Anda di halaman 1dari 23

http://arisheruutomo.

com/2013/09/03/periode-awal-perkembangan-islam-ditiongkok/

Masyarakat Tiongkok sudah sejak lama dikenal sebagai bangsa yang telah
mencapai peradaban yang amat tinggi dan menguasai kekayaan ilmu
pengetahuan. Sejak ratusan tahun sebelum Masehi, masyarakat Tiongkok
diketahui telah menguasai ilmu kesehatan tradisional, produksi kertas dan bubuk
mesiu yang menjadi cikal bakal pembuatan bom atau senjata peledak seperti
yang dikenal saat ini. Tidak mengherankan jika dalam upaya mengembangkan
dan membangun Islam, Rasullulah Muhammad SAW pernah menyerukan kepada
umatnya untuk belajar sampai ke negeri Tiongkok.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah sejak kapankah Islam masuk ke


Tiongkok dan siapakah yang membawanya? Guna menjawab pertanyaan
tersebut, para sejarawan melakukan serangkaian penelitian untuk memperoleh
penjelasan dan bukti-bukti sejarah mengenai kehadiran Islam di Tiongkok. Dari
sekian banyak penelitian sejarah yang dilakukan, salah satunya adalah
penelitian yang dilakukan ahli sejarah kontemporer Chen Yuan terhadap dua
buku yang berasal dari masa Dinasti Tang yaitu Sejarah Tang dan Cefu
Yuangui (Buku Pertunjuk) (Islam in China oleh Mi Shoujiang dan You Jia, China
Interncontinental Press, 2004)

Menurut Chen Yuan, dalam kedua buku tersebut dikatakan bahwa Pada tahun
kedua pemerintahan Kaisar Gaozong Yonghui dari Dinasti Tang atau tahun 651 M,
Khalifah ketiga Arab yang bernama Utsman (berkuasa pada tahun 644-656 M)
mengirim utusan diplomatik ke Changan, ibu kota Tang, untuk melakukan
kunjungan resmi kepada Kaisar Gaozong guna memperkenalkan kekhalifahan
dan adat istiadatnya serta Islam.

Dalam perkembangannya kemudian diketahui bahwa Islam masuk ke Tiongkok


melalui jalur laut dan darat yang kemudian dikenal sebagai jalur sutera. Jalur laut
dimulai dari Teluk Persia dan Laut Arab melalui Teluk Bangladesh, Selat Malaka
dan Laut Cina Selatan hingga ke Guangzhou, Quanzhou dan Yangzhou. Delegasi
pertama asal Arab yang singgah di Tiongkok melalui jalur sutera laut adalah
utusan diplomatik dari Khalifah Utsman bin Affan yang dipimpin oleh paman
Rasullulah Muhammad SAW yang bernama Saad bin Abi Waqqas. Utusan
diplomatik ini berlabuh di pelabuhan Guangzhou (orang Arab menyebutnya
Kanfu) pada tahun 651 M.

Sementara para pedagang Muslim yang memasuki Tiongkok lewat jalan darat,
melakukannya dengan menempuh perjalanan panjang mulai dari wilayah Barat
(sebutan yang diberikan pada masa Dinasti Han bagi daerah di kawasan Xinjiang
dan Asia Tengah) melewati Persia, Afghanistan, Asia Tengah, pegunungan

Tianshan dan koridor Hexi hingga ke Changan, ibu kota Tang. Menurut catatan
yang terdapat dalam buku Zi Zhi Tonb Jin (sejarah sebuah kaca), pada masa
Dinasti Tang tersebut terdapat lebih dari 4.000 pedagang asing melakukan
kegiatan dagang di Changan.

Kedatangan utusan diplomatik dan misi dagang Muslim ke Tiongkok disambut


baik oleh pemerintah dan masyarakat Tiongkok yang ingin membina hubungan
antara pemerintah dan masyarakat Kerajaan Tengah (julukan untuk Tiongkok)
dengan masyarakat luar. Keberadaan mereka pun sesungguhnya tidak
mengagetkan masyarakat Tiongkok sudah mengetahui terlebih dahulu
keberadaan Islam di Timur Tengah dan bahkan menyebut pemerintahan
Rasullulah Muhammad SAW sebagai Al-Madinah, serta menyebut Islam dengan
Yisilan Jiao, yang berarti agama yang murni dan menyebut Makkah sebagai
tempat kelahiran Buddha Ma-hia-wu, Rasullulah Muhammad SAW.

Selain lewat para pedagang Arab dan Persia, dalam kurun waktu 148 tahun (651798 M), Islam juga diperkenalkan oleh para tentara Arab yang datang ke
Tiongkok karena diminta untuk membantu meredam pemberontakan yang kerap
terjadi di masa-masa akhir pemerintahan Dinasti Tang pada sekitar tahun 755 M.
Usai memadamkan pemberontakan, Kaisar Zongyun yang berkuasa saat itu
mengijinkan para tentara Arab tinggal secara tetap.

Dalam perkembangannya pula, utusan diplomatik dan para pedagang Arab dan
Persia serta para tentara yang memilih untuk menetap di Tiongkok ini, setelah
menikah dengan wanita setempat, berkembang dan membentuk kelompok
masyarakat sendiri yang tetap menjaga agama dan adat istiadat yang
dibawanya.

Pendatang Muslim yang sudah menetap di Tiongkok ini kemudian dinamakan


sebagai Zhu Tang (kurang lebih berarti orang asing yang tinggal di Tiongkok).
Sedangkan keturunannya disebut sebagai Fan Ke (orang asing yang beragama
Islam). Mereka tinggal di kota-kota besar dan pelabuhan sepanjang jalur
komunikasi antar kota. Guna menjalankan syariat agama, mereka pun kemudian
membangun tempat ibadah berupa masjid dan tinggal di kawasan sekitarnya.
Salah satu masjid pertama yang dibangun dan hingga kini masih berdiri adalah
masjid Huaisheng di Guangzhou yang dibangun pada masa Dinasti Tang.

Berada di kawasan padat penduduk, masjid Huaisheng masih berdiri kokoh dan
berfungsi sebagai tempat ibadah umat Muslim di Guangzhou. Beberapa bagian
masjid seperti menara dan pintu gerbang yang sudah berusia ratusan tahun
terlihat masih utuh, sedangkan bangunan utama masjid sudah mengalami
perbaikan dari waktu ke waktu.

http://senyumislam.wordpress.com/tag/cina/
Cina yang sebelumnya terkenal dengan nama RRC (Republik Rakyat China )
terletak di wilayah Asia Timur berbatasan dengan 14 negara tetangga Korea
Utara, Mongolia, Rusia, Vietnam, Laos, Birma, India, Bhutan, Nepal, Pakistan dan
negara-negara lainnya. Agama Islam telah tersebar di China selama lebih 1300
tahun.

