Anda di halaman 1dari 3

BAB IV

DASAR-DASAR ETIKA
1. Perbedaan Etika dan Moralitas
Secara etimologis, istilah etika berasal dari kata Yunani ethikos yang
berarti adat, kebiasaan, atau watak (Pritchard, 2012, 1). Dalam
perkembangannya, etika mengacu kepada seperangkat aturan-aturan,
prinsip-prinsip atau cara berpikir yang menuntun tindakan dari suatu
kelompok tertentu. Akan tetapi, kata etika spesifik mengacu studi sistematis
dan filosofis tentang bagaimana kita seharusnya bertindang (Borchert, 2006,
279). Dalam terakhir ini, etika adalah cabang ilmu filsasat yang menyelidiki
suatu sistem prinsip moral dan berusaha untuk mejawab pertanyaanpertanyaan radikal.
Lain halnya dengan moralitas berasal dari kata Latin moralis yang berarti
tata cara, karakter, atau perilaku yang tepat (Pritchard, 2012,1).
Secara terminlogis moralitas sering kali dirujuk sebagai diferensiasi dari
keputusan dan tindakan antara yang baik atau yang tidak baik. Moralitas
mengacu pada nilai baik atau tidak baik yang disepakati dan diadopsi dalam
suatu lingkungan (Borchert, 2006, 280). Moralitas biasanya didefinisikan
melalui otoritas tertentu. Artinya, moralitas lebih dipahami sebagai suatu
keyakinan untuk menjalani hidup yang baik.
2. Klasifikasi Etika
Etika bisa dibagi menjadi beberapa bidang sebagai berikut:
2.1.

Etika Normatif

Etika normatif merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan


pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang
bertindak secara etis. Dengan kata lain, etika normative adalah sebuah studi
tindakan atau keputusan etis.
2.2.

Etika Terapan

Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih


spesifik kepada topik-topik kontroversial baik pada dominan privat atau
public seperti perang, hak-hak binatang, hukuman mati dan lain-lain.
2.3.

Etika Deskriptif

Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap etis
oleh individu atau masyarakat. Dengan begitu, etika deskriptif bukan sebuah
etika yang mempunyai hubungan langsung dengan filsafat tetapi merupakan
sebuah bentuk studi empiris terkait dengan perilaku-perilaku individual atau
kelompok.

2.4.

Metaetika

Fokus dari metaetika adalah arti atau makna dari pernyataan-pernyataan


yang ada di dalam etika. Dengan kata lain, metaetika merupakan kajian
tingkat kedua dari etika.
3. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis
Dua aliran besar terkait dengan cara melihat pernyataan etika atau kualitas
etis, yaitu realism etis dan nonrealisme etis (Callcut, 2009, 46).
3.1.

Realisme Etis

Gagasan realisme etis berpusat pada manusia menemukan kebenaran etis


yang memiliki eksistensi independen di luar dirinya. Konsekuensinya, realism
etis ini mengajarkan bahwa kualitas etis atau tidak ada secara independen
dari manusia dan pernyataan etis memberikan pengetahuan tentang dunia
objektif.
3.2.

Nonrealisme Etis

Keberatan terhadap realisme etis di atas menimbulkan cara melihat


persoalan etis yang disebut dengan nonrealisme etis. Gagasan utama dari
nonrealisme etis adalah manusia yang menciptakan kebenaran etis (Callcut,
2009, 46).
4. Empat Jenis Pernyataan Etika
1. Realisme Moral
Relalisme moral didasarkan pada gagasan bahwa ada fakta-fakta
nyata dan objektif terkait masalah etis di alam semesta,
contoh :pembunuhan itu adalah salah.
2. Subjektivisme
Subjektivisme mengajarkan bahwa penilaian etis tidak lebih dari
pernyataan perasaan atau sikap seseorang, contoh: saya tidak
menyetujui pembunuhan.
3. Emotivisme
Emotivisme adalah pandangan bahwa klaim moral adalah tidak
lebih dari ekspresi persetujuan atau ketidaksetujuan, contoh: tidak
ada kompromi dengan pembunuhan.
4. Preskriptivisme
Gagasan preskriptivisme berfokus pada pernyataan etis adalah
petunjuk
atau
rekomendasi,
contoh:
jangan
melakukan
pembunuhan.
5. Kegunaan Etika
Etika sebenarnya tidak secara langsung mengaharuskan orang mengikuti
hasil analisisnya. Artinya tidak ada intensi dari etika untuk menekan orang
melakukan sesuatu tindakan atau keputusan yang etis sesuai dengan

pedoman tertentu. Memang harus dimengerti bahwa etika tidak selalu


memberi jawaban yang tepat untuk masalah moral. Hal ini dikarenakan
seringkali tidak ada jawaban yang tunggal. Persoalan moral sangat sulit dan
komplek (Hinman, 2012, 1-6). Persoalan etis sangat sulit dikarenakan hal itu
memaksa kita untuk mengambil tanggung jawab atas pilihan dan tindakan
kita sendiri daripada langsung kembali pada aturan-aturan dan adat istiadat.
Dengan kata lain, etika bukan hanya memperhitungkan diri sendiri tetapi
juga berkaitan dengan kepentingan orang lain secara lebih luas.
6. Immanual Kant dan Etika Kewajiban
Dalam karyanya Critique of Practical Reason, Immanuel Kant membahas
secara filosofis tentang apa yang dimaksud dengan moral. Prinsip moral
dapat muncul dari berbagai sumber, diserap dari nilai-nilai agama, kaidah
norma masyarakat, maupun dari hokum yang dibuat oleh negara. Etika
kewajiban dari Kant mengingatkan kita betapa pentingnya perbuatan moral
yang patuh pada suatu prinsip moral bahwa kebaikan tersebut intrisik
adanya. Bahwa suatu tindakan dinyatakan benar atau baik dapat diperiksa
oleh rasio praktis kita.
7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian
Tokoh yang mengembangkan paham etis utilitarian adalah John Stuart Mill.
Utilitarisme, dari akar kata utility, yang berarti kegunaan, menganggap
bahwa dorongan utama bagi seseorang untuk beriskap etis adalah untuk
mencapai kebahagiaan.
8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban
Dalam pandangan Ross, ia menggunakan penjelasan intuisi. Ross
berargumen bahwa seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan apa
yang bernilai baik maupun buruk. Ia mengkritik pandangan utilitarian yang
terlalu menekankan pada konsep kebahagiaan, bahkan mensejajarkan
kebahagiaan seagai kebaikan. Bagi Ross, kebahagiaan tidak dapat secara
mudah disamakan dengan kebaikan, justru kebaikan adalah bentuk nilai
moral yang lebih tinggi. Jadi tujuan moral adalah mencapai kebaikan bukan
kebahagiaan.

Anda mungkin juga menyukai