minum OAT dapat ditingkatkan
sehingga akan meningkatkan kesembuhan pasien.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
24
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
o Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin,
Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and
etambutol.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Strategi terapi untuk penyakit TB dikenal sebagai strategi DOTS
(Directly
Observed
Treatment
Short-course).
Strategi
terapi
ini
Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
Pasien baru TB paru BTA positif
Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif
Pasien TB ekstra paru
Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5HER3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
-
diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
26
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.Untuk perempuan hamil lihat
pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1
gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi
4ml. (1ml = 250mg).
c
27
Penatalaksanaan
Semua OAT diminum
Pirasinamid
rasa INH
terbakar di kaki
hari
Tidak perlu diberi apa-
Efek Samping
Gatal dan kemerahan
kulit
Tuli
Penyebab
Semua jenis OAT
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Streptomisin
Etambutol
Rifampisin
kepada pasien
Penatalaksanaan
Ikuti petunjuk
penatalaksanaan
Streptomisin dihentikan,
ganti etambutol
Streptomisin dihentikan,
ganti etambutol
Hentikan semua OAT
sampai ikterus
menghilang
Hentikan semua OAT,
segera lakukan tes fungsi
hati
Hentikan etambutol
Hentikan Rifampisin
reaksi
hipersensitivitas
atau
karena
kelebihan
dosis.
Untuk
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA DRUG INDUCED HEPATITIS (DIH)
29
A. Pendahuluan
Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap
terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat.
Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah
diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati
akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuk metabolit
yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau
empedu. Dengan faal sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai
kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusak oleh obat. Hepatitis karena
obat pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadangkadang dapat berlangsung lama dan fatal.
B. Metabolisme Obat
Metabolisme obat terjadi dalam 2 tahap. Pada tahap 1 reaksi, obat
dijadikan polar oleh proses oksidasi atau hydroxilasi. Tidak semua obat-obatan
melalui tahap ini, beberapa dapat langsung menjalani reaksi tahap 2. Enzim
cytochrome P-450 enzim mengkatalisis reaksi tahap 1. Sebagian besar produk
intermediatnya bersifat transient dan sangat reaktif. Ini dapat menyebabkan
reaksi pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun dari substrat obatnya dan
dapat menyebabkan kerusakan hati. Enzim Cytochrome P-450 adalah
hemoprotein yang terdapat pada reticulum endoplasmic hati. Setiap enzim P-450
dapat metabolisme banyak obat-obatan. Tahap 2 reaksi mungkin terjadi di dalam
maupun di luar hati. Obat-obatan dikonjugasi dengan asetat, asam amino,
sulfate, glutathione, asam glucuronic, yang selanjutnya akan meningkatkan daya
larut.
C. Definisi
Hepatitis karena obat adalah peradangan/inflamasi pada hati yang
disebabkan oleh reaksi obat.
D. Epidemiologi
Hepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang.
Perempuan cenderung terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki.
30
Orang dewasa lebih rentan terhadap jenis hepatitis ini karena tubuh mereka tidak
mampu memperbaiki dengan cepat sel-sel hepatosit yang rusak seperti pada
orang muda.
E. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya hepatitis karena
obat, yaitu :
1. Ras : Beberapa obat memiliki toksisitas yang berbeda tergantung ras.
Misalnya, kulit hitam lebih rentan terhadap isoniazid (INH).
2. Hepatitis karena obat jarang ditemukan pada anak-anak. Resikonya meingkat
pada orang tua.
3. Jenis kelamin : Dengan alasan yang tidak diketahui, hepatitis jenis ini lebih
sering terjadi pada perempuan.
4. Konsumsi alkohol : orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan terhadap
hepatiis karena obat karena kerusakn hati mengubah metabolisme obatobatan. Alkohol menyebabkan penipisan glutathione (hepatoprotektif) yang
membuat orang lebih rentan.
5. Faktor resiko lain : Orang dengan AIDS, malnutrisi, dan berpuasa mungkin
rentan terhadap narkoba karena rendahnya glutathione.
F. Etiologi
Beberapa contoh obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya
hepatitis karena obat, yaitu :
1. Acetaminophen: Hepatoksisitas dari acetaminophen disebabkan oleh
senyawa metabolit NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone-imine). Ini adalah
senyawa metabolit yang dihasilkan oleh cytochrome P-450-2E1.
2. Amoxicillin: Amoxicillin menyebabkan peningkatan kadar SGOT, SGPT,
atau keduanya.
3. Amiodarone: Amiodarone menyebabkan hasil tes fungsi hati tidak normal
dalam 15-50% dari pasien.
4. Chlorpromazine: Kerusakan hati akibat Chlorpromazine menyerupai
hepatitis infeksi dengan fitur laboratorium jaundice obstruktif lebih jelas
daripada kerusakan parenkim.
31
32
c. Aktivasi sel Cytolytic T : Ikatan kovalen obat pada enzim P-450 bertindak
sebagai immunogen, mengaktifkan sel T dan cytokines dan merangsang
kekebalan tubuh yang multi respon.
d. Apoptosis hepatosit : Aktivasi jalur apoptotic oleh reseptor faktor tumor
nekrosis-alpha
receptor
oleh
Fas
memicu
kaskade
intraselular, yang
misalnya
parasetamol,
tetrasiklin,
metotreksat,
etanol,
steroid
I.
Diagnosis
Kemungkinan hepatitis karena obat selalu perlu dipikirkan pada
penderita dengan ikterus. Diagnosa kerja dapat dibuat atas dasar anamnesis
34
mendapat obat tertentu, adanya kelainan spesifik yang disebabkan obat tertentu
dan usaha mencari bukti penunjang. Adanya demam dan eosinofilia menyokong
diagnosa, tetapi kedua gejala ini tidak selalu dijumpai. Kolestasis intrahepatik
relatif sering disebabkan oleh obat, lebih-lebih bila dijumpai adanya peradangan
dan sebukan eosinofil di daerah portal. Tetapi ikterus kolestatik akibat steroid
mungkin tidak disertai peradangan daerah portal. Berulangnya gangguan faal
hati atau hiperbilirubinemia setelah pemberian suatu challenge dose merupakan
petunjuk berharga untuk menegakkan diagnosa hepatitis karena obat. Selama
tiga hari setelah pemberian challenge dose ini diperiksa kadar fosfatase alkali,
SGOT,
SGPT
dan
bilirubin.
Kurang
lebih
40-60%
penderita
akan
DAFTAR PUSTAKA
38