Di China, terdapat 10 suku bangsa yang beragama Islam, termasuk etnik Huizu,
Uygur, Kazakh, Kirgiz, Tajik, Uzbek, Tatar dan lain-lainnya. Penduduk Islam tinggal
di merata tempat di seluruh China, terutamanya di bagian barat laut China,
termasuk provinsi Gansu, Qinghai, Shanxi, Wilayah Autonomi Xinjiang dan
Wilayah Autonomi Ningxia. Agama Islam sudah tidak asing bagi penduduk di
negara ini. Ia telah menjadi salah satu agama yang penting di China.

Terdapat beberapa versi hikayat tentang awal mula Islam bersemi di dataran
Cina. Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa
para sahabat Rasul yang hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethopia). Sahabat Nabi
hijrah ke Ethopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraish
jahiliyah. Mereka antara lain : Ruqayyah (anak perempuan Nabi), Ustman bin
Affan (suami Ruqayyah), Saad bin Abi Waqqas (paman Rasulullah SAW) dan
sejumlah sahabat lainnya.

Para sahabat yang hijrah ke Etopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha
Negus di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke
tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan
Cina pada saat Dinasti Sui berkuasa (581 M 618 M).

Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina ketika Saad
Abi Waqqas dan tiga sahabatnya berlayar ke Cina dari Ethopia pada tahun 616
M. Setelah sampai di Cina, Saad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian
kembali lagi ke Guangzhou membawa kitab suci Alquran. Ada pula yang
menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina pada 615 M kurang lebih
20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan
yang menugaskan Saad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Illahi ke
daratan Cina. Konon, Saad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M.
Kuburannya dikenal sebagai Geys Mazars.

Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti
Tang pada tahun 651 M. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid
Huaisheng atau masjid Memorial di Canton masjid pertama yang berdiri di
daratan Cina. Ketika Dinasti Tang berkuasa, Cina tengah mencapai masa

keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran


Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.

Pada zaman Dinasti Song, agama Islam dianggap lebih mulia oleh rakyat China,
agama Islam telah mulai berkembang di China dan kawasan kediaman penduduk
beragama Islam lebih luas. Banyak orang asing yang beragama Islam tinggal di
bandar Guangzhou di provinsi Guangdong dan bandar Quanzhou di provinsi
Fujian secara berkumpulan. Masjid pada zaman Dinasti Song yang masih ada
sekarang sudah tidak banyak, yang paling terkenal ialah masjid Qing Jing Si
dibandar Quanzhou.

Zaman Dinasti Yuan merupakan zaman yang paling penting bagi perkembangan
agama Islam di China, karena Agama Islam di China berkembang paling pesat
dan paling makmur pada zaman itu dan mempunyai kedudukan yang penting,
arena politik dan kehidupan masyarakat. Penduduk yang menganut agama Islam
bertambah pesat, dan warga Islam China banyak mengadakan perhubungan
dengan dunia Arab. Masjid di China pada zaman itu bertambah banyak. Selain
bercirikan seni Arab, reka bentuknya telah menerima seni China, karena banyak
menggunakan kayu yang diukir.

Pada zaman Dinasti Ming, perkembangan agama Islam di China telah


menghadapi rintangan, maharaja pertama Dinasti Ming memandang rendah
terhadap agama Islam. Baginda mengeluarkan perintah untuk melarang rakyat
menyembelih lembu secara tersendiri dan beberapa dasar yang mendiskriminasi
umat Islam, termasuk orang Islam tidak boleh menjadi pegawai kerajaan dan
lain-lainnya. Ini telah mencetuskan kemarahan umat Islam di China dan
penduduk Islam mengadakan pemberontakan di ibu kota negara.

Masjid dan Perkembangan Islam di Cina

Orang Cina mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti agama
yang murni. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran
Buddha Ma-hia-wu (Nabi Muhammad SAW). Pada awalnya, pemeluk agama
Islam terbanyak di Cina adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang Cina
yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk
Islam di Cina kian bertambah banyak. Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim
telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan
direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.

Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan Allah SWT, bangsa Cina memang telah
mencapai peradaban yang amat tinggi. Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu
sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan
peradaban. Tak bisa dipungkiri bahwa umat Islam juga banyak menyerap ilmu

pengetahuan serta peradaban dari negeri ini. Beberapa contohnya antara lain,
ilmu ketabiban, kertas, serta bubuk mesiu. Kehebatan dan tingginya peradaban
masyarakat Cina ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.

Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang
dengan `Middle Kingdom julukan Cina. Untuk bisa berkongsi dengan para
saudagar Cina, para pelaut dan saudagar Arab dengan gagah berani mengarungi
ganasnya samudera. Mereka `angkat layar dari Basra di Teluk Arab dan kota
Siraf di Teluk Persia menuju lautan Samudera Hindia.

Sebelum sampai ke daratan Cina, para pelaut dan saudagar Arab melintasi
Srilanka dan mengarahkan kapalnya ke Selat Malaka. Setelah itu, mereka
berlego jangkar di pelabuhan Guangzhou atau orang Arab menyebutnya Khanfu.
Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak
itu banyak orang Arab yang menetap di Cina.

Kebudayaan Islam mempunyai kedudukan yang penting dalam kebudayaan


China, umat Islam di China pernah memberi sumbangan yang besar terhadap
perkembangan sains dan teknologi China. Kalender yang dicipta oleh umat Islam
pernah digunakan di China dalam waktu yang panjang. Alat pandu arah angkasa
yang dicipta oleh seorang ahli ilmu falak yang bernama Zamaruddin pada Dinasti
Yuan sangat populer di China. Ilmu matematik yang dikembangkan dari Arab
telah diterima oleh orang China. Ilmu perobatan Arab juga menjadi sebagian
daripada ilmu perobatan China. Umat Islam juga terkenal dengan pembuatan
meriam di China, Dinasti Yuan menggunakan sejenis meriam yang dikenali
sebagai meriam etnik Huizu yang diciptakan oleh orang Islam China. Meriam itu
tidak menggunakan bahan letupan, tetapi menggunakan batu sebagai peluru,
dan meriam itu sangat populer di China pada zaman itu. Selain itu, orang Islam
juga terkenal dengan teknik pembinaan dan menenun.

Untuk menunjukkan kekaguman dan penghormatannya terhadap Islam, kaisar


lantas mendirikan masjid pertama di Cina. Masjid Canton (Memorial Mosque)
sampai saat ini masih berdiri tegak dan telah berusia 14 abad. Masjid ini adalah
saksi bisu perkembangan Islam di negeri tirai bambu itu. Setelah itu, hubungan
Islam dan Cina berkembang pesat hingga muncul perkampungan Muslim. Yang
pertama dibangun adalah Cheng Aan.

Pada tahun ke 133 Hijriah terjadi pertempuran besar yang menentukan sejarah
Islam di Asia Tengah. Pasukan Muslim dipimpin Ziyad. Meski tak jelas berapa
korbannya, Cina mengalami kekalahan menyedihkan dalam pertempuran kali ini.
Setelah kemenangan itu, Muslim mengontrol penuh hampir seluruh wilayah Asia
Tengah.
Kemenangan itu membuka pintu lebar-lebar bagi ulama Islam.

Pada tahun 138 Hijrah, Jenderal Lieu Chen melakukan pemberontakan melawan
Kaisar Sehwan Tsung. Untuk menumpas pemberontakan itu kaisar memohon
pertolongan Khalifah Al Mansur dari dinasti Abbasiyah. Al Mansur menyanggupi
dengan mengirim 4 ribu tentaranya ke Cina. Bantuan ini membuat kaisar bisa
menghadapi para pemberontak.

Itulah mula pertama hingga tentara Turki mulai hadir di Cina. Mereka menetap
dan lantas menikahi perempuan Cina. Saat ini ulama Cina berkembang baik
dalam bidang ilmu agama maupun filsafat dan sosial. Bahkan tak sedikit yang
ikut mewarnai filsafat Confusius. Namun belakangan umat Islam menghadapi
banyak masalah. Kehidupan yang sangat keras dialami saat dinasti Manchu
berkuasa (1644-1911 Masehi). Terjadi perseteruan paling keras di mana terjadi
lima kali perang yakni Lanchu, Che Kanio, Singkiang, Uunanan dan Shansi.
Muslim mengalami kekalahan dalam pertempuran kali ini. Korban yang jatuh tak
terhitung dan mengakibatkan menyusutnya jumlah Muslim hingga sepertiganya
saja.

Setelah kekalahan menyakitkan itu jumlah Muslim kembali berkembang.


Diperkirakan ada 60 juta umat Islam. Mereka bukan cuma mengerti teori tapi
juga praktik. Mereka mengenal rukun Islam, konsep halal dan haram dan sempat
memimpin peradaban di Cina. Umat Islam punya babak baru pada masa Mao Tse
Tung (1893-1976). Negarawan besar ini juga punya hubungan khusus dengan
umat Islam. Ketika dia menetapkan markasnya ke Niyan, umat Islam Cina
mendukungnya penuh. Bahkan sebagian Musilm ikut bergabung dalam tentara
Merahnya meski sebagian menyembunyikan agama asli.

Pada 1954 pemerintah menjamin kebebasan untuk melakukan shalat, upacara


ritual dan budaya serta sosial sendiri. Sebagai perbandingan terhadap etnis
minoritas lainnya, mereka juga diberi kebebasan terutama menjalin hubungan
dengan muslim lain di dunia. Belakangan memang pemerintah Cina memberi
perlakuan khusus bagi mereka. Caranya dengan memberikan otonomi atau
provinsi khusus buat mereka. Pemerintah Cina memberi hak khusus kepada etnik
minoritas. Sebagai bukti, di luar dari 22 provinsi ada lima daerah otonomi penuh
yang didasarkan pada pengakuan atas hak warga minoritas bukan saja Muslim
tapi juga etnik lain.

Wilayah itu adalah Zhuang di Guangxi Zhuangzu, Hui-wilayah muslim di Ningxia


Huizu, Uygurs di Xinjiang Uygurs, Tibet di Tibet, dan Mongol di wilayah khusus
Mongol. Wilayah khusus lain dibedakan lantaran perjanjian dengan Inggris
seperti Hongkong yang telah dikembalikan secara resmi.

Kental Dengan Muatan Lokal

Islam di Cina kental dengan muatan lokal. Kondisinya mirip dengan di Indonesia
terutama wilayah Jawa. Desain masjid atau rumah-rumah hunian Muslim Cina
mengambil budaya setempat. Warna merah, kuning dan bahkan kepercayaan
terhadap unsur yin dan yang juga diyakini umat Islam. Muslim Cina masih
menghormati dan bahkan meyakini kepercayaan leluhur.

Arsitektur masjid misalnya. Kubahnya dibuat model Cina. Pada pintunya terdapat
tabir tipis dari plastik sebagai pencegah bala. Bagi masyarakat Cina, terlarang
pintu yang menghadap ke depan. Biasanya pintu dibuat agak berliku. Dan jika
langsung menghadap depan akan ada tirai yang menghalangi. Sebuah
perbedaan yang bisa disaksikan secara kasat mata adalah bahwa Muslim tinggal
berkelompok. Ini memudahkan mereka mencari makanan halal. Hanya di
perkampungan Muslim kita bisa mendapatkan daging dan makanan halal lain. Di
tempat lain makanan halal sulit ditemukan. Buku-buku agamapun ditulis dalam
bahasa Han. Hadis, fikih, ahlak dan sejarah diterbitkan dalam bahasa lokal.

Penulis seperti Ma Chu, Leo Tse dan Chang Chung (1500-1700 Masehi) adalah
tokoh yang berjasa menerjemahkan teks Arab dan Parsi kedalam bahasa lokal.
Bahkan di antara buku-buku tersebut ada yang ajarannya bercampur dengan
pengajaran filsafat Confusius. Penerjemahan Alquran pertama dilakukan pada
abad 19. Ma Pu Shu mencoba menerjemahkan lima juz saja. Meski belum
lengkap, apa yang ia kerjakan sangat berjasa bagi Muslim lokal. Abad 20 adalah
masa sukses bagi umat Islam Cina. Sejumlah ulama berusaha meneruskan
langkah Ma Pu Shu. Bukan saja Alquran, penerjemahan juga dilakukan terhadap
teks agama lain seperti hadis Arbain an-Nawawy. Adalah Syaikh Wang Jing Chai
dan Yang Shi Chian yang berjasa melakukannya.

Filsafat dan ilmu pengetahuan sosial lainnya adalah keuntungan yang diperoleh
dari ulama Islam Cina. Telaah yang dilakukan Wang Dai Yu dan Liu Tsi pada masa
Dinasti Ming dan Chend sangat berjasa bukan saja bagi pengembangan filsafat
Islam tapi juga pemikiran filsafat Cina.

Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria
Muslim dari Bukhara untuk tinggal di Cina. Tujuannya untuk membangun zona
penyangga antara Cina dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang
Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka
dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias So-Fei Er. Dia bergelar `bapak komunitas
Muslim di Cina.

Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di
Cina semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di Cina, memberi kesempatan
kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi Cina Han.Bangsa Mongol
menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan

keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal
periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun
kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota
Dinasti Yuan, Khanbaliq.

Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat
di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal
Muslim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan
Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu muncul
Laksamana Cheng Ho seorang pelaut Muslim andal.

Masa Surut Islam di Daratan Cina

Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari negara-negara Muslim mulai dilarang
dan dibatasi. Cina pun berubah menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim di
Cina pun mulai menggunakan dialek bahasa Cina. Arsitektur Masjid pun mulai
mengikuti tradisi Cina. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang
penting. Setelah itu hubungan penguasa Cina dengan Islam mulai memburuk.

Hubungan antara Muslim dengan penguasa Cina mulai memburuk sejak Dinasti
Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma dengan penguasa, relasi Muslim dengan
masyarakat Cina lainnya menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai
kegiatan Keislaman.Menyembelih hewan qurban pada setiap Idul Adha dilarang.
Umat Islam tak boleh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa dari Dinasti
Qing juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Taktik adu domba pun diterapkan
penguasa untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet
dan Mogol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan.
Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Panthay yang terjadi
di provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M.

Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat Sen akhirnya mendirikan Republik Cina.
Rakyat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah
Republik Cina. Pada 1911, Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam
kekuasaan Muslim yakni keluarga Ma. Kondisi umat Islam di Cina makin
memburuk ketika terjadi Revolusi Budaya. Pemerintah mulai mengendorkan
kebijakannya kepada Muslim pada 1978. Kini Islam kembali menggeliat di Cina.
Hal itu ditandai dengan banyaknya masjid serta aktivitas Muslim antaretnis di
Cina.

Ditulis dalam Perkembangan Islam, Sejarah Islam


2 Komentar

Tag: cina, laksamana ceng ho, mongolia


Kabah Menggetarkan Hati Ratusan Pekerja Cina
NOV 2
Posted by senyumislam
Hidayat bisa datang dari cara yang tak pernah diduga. Mungkin itu pula yang
dialami ratusan pekerja Cina di Arab Saudi yang kemudian memilih Islam sebagai
agamanya yang baru.

Setelah melihat Kabah dari televisi, tiba-tiba hati mereka bergetar. Pintu hidayah
seakan terbuka. Dan Allah SWT pun melapangkan jalan mereka untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat. Lebih dari 600 pekerja asal Cina berpaling
menjadi Muslim setelah mendapatkan pengalaman spiritual di Arab Saudi.

Mereka adalah bagian dari 4.600 warga Cina yang sedang mengerjakan proyek
rel kereta api yang menghubungkan Makkah dan Madinah. Rel kereta itu
nantinya akan melalui Jeddah dan Khum. Peristiwa yang sempat menghebohkan
itu terjadi tahun lalu.

Awalnya, kedatangan ribuan pekerja Cina itu sempat dipertanyakan warga Arab
Saudi. Pasalnya dari 4.600 pekerja itu hanya 370 orang yang Muslim. Warga
meminta agar pemerintah mempekerjakan buruh Cina yang beragama Islam.
Namun Allah mempunyai rencana lain dengan kedatangan para pekerja itu.

Kedatangan ke Arab Saudi ternyata membuka peluang bagi mereka untuk


melihat Islam langsung dari tanah tempat agama ini diturunkan. Seperti yang
dikatakan seorang pekerja yang telah menjadi Mualaf. Pekerja yang telah
mengganti namanya menjadi Hamza (42) ini mengaku tertarik pada Islam
setelah melihat Kabah untuk kali pertama di televisi Saudi. Ini menggetarkan
saya. Saya menyaksikan siaran langsung sholat dari Masjidil Haram dan umat
Islam yang sedang berjalan memutari Kabah (tawaf), katanya.

Saya bertanya ke teman yang Muslim tentang semua hal ini. Dia kemudian
mengantarkan saya ke Kantor Bimbingan Asing yang ada di perusahaan, di mana
saya memiliki kesempatan untuk belajar tentang berbagai aspek mengenai
Islam, tuturnya. Kini Hamza merasa lebih bahagia dan lebih santai setelah
menjadi seorang Muslim.

Pekerja lainnya, Ibrahim (51), mengalami peristiwa yang hampir serupa pada
September tahun lalu. Dia yang bekerja di bagian pemeliharaan perusahaan
negara, Kereta Api Cina, menjadi seorang Muslim usai melihat Kabah. Meskipun
kami berada di Cina, kami tidak memiliki kesempatan untuk belajar tentang

Islam. Ketika saya mencapai Mekah, saya sangat terkesan oleh perilaku banyak
warganya. Perlakuan yang sama bagi orang Muslim dan non-Muslim memiliki
dampak besar pada saya, tambahnya.

Sementara, Abdullah Al-Baligh (51), terinspirasi untuk memeluk Islam setelah


melihat perubahan positif dari rekan-rekannya yang lebih dulu menjadi mualaf.
Enam bulan setelah saya tiba di Makkah, saya melihat bahwa rekan saya, yang
sudah menjadi Muslim, telah benar-benar berubah. Tingkah lakunya patut
dicontoh. Saya menyadari bahwa Islam adalah kekuatan penuntun di balik
perubahan tersebut, ujarnya.

Ketika saya bertanya padanya, ia mengatakan bahwa ia sama sekali tak tahu
tentang agama ini selama di Cina. Sekarang, ia memiliki pemahaman yang tepat
tentang Islam dan ingin menjadi lebih teladan.

Begitu pula dengan Younus. Pekerja asal Cina ini baru mempelajari Islam ketika
berada di Makkah. Islam di Cina begitu kurang. Aku baru mengetahui Islam
setelah datang ke Saudi, ujarnya.

http://okky-fib11.web.unair.ac.id/artikel_detail-46460-sejarah-SEJARAH
%20MASUKNYA%20ISLAM%20DI%20CINA.html
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI CINA
Islam masuk ke Cina sekitar abad ke-7 masehi, pada masa-masa Rasulullah
masih hidup. Ada beberapa faktor-faktor atau kejadian-kejadian yang
mempengaruhi Islam dapat memasuki wilayah-wilayah Cina antara lain:

1.

Hadirnya pedagang-pedagang muslim

Cina sebagai negeri yang aktif dalam perdagangan Internasional menyebabkan


pedagang-pedagang-pedagang muslim dari Arab melakukan perdagangan ke
Cina sambil menyebarkan Islam di berbagai wilayah yang disinggahi. Pada
awalnya tujuan mereka hanya untuk melakukan perdagangan sepanjang jalan
sutra atau silk road. Namun akibat dari interaksi-interaksi yang dilakukan mereka
dengan pedagang-pedagang lain termasuk pedagang-pedagang Cina
menyebabkan adanya suatu pengenalan kehidupan negeri asal pedagangpedagang tersebut baik dari segi sosial, budaya maupun agama termasuk
pengenalan yang dilakukan pedagang-pedagang muslim mengenai Islam yang
secara tidak langsung. Pedagang-pedagang Cina yang berinteraksi dengan
pedagang-pedagang muslim sedikit banyaknya menerima kehadiran Islam
bahkan mereka memeluk Islam sebagai agama mereka. Penyebaran Islam ini
kemudian meluas hingga ke masyarakat Cina, khususnya wilayah-wilayah yang
digunakan sebagai pusat perdagangan. Masyarakat Cina yang telah memeluk

Islam meminta pedagang-pedagang muslim untuk mengajarkan Islam lebih


banyak lagi.

2.

Permintaan kaisar Cina

Berawal dari kaisar Cina pada masa Dinasti Tang yang tampaknya memiliki
pengetahuan tentang nabi-nabi Islam dan Kristen, sebagaimana yang dituturkan
oleh penjelajah Arab Ibn Wahab dari Basra kepada Abu Zaid sekembalinya ke
Irak. Kaisar Dinasti Tang meminta bantuan Kerajaan Persia untuk mengutus
pengajar-pengajar Islam ke Cina. Namun, raja Persia yakni Raja Firus menolaknya
karena daratan Cina terlalu jauh untuk didatangi. Akibat dari penolakan tersebut,
Kaisar Cina lah yang mengutus orang-orang Cina untuk belajar Islam di Madinah
pada masa kekhalifahan Utsman Bin Affan setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Sebaliknya Khalifah Utsman (577-656 M) mengirimkan delegasi Islam ke
Cina untuk mengajarkan Agama Islam di Cina secara mendalam. Pada tanggal 25
Agustus 651 (2 Muharram 31 Hijriyah), utusan pertama Khalifah Utsman tiba di
Tiongkok, mereka memperkenalkan keadaan negerinya dan Islam di hadapan
Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang. Sejak saat itu Islam dikenal dan mulai tersebar
di berbagai wilayah di Cina. Tidak hanya itu, khalifah-khalifah Islam lainnya juga
sering mengirim delegasi ke Cina untuk mengajarkan Agama Islam kepada
orang-orang Islam Cina seperti halnya yang dilakukan Harun Al Rosyid (A-Lun),
Abu Abbas (Abo-Loba) dan Abu Djafar (A-pu-cha-fo) dalam riwayat Dinasti
Tang[1].

3.

Adanya serangan pasukan mongol

Pada awal abad ke-13 Genghis Khan mengadakan ekspedisi ke Barat, Genghis
Khan memerintah orang-orang Islam di Asia Tengah dan Asia Barat membantu
tentara Mongol. Orang-orang ini terdiri atas prajurit, tukang kayu, pandai besi
dan sebagiannya ikut ke Tiongkok bersama tentara Mongol. Orang-orang Islam
tersebut pada umumnya berasal dari bangsa Se Mu. Sebagaimana diketahui,
pada masa Dinasti Han (206-220M) Xi Yu mengacu Xinjiang (bagian barat Laut
Tiongkok). Asia Tengah dan daerah-daerah lainnya yang terletak di sebelah barat
kota Yung Meng Guan (Provinsi Ghansu). Pada masa Dinasti Yuan (1206-1368)
berbagai bangsa di Xi Yu disebut sebagai bangsa Se Mu. Pada waktu itu bangsa
Se Mu mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada bangsa Han,
akan tetapi di bawah status bangsa Mongol. Dengan ditempatkannya banyak
prajurit yang muslim dan dibangunnya masjid di berbagai tempat oleh penguasa
Dinasti Yuan, Agama Islam mulai tersebar luas di Tiongkok[2].

Adapun perjalanan yang dilalui dalam persebaran Islam di Cina adalah dengan
melalui perjalanan darat dan laut. Perjalanan darat dimulai dari daratan Arab
sampai ke bagian barat Laut Tiongkok dengan melewati Persia dan Afganistan.
Jalan ini terkenal dengan nama jalan sutra atau silk road. Namun, pada

pertengahan periode Dinasti Tang, jalur sutra diganggu orang-orang Turki dan
mengakibatkan pedagang-pedagang Arab melakukan perjalanan laut. Perjalanan
itu dilakukan mulai dari Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhanpelabuhan di Tiongkok seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Yang hou
melalui teluk Benggala, Selat Malaka, dan Laut Tiongkok Selatan[3].

2.2

PERKEMBANGAN ISLAM DI CINA

Pada sekitar abad ke-7 dan ke-8 hubungan antara Cina (Tiongkok) dengan Arab
sangat baik. Kerajaan Arab telah 37 kali mengirim utusan muhibahnya ke
Tiongkok selama 147 tahun (651-798 M). Namun, dalam buku Cheng HoPenyebaran Islam di Cina ke Nusantara disebutkan bahwa perkembangan Islam
berjalan lambat semasa Dinasti Tang hingga Dinasti Song. Hal itu disebabkan
karena pedagang-pedagang Islam dari Arab itu tidak diperbolehkan menikah
dengan penduduk setempat ataupun berinteraksi pada masa itu. Seiring
berjalannya waktu mereka diberi kelonggaran untuk dapat berinteraksi maupun
menikahi wanita setempat bahkan mereka diperbolehkan membangun
pemukiman-pemukiman bagi mereka dan keturunannya.

Para pedagang Arab dan Persia yang berniaga ke Tiongkok pada umumnya
orang-orang Islam yang datang secara perorangan itu kemudian memanfaatkan
kebebasan tersebut dengan menikahi wanita setempat. Keturunan mereka dari
generasi ke generasi memeluk Agama Islam dan menjadi penduduk di Tiongkok.
Hal yang sama juga dilakukan oleh para tentara mongol muslim yang menetap di
Cina setelah mengikuti ekspedisi ke Barat yang dipimpin oleh Genghis Khan.
Dalam memenuhi kebutuhan mereka sebagai eks tentara mongol, mereka juga
melakukan perdagangan atau bekerja sesuai dengan keahliannya seperti
pengrajin kayu, pandai besi dan lain-lain.

Selain menikahi perempuan setempat, pedagang-pedagang dan tentara-tentara


mongol ini sudah tentu membangun pemukiman-pemukiman yang dijadikan
sebagai tempat menetap yang nyaman dan dapat melangsungkan kehidupan
sehari-harinya. Mereka membangun masjid-masjid untuk memenuhi kewajiban
beribadahnya.

Sedangkan orang-orang Islam Cina yang sudah berhasil dalam mempelajari


Agama Islam di daratan Arab kembali ke Cina, mereka sebagai orang-orang
Islam mempunyai misi untuk berupaya mengembangkan agar ilmu dan hasil

yang di dapat dalam mempelajari Islam dapat di wariskan ke anak cucu mereka
di Cina. Dari sinilah kemudian muncul pemuka-pemuka Islam untuk mengajarkan
Islam kepada orang-orang Cina Islam lainnya dengan memanfaatkan masjid
selain tempat beribadah juga sebagai sarana untuk belajar mengajar atau pusat
pendidikan dan pusat komunitas. Anak-anak diajarkan membaca Al-Quran,
bahasa Arab dan bahasa Persia.

http://parapencarisyafaat.blogspot.com/2013/07/sejarah-dan-perkembanganislam-china.html

Sejarah dan Perkembangan Islam China Daratan


Salah satu pepatah Arab kuno yang diserap oleh Umat Islam adalah Tuntutlah
Ilmu sampai ke negeri Cina,, bangsa Cina memang telah mencapai peradaban
yang amat tinggi. Masyarakatnya pada masa itu sudah menguasai beragam
khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban, pada akhirnya juga
banyak diserap oleh umat Islam untuk mengembangkan beradapan Islam.
Beberapa contohnya antara lain, ilmu ketabiban, kertas, serta bubuk mesiu.
Kehebatan dan tingginya peradaban masyarakat Cina ternyata sudah terdengar
di negeri Arab sebelum tahun 500 M.

Sejarah / Tarikh Hubungan China Daratan dan Arab


Merujuk buku History of Islam in Cahina, Sejak dulu para saudagar dan pelaut
dari Arab membina hubungan dagang dengan Middle Kingdom julukan Cina.
Mereka berlayar dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju
lautan Samudera Hindia dan bersandar di Guangzhou atau orang Arab
menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan
tertua di Cina. Sejak itu banyak orang Arab yang menetap di Cina. bahkan
sampai sekarang masih ada keturunan arab tinggal di kota ini dan banyak
makam para ulama islam tionghoa keturunan arab di kota quanzhou tersebut

Ketika Islam berkembang dan pemerintahan dipusatkan di Madina oleh


Muhammad Rasulullah SAW, di Cina tengah memasuki periode penyatuan dan
pertahanan. Menurut catatan sejarah awal Cina, masyarakat Tiongkok pun sudah
mengetahui adanya agama Islam di Timur Tengah. Mereka menyebut
pemerintahan Rasulullah SAW sebagai Al-Madinah dan agama Islam dikenal
dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti agama yang murni. Masyarakat
Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran Buddha Ma-hia-wu (Nabi
Muhammad SAW).

Sejarah / Tarikh Islam China Daratan Masa Sebelum Revolusi

Pada masa Hijrah pertama kaum muhajirin (tengok kitab muasal tahun Hijriah:
dihitung dari Hijrah kedua) para sahabat Rasul hijrah ke al-Habasha Abyssinia
(Ethopia) untuk menghindari kaum Quraish jahiliyah. Antara lain; Ruqayyah,
anak perempuan Nabi; Usman bin Affan, suami Ruqayyah; Saad bin Abi Waqqas,
paman Rasulullah SAW; dan sejumlah sahabat lainnya, mereka dilindungi oleh
Raja Atsmaha Negus (Nasrani Ortodoks) di kota Axum. Banyak sahabat yang
memilih menetap, kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada th 581 masa
Dinasti Sui berkuasa.

Islam secara resmi diterima pemerintah Tiongkok pada th 615 (20 th setelah
wafatnya Muhammad Rasulullah SAW). Saad bin Abi Waqqas sebagai diutusan
resmi Khalifah Utsman bin Affan diterima Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang yang
kemudian memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau masjid
Memorial di Canton masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. Ketika itu
Dinasti Tang dalam masa kejayaan dan pusat budaya, sehingga Islam cepat
tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok. Masyarakat Islam pertama adalah
suku Hui Chi, kemudian tersebar ke masyarakat lain di Cina dengan cepat. Saad
meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys
Mazars

Pada masa Dinasti Sung, umat Muslim menguasai industri ekspor dan impor.
Bahkan masa itu jabatan syah Bandar secara konsisten dijabat orang Muslim.
Kaisar Shenzong pada th 1070 mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara ke
pusat negeri, untuk membangun zona penyangga dengan Kekaisaran Liao di
Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching
(Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias So-Fei Er. Dia bergelar
`bapak komunitas Muslim di Cina.

Masa Dinasti Mongol-Yuan (1274-1368 M), jumlah umat Islam di Cina semakin
besar. Dinasti Yuan dibangun oleh Mongolia di tiongkok, mahir perang tetapi
kurang mahir dalam adminstrasi Negara. Bangsa China-Han yang ditaklukan
memiliki peradapan lebih maju, maka Dinasti Yuan mengangkat turunan muslim
sebagai pejabat negara karena faktor politik tidak memungkinkan mengangkat
orang non muslim. Sehingga pengaruh umat Islam di Cina semakin kuat. Ratusan
ribu Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk
membantu perluasan wilayah kekaisaran. Para Ilmuwan Muslim mengkaji
astronomi, menyusun kalender dan mendesain Khanbaluq sebagai ibu kota
Dinasti Yuan. Tetapi umat islam juga mengalami tekanan sebagai akibat
perbedaan budaya dan dikriminasi, sehingga umat muslim mempelopori
berdirinya dinasti ming dengan mengadakan perlawanan terhadap pihak dinasti
Yuan

Masa Dinasti Ming, umat Islam memiliki pengaruh yang kuat di dalam
pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang dan Lan Yu Who adalah
jenderal Muslim tersohor, pada th 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming
dan menundukkan Mongolia. Pada masa yang sama munculah Laksamana Cheng

Ho seorang pelaut Muslim andal. Kebijakan tertutup dengan politik isolasi


membatasi hubungan dengan wilayah lain, akibatnya masyarakat Muslim
berbicara dengan dialek local dan Arsitekturpun mulai mengikuti tradisi Cina.
Pada masa itu Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting.

Dinasti Manchu-Qing (1644-1911) adalah awal surutnya pengaruh Islam di


Tiongkok. Karena dianggap sebagai pembela utama dinasti Ming, maka semua
kegiatan agama, pembangunan masjid dan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah
dilarang. Politik devide et impera digunakan untuk memecah belah umat Islam
yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mongol. Akibatnya ketiga suku penganut
Islam itu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu
pemberontakan Muslim Panthay yang terjadi di provinsi Yunan dari 1855 M
hingga 1873 M. Pemberontakan umat Muslim keturunan Han belakangan diikuti
oleh orang-orang Han secara umum

Masa Setelah Revolusi Nasional China


Republic China berdiri setelah Dinasti Manchu-Qing runtuh oleh Revolusi yang
dipimpin dr. Sun Yat Sen (Sun Zhong Shan). Di dalam San Min Zhu Yi (tiga
landasan pokok Negara) keberanian pahlawan muslim diakui sebagai sumber
inspirasi utama perjuangan kebebasan negara tiongkok modern. Masa itu
pejabat Kementerian Negara dan petinggi partai Kuo Min Tang banyak dijabat
oleh umat Islam, menurut catatan pemerintah nasionalis ada 40 masjid dan
ratusan madrasah didirikan di Beijing. Dalam konstitusi Republik China pada th
1911 disebutkan: Masyarakat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang
(Tibet) berada di bawah Pemerintahan Republik Cina, sedangkan daerah khusus
Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam kekuasaan Masyarakat Muslim
yakni keluarga Ma dan Masyarakat Uighur.

Kondisi yang kondusif dan stabil tersebut tidak lama, keadaan menjadi buruk
ketika terjadi Revolusi Budaya oleh Partai Komunis (Gong Chan Tang) yang
merubah Negara China menjadi Republik Rakyat China (RRC). Semua hal yang
berbau non material dibatasi, termasuk Agama. Tetapi setelah terjadi revolusi
sosialis pada th 1978 pemerintah RRC mulai memulihkan 3 Agama yang
dianggap Tradisional Asli (Tao, Budha dan Islam). Kini Islam kembali berkembang
di China, masjid sebagai pusat aktivitas antaretnis Muslim. Asosiasi Islam
Republik Rakyat China (Zhongguo Yisilan Xie Hui) telah berdiri saat ini, disamping
banyak pusat kajian islam dan pesantren berdiri. Sebagian produk makanan di
China telah mencantumkan produk halal atas rekomendasi dari Zhongguo Yisilan
Xie Hui. Perjalanan ibadah Haji juga telah difasilitasi pemerintah lewat beijing
dan Lanzhou (propinsi gansu). Wilayah yang mayoritas warganya muslim
diberikan hak otonomi untuk melaksanakan kebebasan beragama dan
menjalankan kebudayaannya sendiri, bahkan untuk sekolah ke timur tengah
untuk memperdalam islam.

http://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/perkembangan-etnis-tionghoa-diindonesia-dari-masa-ke-masa/

Awal Mula Etnis Tionghoa di Indonesia


Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan
tahun yang lalu. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan
kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa
di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas
barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.

Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia berawal pada masa kejayaan
Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang daerahnya
kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan sebagai pandai
perhiasan (Emas). Karena kebutuhan akan pandai emas semakin meningkat,
maka didatangkan eamas dari cina daratan, disamping itu ikut dalam kelompok
tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan. Mereka
bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan daerah
sekitarnya.

Gelombang kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah pada


masa kerajaan Singasari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang. Kedatangan
mereka dibawah armada tentara laut Khubilaikan atau juga sering disebut
sebagai Jhengiskan dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun
utusan yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal ini diakrenakan
ditolaknya utusan tersebut oleh Raja.

Pada Ekspedisi yang kedua tentara laut Khubilaikan ke-tanah Jawa dengan tujuan
membalas perlakuan raja Singasari terhadap utusan mereka terdahulu, namun
mereka sudah tidak menjumpai lagi kerajaan tersebut, dan akhirnya mendarat di
sebuah pantai yang mereka beri nama Loa sam (sekarang Lasem) sebagai

armada mereka menyusuri pantai dan mendarat disuatu tempat yang Sam Toa
Lang Yang kemudian menjadi Semarang. Masyarakat etnis Cina ini kemudian
mendirikan sebuah tempat ibadat (Kelenteng) yang masih dapat dilihat sampai
masa sekarang.

Karena runtuhnya Singasarai dan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru


yaitu Demak sebagai sebuah kerajaan Islam, maka keberadaan Etnis Cina ini
dipakai sekutu Demak di dalam rangka menguasai tanah Jawa dan penyebaran
agama Islam. Hal itu dimungkinkan karena panglima armada laut yang mendarat
di Semarang, seoarang yang beragama islam, yaitu Cheng Ho. Penyebaran Islam
di Jawa oleh etnis Tionghoa ini ternyata berhubungan dengan tokoh-tokoh
penyebar agama Islam di Jawa yaitu wali songo. Empat dari sembilan wali songo
merupakan orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel, Sunan
Bonang (anak dari Ampel dan seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan Sunan
Gunungjati. Selain menyebarkan agama Islam, Etnis Cina ini juga diberi
wewenang untuk menjalankan Bandar atau pelabuhan laut di Semarang dan
Lasem. Hal ini oleh Demak dimaksudkan untuk melumpuhkan Bandar-bandar
laut yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti
bandar laut Tuban dan Gresik.

Beberapa peninggalan zaman dahulu yang menyebutkan tentang kedatangan


etnis Tionghoa ada baik di Indonesia maupun di negeri Cina . Pada prasastiprasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap
di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan
anakbenua India. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti
Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu
kerajaan di Jawa (To lo mo) dan I Ching ingin datang ke India untuk
mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa
Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jnabhadra
Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu
istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa
yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat
pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.

B. Perkembangan Etnis Tionghoa Berikutnya

Masa Kolonial

Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan: pertama, golongan Eropa


atau Belanda; kedua timur asing China termasuk India dan Arab; dan ketiga
pribumi yang dibagi-bagi lagi dalam suku bangsa hingga muncul Kampung Bali,
Ambon, Jawa dan lain-lain. Belanda juga mengangkat beberapa pemimpin
komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi
penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara

mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng
Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta,
Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.

Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan


Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok
Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat,
komunitas Tionghoa yang tergabung dalam Republik Lanfong berperang
dengan pasukan Belanda pada abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra
kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan
massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian
masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut melahirkan
gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa
Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan
pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim
di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis
Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam
sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan
lain-lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit
demi sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih
didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil
yang dimiliki oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan
(Mackie, 1991:322-323).

Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis
Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan negara
dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif
meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara
kuantitas hampir tidak ada.

Pada tahun 1816 sekolah Belanda telah didirikan, tetapi hanya untuk anak-anak
Belanda. Pada akhir abad XIX anak-anak Tionghoa kaya diijinkan masuk sekolah
Belanda, tetapi kesempatan masuk sekolah Belanda amat kecil. Maka pada
tahun 1901 masyarakat Tionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengan nama
Tionghoa Hwee Koan (THHK). Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan di
berbagai kota di Hindia Belanda.

Perhatian Pemerintah Tiongkok terhadap sekolah THHK ini mulai besar, banyak
guru yang dikirim ke Tiongkok untuk dididik. Melihat perkembangan baru ini
pemerintah kolonial Belanda khawatir kalau tidak dapat menguasai gerak orang
Tionghoa maka didirikan sekolah Belanda untuk orang Tionghoa. Namun biaya di
sekolah Belanda untuk anak Tionghoa ini sangat mahal, kecuali untuk mereka

yang kaya, maka anak Tionghoa yang sekolah di THHK lebih banyak. Dalam
perkembangan berikutnya Sekolah Belanda lebih dipilih karena lulusan dari
sekolah Belanda gajinya lebih besar dan lebih mudah mencari pekerjaan di
kantor-kantor besar. Banyak orang meramalkan bahwa THHK akan bubar, tetapi
kenyataannya tidak. Para pengelola eTHHK ini ternyata lebih tanggap terhadap
perubahan jaman sehingga masih tetap dipercaya oleh sebagian orang
Tionghoa, bahkan hingga kini masih ada dan dikenal sebagai salah satu skolah
nasional

Masa Orde Lama

Pada jaman orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra,
sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Pada waktu itu
(PKI). Pada tahun 1946 Konsul Jendral Pem. Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia
Tung (itu waktu belum ada RRT) dengan Bung Karno datang ke Malang dan
menyatakan Tiongkok sebagai salah satu 5 negara besar (one of the big five)
berdiri dibelakang Republik Indonesia. Orang Tionghoa mendapat sorakan
khalayak ramai sebagai kawan seperjuangan. Di stadion Solo olahragawan Tony
Wen dengan isterinya (bintang film Tionghoa) menyeruhkan untuk membentuk
barisan berani mati (cibaku-tai, kamikaze) melawan Belanda dan sesuai contoh
batalyon Nisei generasi ke II Jepang di USA yang ikut dalam perang dunia ke II, di
Malang ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan dengan lain-lain
kesatuan bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris (gol. Menado), Trip
(pelajar) dsb. Pimpinan Tionghoa kuatir provokasi kolonial dapat menimbulkan
bentrokan bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Mereka menolak pembentukan
batalyon tsb. Orang-orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda dianjurkan
untuk masing-masing masuk kesatuan-kesatuan Pribumi menurut kecocokan
pribadi.

Namun etnis Tionghoa yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru menjadi
sasaran pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI yang
didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis pasti
orang Cina, padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Peristiwa G30S/PKI
menjadi salah satu peristiwa yang sanagt membuat trauma etnis Tionghoa selain
kierusuhan Mei 98.

Masa Orde Baru

Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu
pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang
adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan
Komunis di Indonesia. Bersamaan dengan perubahan politik itu rezim Orde Baru
melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan

ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu,


masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan
tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia
diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap
masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di
samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran
No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu
disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya
menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono
Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke
dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978.
Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah
badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi
bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).

Ada beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia yaitu,

Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah


ganti nama.

Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok


Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi
Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.

Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang


kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan
asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan
eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih
menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.

Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempattempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional
sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada
murid-murid WNA Cina.

Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan


Kelenteng-kelenteng di Indonesia.

Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No.


02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/
iklan beraksen dan berbahasa Cina.

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya
berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus
hak-hak asasi mereka. Misalnya semua sekolah Tionghoa dilarang di Indonesia.
Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesia harus menerima pendidikan
seperti anak orang Indonesia yang lain secara nasional. Bahkan pada jaman orde
baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau nama Tionghoa untuk toko
atau perusahaan, bahasa Tionghoa sama sekali dilarang untuk diajarkan dalam
bentuk formal atau informal. Dampak dari kebijakan orde baru ini selama 30
tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati kebudayaabn
mereka sebdiri. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek,
dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan
oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan
Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep
obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka
pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu
memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak
menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan
Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah


Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia.
Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI
meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama
tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.

C. Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan


bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki
bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha
Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun
itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat.
Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa.
Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah
menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi
terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya,
ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah

menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara,


misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa
Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu,
pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid
Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk
menarik minat warga Tionghoa

Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran dibandingkan pemimpin


masa orde baru. Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden
No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan NonPribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi
menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk
keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun
ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya
keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain
sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No
14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan
penggunaan huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang
dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan,
tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional
berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo
Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah.
Pelbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas.
SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran
imigrasi dan kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI
saat orang Tionghoa ingin memperbaharui paspor dan KTP.

Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif dalam bidang kesehatan dan
pendidikan. Setelah 32 tahun berdiam mereka kembali melakukan kegiatan
sosial, aktif dalam bidang pendidikan. Bahasa Mandarin mulai diajarkan di
pelbagai sekolah sebagai bahasa alternatif di samping bahasa Inggris. Jadi
mereka mulai berani memasuki bidang-bidang di luar bisnis semata. Mereka
membuka diri dan memperdulikan lingkungan di sekitarnya. Merayakan ritual
agama dst. Filsafat kalangan etnis Tionghoa sekarang adalah: berakar di bumi
tempat berpijak, artinya: (lahir dan) menetap di Indonesia selama-lamanya

BAB III

KESIMPULAN

Etnis Tionghoa di Indonesia telah ada sejak masa kerajaan-kerajaan di


Indonesia. Mereka bahkan juga terlibat penyebaran agama Islam di Indonesia,
meskipun sebagian besar beragama non-muslim

Etnis Tionghoa di Indonesia pada era kolonial memiliki nasib yang lebih baik
daripada kaum pribumi. Meskipun begitu ada juga beberapa tokoh Tionghoa
yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia.

Pada masa orde lama etns Tionghoa amatlah dihargai karena adanya poros
Jakarta-Peking. Namun etnis ini menjadi pelampiasan massa karena peristiwa
G30S/PKI, sehingga menimbulkan trauma.

Pada masa orde baru pergerakan kaum Tionghoa semakin terbatas, karena
adanya kekhawatiran pemerintah akan adanya penggulingan kekuasaan seperti
masa G30S/PKI. BeberapaSalah satu aturan yang mendiskriminasikan etnis
Tionghoa adalah penggantian nama orang Cina menjadi nama orang Indonesia.

Pada era reformasi etnis Tionghoa memasuki masa perkembangan yang berarti,
seperti diakuinya imlek sebagai hari libur dan agama khongfuchu menjadi agama
yang resmi diakui di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai